"Tawaran yang mana?!" Haura menautkan kedua alisnya, dia pura-pura tidak paham apa yang sedang dibahas oleh Niko."Soal mau atau enggaknya kamu jadi istri keduaku?" Niko mendekati Haura, lelaki itu menatap mantan istrinya dengan tatapan memelas."Aku bilang enggak, ya, enggak!" pekik Haura yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.Menurutnya Niko sangat tidak mengerti perasaannya selama ini, lelaki itu malah berbuat semaunya saja. Padahal andaikan Niko memilih rujuk dengan baik dan tentu saja membuang Lilis, Haura akan menerimanya dengan senang hati.Namun, Niko malah menginginkan dirinya menjadi istri kedua atau lebih tepatnya menggantikan posisi yang seharusnya dimiliki oleh Lilis. Mana sudi Haura!"Terus kamu maunya, apa?" Niko mengerinyitkan wajahnya, heran."Aku mau kamu cerai dengan Lilis, kalian kan nikah siri. Jadi enggak akan ribet urus ini itu buat cerai, mumpung perceraian kita belum diurus secara hukum," sahut Haur
Wajah Haura menjadi memerah karena malu mendengar perkataan dari Dean, lelaki itu mengatakan hal vulgar tanpa berkedip sedikit pun.Seakan yang dirinya katakan adalah hal yang biasa saja, tetapi berbeda dengan Haura. Walau wanita itu sudah pernah menikah, menurutnya hal seperti ini tidaklah layak dibahas oleh bukan suami-istri.Apalagi oleh orang yang berbeda jenis, kalau wanita mungkin itu adalah hal yang biasa. Namun, ini adalah lelaki, bagaimana wajah Haura tidak memerah."Kamu sakit?" tanya Dean tanpa rasa bersalah.Dean mendekati Haura, lelaki itu mengangkat tangannya di udara."K-kamu mau apa, Dean?" tanya Haura gugup.Haura mundur beberapa langkah, sampai tubuhnya terhantuk dinding. Sekarang dia tidak bisa melangkah mundur lagi, untuk menjauhi Dean. Terpaksa Haura memejamkan matanya pelan, dia memilih pasrah akan apa yang Dean lakukan kepadanya.Tidak Haura duga, Dean malah hanya menempelkan tangan di kening Haura
"Be-egini, kalau misalkan Ibu gak masuk toko, aku harap jangan kasih kepercayaan kepadaku untuk mengurus toko lagi." Mira berkata sambil memilin-milin ujung bajunya.Mendengar hal itu, Haura mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas yang sedang dia kerjakan."Kenapa?" tanya Haura menatap lekat Mira."Enggak papa, Bu!" Mira menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak mau disebut sebagai tukang ngadu."Pasti karena si Caca kan?" tebak Haura yang membuat raut wajah Mira terkejut. "ternyata benar, emang apa yang dia lakukan kepada kamu?""Enggak papa kok, aku gak mau disebut tukang ngadu karena masalah ini," gumam Mira lirih.Raut wajah Mira terlihat sangat sedih, walau tidak menyakitkan bagi sebagian orang, tetapi menurutnya Mira sangat tidak nyaman sekali kalau bekerja bersama dengan orang yang memusuhinya.Memang dia tidak memperlihatkan kalau dirinya merasa terganggu dengan sikap Caca, di depan wanita iri tersebut. Namu
"Dia enggak mungkin begitu, Bu!" ucap Haura menolak percaya.Sekarang dirinya menatap Mira, wanita muda itu menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya penuh dengan berlinang air mata."Kalau bukan kamu siapa lagi?! Jadi seharusnya ngaku dong!" hardik wanita setengah baya itu."Bu, aku yakin kalau karyawanku ini enggak mungkin kayak gitu. Jadi kita minta dia bicara untuk jelasin semuanya." Haura menggenggam jemari Mira erat."Halah, aku gak ada waktu buat dengar dia jelasin. Terus mana ada orang kayak dia berani ngaku, kalau sudah, seharusnya dari tadi!" Tunjuk wanita setengah baya dengan mata yang melotot kepada Mira.Mira sangat ketakutan, dia gemetaran dengan wajah menunduk sambil berlinang air mata. Bukannya tidak mau membela diri, tetapi sedari tadi pelanggan yang datang itu tidak membiarkan dirinya untuk berbicara."Dengar dulu, Bu! Aku enggak mau kalau karyawanku yang sebenarnya gak salah, malah dituduh kayak gitu!" Haura seng
Haura menajamkan telinganya, wanita itu terkejut kalau pelanggannya tersebut ternyata tidak main-main dengan perkataannya.Namun, dia tidak bisa langsung masuk dalam percakapan antara mereka berdua, sangat tidak sopan sekali dilihat. Dia juga tidak memiliki hubungan apa-apa, orang hanya tahu kalau dirinya adalah bos tempat di mana Dean bekerja."Maaf, Tante, aku menolaknya!" tolak Dean dengan tegas."Kenapa kamu menolaknya? Padahal tante gak bakalan nyuruh-nyuruh kamu kok, karena sebenarnya tante ini orang kaya, jualan kayak gini cuma mau ngabisin waktu doang!" bujuk wanita itu lagi."Maaf, Tante. Aku pun kayak gitu, di sini cuma bantu-bantuin aja, karena bosan di rumah dan juga mau deketin salah satu cewek cantik di sini," ucap Dean setengah berbisik kepada Tante itu.Sang tante malah tertawa mendengar hal itu. "Ternyata aku melakukan kesalahan, ya? Yaudah, kamu lanjutin aja mengejarnya, semoga berhasil!" Tante itu berkata dengan nada be
Haura menatap tajam kepada Caca yang sekarang terkejut atas kemunculan bosnya tersebut, wanita muda itu mengepalkan tangannya karena merasa marah kepada Dean.Caca tidak menyangka kalau bosnya itu akan datang kemari, padahal dia sengaja memilih tempat yang sepi untuk mengajak Dean jalan bersama dengannya."Aku gak nyangka, kalau biarkan orang yang kayak kamu itu akan berakibat fatal kayak gini. Padahal aku kira cuma perasaan iri saja, tapi ternyata lebih dari itu, ya!" Haura menatap tajam kepada Caca, bahkan wanita itu wajahnya memerah karena sedang menahan dirinya.Caca bergeming, dia tidak membela dirinya sama sekali."Kamu gak mau membela diri? Seperti membantah perkataanku sekarang?" Haura bersedekap dada, dia menunggu perkataan yang keluar dari mulut Caca.Sedangkan Caca, wanita itu merasa kalau percuma membela dirinya. Dia tahu kalau semua itu adalah hal yang sia-sia, lantaran ada seorang saksi yang melihatnya, andai tidak ada yang melihat, mungkin dia akan bisa membantah semua
Dean hanya memandangi Caca dari jauh saja, dia sangat tahu wanita seperti apa yang sekarang sedang dia pandangi sedari tadi. Karena Dean melihat kalau Caca sama sekali tidak menyesali apa yang diperbuat, malah wanita muda tersebut terkesan semakin membenci Mira."Aku suka cewek yang kayak gini, dinyalakan api dikit pasti meledak," kekeh Dean pelan.Dean memilih mendekati Caca, dia bersenandung kecil sambil menatap wanita tersebut.Sedangkan Caca terkejut melihat kedatangan Dean yang tiba-tiba. Dia segera beralih dari pintu yang terbuka sedikit, takut kalau lelaki itu akan mengatakan kepada Haura dirinya sedang mengintip."Kenapa gak diteruskan?" Dean menautkan kedua alisnya."Enggak papa," sahut Caca menunduk."Kamu takut aku ngadu?" tanya Dean lagi.Namun, Caca hanya diam saja tidak menyahut pertanyaan yang Dean lontarkan kepadanya."Aku enggak bakalan ngadu kok, tenang! Soalnya aku kurang suka juga sama si Mira, dia itu kayak orang yang cari perhatian aja," bisik Dean pelan di dekat
"Kamu mau nginap di sini? Nanti apa kata orang kalau aku bawa cowok masuk ke rumahku?!" Haura terkejut mendengar Dean mau menginap."Di sini gak akan ada yang peduli, kalau pun kamu bawa cowok menginap sepuluh orang," sahut Dean menjelaskan.Karena memang lingkungan mereka seperti itu, tidak ada yang peduli apa pun di lakukan oleh tetangga. Asal tidak mengganggu waktu tidur mereka, tidak ada yang keberatan. Itu semua lantaran mereka terlalu sibuk bekerja, jadi tidak ada waktu untuk mengurusi apa yang tetangga lakukan."Apa kamu gak nginap di rumah teman kamu aja?" tanya Haura lagi sambil menggaruk tengkuknya."Enggak bisa, hpku rusak." Dean menunjukan ponselnya yang layarnya pecah."Mobil kamu?""Mobilku ada di dalam rumah, kuncinya juga ada di sana. Kalau kamu gak mau aku nginap, gak papa! Aku akan jalan ke depan buat nyari taksi." Dean menunduk, dia sengaja menutupi wajahnya supaya Haura menjadi prihatin kepadanya.Haura mengigit jarinya, dia sekarang bingung mau membiarkan Dean men
Mau tidak mau Haura keluar dari sana, " maaf ya maaf." wanita itu keluar dengan menangkupkan kedua tangannya.Lalu Haura berlari kecil menuju di mana tempat Elisa berada.Saat sampai di sana Elisa menatap aura dengan tatapan terkejut, membuat wanita itu menjadi risih dan menundukkan kepalanya."Enggak cocok, ya, Ma?" Haura bertanya dengan kepala menunduk, merasa gelisah karena takut tidak sesuai apa yang Elisa inginkan.Elisa tersenyum memandang Haura, " cantik kok menantu mama," pujinya."Emang bener? Tapi kenapa rasanya risih," tanya Haura sambil memperhatikan pakaian yang dipakai."Enggak cantik kok, masa sih mama bohong sama kamu?" Elisa mendekati Haura.Setelah setelah meyakinkan Haura kalau wanita itu cocok mengenakan pakaian berwarna merah muda tersebut, mereka pun memilih pergi ke salon bersama untuk melakukan perawatan.Selama hampir seharian penuh kedua wanita tersebut baru memilih pulang. Mereka memilih membeli makanan matang, lantaran merasa lelah bahagia di luar rumah."A
Rangga dan Elisa terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dean, dengan cepat mengubah ekspresi wajah mereka kembali seperti biasa."Enggak masalah, semuanya bakalan baik-baik saja. Mama sama Papa bakal dukung apapun keputusan kalian." Elisa menggenggam jemari Haura dengan erat, memberikan kekuatan kepada sang menantu.Karena dia tahu betul perasaan Haura sekarang, sama seperti dirinya yang dulu mengetahui kalau kehamilannya sangat berisiko. Lantaran kandungan lemah, mungkin memang berbeda dengan kasus Haura. Namun tetap saja dirinya mengerti apa yang sekarang menantunya itu rasakan."Makasih, Mama dan Papa selalu dukung kami berdua." Haura membalas menggenggam erat jemari Elisa. " kalau begitu, gimana kalau kita pulang saja? Soalnya kan belum memasak buat makan pagi ini. Apalagi Papa sama Dean mau pergi bekerja," sambung Haura mengajak mereka semua untuk pulang."Mumpung udah di sini, gimana kalau kita makan di luar saja?" Elisa memandangi satu persatu ketiga orang yang berada di sam
Elisa sangat merasa bersalah melihat Haura yang terlihat sangat senang dia takut kalau semisalkan yang menanti itu tidak hamil sehingga dia mulai memikirkan kata yang tepat untuk mengatakan kepada Haura dengan pelan-pelan." Haura, coba kita periksa dulu ke rumah sakit. Biar tahu Hasilnya kayak gimana," Ucap Elisa dengan gelisah.Haura yang melihat Elisa gelisah membuat dia menganggukkan kepala. " Baiklah, Ma!""Kalau begitu memang bangun Papa dulu ya Sambil siap-siap kamu juga jangan lupa bangunin Dean supaya kita segera berangkat," ucap Elisa lalu pamit pergi ke kamar.Haura mengerti selalu segera menuju ke kamar untuk membangunkan sang suami, dia mengelus perutnya yang masih rata. Sambil terus berharap kalau di dalam perutnya itu ada bayi mungil yang bergerak-gerak di sana.Dengan penuh semangat Haura memilih membangunkan sang suami terlebih dahulu, dia mengguncangkan tubuh Dean perlahan." Dean, ayo bangun!" Haura mengguncangkan lagi tubuh dan secara perlahan." Ada apa, Haura? "
Tumpukan piring dan perkakas dapur yang kotor akibat Dean memasak di sana, belum lagi kompor terkena banyak noda. Sehingga membuat Haura jadi merasa terbakar, lantaran menahan amarah di dalam dada.Namun dirinya terpaksa menahan itu, lantaran ada kedua mertua sedang berada di sini, tidak ingin menunjukkan pertengkaran kepada Elisa dan Rangga. Haura pun memilih untuk menghembuskan napas secara perlahan, beeharap perasaan marah di dalam dada hilang."Dean, kamu seharusnya enggak usah masak. Bangunin aku aja kalau lapar," ucap Haura dengan menahan perasaan marah di dalam dada."Kamu kan lagi sakit, masa aku suruh masak?" Dean menatap bingung kepada Haura, merasa heran kepada wanita itu."Iya, benar kata Dean. Masa kamu lagi sakit disuruh masak, seharusnya Dean beli aja di luar," ucap Elisa menimpali.Elisa juga merasa sesak sekali dengan tumpukan yang berada di wastafel, ingin sekali dirinya memarahi sang anak. Namun karena Dean berniat baik, jadi untuk kali ini dia menahan perasaan kesa
Elisa langsung mendekati Dean untuk melihat apa yang terjadi, ternyata nasi yang dimasak lelaki tersebut menjadi bubur membuat dia menjadi tertawa dengan keras."Astaga, kok masak nasi aja malah jadi bubur?" Elisa tertawa dengan keras sambil memegangi perutnya yang terasa sakit."Hust, Ma! Haura lagi tidur di dalam kamar, nanti malah bangun," tegur Dean meminta kepada sang ibu untuk diam."Habisi, masak nasi aja sampai jadi bubur. Terus percaya diri banget masak, padahal ke dapur aja jarang," ejek Elisa yang tidak dapat menahan dirinya."Mau gimana lagi? Aku pengen masakin sesuatu buat Haura yang lagi sakit." Dean menundukkan kepalanya, merasa gagal ingin membuat sang istri terkesan."Kalau udah tahu enggak bisa masak, ya beli aja! Uang banyak kok, masa enggak mampu beli makanan matang," gerutu Elisa kesal, bisa-bisanya ingin memberikan makan menantunya dengan masakan tidak layak dimakan."Kalau beli makanan matang, buat apa aku capek-capek masak kayak gini? Tuh aku masakin dijamin en
Haura menganggukkan kepalanya, memang tubuhnya terasa tidak baik-baik saja sejak tadi malam."Sebaiknya kamu minum teh hangat dulu, makan walau sedikit agar minum obat dan cepat istirahat. Biar aku buatkan teh hangatnya dulu, kamu duduk aja di sana." Dean membuatkan segelas teh hangat untuk Haura.Sedangkan Haura terduduk lemas karena habis muntah tadi, rasanya dia kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri atau melakukan apa pun. Beberapa menit kemudian, Dean datang membawakan segelas teh hangat untuk sang istri."Minum dulu, lalu setelahnya makan, ya!" perintah Dean terlihat sangat khawatir."Aku enggak nafsu buat makan," tolak Haura dengan wajah pucat."Sedikit aja, biar bisa minum obatnya. Pokoknya setelah aku beli obat di apotik, kamu harus udah kelar makan!" Dean bergegas mengambil kunci mobilnya, lalu pergi keluar.Memang karena rumah masih baru sehari ditinggali, wajar saja tidak memiliki kotak obat seperti di rumah Elisa. Sayur dan ikan saja dibelikan sang mertua, jadi bagaimana
