"Jadi siapa sosok itu, Ibunda?""Siluman Rubah. Dia lah sang penebar cinta sesaat." Setiaki menjawab dengan nada kesal dan geram. Jantaka menoleh pada ibunya dan sangat jelas terlihat mata penuh dendam dan kecewa menyatu dalam manik mata Setiaki. Jantaka sedikit mengerti arah pembicaraan sang ibu, dia pun mengulas senyum lalu menggeser tubuhnya memdekat pada Setiaki. Dengan penuh kasih, Jantaka memeluk ibunya dan berkata, "Sudah lupakan semua kisah silam, Bunda. Jantaka tidak ada perjanjian dengan wanita itu."Mendengar deretan kata yang dilontarkan putranya membuat Setiaki bernapas lega. Wanita itu membalas pelukan putranya dan berbisik, "Bunda tidak ingin kau jadi pemuas nafsu wanita laknat itu!""Apakah ada kisah antara bopo dengan wanita itu, Bunda?" "Tidak." jawab Setiaki sambil memalingkan pandangannya melihat tempat lain. Jantaka meraih kedua bahu ibunya dan menariknya agar bisa dia tatap manik mata Setiaki. Namun, wanita itu menolak dengan halus. Jantaka tidak ingin memaks
"Aku inginkan jantung pria itu, Pangeran. Namun, sebelumnya aku juga inginkan kehangatan malam ini bersamamu. Bagaimana?"Abimana membeliak kaget, apa yang dikatakan oleh Wedari yang terakhir begitu mengoyak pertahanan yang dia bangun sejak tadi. Apalagi jari jemari perempuan siluman tidak berhenti bergerak memancing pada daerah sensitif tubuhnya. Abimana berulang kali menarik napas panjang seolah dia sedang kehabisan stok udara dalam tubuh. Wedari menyadari situasi yang dirasakan oleh lelaki incarannya, tetapi dia tidak mengindahkan geraman Abimana. Wanita siluman itu justru makin gencar memberi sentuhan sensualnya. "Bagaimana, Pangeran?""Jika apa yang kau inginkan terjadi, maka kujang itu milikku!"Tanpa menjawab kalimat Abimana, wanita itu bergerak cepat. Tubuhnya meliuk di atas tubuh sang lelaki yang sudah direbahkannya dengan paksaan lembut. Mau tidak mau akhirnya Abimana mengikuti setiap gerakan sang wanita. Desahan dan lenguhan berulang kali lolos dari mulut Abimana membuat
Jagat terdiam, dia terlihat berpikir serius. Lalu pemuda itu menggelengkan kepala, itu membuktikan bahwa Jagat masih belum paham dengan semua itu. "Makanya jangan banyak minum air garam, lebih baik seringlah minum air danau itu!""Apa hubungannya, Guru?"Singolangit tertawa lagi hingga memegang perutnya yang mulai bergoyang, "Biar otakmu sedikit encer, Pangeran!" kata Singolangit di tengah tawanya. Jagat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu dia berjalan mendekat pada harimau yang duduk dengan menangkupkan kepalanya di sela kaki depannya. Tangan Jagat mengusap puncak kepala sang harimau hingga punggung membuat hewan itu menggeliat. "Tiga hari lagi bulan purnama, siapkan sumber daya yang kamu miliki sebelum rohku menghilang!""Baik, Guru!"Singolangit seketika melesat meninggalkan Jagat yang masih berdiri termangu. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan kenyataan yang ada dan memikirkan apa hubungan air garam dengan cara berpikirnya. Setelah beberapa saat, terasa angin berti
Jagat sudah duduk di pusat lempengan batu dekat Ranu Kumbolo. Pemuda itu juga menyiapkan dua kendi besar yang berisi tuak kuno yang berhasil didapatnya di kedai penduduk sekitar. Meskipun harga tuak tersebut mampu menggoyang kantong pundi emasnya dia tidak peduli. Jagat hanya inginkan yang terbaik di saat akhir hidup gurunya. Dalam hati pemuda itu ingin agar hidup gurunya bisa lebih lama lagi hingga bisa melihatnya merebut semua yang seharusnya jadi miliknya. Namun, Jagat sadar akan garis takdir yang sudah disuratkan. "Sepertinya malam ini akan penuh drama. Mampukan aku menghadapi dunia persilatan yang penuh dengan kepalsuan?""Sebagai orang terpilih, kau pasti bisa, Pangeran!""Guru."Singolangit berjalan menuju ke lempengan hitam tempat mereka sering berlatih bersama. Sepanjang jalan menuju ke tempat Jagat, senyum pria buncit itu selalu hadir. Namun, jiwa Jagat seakan tinggal separuh. Pemuda itu tidak berani membayangkan nasibnya ke depan tanpa bimbingan sang guru. "Jangan terla
Pagi menyapa, Jagat masih berdiri terdiam sejak tawa gurunya menghilang. Pemuda itu masih tidak percaya akan peristiwa semalam, bagaimana bisa sosok sebesar itu seketika hilang tanpa bekas. Bahkan abunya tidak terlihat. Semalaman Jagat menyisir tempat sekitar hanya untuk mencari jasad ataupun abu gurunya. Namun, jangankan jasad abunya saja tidak ada. Sensor tubuh Jagat sama sekali tidak merasa adanya sisa aura yang menguar. "Harus bagaimana aku bersikap atas hilangnya jasad dan abumu, Guru?" gumam Jagat sambil menatap langit biru. Semburat jingga di ufuk timur membuat Jagat mulai sadar jika pagi sudah datang. Dengan segera pemuda itu berjalan menuju ke gubug bambu yang selama ini dia huni bersama gurunya. Seminggu kakinya tidak menjejak tanah dalam gubug membuatnya merasa kangen. Pandangannya menyapu seluruh ruang depan gubug, berharap masih ada sesuatu yang ditinggalkan oleh gurunya. Sekali lagi helaan napas kecewa lolos dari bibirnya. Jagat begitu kecewa dengan dirinya sendiri
Jagat terpental cukup jauh, perlahan fia bangkit sambil berpegangan pada ranting pohon yang kebetulan ikut patah. Pemuda itu diam melihat pada formasi yang digunakan oleh Kalawaja. Pria yang terlihat lebih tua darinya itu tersenyum sinis seakan meremehkan kekuatan Jagat. Kalawaja masih terus menatap tajam pada sosok Jagat yang terlihat kelelahan menghadapi serangan mereka dengan formasi bintang. Namun, bagi Jagat apa yang dia keluarkan sejak awal bukanlah kekuatan penuh. "Bagaimana, apakah kamu masih ingin bertarung, Pria Ayu?" tanya Kalawaja. "Apa yang aku lakukan belum maksimal, Kalawaja. Ini baru permulaan," jawab Jagat. "Cuih! Majulah!"Jagat tidak memedulikan kalimat Kalawaja yang cenderung memancing emosinya. Pemuda itu masih berusaha berdiri tegak meski ada sesak dirasakan pada saat ambil napas. Karena hal itu, Jagat mulai menata lagi jalan napasnya. "Rupanya pri ini bukan sembarangan. Ini masih jauh dari Pegunungan Wilis," gumam Jagat sambil mengedarkan pandangannya. "Ap
Dari atas tubuh Jagat meluncur deras ke bawah hingga ujung kujangnya hampir menyentuh tanah. Kalawaja yang berhasil menggeser tubuhnya ke kanan menjadi termangu saat tubuh Jagat meliuk ke kiri hingga sebuah tendangan berhasil menjejak perut Kalawaja. "Argh, sial!" pekik Kalawaja sesaat setelah dia menyemburkan darah segar sambil mengusap kasar mulutnya. "Bagaimana?"Pandangan Kalawaja menajam dan segera dia merapal mantra yang lain. Sementara formasi bintang mulai robek sisi tepinya. Semua terjadi dengan cepat, Kalawaja kembali menyerang dengan ilmu berbeda. Tindakan ini memicu lemahnya formasi hingga dengan mudah diobrak abrik oleh Jagat. Pemuda itu melempar kujangnya menyabet setiap pria di titik tumpu formasi. Desing kujang yang lembut mampu melenakan bawahan Kalawaja sehingga mereka kurang fokus. Trung tringSlash! Terdengar beberapa benda tajam saling beradu hingga suaranya mampu membuat orang bergidik. Apalagi tercipta percikan api yang mampu membakar ranting kering sekitar
"Tidak ada, Kisanak. Karena Akshita lah yang memiliki darah pembuka gerbang ghaib." Anjunsari menjawab dengan nada tegas. "Lalu bagaimana dengan gerombolan Kalawaja? Apakah mereka juga sama harus dengan syarat gila Kalian?" cerca Jagat. Anjunsari tersenyum, wanita senja itu berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat dengan lembean tangan gemulai selayaknya seorang penari. Jagat membola menatap pandangannya yang begitu menggiurkan dan memanjakan hasratnya. Jiwa mudanya bergolak menyaksikan kemolekan tubuh senja Anjunsari yang masih terjaga. Namun, helaan napas langsung terdengar kala jarak keduanya menyisakan satu depa sekitar dua meter. Tubuh Anjunsari perlahan condong ke depan, tangannya terulur hendak meraih wajah Jagat. Akan tetapi, pemuda itu memundurkan kakinya sedikit menjauh. "Bagaimana jika aku minta dua tetes darah Akshita?"Mendengar permintaan Jagat, Akshita langsung bangkit dari duduk simpuh selayaknya abdi kerajaan. Lalu perempuan muda itu berjalan dengan lututnya mendek