Jah
"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!
Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga.
"Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal.
"Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan.
"Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga.
"Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu.
Wanita itu hendak bangkit dan menyingkir, namun Hyuga menghalangi jalan Shofia untuk pergi.
"Jangan terburu-buru untuk pergi, Kakak Ipar. Kita bisa mengobrol dan membahas semuanya bersama. Kita bagi saja Imperium Enterprise menjadi empat. Kau, Aku, Om Bagas dan Om Prasojo. Bagaimana?" usul Hyuga sambil meletakkan tangannya di pundak Shofia.
Shofia yang risih menghempas tangan Hyuga kasar dan mencebik kesal. Ia kembali duduk dan pura-pura mempelajari berkas-berkas yang berada di tangannya. Shofia membaca beberapa baris dengan teliti. Namun konsentrasinya pecah oleh ulah Hyuga dan Om Bagaskoro.
"Tolong, terlalu banyak orang di ruangan ini. Aku tak bisa konsentrasi membaca berkasnya!" tegas Shofia mulai bermain peran.
"Jangan banyak alasan, Shofia. Tanda tangan saja dan urusan ini tidak akan lama dan berbelit seperti ini!" seru Om Bagaskoro emosi.
"Saya hanya menjalankan wasiat Mas Armando, Om Bagaskoro! Tolong, jika memang kalian ingin saya cepat bekerja, jangan terlalu banyak orang di sini!" tegas Shofia sambil memijit pelipisnya.
"Kalian pergilah dulu. Ini obrolan keluarga!" tegas Hyuga pada kedua pria yang bersama Om Bagaskoro.
Kedua pria yang tadinya bersama Om Bagaskoro mendesak Shofia lalu beringsut mundur dan pamit pergi. Mereka seolah segan dengan Hyuga yang terlihat begitu arogan.
Shofia bisa sedikit bernapas lega ketika Hyuga telah mengusir dua orang bawaan Om Bagaskoro itu. Ia lalu kembali fokus membaca berkas sementara Om Bagaskoro dan Hyuga duduk tenang di hadapannya.
Shofia berusaha keras untuk mengulur waktu. Ia berpikir dengan cara apalagi akan menolak permintaan kedua seteru suaminya itu untuk menandatangani proyek yang entah apakah diperlukan untuk kemajuan perusahaan atau tidak.
"Jadi bagaimana, Kakak Ipar? Kau setuju dengan usulku?" rayu Hyuga lagi.
Pria itu telah bangkit dari kursi tempat duduknya. Hyuga lalu bersandar di lengan kursi tempat duduk Shofia. Ia begitu intens ingin melakukan sentuhan fisik yang membuat Shofia risih.
"Aku baru beberapa menit membacanya, Hyuga. Semua belum selesai kupahami. Kalau kau terus bergerak dan mengacaukan konsentrasiku, bagaimana aku bisa menyelesaikannya segera?" protes Shofia kesal.
"Sudahlah, Shofia! Kubilang padamu, urusan tanda tangan ini sungguh tak akan sepelik ini andai kau percaya saja padaku! Kau ini terlalu berbelit-belit!" tegas Om Bagaskoro mulai hilang kesabaran.
"Sabarlah, Om. Kakak iparku ini butuh waktu untuk memahami. Bukan begitu, Shofia?" tanya Hyuga sambil menyentuh lengan mulus Shofia yang terbuka.
"Kalian mengobrol dulu saja, aku permisi menemui tamu-tamuku," elak Shofia berusaha menghilang dari kedua orang yang terkesan bermusuhan tetapi punya tujuan yang sama tersebut. Ia tak bisa lagi bertahan di situ karena Hyuga begitu membuatnya tak nyaman.
"Tunggu! Sebentar Kakak iparku tersayang. Ada urusan yang belum selesai!" seru Hyuga sambil menarik tangan Shofia.
Shofia terhuyung, tetapi masih sanggup mengendalikan tubuhnya agar tidak jatuh menimpa Hyuga. Ia tahu pria flamboyan itu akan selalu berusaha mengambil kesempatan darinya. Bagi Hyuga, Shofia tak ubahnya target yang sangat menarik untuk ditakhukkan.
"Jangan kurang ajar, Hyuga! Aku ini kakak iparmu!" tegas Shofia berkelit. Dalam sekali sentakan wanita itu menghempas tangan Hyuga.
Hyuga yang tak siap dengan serangan Shofia jadi jatuh terjerambab hingga terjengkang.
Om Bagaskoro hanya terkekeh melihat tingkah kurang ajar Hyuga. Pria itu sudah paham betul bagaimana kehidupan Hyuga selama ini.
"Tanda tanganilah kontrak ini Shofia. Dan aku akan memberimu lebih dari cukup untuk menikmati hidup," rayu Om Bagaskoro sekali lagi. Pria itu lebih lembut supaya Shofia tidak merasa tertekan.
"Saya tidak akan tanda tangan, Om. Sebelum pengacara Mas Armando datang membacakan wasiat!" tegas Shofia sambil bangkit dan beranjak pergi.
"Kau jangan serakah, Shofia! Aku tak akan melepaskan dirimu kalau kontrak ini sampai gagal!" sergah Om Bagaskoro begitu bernafsu. Ia mengejar Shofia yang hampir tiba diruang tamu untuk menyapa tamu-tamunya.
"Nyonya, anda memanggil saya?" tanya Rahman yang akhirnya berani muncul dan mencoba menyelamatkan Shofia.
"Ah, iya. Kebetulan ada yang ingin kudiskusikan denganmu, Rahman. Ayo ikut aku!" Shofia urung menyapa tamunya dan menarik tangan Rahman menuju ruang kerja suaminya.
"Jangan kabur dan terus menghindari kami, Shofia. Akan kupastikan jika kau tak kunjung membubuhkan tanda tangan terhadap kontrak ini, kau akan menyesal!" tegas Om Bagaskoro yang masih berusaha mengejar.
"Tunggu sebentar, Om. Saya akan mempelajari kontraknya dulu. Om Bagaskoro sabar saja, sambil kita menunggu pengacara Mas Armando," ujar Shofia segera menggandeng Rahman menuju ruang kerja Armando.
"Om Prasojo di mana? Mengapa pria itu belum juga terlihat di rumah duka. Aku membutuhkannya untuk menahan Om Bagaskoro agar tidak menyerangku terus-terusan!" seru Shofia pada Rahman.
"Saya juga sedang mencari beliau. Banyak pelayat yang menantikan Nyonya dan Tuan Prasojo untuk memberikan penjelasan," sahut Rahman yang seperti juga lelah menjawab pertanyaan dari beberapa pelayat.
Kematian Armando yang mendadak memang menyisahkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Pria itu adalah orang penting yang memegang jabatan strategis di sebuah perusahaan besar. Banyak yang mengincar jabatannya sebagai CEO di Privat Imperium.
Shofia memilih mengunci pintu ruang kerja Armando dan mulai menginterogasi Rahman tentang beberapa proyek yang tengah ditangani perusahaan Armando itu. Kali ini ia merasa perlu mengulik lebih dalam tentang semua urusan perusahaan yang diamanahkan suaminya itu.
"Proyek yang disampaikan Tuan Bagaskoro ini keduanya bermasalah, Nyonya. Tuan Armando memang sengaja menahannya untuk memeriksa ulang semua elemen di dalamnya. Jangan gegabah dan tetap tahan dulu sambil kita cari siapa yang bermain dan diuntungkan dari proyek ini," jelas Rahman.
"Lalu, bagaimana dengan pengacara suamiku? Sudah sampai di mana dia?" tanya Shofia yang mulai tak sabar menunggu.
"Pesawatnya masih belum berangkat, Nyonya. Kabar terbaru masih ada sedikit kendala di bandara Hang Nadim, Batam," sahut Rahman.
"Aku sudah tak tahu lagi bagaimana cara menahan Om Bagaskoro dan Hyuga. Bagaimana aku bisa menghindari mereka?" tanya Shofia mulai resah dan tak sabar.
"Hindari mereka berdua dengan tetap berada di tengah keramaian, Nyonya. Anda harus berada di tengah-tengah banyaknya pelayat agar mereka tak lagi punya alasan untuk mengobrol berdua," usul Rahman dengan ide cemerlang.
"Oke, kawal aku untuk terus berada di tengah-tengah para pelayat. Kau jangan jauh-jauh dariku! Aku banyak mendapat kesulitan jika kau tak ada di dekatku, Rahman!" protes Shofia.
Rahman hanya mengangguk setuju. Ia tahu, wanita itu berada pada kondisi sangat lemahnya saat ini. Seperti pesan mendiang Armando di hari-hari terakhirnya, Rahman memang harus membantu Shofia untuk bisa tegak berdiri dan tetap bertahan.
"Shofia, ada yang perlu aku bicarakan padamu terkait kematian Armando!" panggil sebuah suara yang cukup familiar di telinga Shofia. Siapa?
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod
NkeShofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya."Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin
Hg"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaa
NsbShofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius."Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya."Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sed
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod
Jah"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga."Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal."Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan."Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga."Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu. Wanita itu hendak bangkit dan menying
NsbShofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius."Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya."Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sed
Hg"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaa
NkeShofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya."Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin