Jagat terpental cukup jauh, perlahan fia bangkit sambil berpegangan pada ranting pohon yang kebetulan ikut patah. Pemuda itu diam melihat pada formasi yang digunakan oleh Kalawaja. Pria yang terlihat lebih tua darinya itu tersenyum sinis seakan meremehkan kekuatan Jagat. Kalawaja masih terus menatap tajam pada sosok Jagat yang terlihat kelelahan menghadapi serangan mereka dengan formasi bintang. Namun, bagi Jagat apa yang dia keluarkan sejak awal bukanlah kekuatan penuh. "Bagaimana, apakah kamu masih ingin bertarung, Pria Ayu?" tanya Kalawaja. "Apa yang aku lakukan belum maksimal, Kalawaja. Ini baru permulaan," jawab Jagat. "Cuih! Majulah!"Jagat tidak memedulikan kalimat Kalawaja yang cenderung memancing emosinya. Pemuda itu masih berusaha berdiri tegak meski ada sesak dirasakan pada saat ambil napas. Karena hal itu, Jagat mulai menata lagi jalan napasnya. "Rupanya pri ini bukan sembarangan. Ini masih jauh dari Pegunungan Wilis," gumam Jagat sambil mengedarkan pandangannya. "Ap
Dari atas tubuh Jagat meluncur deras ke bawah hingga ujung kujangnya hampir menyentuh tanah. Kalawaja yang berhasil menggeser tubuhnya ke kanan menjadi termangu saat tubuh Jagat meliuk ke kiri hingga sebuah tendangan berhasil menjejak perut Kalawaja. "Argh, sial!" pekik Kalawaja sesaat setelah dia menyemburkan darah segar sambil mengusap kasar mulutnya. "Bagaimana?"Pandangan Kalawaja menajam dan segera dia merapal mantra yang lain. Sementara formasi bintang mulai robek sisi tepinya. Semua terjadi dengan cepat, Kalawaja kembali menyerang dengan ilmu berbeda. Tindakan ini memicu lemahnya formasi hingga dengan mudah diobrak abrik oleh Jagat. Pemuda itu melempar kujangnya menyabet setiap pria di titik tumpu formasi. Desing kujang yang lembut mampu melenakan bawahan Kalawaja sehingga mereka kurang fokus. Trung tringSlash! Terdengar beberapa benda tajam saling beradu hingga suaranya mampu membuat orang bergidik. Apalagi tercipta percikan api yang mampu membakar ranting kering sekitar
"Tidak ada, Kisanak. Karena Akshita lah yang memiliki darah pembuka gerbang ghaib." Anjunsari menjawab dengan nada tegas. "Lalu bagaimana dengan gerombolan Kalawaja? Apakah mereka juga sama harus dengan syarat gila Kalian?" cerca Jagat. Anjunsari tersenyum, wanita senja itu berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat dengan lembean tangan gemulai selayaknya seorang penari. Jagat membola menatap pandangannya yang begitu menggiurkan dan memanjakan hasratnya. Jiwa mudanya bergolak menyaksikan kemolekan tubuh senja Anjunsari yang masih terjaga. Namun, helaan napas langsung terdengar kala jarak keduanya menyisakan satu depa sekitar dua meter. Tubuh Anjunsari perlahan condong ke depan, tangannya terulur hendak meraih wajah Jagat. Akan tetapi, pemuda itu memundurkan kakinya sedikit menjauh. "Bagaimana jika aku minta dua tetes darah Akshita?"Mendengar permintaan Jagat, Akshita langsung bangkit dari duduk simpuh selayaknya abdi kerajaan. Lalu perempuan muda itu berjalan dengan lututnya mendek
Jagat masih diam menunggu reaksi dari perempuan muda di depannya yang tidak bergerak. Merasa mulai sulit menahan gejolak segala rasa, Jagat pun berinisiatif meraih kain jarit yang teronggok begitu saja di tanah. Secepat kilat kain itu sudah membelit tubuh polos Akshita. Kemudian Jagat menyentuh bahu perempuan tersebut agar di kembali sadar dari lamunan. "Bagaimana?"Akshita terhentak kaget, lalu pandangannya tertuju pada Jagat yang sudah berdiri di sampingnya. Bibir mungil milik perempuan itu bergerak dan mengeluarkan suara lirih. "Akan kau bawa kemana diri ini, Pangeran?""Jika dua tetes darah tidak bisa menggantikan persetubuhan itu, maka ijinkan aku membawamu di setiap langkahku. Apa kamu setuju?"Kembali Akshita terpana menatap penuh tanya pada Jagat lalu berkata, "Baik jika itu yang terbaik."Jagat tersenyum, lalu pandangannya kembali menyusuri semua keadaan sekitar yang hancur lebur. Bahkan beberapa rumah banyak yang roboh tanpa bentuk. "Jika kalian keluar dari desa, lalu baga
Jagat memindai semua persiapan sesajen para wanita, seperti yang dia dengar lirih suara Ki Cadek. Pemuda itu juga merasa adanya kejanggalan. Bagaimana sesajen tidak ada yang dikorbankan bisa diterima? Sungguh hal yang tidak biasa. Akshita berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat. Perempuan muda yang sudah berganti pakaian itu tersenyum dan segera memeluk lengan kiri Jagat. Kemudian membawa pemuda itu maju lebih dekat dengan api unggun. Di luar lingkaran api terdapat serangkaian berbagai jenis bunga dengan harum yang berbeda. Sepintas Jagat menangkap bayangan hitam memeluk tubuh Anjunsari. "Siapa pemilik sosok yang memeluk ibu kamu itu, Akshita?" bisik Jagat. "Tidak ada, Pangeran. Mungkin hanya halu saja.""Aku tidak bisa kalian bodohi, Akshita. Jujurlah sebelum kalian hancur!" geram Jagat. Akshita mendengus kasar, lalu menatap sendu pada Jagat. Dia menutup rapat bibirnya dan menggeleng pelan. Sepertinya Akshita tidak ingin mengatakan siapa yang sedang memeluk Anjunsari. Jagat mera
Ledakan dahsyat menimbulkan api yang cukup besar hingga mampu membakar lahan kering di sisi kanan bangunan pendopo desa. Anjunsari menatap khawatir pada putrinya. "Bagaimana nasib kita selanjutnya, Akshita? Ibunda sudah tiada daya lagi," keluh Anjunsari. "Sebaiknya ketua semedi lagi!" usul pemangku desa. Anjunsari merasa sudah habis digdaya dan kemampuannya dalam merubah raga memancing hasrat. Akshita menatap pada pekatnya malam yang ada di depannya. Sepintas terlihat sekelebat bayangan berjubah putih, tetapi dia sedikit ragu. "Apakah pemuda tadi sudah jadi mayat, Bunda?" tanya Akshita. Anjunsari mengedarkan pandangannya mencari sosok Jagat. Dahinya berkerut kala merasakan aura tipis yang mulai bergeliat naik. Namun, aura Cakrapati benar-benar hilang tiada bekas. "Kita tunggu saja!"Setelah beberapa saat angin berhembus lembut membawa harum bunga cendana dan tanah basah. Aroma yang tidak biasa dalam pekatnya hutan heterogen yang ada di pegunungan wilis. Anjunsari menganggukkan
Akshita memutuskan ikut perjalanan Jagat sesuai dengan pesan leluhurnya. Senyum wanita muda itu terkembang kala Jagat menyetujui inginnya meski ada syarat dalam setiap perjalanan. Akshita menyanggupi apapun syarat yang diajukan Jagat,dia tidak memedulikan. Bagi Akshita dia sudah diijinkan ikut sudah senang, ini artinya semua mimpinya tercapai. Sekarang hanya usahanya agar hati pria itu hanya terisi sosoknya saja. Anjunsari menghela napas panjang.Malam terus berjalan dan perlahan sinar rembulan pun mulai meredup. Perlahan tubuh Anjunsari membayang semu. Akshita seketika terpaku begitu juga dengan Jagat saat melihat perubahan pada sosok Anjunsari. "Ada apa dengan tubuhmu, Nisanak" tanya Jagat.Anjunsari mengulas senyum manis, kedua kelopak mata senja itu berkedip berulang lalu menatap sendu pada sepasang muda mudi di depannya. Bibir itu mulai membiru, helai rambutnya pun juga mulai berubah warna."Ibunda!" Akshita memanggil wanita tersebut dengan nada khawatir.Anjunsari makin meleba
"Apa yang terjadi dengan tubuhmu,Tuan" tanya Akshita khawatir.Jagat menggeleng tidak mengerti, dia pun meraih bubuk hasil tumbuk Akshita lalu menyentuhnya berulang. Kedua matanya menyorot tajam. "Apa yang akan kamu lakukan dengan ini?"Akshita mengurai senyum, lalu telapaknya meraih tangan Jagat dan digenggam erat. Kemudian dibawa pada dada pria tersebut. "Balurkan di sini,Tuan!" Pinta Akshita.Jagat termangu, sentuhan lembut Akshita telah membangkitkan sesuatu di bawah sana. Namun, dengan gerak pelan dia berusaha menekan agar tidak semakin bangkit. Akshita mengulum senyum melihat sikap Jagat. Dia tahu apa yang terjadi tetapi bibirnya hanya tersenyum tipis.Jagat mengikuti apa yang diarahkan oleh Akshita. Bubuk basah hasil tumbukan bunga dan daun langka itu sudah dibalurkan pada dada Jagat. "Apakah ini ada manfaatnya, Aks?""Biarkan dulu beberapa waktu di sana hingga kering. Setelahnya baru dialiri sinar permata kemari lalu,Tuan!""Jika seperti itu, kita bermalam di sini dulu hingga
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk