Nke
Shofia menahan air matanya melihat peti mati terbuat dari kayu jati terbaik dengan ukiran mewah itu diletakkan dengan sangat hati-hati dalam liang lahat. Wanita itu sempat menitikkan air matanya, namun tak ingin menunjukkan sehingga terlihat penuh drama. Hanya membiarkan satu dua bulir menetes di balik kacamata hitam merk ternama yang tengah bertengger di wajahnya.
"Selamat jalan, Sayang. Bawalah jiwaku pergi bersamamu. Ragaku di bumi, tapi hati dan jiwaku ikut terkubur bersama jenazahmu," desis Sofia lirih bersama helaan napas berat yang terhembus dari hidungnya.
Sedih dan duka memenuhi hatinya. Membuat Shofia merasa sesak napas dan berkali-kali harus memukul dadanya pernahan untuk menenangkan diri.
Langit di Taman Pemakaman San Diego Hills (San Diego Hills Memorial Park) nampak mendung, semendung hati Shofia yang tengah dirundung duka. Upacara pemakaman Armando, suami Shofia, berlangsung sangat khidmat lagi sakral. Dengan dipimpin seorang ustaz kenamaan tanah air, prosesi pemakaman itu dilaksanakan penuh haru dan syahdu.
Air mata Shofia tak henti menetes, ingin rasanya ia menangis meraung-raung dan mendekap erat nisan Armando. Namun tak boleh dilakukan sebab ia tak boleh terlihat begitu terpuruk dan lemah.
"Sabarlah, Fia. Armando telah tenang di alam sana. Kau harus kuat demi anak-anakmu," bisik beberapa orang sanak kerabat yang ikut dalam upacara pemakaman. Mereka menyampaikan bela sungkawanya untuk pria yang selama hidup mendedikasikan diri membangun Privat Imperium itu. Sebuah kerajaan bisnis yang bergerak dibidang broadcasting dan telekomunikasi tersebut.
Shofia sekali-kali hanya mengangguk dan tersenyum dipaksakan. Ia masih menata hatinya untuk menguatkan diri. Pukulan ini begitu berat. Kematian suaminya secara mendadak dan tiba-tiba, adalah sebuah takdir yang sama sekali tak dinyana oleh perempuan tiga puluh delapan tahun tersebut.
"Aku turut berduka, Fia. Armando adalah seorang CEO yang luar biasa," ujar Om Prasojo. Beliau adalah paman yang menjadi orang kepercayaan Armando. Bungsu dari lima bersaudara kerabat almarhum Pak Santoso yang menjadi mertua Shofia.
Shofia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk dengan menahan air mata. Ia menjabat erat tangan Om Prasojo dengan maksud ingin dikuatkan.
"Setelah ini kita harus memikirkan siapa penerus yang akan menggantikan Armando," sahut Om Bagaskoro. Pria ini juga masih saudara Pak Santoso, putra kedua, adik dari Pak Santoso dan kakak dari Om Prasojo.
Shofia sudah merasakan sebuah muatan kepentingan yang kental atas kerajaan bisnis yang dikelola suaminya dalam kalimat Om Bagaskoro tersebut. Wanita itu menatap sinis Om Bagaskoro dari balik kaca mata hitamnya. Namun masih bisa mengulas senyum tipis untuk sekedar berbasa basi.
Setelah proses pemakaman selesai, satu per satu pelayat meninggalkan area pemakaman elit tersebut. Sebuah tanah pemakaman yang diperuntukkan khusus bagi kalangan berduit untuk dikebumikan di sana. Harga satu kafling di sana adalah setara DP perumahan sederhana di pinggiran kota.
"Aku pesankan satu tempat khusus di sini untukmu, Sayang. Satu lagi untukku nanti, supaya jika sampai di ujung waktuku, kita bisa bersama dan berdampingan," desis Shofia sambil menggenggam erat batu nisan Armando. Ia memang telah memesan batu nisan terbaik dari pualam untuk menandai kuburan orang terkasihnya itu.
Bagi Shofia semua itu adalah bentuk perhatian dan cinta yang mendalam pada jenazah Armando, pria yang telah lima belas tahun membersamainya. Pria yang telah membuatnya merasa menjadi wanita paling sempurna dan bahagia di muka bumi ini.
"Nyonya, sudah saatnya kita pulang sekarang. Anda harus menemui pelayat yang datang di dome, juga segera membubarkannya agar kita bisa bertolak ke rumah duka," ujar Rahman, asisten pribadi Armando yang sekarang menjadi asisten pribadi Shofia.
Wanita yang baru saja menjadi janda itu bangkit dari duduknya. Sedikit oleng karena memang sejak kejadian suaminya meninggal sebab sebuah serangan jantung mendadak, ia tidak tidur juga tak masuk makanan apapun. Wanita itu terlalu kaget hingga tubuhnya tak mengeluarkan signal lapar maupun mengantuk.
"Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya Rahman khawatir. Ia menahan tubuh Shofia agar tetap bisa berdiri tegak.
Shofia hanya mengangguk, dengan seulas senyum tipis tersungging di wajah sendunya.
Bersama beberapa pelayat terakhir, Shofia meninggalkan area pemakaman elit tersebut. Ia masuk dalam mobil setelah beramah tamah dengan pelayat yang masih tersisa di dome. Dome di San Diego Hills Memorial Park adalah sebuah bangunan untuk menerima pelayat yang datang ke langsung ke tempat itu menyampaikan duka cita dan bela sungkawanya. Sesaat kemudian Shofia meluncur dengan mobil SUV seharga sembilan digit itu meninggalkan komplek pemakaman.
Menjadi kuat dan tegar adalah pilihan terakhir Shofia. Ia tak boleh lemah, tak boleh menangis apalagi meratap. Ada banyak kepala yang harus ditegarkan mengahadapi gelombang duka kematian seorang Armando Wiraatamdja.
Sebuah panggilan masuk terdengar dari telepon pintar milik Rahman. Pria itu segera mengangkatnya dan menyalakan speaker.
"Pak! Apakah proses pemakaman Tuan Armando sudah selesai? Ada permintaan dari Tuan Bagaskoro untuk segera menjadwalkan rapat pemegang saham," ujar Livia. Ia adalah sekretaris Armando yang menangani urusan surat-menyurat dan agenda meeting di kantornya.
"Sampaikan pada Tuan Bagaskoro, Nyonya Shofia masih berduka. Segala bentuk permintaan akan kita jadwalkan setelah Nyonya Shofia siap mengambil kendali sementara perusahaan!" tegas Rahman yang kemudian langsung mematikan panggilan.
"Jam berapa kita akan tiba di Jakarta?" tanya Shofia pada Rahman yang duduk di samping sopir. Wanita itu terlihat tak suka mendengar obrolan pria itu dengan orang sebelumnya di telepon.
"Kalau tidak macet hanya sekitar 40-60 menit saja, Nyonya," jelas Rahman. "Anda harus bersiap, Nyonya. Di rumah duka anda akan berjumpa dengan kolega Tuan Armando. Mereka adalah para pemegang saham di perusahaan," lanjut Rahman lagi.
"Siapa? Yang paling bernafsu menggantikan suamiku di perusahaan selain Om Bagaskoro dan kroni-kroninya? Apa motifnya? Lalu bagaimana hubungannya selama ini dengan suamiku?" tanya Shofia seperti sudah paham.
"Nanti akan saya jelaskan satu per satu. Ini, Nyonya bisa pelajari dari Berkas-berkas ini siapa saja mereka. Sebagian besar mungkin sudah anda kenal, Nyonya. Mereka sering hadir di acara gala dinner yang kita adalakan setiap akhir bulan," jelas Rahman sambil memberikan sebuah map berisi beberapa lembar kertas kepada Shofia.
Dengan wajah lelah Shofia memeriksa semua berkas-berkas yang diberikan Rahman. Ia membaca dan meneliti dengan saksama. Semua orang, detil keterangan tentang mereka dan segala hal yang diperlukan sebagai bekal untuknya sebelum tiba di rumah duka.
Sambil membaca dan meneliti, ingatan Shofia melayang pada kenangan malam terakhirnya dengan Armando. Malam sebelum kejadian meninggalnya Armando terkena serangan jantung saat tengah tertidur bersama Shofia.
"Mami, aku ingin ketemu Papi! Aku ingin melihat Papi sebelum tidur," rengek Milan sambil mengetuk pintu kamar utama malam itu. Entah mengapa bocah tiga tahun itu terus saja bergelayut manja pada Armando sejak pria itu pulang dari kantor.
"Apa sih, Milan? Ini sudah malam! Kamu harus segera tidur dengan kakakmu di kamar kalian," tegas Shofia. Ia bergegas menggendong Milan yang terus merengek minta bersama papinya.
"Ada apa? Milan mau tidur sama Papi? Sini, biarlah untuk malam ini Milan tidur sama kita, Sayang," rayu Armando pada istrinya.
"Ish, kamu ini selalu aja memanjakan anak-anak, Sayang. Kalau begini, Milan tidak akan belajar mandiri dengan tidur sekamar dengan Cleo," protes Shofia sedikit kesal.
"Tak apa, khusus malam ini tak mengapa. Sini Milan, tidur sama papi," ujar Armando.
Milan merangkak naik ke atas kasur dan tidur meringkuk dalam peluk sang Papi. Shofia terisak manakala mengingat manis kehangatan sang suami terhadap putra-putri mereka. Pria itu memang sungguh sosok suami idaman.
Sayangnya malam itu tepat pukul satu dini hari, ia menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang akan mengubah hidup Shofia menjadi 180° berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?
Hg"Nyonya, kita sudah sampai," bisik Rahman sambil beberapa kali mengguncang tubuh Shofia yang terlelap di bangku belakang.Wanita itu sempat tertidur sejenak selama perjalanan Karawang-Bekasi. Kelelahan memang terpancar jelas di kantung mata Shofia yang mulai menghitam.Setelah terbangun Shofia segera merapikan penampilannya. Ia pulaskan lipstick warna pink tipis di bibir dan tulang pipinya. Disapukannya pula bedak tipis di kulit wajahnya yang halus bagai pualam itu.Meski berduka dan lelah, Shofia tetap harus tampil segar di hadapan para kolega suaminya. Meski tepuruk, seluruh dunia tak boleh tahu bahwa separuh jiwanya telah pergi bersama Armando ke alam lain. Terkubur dalam liang lahat suami terkasihnya itu di komplek pemakaman San Diego Hills.Setelah mengenakan kacamata hitam dan penutup kepala sekenanya, Shofia melangkah keluar dari mobil SUV yang membawanya. Ia langsung disambut Livia, sekretaris Armando di perusahaa
NsbShofia terus saja menyeret Cleo, putra sulungnya, hingga berada di salah satu kamar saudara-saudaranya. Di sana ia mengumpulkan putra-putrinya untuk berbicara serius."Cleo, jagalah sikapmu. Saat ini Papi sudah meninggal, akan ada banyak perubahan di keluarga kita! Mami minta tolong kamu redam emosimu dan mulai belajarlah jadi lelaki tangguh," ujar Shofia pada Cleo.Cleo bedecap kesal, gejolak jiwa mudanya membuat remaja lima belas tahun itu merasa tak suka harus berdiam diri, jika egonya direndahkan. Ia melepaskan diri dari Shofia dan membanting tubuhnya di salah satu ranjang milik saudarinya."Mami! Mami aku ... belum bisa menghilangkan kesedihanku soal kepergian Papi," isak Laura sambil berlari menubruk tubuh Shofia. Gadis muda itu sesenggukan dalam pelukan ibunya.Masih ada Paris dan Claudia yang terlihat tengah duduk tenang memandang jendela meski raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Keduanya entah sed
Jah"Oh, rupanya di sini Om Bagaskoro! Aku nyariin Om kemana-mana loh! Kok bisa udah merayu Shofia di sini." Sebuah suara yang sangat mereka kenal masuk ke ruangan dengan agak tergesa-gesa. Hyuga!Shofia menjatuhkan pulpen mahal milik Om Bagaskoro ke lantai. Ia sengaja berakting terkejut hingga menjatuhkan benda itu saat melihat kedatangan Hyuga."Ah, pria mesum yang suka menggoda wanita datang. Kau mengganguku saja, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro kesal."Om ini apa-apaan. Kakakku baru saja meninggal, masa sudah mau minta pembagian warisan!" sindir Hyuga dengan bibir mengulas seringai yang mengerikan."Jangan bertingkah! Kau juga menginginkannya, Hyuga!" tegas Om Bagaskoro emosi melihat tingkah Hyuga."Ah kebetulan kalian ada di sini. Kalian biasa mengobrol dulu sementara aku akan mempelajari proposal ini," sahut Shofia merasa punya kesempatan untuk mengulur waktu. Wanita itu hendak bangkit dan menying
JahShofia segera membukakan pintu ruang kerja suaminya dan menemukan seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu berwajah teduh dan kebapakan yang telah dinantinya sedari tadi."Om Prasodjo, ke mana saja? Mengapa baru tiba di rumah duka?" tanya Shofia sambil mempersilahkan pria itu masuk."Maafkan aku, Shofia. Ban mobilku tadi bocor di jalan," jelas Om Prasodjo. Pria itu mengambil duduk di sebuah sofa panjang di ruangan tersebut. Ia nampak kelelahan dan wajahnya begitu kusut.Rahman dengan cekatan menyiapkan minuman untuk pria itu. Segelas teh hangat dengan aroma cengkeh yang ditempatkan dalam sebuah cangkir keramik mahal. Disuguhkannya minuman hangat dengan uap teh yang masih mengepul tersebut."Terima kasih, Man," ujar Om Prasodjo sambil menyesap minuman hangat kesukaannya tersebut.Rahman hanya tersenyum hormat membalas ucapan terima kasih Om Prasodjo."Om, bukannya mobil Om Prasod