Dean dan Haura melakukan hal yang biasa para suami-istri lakukan dimalam hari, mereka sangat menikmati setiap kali berbagi kasih sayang di atas ranjang. Walau pun wanita cantik itu sering merasa was-was seiring berjalannya umur rumah tanggan mereka."Kok kamu murung, Haura?" Dean menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah Haura."Enggak papa, cuma capek aja sih. Yuk kita tidur, lagian ini udah malam juga!" ajak Haura yang langsung menarik selimutnya.Haura memejamkan mata yang terasa sangat sulit untuk diajak tidur, wanita itu menoleh ke arah belakang ternyata sang suami sudah tidur dengan nyenyak. Dia pun memilih menatap wajah Dean yang sedang tertidur tersebut, berharap akan ikut terlelap ke alam mimpi.***Bagun dipagi hari dengan perasaan senang di rumah sendiri, Haura berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Pertama yang Haura lakukan adalah memasak nasi, setelah itu baru membua kulkas yang tentu saja isinya penuh. Jangan tanya siapa yang memenuhi isi kulkas itu? Siapa
"Eh, iya!" Haura ikut memperhatikan Lilis yang sedang menggendong bayi kecilnya.Rangga tidak menjawab, tetapi memilih memarkirkan mobilnya ke halaman rumah yang akan dia beli untuk sang anak. Memang belum dibayar, namun sudah sepakat untuk membeli rumah itu sebagai hadiah pernikahan. Hanya saja kalau Haura tidak menyukainya terpaksa Rangga membatalkan niat membeli walau pun sudah diberikan uang dimuka kepada pemilik rumah."Ngapain kalian kemari?" Lilis menatap ketus kepada keluarga Dean.Namun belum sempat menjawab, Dika keluar dari dalam rumah tersebut menatap mereka semua dengan ramah."Eh, Om dan yang lainnya udah datang! Ayo masuk ke dalam, biar bisa lihat-lihat rumahnya." Dika mengarahkan semuanya untuk masuk ke dalam."Ngapain ajak mereka masuk? Nanti kotor lagi rumahnya!" Lilis menatap t4jam kepada Dika, lelaki yang baru satu bulan dia nikahi."Lilis! Mereka ini yang mau beli rumah, jadi bisa enggak ramah sedikit sama mereka!" Dika menekan setiap kalimat yang keluar dari mulu
"Eh, Dean baru datang?" Elisa hanya senyum-senyum menatap sang anak."Asyik ya, pagi-pagi udah gosip." Dean mendudukkan bokongnya di kursi dengan kasar.Haura mengambilkan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya untuk sang suami, lalu baru duduk kembali untuk menyantap makanannya."Mama enggak gosip loh, Dean. Soalnya kan istrimu nanti pasti tahu juga sama kebiasaanmu yang itu." Elisa tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan."Tapi enggak gitu juga loh, Ma!" Dean menatap tidak suka sang ibu, mau bagaimana pun rasanya sangat tidak suka kalau diceritakan aibnya kepada sang istri.Menurut Dean pasti Haura akan mengetahuinya pelan-pelan tentang kebiasaannya itu, jadi tidak perlu diceritakan kepada sang istri."Benar kata Dean, Ma. Mau gimana pun nanti Haura juga bakalan tahu, kasian kalau diceritain aibnya itu. Kalau papa juga pasti kesal loh," ucap Rangga menimpali."Iya-iya deh. Mama minta maaf, tapi kamu harus benerin kebiasaanmu itu. Udah nikah koh masih aja dandannya lama, e