Jauhi suami kakak saya."
Cangkir di tangan Faryn berhenti tepat di depan bibirnya. Teh hangatnya belum diseruput. Untuk sesaat dia tertegun dengan permintaan orang di depannya.Belum juga ada lima menit dia duduk. Sudah ditodong dengan pernyataan seperti itu.Faryn dengan tenang menyeruput pelan teh. Lalu meletakan cangkir tesebut dengan gerakan anggun. Salah satu kaki tersilang, punggung bersandar, dan bibir menyunggingkan senyuman."Sorry?"Tatapan pria di depan Faryn tidak berubah sama sekali sejak ia datang dan memulai percakapan. Ya, itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh pria itu."Jauhi suami kakak saya," ulangnya sekali lagi. Nada datar, tatapan tajam, dan wajah serius.Faryn tertawa canggung. "Saya tidak mengerti maksud Anda.""Anda jelas sangat memahami apa yang saya maksud.""Oh ya?"Pria itu mengedipkan mata sekali tapi tidak mengubah tatapan tajamnya. Faryn pun melanjutkan, "Atas dasar apa Anda berkata bahwa saya memahami maksud Anda? Mengenal Anda saja tidak. Apalagi mengetahui maksud Anda?"Dengan gerakan tenang dan tanpa mengalihkan pandangan, pria tampan itu mengeluarkan selembar kertas dari balik saku jas mewahnya. Sebuah foto di mana Faryn tengah tertawa bersama Linggar yang tampak tersenyum."Wow," Faryn meraih foto yang di letakan di atas meja. Ia perhatikan objek yang ada tercetak di sana. “Ternyata saya cantik juga difoto dari samping. Kamera apa yang dipakai?""Kita tidak sedang membahas itu.""Tapi sepertinya memang bukan faktor kameranya. Ini mah sayanya yang memang cantik," sambung Faryn tidak mengindahkan ucapan orang di depannya.Pria tadi mengetatkan rahangnya. Wanita ini ... mulai menggerus kesabarannya."Kakak saya sedang hamil anak kedua mereka. Keluarga mereka sangat harmonis. Saya tidak ingin ada 'hama' seperti Anda di dalam rumah tangganya yang ditumbuhi bunga kebahagiaan."Begitu datarnya nada bicara pria itu hingga membuat Faryn sangat tersinggung. Seolah menjadi selingkuhan adalah memang keinginannya.Well, dia menginginkan hasil dari menjadi seorang selingkuhan lebih tepatnya."Hama?" Faryn tertawa sinis.Pria itu diam. Menunggu kalimat bodoh selanjutnya dari Faryn. Wanita itu meletakan kembali foto ke atas meja. Memberikan tatapan mencemooh padanya."Setiap dari kita adalah hama bagi yang lain. Anda saja sudah menjadi hama bagi saya sejak pertama kali saya duduk di sini. Menelpon dengan nada mengintimidasi, menyuruh saya datang, tidak mengenalkan diri, dan sekarang menyebut saya hama. Kita berdua," Faryn memajukan wajahnya, "sama-sama menganggu. Meski dengan level yang berbeda."Pria berjas mewah mengambil kopinya yang sudah dingin, menyeruputnya dengan gaya khas lelaki berkuasa. Faryn kira hal seperti itu hanya akan ada di film-film. Ternyata di kehidupan nyata pun ada."Anda memang pantas diganggu. Agar Anda tahu diri," katanya tajam.Faryn kembali menyandarkan punggung. Tangannya menyilang di depan dada. Pria itu kembali melanjutkan, "Sekali lagi. Jauhi suami kakak saya. Ini bukan sebuah permintaan. Tapi peringatan."Sebelah alis Faryn terangkat, "Jauhi suami kakak Anda dan dekati Anda sebagai gantinya?" Nada usil meluncur dari bibir mungil merah wanita itu."Saya tidak ingin didekati oleh wanita seperti Anda."Wanita dengan rambut lurus sebahu itu mendengus