Pagi menyapa, Jagat masih berdiri terdiam sejak tawa gurunya menghilang. Pemuda itu masih tidak percaya akan peristiwa semalam, bagaimana bisa sosok sebesar itu seketika hilang tanpa bekas. Bahkan abunya tidak terlihat. Semalaman Jagat menyisir tempat sekitar hanya untuk mencari jasad ataupun abu gurunya. Namun, jangankan jasad abunya saja tidak ada. Sensor tubuh Jagat sama sekali tidak merasa adanya sisa aura yang menguar. "Harus bagaimana aku bersikap atas hilangnya jasad dan abumu, Guru?" gumam Jagat sambil menatap langit biru. Semburat jingga di ufuk timur membuat Jagat mulai sadar jika pagi sudah datang. Dengan segera pemuda itu berjalan menuju ke gubug bambu yang selama ini dia huni bersama gurunya. Seminggu kakinya tidak menjejak tanah dalam gubug membuatnya merasa kangen. Pandangannya menyapu seluruh ruang depan gubug, berharap masih ada sesuatu yang ditinggalkan oleh gurunya. Sekali lagi helaan napas kecewa lolos dari bibirnya. Jagat begitu kecewa dengan dirinya sendiri
Jagat terpental cukup jauh, perlahan fia bangkit sambil berpegangan pada ranting pohon yang kebetulan ikut patah. Pemuda itu diam melihat pada formasi yang digunakan oleh Kalawaja. Pria yang terlihat lebih tua darinya itu tersenyum sinis seakan meremehkan kekuatan Jagat. Kalawaja masih terus menatap tajam pada sosok Jagat yang terlihat kelelahan menghadapi serangan mereka dengan formasi bintang. Namun, bagi Jagat apa yang dia keluarkan sejak awal bukanlah kekuatan penuh. "Bagaimana, apakah kamu masih ingin bertarung, Pria Ayu?" tanya Kalawaja. "Apa yang aku lakukan belum maksimal, Kalawaja. Ini baru permulaan," jawab Jagat. "Cuih! Majulah!"Jagat tidak memedulikan kalimat Kalawaja yang cenderung memancing emosinya. Pemuda itu masih berusaha berdiri tegak meski ada sesak dirasakan pada saat ambil napas. Karena hal itu, Jagat mulai menata lagi jalan napasnya. "Rupanya pri ini bukan sembarangan. Ini masih jauh dari Pegunungan Wilis," gumam Jagat sambil mengedarkan pandangannya. "Ap
Dari atas tubuh Jagat meluncur deras ke bawah hingga ujung kujangnya hampir menyentuh tanah. Kalawaja yang berhasil menggeser tubuhnya ke kanan menjadi termangu saat tubuh Jagat meliuk ke kiri hingga sebuah tendangan berhasil menjejak perut Kalawaja. "Argh, sial!" pekik Kalawaja sesaat setelah dia menyemburkan darah segar sambil mengusap kasar mulutnya. "Bagaimana?"Pandangan Kalawaja menajam dan segera dia merapal mantra yang lain. Sementara formasi bintang mulai robek sisi tepinya. Semua terjadi dengan cepat, Kalawaja kembali menyerang dengan ilmu berbeda. Tindakan ini memicu lemahnya formasi hingga dengan mudah diobrak abrik oleh Jagat. Pemuda itu melempar kujangnya menyabet setiap pria di titik tumpu formasi. Desing kujang yang lembut mampu melenakan bawahan Kalawaja sehingga mereka kurang fokus. Trung tringSlash! Terdengar beberapa benda tajam saling beradu hingga suaranya mampu membuat orang bergidik. Apalagi tercipta percikan api yang mampu membakar ranting kering sekitar
"Tidak ada, Kisanak. Karena Akshita lah yang memiliki darah pembuka gerbang ghaib." Anjunsari menjawab dengan nada tegas. "Lalu bagaimana dengan gerombolan Kalawaja? Apakah mereka juga sama harus dengan syarat gila Kalian?" cerca Jagat. Anjunsari tersenyum, wanita senja itu berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat dengan lembean tangan gemulai selayaknya seorang penari. Jagat membola menatap pandangannya yang begitu menggiurkan dan memanjakan hasratnya. Jiwa mudanya bergolak menyaksikan kemolekan tubuh senja Anjunsari yang masih terjaga. Namun, helaan napas langsung terdengar kala jarak keduanya menyisakan satu depa sekitar dua meter. Tubuh Anjunsari perlahan condong ke depan, tangannya terulur hendak meraih wajah Jagat. Akan tetapi, pemuda itu memundurkan kakinya sedikit menjauh. "Bagaimana jika aku minta dua tetes darah Akshita?"Mendengar permintaan Jagat, Akshita langsung bangkit dari duduk simpuh selayaknya abdi kerajaan. Lalu perempuan muda itu berjalan dengan lututnya mendek
Jagat masih diam menunggu reaksi dari perempuan muda di depannya yang tidak bergerak. Merasa mulai sulit menahan gejolak segala rasa, Jagat pun berinisiatif meraih kain jarit yang teronggok begitu saja di tanah. Secepat kilat kain itu sudah membelit tubuh polos Akshita. Kemudian Jagat menyentuh bahu perempuan tersebut agar di kembali sadar dari lamunan. "Bagaimana?"Akshita terhentak kaget, lalu pandangannya tertuju pada Jagat yang sudah berdiri di sampingnya. Bibir mungil milik perempuan itu bergerak dan mengeluarkan suara lirih. "Akan kau bawa kemana diri ini, Pangeran?""Jika dua tetes darah tidak bisa menggantikan persetubuhan itu, maka ijinkan aku membawamu di setiap langkahku. Apa kamu setuju?"Kembali Akshita terpana menatap penuh tanya pada Jagat lalu berkata, "Baik jika itu yang terbaik."Jagat tersenyum, lalu pandangannya kembali menyusuri semua keadaan sekitar yang hancur lebur. Bahkan beberapa rumah banyak yang roboh tanpa bentuk. "Jika kalian keluar dari desa, lalu baga
Jagat memindai semua persiapan sesajen para wanita, seperti yang dia dengar lirih suara Ki Cadek. Pemuda itu juga merasa adanya kejanggalan. Bagaimana sesajen tidak ada yang dikorbankan bisa diterima? Sungguh hal yang tidak biasa. Akshita berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat. Perempuan muda yang sudah berganti pakaian itu tersenyum dan segera memeluk lengan kiri Jagat. Kemudian membawa pemuda itu maju lebih dekat dengan api unggun. Di luar lingkaran api terdapat serangkaian berbagai jenis bunga dengan harum yang berbeda. Sepintas Jagat menangkap bayangan hitam memeluk tubuh Anjunsari. "Siapa pemilik sosok yang memeluk ibu kamu itu, Akshita?" bisik Jagat. "Tidak ada, Pangeran. Mungkin hanya halu saja.""Aku tidak bisa kalian bodohi, Akshita. Jujurlah sebelum kalian hancur!" geram Jagat. Akshita mendengus kasar, lalu menatap sendu pada Jagat. Dia menutup rapat bibirnya dan menggeleng pelan. Sepertinya Akshita tidak ingin mengatakan siapa yang sedang memeluk Anjunsari. Jagat mera
Ledakan dahsyat menimbulkan api yang cukup besar hingga mampu membakar lahan kering di sisi kanan bangunan pendopo desa. Anjunsari menatap khawatir pada putrinya. "Bagaimana nasib kita selanjutnya, Akshita? Ibunda sudah tiada daya lagi," keluh Anjunsari. "Sebaiknya ketua semedi lagi!" usul pemangku desa. Anjunsari merasa sudah habis digdaya dan kemampuannya dalam merubah raga memancing hasrat. Akshita menatap pada pekatnya malam yang ada di depannya. Sepintas terlihat sekelebat bayangan berjubah putih, tetapi dia sedikit ragu. "Apakah pemuda tadi sudah jadi mayat, Bunda?" tanya Akshita. Anjunsari mengedarkan pandangannya mencari sosok Jagat. Dahinya berkerut kala merasakan aura tipis yang mulai bergeliat naik. Namun, aura Cakrapati benar-benar hilang tiada bekas. "Kita tunggu saja!"Setelah beberapa saat angin berhembus lembut membawa harum bunga cendana dan tanah basah. Aroma yang tidak biasa dalam pekatnya hutan heterogen yang ada di pegunungan wilis. Anjunsari menganggukkan
Akshita memutuskan ikut perjalanan Jagat sesuai dengan pesan leluhurnya. Senyum wanita muda itu terkembang kala Jagat menyetujui inginnya meski ada syarat dalam setiap perjalanan. Akshita menyanggupi apapun syarat yang diajukan Jagat,dia tidak memedulikan. Bagi Akshita dia sudah diijinkan ikut sudah senang, ini artinya semua mimpinya tercapai. Sekarang hanya usahanya agar hati pria itu hanya terisi sosoknya saja. Anjunsari menghela napas panjang.Malam terus berjalan dan perlahan sinar rembulan pun mulai meredup. Perlahan tubuh Anjunsari membayang semu. Akshita seketika terpaku begitu juga dengan Jagat saat melihat perubahan pada sosok Anjunsari. "Ada apa dengan tubuhmu, Nisanak" tanya Jagat.Anjunsari mengulas senyum manis, kedua kelopak mata senja itu berkedip berulang lalu menatap sendu pada sepasang muda mudi di depannya. Bibir itu mulai membiru, helai rambutnya pun juga mulai berubah warna."Ibunda!" Akshita memanggil wanita tersebut dengan nada khawatir.Anjunsari makin meleba