Saat perpendaran api hasil pertemuan dua senjata tajam muncul sekelebat bayangan menerjang Jagat sambil menghunus pedang panjang. Jagat termundur beberapa langkah, lalu segera berusaha menetralkan jalan napasnya untuk menyambut serangan susulan dari bayangan tersebut yang dia perkirakan adalah gurunya sendiri. Dengan gesit Jagat melawan semua serangan dari sang guru yang tiada henti. Bahkan untuk memperpanjang napas saja rasanya begitu sulit. Namun, dengan segala usaha pemuda itu berhasil merapal ilmu inti bumi tahap akhir. Melihat perkembangan jurus dari Jagat membuat Singolangit tersenyum dan mempercepat gerak serangannya hingga hanya seberkas cahaya yang tampak oleh mata telanjang. Apa yang dilakukan oleh gurunya tidak membuatnya gentar, justru hal itu menambah daya juang Jagat. Jurus demi jurus mengalir tanpa bisa dibendung hingga terdengar suara tulang bergeser. Untuk sesaat Jagat terpaku di udara, dia merasa perbedaan pada susunan sumsum pada tulang belakang. Aliran hawa pa
"Buat apa kau rayu muridku, Wedari?" Suara bariton penuh tenaga menggema di sekitar ketiga manusia yang berdiri di pinggir jurang. Akibat suara tersebut hampir saja membuat Wedari melayang masuk jurang. Bukan hanya suaranya yang membawa kekuatan tetapi angin yang ditimbulkan saat kedua kaki rentanya menapak di tanah. Tatapan tajam tertuju pada Wedari, dia seakan ingin melumat habis tubuh wanita ayu tersebut. Namun, justru senyum manis disunggingkan oleh Wedari. Abimana menoleh ke arah datangnya suara, tubuhnya langsung membungkuk kala dilihatnya sosok sang guru besar padepokan. "Guru!""Bopo!" ucap Jantaka bersamaan dengan Abimana. Sementara Wedari masih mengulas senyum tipis sambil membusungkan dadanya. Jantaka mendelik melihat sikap wanita tersebut yang terbilang berani dan nakal. "Bagaimana kabarmu, Begawanku?" tanya Wedari dengan nada menggoda. Kalimat yang terlontar dengan nada lembut dan manja mampu membuat kedua pemuda melongo. Bahkan, muncul sebuah pertanyaan yang sama d
"Jadi siapa sosok itu, Ibunda?""Siluman Rubah. Dia lah sang penebar cinta sesaat." Setiaki menjawab dengan nada kesal dan geram. Jantaka menoleh pada ibunya dan sangat jelas terlihat mata penuh dendam dan kecewa menyatu dalam manik mata Setiaki. Jantaka sedikit mengerti arah pembicaraan sang ibu, dia pun mengulas senyum lalu menggeser tubuhnya memdekat pada Setiaki. Dengan penuh kasih, Jantaka memeluk ibunya dan berkata, "Sudah lupakan semua kisah silam, Bunda. Jantaka tidak ada perjanjian dengan wanita itu."Mendengar deretan kata yang dilontarkan putranya membuat Setiaki bernapas lega. Wanita itu membalas pelukan putranya dan berbisik, "Bunda tidak ingin kau jadi pemuas nafsu wanita laknat itu!""Apakah ada kisah antara bopo dengan wanita itu, Bunda?" "Tidak." jawab Setiaki sambil memalingkan pandangannya melihat tempat lain. Jantaka meraih kedua bahu ibunya dan menariknya agar bisa dia tatap manik mata Setiaki. Namun, wanita itu menolak dengan halus. Jantaka tidak ingin memaks
"Aku inginkan jantung pria itu, Pangeran. Namun, sebelumnya aku juga inginkan kehangatan malam ini bersamamu. Bagaimana?"Abimana membeliak kaget, apa yang dikatakan oleh Wedari yang terakhir begitu mengoyak pertahanan yang dia bangun sejak tadi. Apalagi jari jemari perempuan siluman tidak berhenti bergerak memancing pada daerah sensitif tubuhnya. Abimana berulang kali menarik napas panjang seolah dia sedang kehabisan stok udara dalam tubuh. Wedari menyadari situasi yang dirasakan oleh lelaki incarannya, tetapi dia tidak mengindahkan geraman Abimana. Wanita siluman itu justru makin gencar memberi sentuhan sensualnya. "Bagaimana, Pangeran?""Jika apa yang kau inginkan terjadi, maka kujang itu milikku!"Tanpa menjawab kalimat Abimana, wanita itu bergerak cepat. Tubuhnya meliuk di atas tubuh sang lelaki yang sudah direbahkannya dengan paksaan lembut. Mau tidak mau akhirnya Abimana mengikuti setiap gerakan sang wanita. Desahan dan lenguhan berulang kali lolos dari mulut Abimana membuat
Jagat terdiam, dia terlihat berpikir serius. Lalu pemuda itu menggelengkan kepala, itu membuktikan bahwa Jagat masih belum paham dengan semua itu. "Makanya jangan banyak minum air garam, lebih baik seringlah minum air danau itu!""Apa hubungannya, Guru?"Singolangit tertawa lagi hingga memegang perutnya yang mulai bergoyang, "Biar otakmu sedikit encer, Pangeran!" kata Singolangit di tengah tawanya. Jagat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu dia berjalan mendekat pada harimau yang duduk dengan menangkupkan kepalanya di sela kaki depannya. Tangan Jagat mengusap puncak kepala sang harimau hingga punggung membuat hewan itu menggeliat. "Tiga hari lagi bulan purnama, siapkan sumber daya yang kamu miliki sebelum rohku menghilang!""Baik, Guru!"Singolangit seketika melesat meninggalkan Jagat yang masih berdiri termangu. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan kenyataan yang ada dan memikirkan apa hubungan air garam dengan cara berpikirnya. Setelah beberapa saat, terasa angin berti
Jagat sudah duduk di pusat lempengan batu dekat Ranu Kumbolo. Pemuda itu juga menyiapkan dua kendi besar yang berisi tuak kuno yang berhasil didapatnya di kedai penduduk sekitar. Meskipun harga tuak tersebut mampu menggoyang kantong pundi emasnya dia tidak peduli. Jagat hanya inginkan yang terbaik di saat akhir hidup gurunya. Dalam hati pemuda itu ingin agar hidup gurunya bisa lebih lama lagi hingga bisa melihatnya merebut semua yang seharusnya jadi miliknya. Namun, Jagat sadar akan garis takdir yang sudah disuratkan. "Sepertinya malam ini akan penuh drama. Mampukan aku menghadapi dunia persilatan yang penuh dengan kepalsuan?""Sebagai orang terpilih, kau pasti bisa, Pangeran!""Guru."Singolangit berjalan menuju ke lempengan hitam tempat mereka sering berlatih bersama. Sepanjang jalan menuju ke tempat Jagat, senyum pria buncit itu selalu hadir. Namun, jiwa Jagat seakan tinggal separuh. Pemuda itu tidak berani membayangkan nasibnya ke depan tanpa bimbingan sang guru. "Jangan terla
Pagi menyapa, Jagat masih berdiri terdiam sejak tawa gurunya menghilang. Pemuda itu masih tidak percaya akan peristiwa semalam, bagaimana bisa sosok sebesar itu seketika hilang tanpa bekas. Bahkan abunya tidak terlihat. Semalaman Jagat menyisir tempat sekitar hanya untuk mencari jasad ataupun abu gurunya. Namun, jangankan jasad abunya saja tidak ada. Sensor tubuh Jagat sama sekali tidak merasa adanya sisa aura yang menguar. "Harus bagaimana aku bersikap atas hilangnya jasad dan abumu, Guru?" gumam Jagat sambil menatap langit biru. Semburat jingga di ufuk timur membuat Jagat mulai sadar jika pagi sudah datang. Dengan segera pemuda itu berjalan menuju ke gubug bambu yang selama ini dia huni bersama gurunya. Seminggu kakinya tidak menjejak tanah dalam gubug membuatnya merasa kangen. Pandangannya menyapu seluruh ruang depan gubug, berharap masih ada sesuatu yang ditinggalkan oleh gurunya. Sekali lagi helaan napas kecewa lolos dari bibirnya. Jagat begitu kecewa dengan dirinya sendiri
Jagat terpental cukup jauh, perlahan fia bangkit sambil berpegangan pada ranting pohon yang kebetulan ikut patah. Pemuda itu diam melihat pada formasi yang digunakan oleh Kalawaja. Pria yang terlihat lebih tua darinya itu tersenyum sinis seakan meremehkan kekuatan Jagat. Kalawaja masih terus menatap tajam pada sosok Jagat yang terlihat kelelahan menghadapi serangan mereka dengan formasi bintang. Namun, bagi Jagat apa yang dia keluarkan sejak awal bukanlah kekuatan penuh. "Bagaimana, apakah kamu masih ingin bertarung, Pria Ayu?" tanya Kalawaja. "Apa yang aku lakukan belum maksimal, Kalawaja. Ini baru permulaan," jawab Jagat. "Cuih! Majulah!"Jagat tidak memedulikan kalimat Kalawaja yang cenderung memancing emosinya. Pemuda itu masih berusaha berdiri tegak meski ada sesak dirasakan pada saat ambil napas. Karena hal itu, Jagat mulai menata lagi jalan napasnya. "Rupanya pri ini bukan sembarangan. Ini masih jauh dari Pegunungan Wilis," gumam Jagat sambil mengedarkan pandangannya. "Ap