geli. "Saya juga tidak ingin menjauh dari kakak ipar Anda."Pria di depannya itu kini mulai terlihat terusik. Keras kepala sekali, pikirnya. Apa semua perempuan 'cadangan' memang bersifat seperti dia?"Terus bersama pria yang sudah beristri akan membuat harga diri Anda terlihat rendah di masyarakat," imbuhnya. Matanya menelisik lurus wajah manis Faryn.Ia akui, wanita di hadapannya kini adalah wanita cerdas, tahu apa yang diinginkan, dan tentu saja sangat keras kepala. Tapi bukan Mahakam Laksmana namanya jika tidak bisa membuat Faryn Titis Kemala menuruti kemauannya."Terus berbicara dengan saya akan membuang-buang waktu Anda. Karena saya tidak akan berubah pikiran," balas Faryn.Setelah sekian waktu berjalan, akhirnya Mahakam menunjukan ketidaksukaannya pada Faryn melalui ekspresi wajahnya. Dahi pria itu berkerut dalam. Otot di dahinya sedikit menonjol saat menanggapi ucapan Faryn."Anda tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri Anda?"Faryn mengangkat bahunya tak acuh, "Sama seperti Anda," jawabnya enteng."Apa?" Nada bicara Hakam sedikit meninggi. Sialan. Berani betul wanita rendahan sepertinya berbicara seperti itu.Sudut bibir Faryn tertarik ke samping. "Anda tentunya juga tidak peduli apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang diri Anda."Jari telunjuk Faryn mengusap pinggiran cangkir tehnya dengan gerakan pelan. Tatapannya terarah ke teh hijau. Lalu beralih menatap Hakam, adik dari teman lamanya."Anda tahu yang saya maksud,” sambung Faryn menyalin ucapan Hakam sebelumnya.Hakam mendengus keras dengan maksud menghina Faryn. "Anda meminta ganti uang?"Faryn menggeleng, "Uang bukan satu-satunya yang diberikan oleh Linggar.""Tidak mungkin Linggar memberikan Anda cinta.""Setidaknya dia bisa memberikan kebutuhan saya yang lain."Ekspresi Hakam berubah menjadi jijik. Sekali lagi ia mendengus menghina. "Ternyata Anda sangat murahan."Faryn mencebikan bibir, "Bukan murahan. Tapi manusiawi. Anda juga pasti membutuhkannya."Sial sial sial. Wanita ini pandai sekali bersilat lidah, batin Hakam. Ia bahkan tidak bisa mengintimidasi dirinya. Jalan pikirannya terlalu sulit untuk dibaca oleh pria sepertinya yang terbiasa mendominasi."Apa yang Anda inginkan?""Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Anda."Dengan tatapan yang menggoda sekaligus licik, ia melanjutkan, "Sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Linggar."Rahang Hakam mengeras. Ia berdiri dengan cepat dan segera menarik tangan Faryn. Wanita itu tersentak. Ia terpaksa mengikuti gerakan Hakam. Orang-orang di sekitar mereka pun langsung menoleh ke arah mereka berdua.Saat akan memasuki lift, Faryn menghentak tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman erat Hakam. “Apaan sih pakai tarik-tarik segala?” sungut Faryn.Pergelangan tangannya memerah. Sebelah tangannya memegangi pergelangan tangan. Hakam melirik sekilas, lalu tatapannya beralih pada wajah wanita berambut sebahu di hadapannya. Wajah wanita itu memerah padam, tanda ia tengah menahan amarah.“Itu tidak lebih sakit dibanding yang dirasakan kakak saya jika mengetahui perbuatan suaminya.”“Kalau Anda ingin membalaskan rasa sakit yang belum dirasakan oleh kakak Anda, lampiaskan saja ke Linggar.”Faryn berbalik, bersiap pergi meninggalkan pria tidak sopan itu. Enak saja dia dijadikan pelampiasan amarah orang lain yang tidak ia kenal. Sebelum sempat kakinya melangkah, sekali lagi, tangan wanita itu dicengkeram oleh Hakam. Tubuh Faryn pun otomatis berbalik kembali ke hadapan adik ipar Linggar.“Anda adalah sumber masalahnya,” desis Hakam tepat di depan wajah Faryn. Tanpa memberikan wanita selingkuhan itu kesempatan berbicara, ia langsung membawa Faryn masuk ke dalam lift dan menekan angka lantai yang dituju olehnya tanpa sekalipun melepaskan tangannya.Faryn menelan salivanya. Hawa mengintimidasi yang menguar dari Hakam lebih terasa saat mereka berada di dalam ruangan sempit seperti ini. Hal itu menciutkan nyalinya.Mereka berhenti di depan sebuah kamar. Pikiran Faryn bekerja maksimal untuk mengetahui apa maksud dari tindakan Hakam. Sesaat setelah mereka masuk, maniknya terpukau dengan interior kamar itu. Ia belum pernah menginap di hotel semewah itu.Kira-kira berapa ya harga sewanya semalam? batin Faryn. Untuk sesaat pikirannya teralihkan. Sampai-sampai,ia tidak tahu sejak kapan Hakam sudah melepaskan jas dan menggulung lengan kemejanya. Tampak begitu berkuasa.“Anda bilang hanya Linggar yang bisa memberikan apa yang Anda inginkan.” Suara bariton itu kembali memenuhi telinga Faryn , mengembalikan kesadarannya.“Iya.” Meski kesadarannya telah kembali, manik Faryn tidak bisa beralih sedikit pun. Dekorasi kamar ini terlalu menarik perhatiannya.“Saya harap Anda bisa menarik kata-kata Anda itu setelah ini.”Dengan gerakan yang begitu cepat, bahkan otak Faryn tidak bisa mencerna apa yang terjadi, ia bisa merasakan ada sentuhan hangat dan lembut di bibirnya dengan sedikit rasa kopi. Faryn mengedip pelan. Setelah sentuhan itu bergerak melumat bibinya, dirinya baru menyadari sesuatu.Hakam tengah mencium dirinya!Faryn tidak mengira jika Hakam akan menciumnya. Terlebih lagi setelah mereka berselisih seperti tadi. Dan juga ... mereka tidak saling mengenal. Lalu apa yang saat ini terjadi?Lumatan itu semakin menekan bibir Faryn kala ia hendak memberontak. Kedua lengannya ditahan demikian erat oleh Hakam, membatasi gerakannya. Karena merasa kalah oleh tenaga Hakam, wanita itu tidak kehabisan akal. Ia gigit bibir bawah pria itu hingga akhirnya tautan bibir mereka terlepas.Langsung saja, tangan Faryn dengan gemulai melayangkan tamparan pada pipi Hakam. "Kamu pikir saya perempuan apa sampai kamu berhak mencium seenaknya?" bentak Faryn dengan nada tinggi. Tatapannya nyalang, deru napasnya memburu karena amarah yang tidak lagi dapat ditahan.Hakam tersenyum miring. Ibu jari tangan kanannya mengusap bibir bawahnya yang sedikit terluka. Tatapannya sulit diartikan. Namun, wajahnya memerah. Entah karena marah atau mungkin ... berhasrat."Perempuan murahan tentu saja. Memang harus dianggap sebagai apa lag
Faryn menghela napas pelan begitu selesai menghias diri. Sesekali ia meringis karena sisa sakit yang masih ia rasakan kemarin. Kalau bukan karena permintaan Linggar, ia tidak akan mau untuk datang di acara ulang tahun anak pertamanya.Faryn bisa mengacungkan dua ibu jari untuk keberanian Linggar yang mengundang selingkuhannya ke acara bahagia keluarga mereka. Karena biasanya seorang suami akan menutupi identitas selingkuhannya. Tapi ... Linggar memang sedikit berbeda. Entah apa yang direncanakan pria itu.Sekali lagi, ia mematut penampilannya di depan cermin. Sesuai permintaan Linggar, Faryn mengenakan pakaian yang sedikit seksi. Pria beristri itu tidak menjelaskan apa maksud dari permintaannya tersebut.Yah, bagi Faryn itu bukan hal sulit selama pakaian itu sudah disiapkan oleh Linggar dan dibelikan olehnya."Ck, sial. Sakit banget sih," keluh Faryn.Dalam hati, Faryn berjanji bahwa rasa sakit ini adalah yang pertama dan yang terakhir. Ia tidak ingin diganggu oleh apapun, termasuk ra
Wajah Linggar tampak kusut. Begitu pula dengan Faryn. Semua yang sudah pria itu rencanakan gagal dan harus berubah total. Yang lebih menyebalkan adalah ia tidak mengantisipasi sejauh ini untuk membuat rencana cadangan.Rencana Linggar sudah cukup matang, tapi dikacaukan hanya dengan satu ucapan dari Hakam."Kamu yakin nggak punya hubungan apapun sama Hakam? Teman lama mungkin?"Faryn menggeleng. Linggar menghela napas panjang. "Aku mengenal Hakam hampir dari kecil. Dan yang aku tahu, dia bukan tipe yang akan mengambil keputusan berisiko secara mendadak.""Menurut kamu menikahi aku itu sebuah resiko?" tanya Faryn agak tersinggung."Ya jelas dong. Dia tahu hubungan kita. Kalau secara logikanya, pelakor seperti kamu akan dijauhkan dari keluarga si korban. Dengan dia menikahi kamu, berarti dia memberikan celah untuk kita bertemu," jelas Linggar diikuti gerakan tangan.Ya betul juga sih. Secara logika, seharusnya itu yang dilakukan Hakam. Tapi, mengapa justru ini berkebalikan."Nggak tahula
Mereka tiba di rumah sakit swasta yang terkenal hanya untuk kalangan kelas sosial atas. Dulu Faryn hanya bisa melihatnya di media sosial, pada akun para artis yang dirawat di sana. Kini ia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung.Yah, sebesar dan semegah apapun bangunan yang tengah ia pijak ini, tetap saja ia tidak ingin tinggal ataupun sekedar merebahkan diri di ranjang yang disediakan bila harus ditukar dengan kesehatannya.Di ujung lorong di lantai lima rumah sakit ini, Faryn bisa melihat orang-orang yang merupakan keluarga Hakam dan Linggar berkumpul. Setelah keributan yang dibuat oleh Hakam tadi siang, seharusnya Faryn tidak datang ke sini. Apalagi jika berkemungkinan mengundang keributan."Hakam, akhirnya datang juga. Kamu habis dari mana sih?" tanya seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang cukup elegan untuk datang ke rumah sakit."Maaf, Bun. Tadi lagi di luar soalnya. Kondisi Nenek gimana, Bun?""Sudah lewat masa kritisnya. Tapi masih belum sadarkan diri." Terdenga
Dahi Faryn sedikit berkerut saat duduk di depan meja dokter spesialis kandungan. Ia dan ‘calon mama mertua yang tidak diharapkan’ duduk bersampingan menunggu sang dokter membawa hasil lab pemeriksaan. Ia berpikir bukan karena khawatir akan hasil dari pemeriksaan, melainkan ia belum mematangkan rencana cadangannya.“Saya yakin anak saya tidak serendah itu menghamili wanita secara sembarangan,” kata si calon mama mertua yang bernama Mama Adelina. Perkataan itu memang memecahkan keheningan dalam ruangan. Namun, membangkitkan kekesalan Faryn.Orang tua yang satu ini pasti sangat membanggakan anak lelakinya sampai percaya jika anaknya tidak mungkin melakukan kesalahan.“Dan kebetulan saya bukan wanita sembarangan,” balas Faryn tak acuh. Ia memang bukan wanita sembarangan. Ia selingkuhan menantunya.Mama mendengus mencemooh. “Ya memang bukan wanita sembarangan. Tapi wanita penggoda.”Tangan Faryn terkepal erat. Ia menahan diri untuk tidak membalas ucapan ibu dari Hakam. Seandainya dokter ti
Menang? Apanya yang menang?Faryn justru sudah kalah telak. Godaan yang awalnya hanya ia gunakan untuk membalas ucapan Mama Adel dan senjata membungkam wanita itu, ternyata malah berbalik kembali menyerangnya."Seharusnya kamu bisa mengendalikan istri muda kamu! Kenapa jadi menyalahkan aku?!" bentak Mama Adel."Kok jadi aku yang bersalah? Anaknya sakit, ya wajar dong kalau dibawa ke rumah sakit," bantah sang suami tak kalah sengit."Wanita itu bilang kalau kamu yang suruh ke rumah sakit itu. Padahal kamu tahu aku akan pergi ke sana dengan perempuan ini," kata Mama Adel sambil menuding Faryn yang duduk anteng.Faryn duduk diam memperhatikan pertengkaran orang tua Hakam. Dari adu mulut yang ia dengar selama setengah jam lebih di ruang tamu rumah keluarga Laksamana ini, dapat ia tarik kesimpulan. Perempuan yang beberapa saat lalu ia temui di rumah sakit adalah pemicunya. Tapi, Faryn tidak sepenuhnya yakin jika Tantri yang bersalah atas semua yang terjadi.Jika dilihat secara kasat mata s
Hakam masih berkutat dengan laptop di atas meja kerja dalam kamarnya ketika suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian."Mas, dipanggil Bapak ke taman belakang."Suara dari asisten rumah tangga itu membuat Hakam terdiam sesaat. Lalu ia menjawab dengan sedikit berteriak, "Iya. Tunggu sebentar."Hakam menekan beberapa tombol di papan ketik sebelum menutup layarnya. Ia lepaskan kacamata khusus yang biasa gunakan saat memakai laptopnya untuk mengurangi pancaran radiasi. Ia tahu malam ini giliran sang ayah yang berbicara dengannya secara empat mata.Setelah berjalan ke taman belakang rumahnya dengan mencari beribu alasan atas beribu pertanyaan yang mungkin nanti diucapkan Papa Pram, Hakam menarik napas dalam-dalam.Dari belakang punggung sang ayah, Hakam bisa melihat jika Papa Pram tampak sedang menelepon seseorang. Karena sadar akan kehadiran pria itu, beliau menolehkan kepala ke belakang dan segera menutup sambungan telepon."Sini."Hanya satu perintah. Tapi Hakam tahu Papa Pram
Faryn memainkan jemarinya di atas meja di kamar. Di depannya, layar gawai masih menyala, menampilkan pop up pesan terakhir dari Linggar. Sedikit tidak menyangka bahwa ternyata perkiraan dan rencananya akan berbanding terbalik dengan kenyataan.Sebuah embusan muncur dari bibirnya. Tak lama diikuti dengan sebuah senyuman penuh arti. Memang berbanding terbalik sih, tapi semuanya terasa lebih mudah.Saat Faryn hendak mengetikan pesan balasan pada Linggar, pria itu lebih dulu menelponnya. Sebelah alis indah di wajah Faryn terangkat. Dia tidak langsung mengangkat telepon itu. Dibiarkan Linggar menunggu hingga panggilan dering kelima."Halo," sapanya kemudian.Hening. Tidak ada suara untuk beberapa detik. "Jangan mempermainkan aku, Faryn."Kelopak manik Faryn mengedip pelan, "Mempermainkan?""Sudah seharusnya kamu mengangkat telepon begitu ada panggilan masuk dariku," balas Linggar dengan nada kesal.Sekuat tenaga wanita itu menahan tawanya yang hampir lepas. Rupanya Linggar tidak suka dibua