Nsb
Shofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius.
"Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.
Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya.
"Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.
Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sedang bagaimana menata hati.
Kepergian Armando memanglah menyiratkan kedukaan yang mendalam di hati mereka semua. Kehilangan seorang kepala keluarga secara mendadak adalah pukulan berat yang mau tak mau harus mereka terima. Meski usia mereka masih sangat muda, mau tak mau kelima anak-anak Shofia dan Armando harus siap menghadapinya.
Sebuah ketukan pintu membuat semua mata dalam ruangan tertuju ke pintu. Paris bangkit dari duduknya, membuka kunci pintu dan melihat Milan tengah sesenggukan di dalam gendongan susternya.
"Mami! Papi!" tangis Milan pecah ketika mengambur dalam pelukan Shofia. Shofia lagi-lagi harus menenangkan putra-putrinya yang masih sangat terpukul dengan kematian Armando, sang super hero kesayangan keluarga.
Beban berat memang harus ditanggung Shofia, selain harus menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Wanita itu juga harus menghadapi orang-orang yang ingin merebut perusahaan yang dibesarkan dan diperjuangkan Armando selama ini.
***
Baru saja Milan yang sudah tenang, tertidur karena kecapaian menangis. Paris dan Laura masih duduk memandang jendela sementara Claudia terlihat menulis-nulis di notebooknya. Cleo yang sudah tenang sedang sibuk bermain game di telepon pintarnya. Sebuah ketukan pintu yang cukup kencang membuat Shofia dan seluruh penghuni kamar terkejut.
"Si-siapa?" tanya Paris. Putri kedua Shofia itu tengah bangkit dan kembali hendak membuka pintu.
"Sa-saya, Non. Apa Nyonya ada di dalam?" tanya suara yang seperti milik Bik Inah dari luar kamar.
Paris membukakan pintu dan Bik Inah terlihat ketakutan.
"Nyo-nyonya. Ada beberapa orang dari perusahaan Tuan Armando yang memaksa bertemu," jawab Bik Inah dengan nada suara bergetar.
"Si-siapa?" tanya Shofia dengan raut wajah agak ketakutan. Wanita itu bangkit dan bergegas keluar dari kamar anak-anaknya sebelum berpesan kepada mereka semua untuk tetap tenang.
"Ah, Shofia bersembunyi di mana kamu? Kami sudah terlalu lama menunggu! Sudah saatnya kita ambil keputusan untuk mengadakan rapat pemegang saham!" tegas Om Bagaskoro yang datang bersama segerombolan pria dengan tampang bengis yang menakutkan.
"A-ada apa, Om? Saya sedang bersama anak-anak. Rapat pemegang saham? Bukannya kita harus menunggu pengacara Mas Armando dulu, Om. Wasiat suami saya terkait perusahaan belum disampaikan. Kita tidak bisa begitu saja mengambil tindakan tanpa memperhatikan wasiat almarhum Mas Armando," elak Shofia mengulur waktu. Wanita itu sengaja melakukannya sesuai dengan instruksi dari Rahman sebelumnya.
"Itu terlalu lama dan berbelit-belit, Bu Shofia. Kami tak bisa menunggu selama itu. Proyek dan kegiatan harian perusahaan harus terus berjalan! Ada ribuan kepala yang bekerja di bawah kita dan harus diberi makan!" tegas salah satu pria. Dia adalah Hiro, direktur keuangan perusahaan.
"Kami tidak bisa menunggu lama, Bu Shofia. Proyek jaringan telekomunikasi di Sangata tidak bisa menunggu lama," imbuh pria lain yang Shofia tahu adalah salah satu manajer di perusahaan Armando.
Mereka bertiga seolah mendesak Shofia untuk segera menandatangani berkas-berkas yang dibawakan Livia padanya. Ada apa ini? Mengapa mereka seperti begitu terburu-buru?
Shofia berpikir keras untuk memberi jawaban yang dapat memberinya jeda waktu cukup lama untuk berpikir dan menunggu. Ia meraih telepon pintar dalam kantung dress hitam sepanjang betisnya.
[Berapa lama, pengacara suamiku akan tiba?]
Shofia mengirim pesan pada Rahman yang entah sedang berada di mana sekarang. Ia butuh asisten pribadi suaminya itu untuk membantu meredam orang-orang yang seperti berniat buruk terhadap perusahaan Armando ini
"Begini saja, Shofia! Kau ini kan hanya ibu rumah tangga dan sosialita. Serahkan saja perusahaan ini pada kami dan biarkan kami yang kelola. Kau akan dapat pembagian hasil yang cukup besar untuk membiayai anak-anak juga gaya hidup mewahmu!" tegas Om Bagaskoro merendahkan kemampuan Shofia.
Kedua pria yang dibawanya hanya menunduk meski Shofia tahu mereka sedang tersenyum sinis. Wanita itu membuang muka, muak melihat orang-orang yang hanya merong-rong perusahaan Amrando seperti ini.
"Masalahnya bukan begitu, Om. Mas Armando berwasiat sebelum meninggal, bahwa saya harus menunggu wasiatnya dibacakan dahulu sebelum mengambil keputusan," elak Shofia mencoba bertahan.
"Sudah, jangan berbelit-belit Shofia. Kalau kau tak mau mengadakan rapat pemegang saham. Tanda tangani saja berkas-berkas persetujuan proyek telekomunikasi di Sangata dan Natuna!" tegas Om Bagaskoro mulai emosi. Pria itu sepertinya akan mulai mengancam Shofia menuruti permintaannya.
"Sebaiknya memang begitu Ibu Sofia. Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi," imbuh Hiro ikut mendesak.
"Ah, tunggu sebentar. Saya lupa di mana saya meletakkan dokumen-dokumen yang dibawa Livia tadi. Sebentar saya akan ...."
"Tak usah berusaha kabur, Shofia! Ini anak buahku sudah membawakan semua berkas salinannya untuk kau tanda tangani!" potong Om Bagaskoro sambil menahan Shofia yang berniat kabur sejenak dari mereka.
Shofia yang merasa putus asa, tak tahu lagi harus bagaimana berkelit. Wanita itu dengan gemetar membaca satu per satu berkas dari tangan manajer di perusahaan Armando tersebut.
[Pengacara Tuan Armando sedang di Batam untuk menyelesaikan kasus lain, Nyonya. Baru malam ini ia akan bertolak ke Jakarta. Nyonya ulur saja waktunya lagi. Coba menghindar saja dari mereka]
Rahman membalas pesan Shofia tetapi tidak memberi solusi atas permasalah yang tengah dihadapi janda kaya tersebut.
"Bagaimana, Bu Shofia? Kami betul-betul terdesak dan tidak punya banyak waktu. Jika hari ini tidak juga ada keputusan kemungkinan kita akan kehilangan proyek ini," desak Hiro mulai berani membuat Shofia semakin terjepit.
"Sebentar, saya butuh ketenangan untuk mempelajari beberapa saat kontraknya," jawab Shofia berkeringat dingin.
Selama ini, wanita itu tidak pernah dipusingkan dengan urusan kontrak dan pekerjaan yang rumit. Bagaimana ia harus menghadapi semua ini yang begitu mendadak? Armando meninggal dengan menempatkannya pada posisi sulit.
"Sudah! Tanda tangan saja Shofia! Jika semuanya berjalan lancar, aku akan memberikan bagian keuntungan yang cukup besar untukmu. Ayolah!" Om Bagaskoro sudah menyelipkan pulpen tinta mahalnya di antara jemari Shofia. Ia meremas jemari Shofia agar segera menandatangani berkas-berkasnya.
"Ya Tuhan! Aku harus bagaimana?" batin Shofia ketakutan. Manusia-manusia licik ini sungguh sangat mengintimidasi dan membuatnya kesulitan bernapas.
Jah"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga."Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal."Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan."Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga."Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu. Wanita itu hendak bangkit dan menying
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod
NkeShofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya."Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin
Hg"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaa