Hg
"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.
Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.
Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.
Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.
Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaan selama tiga tahun terakhir.
"Nyonya, saya turut berduka cita. Tuan Armando adalah panutan kami," bisik Livia sambil memeluknya.
Shofia mengangguk dan balas memeluk Livia. Sekedar membalas rasa empati dan duka cita wanita muda itu.
"Kak, aku turut berduka. Aku minta maaf baru landing dari Batam jadi enggak bisa ikut ke Pemakaman San Diego Hills," ujar Shirei bergilir setelah Livia. Wanita itu adalah saudari iparnya.
"Enggak apa-apa, Shirei. Aku maklum kok dengan kesibukanmu. Kamu itu model papan atas," balas Shofia sambil tersenyum dipaksakan.
"Nyonya, mohon maaf. Bisa kita bicara?" tanya Livia pada Shofia. Wanita itu seperti menyimpan masalah yang cukup pelik dalam nada bicaranya.
Shofia yang paham langsung berpamitan dengan Shirei dan menggiring Livia menuju sebuah ruangan kosong di rumahnya.
"Nyonya, ini adalah berkas-berkas yang harus Tuan Armando tanda tangani segera. Bisakah saya meminta waktu Nyonya sebentar?" tanya Livia sambil memberikan setumpuk berkas yang dari tadi dijepit di lengannya.
"Livia, aku bukan direktur pengganti di perusahaan. Kenapa aku yang harus tanda tangan?" tanya Shofia terkejut.
"Eh ... anu, Nyonya. Tuan Armando pernah bilang, bahwa jika ada sesuatu terjadi padanya. Nyonyalah yang akan menggantikan Tuan Armando," kilah Livia.
"Baiklah, letakkan di meja situ saja. Nanti setelah kondisinya memungkinkan aku akan pelajari dulu berkasnya," ujar Shofia berhati-hati. Meski Livia adalah sekretaris Armando di kantor, tetapi ia tak bisa begitu saja menyetujuinya.
Setelah Livia menjauh. Shofia membuka berkas-berkas tersebut dengan hati-hati. Di bacanya satu per satu tumpukan kertas itu dengan teliti.
"Aneh! Kenapa secepat itu mereka meminta persetujuan untuk rapat pemegang saham?" desis Shofia keheranan. Baru saja siang tadi Om Bagaskoro menyinggung soal rapat pemegang saham dan tiba-tiba saja suratnya sudah ada di hadapan Shofia.
"Rahman, kau di mana? Datang ke ruang kerja suamiku sekarang juga!" panggil Shofia lewat telepon pintarnya.
"Saya segera ke ruangan anda, Nyonya," jawab Rahman patuh.
Tak berapa lama pintu ruangan tempat Shofia berada diketuk. Wanita itu menggenggam berkas di tangannya dengan erat. Entah kenapa ia merasa begitu ketakutan mendengar ketukan pintu tersebut. Sepertinya Rahman tidak akan tiba secepat itu.
"Shofia! Aku turut berduka cita atas meninggalnya kakakku. Aku tak menyangka kematiannya begitu tragis dan mendadak," ujar seorang pria sepantaran Shofia. Pria itu berjalan mendekatinya, hendak memeluk Shofia untuk menyampaikan belasungkawa.
Namun Shofia mengelak dan hanya menjabat tangan pria yang merupakan adik tiri suaminya itu. Shofia entah kenapa tak pernah nyaman dengan saudara seayah Armando tersebut.
Pria itu adalah Hyuga Wiraatmadja, saudara seayah dari Armando Wiraatmadja. Pria berusia 39 tahun yang selalu mengincar kedudukan Armando sebagai CEO Privat Imperium.
"Maaf, Hyuga. Aku sedang banyak sekali urusan," elak Shofia yang segera menjauhkan diri dari Hyuga. Ia tak ingin berlama-lama dengan pria itu.
Namun bukan Hyuga namanya kalau tidak bisa membuat Shofia berada dalam pelukannya. Dengan sekali sentakan, pria itu merengkuh Shofia dalam dekapannya. Hyuga memeluk tubuh Shofia erat sambil menyeringai jahat.
"Kau, tak akan bisa lolos dariku kali ini, Sayang!" bisik Hyuga sembari tersenyum sinis penuh arti.
"Hyuga! Kau jangan gila! Aku ini masih berstatus istri kakakmu, Armando!" tegas Shofia garang sambil berusaha melepaskan diri.
