Jagat terdiam, dia terlihat berpikir serius. Lalu pemuda itu menggelengkan kepala, itu membuktikan bahwa Jagat masih belum paham dengan semua itu. "Makanya jangan banyak minum air garam, lebih baik seringlah minum air danau itu!""Apa hubungannya, Guru?"Singolangit tertawa lagi hingga memegang perutnya yang mulai bergoyang, "Biar otakmu sedikit encer, Pangeran!" kata Singolangit di tengah tawanya. Jagat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu dia berjalan mendekat pada harimau yang duduk dengan menangkupkan kepalanya di sela kaki depannya. Tangan Jagat mengusap puncak kepala sang harimau hingga punggung membuat hewan itu menggeliat. "Tiga hari lagi bulan purnama, siapkan sumber daya yang kamu miliki sebelum rohku menghilang!""Baik, Guru!"Singolangit seketika melesat meninggalkan Jagat yang masih berdiri termangu. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan kenyataan yang ada dan memikirkan apa hubungan air garam dengan cara berpikirnya. Setelah beberapa saat, terasa angin berti
Jagat sudah duduk di pusat lempengan batu dekat Ranu Kumbolo. Pemuda itu juga menyiapkan dua kendi besar yang berisi tuak kuno yang berhasil didapatnya di kedai penduduk sekitar. Meskipun harga tuak tersebut mampu menggoyang kantong pundi emasnya dia tidak peduli. Jagat hanya inginkan yang terbaik di saat akhir hidup gurunya. Dalam hati pemuda itu ingin agar hidup gurunya bisa lebih lama lagi hingga bisa melihatnya merebut semua yang seharusnya jadi miliknya. Namun, Jagat sadar akan garis takdir yang sudah disuratkan. "Sepertinya malam ini akan penuh drama. Mampukan aku menghadapi dunia persilatan yang penuh dengan kepalsuan?""Sebagai orang terpilih, kau pasti bisa, Pangeran!""Guru."Singolangit berjalan menuju ke lempengan hitam tempat mereka sering berlatih bersama. Sepanjang jalan menuju ke tempat Jagat, senyum pria buncit itu selalu hadir. Namun, jiwa Jagat seakan tinggal separuh. Pemuda itu tidak berani membayangkan nasibnya ke depan tanpa bimbingan sang guru. "Jangan terla
Pagi menyapa, Jagat masih berdiri terdiam sejak tawa gurunya menghilang. Pemuda itu masih tidak percaya akan peristiwa semalam, bagaimana bisa sosok sebesar itu seketika hilang tanpa bekas. Bahkan abunya tidak terlihat. Semalaman Jagat menyisir tempat sekitar hanya untuk mencari jasad ataupun abu gurunya. Namun, jangankan jasad abunya saja tidak ada. Sensor tubuh Jagat sama sekali tidak merasa adanya sisa aura yang menguar. "Harus bagaimana aku bersikap atas hilangnya jasad dan abumu, Guru?" gumam Jagat sambil menatap langit biru. Semburat jingga di ufuk timur membuat Jagat mulai sadar jika pagi sudah datang. Dengan segera pemuda itu berjalan menuju ke gubug bambu yang selama ini dia huni bersama gurunya. Seminggu kakinya tidak menjejak tanah dalam gubug membuatnya merasa kangen. Pandangannya menyapu seluruh ruang depan gubug, berharap masih ada sesuatu yang ditinggalkan oleh gurunya. Sekali lagi helaan napas kecewa lolos dari bibirnya. Jagat begitu kecewa dengan dirinya sendiri
Jagat terpental cukup jauh, perlahan fia bangkit sambil berpegangan pada ranting pohon yang kebetulan ikut patah. Pemuda itu diam melihat pada formasi yang digunakan oleh Kalawaja. Pria yang terlihat lebih tua darinya itu tersenyum sinis seakan meremehkan kekuatan Jagat. Kalawaja masih terus menatap tajam pada sosok Jagat yang terlihat kelelahan menghadapi serangan mereka dengan formasi bintang. Namun, bagi Jagat apa yang dia keluarkan sejak awal bukanlah kekuatan penuh. "Bagaimana, apakah kamu masih ingin bertarung, Pria Ayu?" tanya Kalawaja. "Apa yang aku lakukan belum maksimal, Kalawaja. Ini baru permulaan," jawab Jagat. "Cuih! Majulah!"Jagat tidak memedulikan kalimat Kalawaja yang cenderung memancing emosinya. Pemuda itu masih berusaha berdiri tegak meski ada sesak dirasakan pada saat ambil napas. Karena hal itu, Jagat mulai menata lagi jalan napasnya. "Rupanya pri ini bukan sembarangan. Ini masih jauh dari Pegunungan Wilis," gumam Jagat sambil mengedarkan pandangannya. "Ap
Dari atas tubuh Jagat meluncur deras ke bawah hingga ujung kujangnya hampir menyentuh tanah. Kalawaja yang berhasil menggeser tubuhnya ke kanan menjadi termangu saat tubuh Jagat meliuk ke kiri hingga sebuah tendangan berhasil menjejak perut Kalawaja. "Argh, sial!" pekik Kalawaja sesaat setelah dia menyemburkan darah segar sambil mengusap kasar mulutnya. "Bagaimana?"Pandangan Kalawaja menajam dan segera dia merapal mantra yang lain. Sementara formasi bintang mulai robek sisi tepinya. Semua terjadi dengan cepat, Kalawaja kembali menyerang dengan ilmu berbeda. Tindakan ini memicu lemahnya formasi hingga dengan mudah diobrak abrik oleh Jagat. Pemuda itu melempar kujangnya menyabet setiap pria di titik tumpu formasi. Desing kujang yang lembut mampu melenakan bawahan Kalawaja sehingga mereka kurang fokus. Trung tringSlash! Terdengar beberapa benda tajam saling beradu hingga suaranya mampu membuat orang bergidik. Apalagi tercipta percikan api yang mampu membakar ranting kering sekitar
"Tidak ada, Kisanak. Karena Akshita lah yang memiliki darah pembuka gerbang ghaib." Anjunsari menjawab dengan nada tegas. "Lalu bagaimana dengan gerombolan Kalawaja? Apakah mereka juga sama harus dengan syarat gila Kalian?" cerca Jagat. Anjunsari tersenyum, wanita senja itu berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat dengan lembean tangan gemulai selayaknya seorang penari. Jagat membola menatap pandangannya yang begitu menggiurkan dan memanjakan hasratnya. Jiwa mudanya bergolak menyaksikan kemolekan tubuh senja Anjunsari yang masih terjaga. Namun, helaan napas langsung terdengar kala jarak keduanya menyisakan satu depa sekitar dua meter. Tubuh Anjunsari perlahan condong ke depan, tangannya terulur hendak meraih wajah Jagat. Akan tetapi, pemuda itu memundurkan kakinya sedikit menjauh. "Bagaimana jika aku minta dua tetes darah Akshita?"Mendengar permintaan Jagat, Akshita langsung bangkit dari duduk simpuh selayaknya abdi kerajaan. Lalu perempuan muda itu berjalan dengan lututnya mendek
Jagat masih diam menunggu reaksi dari perempuan muda di depannya yang tidak bergerak. Merasa mulai sulit menahan gejolak segala rasa, Jagat pun berinisiatif meraih kain jarit yang teronggok begitu saja di tanah. Secepat kilat kain itu sudah membelit tubuh polos Akshita. Kemudian Jagat menyentuh bahu perempuan tersebut agar di kembali sadar dari lamunan. "Bagaimana?"Akshita terhentak kaget, lalu pandangannya tertuju pada Jagat yang sudah berdiri di sampingnya. Bibir mungil milik perempuan itu bergerak dan mengeluarkan suara lirih. "Akan kau bawa kemana diri ini, Pangeran?""Jika dua tetes darah tidak bisa menggantikan persetubuhan itu, maka ijinkan aku membawamu di setiap langkahku. Apa kamu setuju?"Kembali Akshita terpana menatap penuh tanya pada Jagat lalu berkata, "Baik jika itu yang terbaik."Jagat tersenyum, lalu pandangannya kembali menyusuri semua keadaan sekitar yang hancur lebur. Bahkan beberapa rumah banyak yang roboh tanpa bentuk. "Jika kalian keluar dari desa, lalu baga
Jagat memindai semua persiapan sesajen para wanita, seperti yang dia dengar lirih suara Ki Cadek. Pemuda itu juga merasa adanya kejanggalan. Bagaimana sesajen tidak ada yang dikorbankan bisa diterima? Sungguh hal yang tidak biasa. Akshita berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat. Perempuan muda yang sudah berganti pakaian itu tersenyum dan segera memeluk lengan kiri Jagat. Kemudian membawa pemuda itu maju lebih dekat dengan api unggun. Di luar lingkaran api terdapat serangkaian berbagai jenis bunga dengan harum yang berbeda. Sepintas Jagat menangkap bayangan hitam memeluk tubuh Anjunsari. "Siapa pemilik sosok yang memeluk ibu kamu itu, Akshita?" bisik Jagat. "Tidak ada, Pangeran. Mungkin hanya halu saja.""Aku tidak bisa kalian bodohi, Akshita. Jujurlah sebelum kalian hancur!" geram Jagat. Akshita mendengus kasar, lalu menatap sendu pada Jagat. Dia menutup rapat bibirnya dan menggeleng pelan. Sepertinya Akshita tidak ingin mengatakan siapa yang sedang memeluk Anjunsari. Jagat mera
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan