Dean masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil, lelaki itu tidak sadar ada Elisa yang menunggunya dengan sorot mata tajam."Kenapa dengan wajahmu itu?!" Elisa bertanya dengan sorot mata tajam."Enggak papa," sahut Dean yang tidak mau mendapat omelan dari sang ibu."Enggak papa, enggak papa! Wajah yang bonyok kayak gini, dibilang enggak papa!" Elisa menarik Dean untuk duduk di sofa. "bentar, ama ambilin obat merah dulu."Dean menyandarkan tubuhnya ke sofa, sekarang dirinya sangat mengantuk sekaligus lelah habis berkelahi dengan Jeffry tadi.Ingin segera tidur saat sampai di rumah, rupanya itu adalah hal yang mustahil. Pasti sang mama sambil mengobati akan mengomelinya panjang lebar, membayangkannya saja membuat Dean semakin lelah."Siniin wajahnya, biar mama obati." Elisa mengarahkan wajah Dean dengan kasar.Elisa lalu membuka kotak obat yang dia bawa dari dapur, lalu membersihkan luka di wajah Dean dengan menggunakan obat merah."Pelan-pelan dong, Ma! Sakit tahu!" ucap Dean merin
"Tawaran yang mana?!" Haura menautkan kedua alisnya, dia pura-pura tidak paham apa yang sedang dibahas oleh Niko."Soal mau atau enggaknya kamu jadi istri keduaku?" Niko mendekati Haura, lelaki itu menatap mantan istrinya dengan tatapan memelas."Aku bilang enggak, ya, enggak!" pekik Haura yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.Menurutnya Niko sangat tidak mengerti perasaannya selama ini, lelaki itu malah berbuat semaunya saja. Padahal andaikan Niko memilih rujuk dengan baik dan tentu saja membuang Lilis, Haura akan menerimanya dengan senang hati.Namun, Niko malah menginginkan dirinya menjadi istri kedua atau lebih tepatnya menggantikan posisi yang seharusnya dimiliki oleh Lilis. Mana sudi Haura!"Terus kamu maunya, apa?" Niko mengerinyitkan wajahnya, heran."Aku mau kamu cerai dengan Lilis, kalian kan nikah siri. Jadi enggak akan ribet urus ini itu buat cerai, mumpung perceraian kita belum diurus secara hukum," sahut Haur
Wajah Haura menjadi memerah karena malu mendengar perkataan dari Dean, lelaki itu mengatakan hal vulgar tanpa berkedip sedikit pun.Seakan yang dirinya katakan adalah hal yang biasa saja, tetapi berbeda dengan Haura. Walau wanita itu sudah pernah menikah, menurutnya hal seperti ini tidaklah layak dibahas oleh bukan suami-istri.Apalagi oleh orang yang berbeda jenis, kalau wanita mungkin itu adalah hal yang biasa. Namun, ini adalah lelaki, bagaimana wajah Haura tidak memerah."Kamu sakit?" tanya Dean tanpa rasa bersalah.Dean mendekati Haura, lelaki itu mengangkat tangannya di udara."K-kamu mau apa, Dean?" tanya Haura gugup.Haura mundur beberapa langkah, sampai tubuhnya terhantuk dinding. Sekarang dia tidak bisa melangkah mundur lagi, untuk menjauhi Dean. Terpaksa Haura memejamkan matanya pelan, dia memilih pasrah akan apa yang Dean lakukan kepadanya.Tidak Haura duga, Dean malah hanya menempelkan tangan di kening Haura
"Be-egini, kalau misalkan Ibu gak masuk toko, aku harap jangan kasih kepercayaan kepadaku untuk mengurus toko lagi." Mira berkata sambil memilin-milin ujung bajunya.Mendengar hal itu, Haura mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas yang sedang dia kerjakan."Kenapa?" tanya Haura menatap lekat Mira."Enggak papa, Bu!" Mira menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak mau disebut sebagai tukang ngadu."Pasti karena si Caca kan?" tebak Haura yang membuat raut wajah Mira terkejut. "ternyata benar, emang apa yang dia lakukan kepada kamu?""Enggak papa kok, aku gak mau disebut tukang ngadu karena masalah ini," gumam Mira lirih.Raut wajah Mira terlihat sangat sedih, walau tidak menyakitkan bagi sebagian orang, tetapi menurutnya Mira sangat tidak nyaman sekali kalau bekerja bersama dengan orang yang memusuhinya.Memang dia tidak memperlihatkan kalau dirinya merasa terganggu dengan sikap Caca, di depan wanita iri tersebut. Namu
"Dia enggak mungkin begitu, Bu!" ucap Haura menolak percaya.Sekarang dirinya menatap Mira, wanita muda itu menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya penuh dengan berlinang air mata."Kalau bukan kamu siapa lagi?! Jadi seharusnya ngaku dong!" hardik wanita setengah baya itu."Bu, aku yakin kalau karyawanku ini enggak mungkin kayak gitu. Jadi kita minta dia bicara untuk jelasin semuanya." Haura menggenggam jemari Mira erat."Halah, aku gak ada waktu buat dengar dia jelasin. Terus mana ada orang kayak dia berani ngaku, kalau sudah, seharusnya dari tadi!" Tunjuk wanita setengah baya dengan mata yang melotot kepada Mira.Mira sangat ketakutan, dia gemetaran dengan wajah menunduk sambil berlinang air mata. Bukannya tidak mau membela diri, tetapi sedari tadi pelanggan yang datang itu tidak membiarkan dirinya untuk berbicara."Dengar dulu, Bu! Aku enggak mau kalau karyawanku yang sebenarnya gak salah, malah dituduh kayak gitu!" Haura seng
Haura menajamkan telinganya, wanita itu terkejut kalau pelanggannya tersebut ternyata tidak main-main dengan perkataannya.Namun, dia tidak bisa langsung masuk dalam percakapan antara mereka berdua, sangat tidak sopan sekali dilihat. Dia juga tidak memiliki hubungan apa-apa, orang hanya tahu kalau dirinya adalah bos tempat di mana Dean bekerja."Maaf, Tante, aku menolaknya!" tolak Dean dengan tegas."Kenapa kamu menolaknya? Padahal tante gak bakalan nyuruh-nyuruh kamu kok, karena sebenarnya tante ini orang kaya, jualan kayak gini cuma mau ngabisin waktu doang!" bujuk wanita itu lagi."Maaf, Tante. Aku pun kayak gitu, di sini cuma bantu-bantuin aja, karena bosan di rumah dan juga mau deketin salah satu cewek cantik di sini," ucap Dean setengah berbisik kepada Tante itu.Sang tante malah tertawa mendengar hal itu. "Ternyata aku melakukan kesalahan, ya? Yaudah, kamu lanjutin aja mengejarnya, semoga berhasil!" Tante itu berkata dengan nada be
Haura menatap tajam kepada Caca yang sekarang terkejut atas kemunculan bosnya tersebut, wanita muda itu mengepalkan tangannya karena merasa marah kepada Dean.Caca tidak menyangka kalau bosnya itu akan datang kemari, padahal dia sengaja memilih tempat yang sepi untuk mengajak Dean jalan bersama dengannya."Aku gak nyangka, kalau biarkan orang yang kayak kamu itu akan berakibat fatal kayak gini. Padahal aku kira cuma perasaan iri saja, tapi ternyata lebih dari itu, ya!" Haura menatap tajam kepada Caca, bahkan wanita itu wajahnya memerah karena sedang menahan dirinya.Caca bergeming, dia tidak membela dirinya sama sekali."Kamu gak mau membela diri? Seperti membantah perkataanku sekarang?" Haura bersedekap dada, dia menunggu perkataan yang keluar dari mulut Caca.Sedangkan Caca, wanita itu merasa kalau percuma membela dirinya. Dia tahu kalau semua itu adalah hal yang sia-sia, lantaran ada seorang saksi yang melihatnya, andai tidak ada yang melihat, mungkin dia akan bisa membantah semua
Dean hanya memandangi Caca dari jauh saja, dia sangat tahu wanita seperti apa yang sekarang sedang dia pandangi sedari tadi. Karena Dean melihat kalau Caca sama sekali tidak menyesali apa yang diperbuat, malah wanita muda tersebut terkesan semakin membenci Mira."Aku suka cewek yang kayak gini, dinyalakan api dikit pasti meledak," kekeh Dean pelan.Dean memilih mendekati Caca, dia bersenandung kecil sambil menatap wanita tersebut.Sedangkan Caca terkejut melihat kedatangan Dean yang tiba-tiba. Dia segera beralih dari pintu yang terbuka sedikit, takut kalau lelaki itu akan mengatakan kepada Haura dirinya sedang mengintip."Kenapa gak diteruskan?" Dean menautkan kedua alisnya."Enggak papa," sahut Caca menunduk."Kamu takut aku ngadu?" tanya Dean lagi.Namun, Caca hanya diam saja tidak menyahut pertanyaan yang Dean lontarkan kepadanya."Aku enggak bakalan ngadu kok, tenang! Soalnya aku kurang suka juga sama si Mira, dia itu kayak orang yang cari perhatian aja," bisik Dean pelan di dekat