"Armando sudah mati berkalang tanah, Shofia. Tak ada lagi yang bisa menghalangiku menjadikanmu milikku!" bisik Hyuga jahat, tepat di telinga Shofia.
Kuncian kedua lengan Hyuga yang begitu erat membuat Shofia tak bisa berkutik. Wanita itu sudah hampir menangis diperlakukan tak sopan begitu oleh adik tiri suaminya tersebut.
Hyuga memang lelaki paling berengsek di muka bumi ini. Pria itu selalu saja menginginkan apa yang dimiliki Armando, baik jabatan sebagai CEO, maupun Shofia, kakak iparnya sendiri.
"Papa, Papa Hyuga di mana? Mama sudah menunggu kita di mobil!"
Sebuah teriakan yang cukup nyaring membuat Hyuga melepaskan dekapannya pada tubuh Shofia. Rupanya pria itu takut juga ketahuan, ketika hampir melecehkan Shofia.
Kriet! Pintu ruangan tempat Shofia dan Hyuga berada di buka perlahan. Tak lama menyembul kepala seorang bocah tiga belas tahun yang tengah mencari seseorang.
"Papa! Nah betul kata Tante Livia, Papa berada di sini rupanya," ujar bocah remaja itu bahagia.
"Hai, Fabian! Ada apa mencari Papa?" tanya Hyuga bertanya pada putra sulungnya itu.
Kesempatan untuk lepas dan menjauh dari Hyuga itu tak disia-siakan Shofia. Ia lalu bergegas mengambil jarak cukup jauh dari jangkauan Hyuga dan mendekati Fabian.
"Aku masih banyak urusan. Jadi permisi ya, Adik Ipar!" tegas Shofia penuh penekanan. "Oh iya, Fabian. Bawa papamu segera pulang, sepertinya dia agak mabuk!" lanjut Shofia kesal. Wanita itu bergegas melebarkan langkahnya agar bisa segera pergi dari tempat itu.
"Nyo-nyonya!" desis Rahman yang baru saja tiba. Ia menyapa Shofia dan berjalan beriringan dengan wanita yang kini menjadi majikannya itu.
"Kau kemana saja? Hampir aku celaka berjumpa Hyuga!" protes Shofia menegang.
"Maaf, Nyonya. Saya terlambat karena menanyakan berkas apa yang Livia berikan pada anda, Nyonya," jelas Rahmad pada Shofia.
"Jadi aku harus mengambil langkah apa?" tanya Shofia.
"Jangan tanda tangai berkas dan ambil keputusan apapun. Meski anda didesak, tetaplah bergeming dan ulur waktu sebisa mungkin," ujar Rahman memberi saran.
"Bagaimana dengan berkas-berkas yang ini?" tanya Shofia sambil menunjukkan semua berkas yang ada di tangannya pada Rahman.
Pria itu memeriksa dengan saksama semua berkas ditangan Shofia, lalu nampak berpikir keras, kemudian meremas berkas itu.
"Ini biar saya pegang dulu. Kita tunggu apa wasiat Tuan Armando yang dititipkan pada pengacaranya," lanjut Rahman.
Shofia mengangguk pada orang kepercayaan suaminya tersebut. Ketika wanita itu hendak menemui kolega-kolega suaminya di ruang tamu, ia melihat di taman samping rumah Cleo sedang bertengkar dengan seseorang.
"Ya Tuhan! Apa lagi ini?" desis Shofia.
"Sudah kubilang jangan ganggu aku! Siapa suruh kamu ganggu aku terus!" hardik Cleo emosi.
"Cleo! Cleo jangan mengacau di acara kematian Papimu, Nak," ujar Shofia langsung berlari memeluk Cleo yang sudah terlanjur emosi.
Rahman yang melihat itu langsung membantu Shofia untuk melerai. Ia meminta anak yang sedang berseteru dengan Cleo untuk pergi dan menajuh.
Sementara itu, Shofia masih sambil mendekap Cleo, menarik Putra sulungnya itu untuk menjauh dari keramaian.
"Ikut mami! Ada yang mau mami sampaikan pada anak-anak Mami!" bisik Shofia pada Cleo dengan nada sedikit mengancam.
NsbShofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius."Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya."Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sed
Jah"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga."Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal."Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan."Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga."Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu. Wanita itu hendak bangkit dan menying
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod
NkeShofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya."Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod
Jah"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga."Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal."Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan."Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga."Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu. Wanita itu hendak bangkit dan menying
NsbShofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius."Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya."Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sed
Hg"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaa
NkeShofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya."Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin