Share

Jadi Istri Dadakan
Jadi Istri Dadakan
Author: Aru Arumi

Wanita Cadangan

Jauhi suami kakak saya."

Cangkir di tangan Faryn berhenti tepat di depan bibirnya. Teh hangatnya belum diseruput. Untuk sesaat dia tertegun dengan permintaan orang di depannya.

Belum juga ada lima menit dia duduk. Sudah ditodong dengan pernyataan seperti itu.

Faryn dengan tenang menyeruput pelan teh. Lalu meletakan cangkir tesebut dengan gerakan anggun. Salah satu kaki tersilang, punggung bersandar, dan bibir menyunggingkan senyuman.

"Sorry?"

Tatapan pria di depan Faryn tidak berubah sama sekali sejak ia datang dan memulai percakapan. Ya, itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh pria itu.

"Jauhi suami kakak saya," ulangnya sekali lagi. Nada datar, tatapan tajam, dan wajah serius.

Faryn tertawa canggung. "Saya tidak mengerti maksud Anda."

"Anda jelas sangat memahami apa yang saya maksud."

"Oh ya?"

Pria itu mengedipkan mata sekali tapi tidak mengubah tatapan tajamnya. Faryn pun melanjutkan, "Atas dasar apa Anda berkata bahwa saya memahami maksud Anda? Mengenal Anda saja tidak. Apalagi mengetahui maksud Anda?"

Dengan gerakan tenang dan tanpa mengalihkan pandangan, pria tampan itu mengeluarkan selembar kertas dari balik saku jas mewahnya. Sebuah foto di mana Faryn tengah tertawa bersama Linggar yang tampak tersenyum.

"Wow," Faryn meraih foto yang di letakan di atas meja. Ia perhatikan objek yang ada tercetak di sana. “Ternyata saya cantik juga difoto dari samping. Kamera apa yang dipakai?"

"Kita tidak sedang membahas itu."

"Tapi sepertinya memang bukan faktor kameranya. Ini mah sayanya yang memang cantik," sambung Faryn tidak mengindahkan ucapan orang di depannya.

Pria tadi mengetatkan rahangnya. Wanita ini ... mulai menggerus kesabarannya.

"Kakak saya sedang hamil anak kedua mereka. Keluarga mereka sangat harmonis. Saya tidak ingin ada 'hama' seperti Anda di dalam rumah tangganya yang ditumbuhi bunga kebahagiaan."

Begitu datarnya nada bicara pria itu hingga membuat Faryn sangat tersinggung. Seolah menjadi selingkuhan adalah memang keinginannya.

Well, dia menginginkan hasil dari menjadi seorang selingkuhan lebih tepatnya.

"Hama?" Faryn tertawa sinis.

Pria itu diam. Menunggu kalimat bodoh selanjutnya dari Faryn. Wanita itu meletakan kembali foto ke atas meja. Memberikan tatapan mencemooh padanya.

"Setiap dari kita adalah hama bagi yang lain. Anda saja sudah menjadi hama bagi saya sejak pertama kali saya duduk di sini. Menelpon dengan nada mengintimidasi, menyuruh saya datang, tidak mengenalkan diri, dan sekarang menyebut saya hama. Kita berdua," Faryn memajukan wajahnya, "sama-sama menganggu. Meski dengan level yang berbeda."

Pria berjas mewah mengambil kopinya yang sudah dingin, menyeruputnya dengan gaya khas lelaki berkuasa. Faryn kira hal seperti itu hanya akan ada di film-film. Ternyata di kehidupan nyata pun ada.

"Anda memang pantas diganggu. Agar Anda tahu diri," katanya tajam.

Faryn kembali menyandarkan punggung. Tangannya menyilang di depan dada. Pria itu kembali melanjutkan, "Sekali lagi. Jauhi suami kakak saya. Ini bukan sebuah permintaan. Tapi peringatan."

Sebelah alis Faryn terangkat, "Jauhi suami kakak Anda dan dekati Anda sebagai gantinya?" Nada usil meluncur dari bibir mungil merah wanita itu.

"Saya tidak ingin didekati oleh wanita seperti Anda."

Wanita dengan rambut lurus sebahu itu mendengus geli. "Saya juga tidak ingin menjauh dari kakak ipar Anda."

Pria di depannya itu kini mulai terlihat terusik. Keras kepala sekali, pikirnya. Apa semua perempuan 'cadangan' memang bersifat seperti dia?

"Terus bersama pria yang sudah beristri akan membuat harga diri Anda terlihat rendah di masyarakat," imbuhnya. Matanya menelisik lurus wajah manis Faryn.

Ia akui, wanita di hadapannya kini adalah wanita cerdas, tahu apa yang diinginkan, dan tentu saja sangat keras kepala. Tapi bukan Mahakam Laksmana namanya jika tidak bisa membuat Faryn Titis Kemala menuruti kemauannya.

"Terus berbicara dengan saya akan membuang-buang waktu Anda. Karena saya tidak akan berubah pikiran," balas Faryn.

Setelah sekian waktu berjalan, akhirnya Mahakam menunjukan ketidaksukaannya pada Faryn melalui ekspresi wajahnya. Dahi pria itu berkerut dalam. Otot di dahinya sedikit menonjol saat menanggapi ucapan Faryn.

"Anda tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri Anda?"

Faryn mengangkat bahunya tak acuh, "Sama seperti Anda," jawabnya enteng.

"Apa?" Nada bicara Hakam sedikit meninggi. Sialan. Berani betul wanita rendahan sepertinya berbicara seperti itu.

Sudut bibir Faryn tertarik ke samping. "Anda tentunya juga tidak peduli apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang diri Anda."

Jari telunjuk Faryn mengusap pinggiran cangkir tehnya dengan gerakan pelan. Tatapannya terarah ke teh hijau. Lalu beralih menatap Hakam, adik dari teman lamanya.

"Anda tahu yang saya maksud,” sambung Faryn menyalin ucapan Hakam sebelumnya.

Hakam mendengus keras dengan maksud menghina Faryn. "Anda meminta ganti uang?"

Faryn menggeleng, "Uang bukan satu-satunya yang diberikan oleh Linggar."

"Tidak mungkin Linggar memberikan Anda cinta."

"Setidaknya dia bisa memberikan kebutuhan saya yang lain."

Ekspresi Hakam berubah menjadi jijik. Sekali lagi ia mendengus menghina. "Ternyata Anda sangat murahan."

Faryn mencebikan bibir, "Bukan murahan. Tapi manusiawi. Anda juga pasti membutuhkannya."

Sial sial sial. Wanita ini pandai sekali bersilat lidah, batin Hakam. Ia bahkan tidak bisa mengintimidasi dirinya. Jalan pikirannya terlalu sulit untuk dibaca oleh pria sepertinya yang terbiasa mendominasi.

"Apa yang Anda inginkan?"

"Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Anda."

Dengan tatapan yang menggoda sekaligus licik, ia melanjutkan, "Sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Linggar."

Rahang Hakam mengeras. Ia berdiri dengan cepat dan segera menarik tangan Faryn. Wanita itu tersentak. Ia terpaksa mengikuti gerakan Hakam. Orang-orang di sekitar mereka pun langsung menoleh ke arah mereka berdua.

Saat akan memasuki lift, Faryn menghentak tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman erat Hakam. “Apaan sih pakai tarik-tarik segala?” sungut Faryn.

Pergelangan tangannya memerah. Sebelah tangannya memegangi pergelangan tangan. Hakam melirik sekilas, lalu tatapannya beralih pada wajah wanita berambut sebahu di hadapannya. Wajah wanita itu memerah padam, tanda ia tengah menahan amarah.

“Itu tidak lebih sakit dibanding yang dirasakan kakak saya jika mengetahui perbuatan suaminya.”

“Kalau Anda ingin membalaskan rasa sakit yang belum dirasakan oleh kakak Anda, lampiaskan saja ke Linggar.”

Faryn berbalik, bersiap pergi meninggalkan pria tidak sopan itu. Enak saja dia dijadikan pelampiasan amarah orang lain yang tidak ia kenal. Sebelum sempat kakinya melangkah, sekali lagi, tangan wanita itu dicengkeram oleh Hakam. Tubuh Faryn pun otomatis berbalik kembali ke hadapan adik ipar Linggar.

“Anda adalah sumber masalahnya,” desis Hakam tepat di depan wajah Faryn. Tanpa memberikan wanita selingkuhan itu kesempatan berbicara, ia langsung membawa Faryn masuk ke dalam lift dan menekan angka lantai yang dituju olehnya tanpa sekalipun melepaskan tangannya.

Faryn menelan salivanya. Hawa mengintimidasi yang menguar dari Hakam lebih terasa saat mereka berada di dalam ruangan sempit seperti ini. Hal itu menciutkan nyalinya.

Mereka berhenti di depan sebuah kamar. Pikiran Faryn bekerja maksimal untuk mengetahui apa maksud dari tindakan Hakam. Sesaat setelah mereka masuk, maniknya terpukau dengan interior kamar itu. Ia belum pernah menginap di hotel semewah itu.

Kira-kira berapa ya harga sewanya semalam? batin Faryn. Untuk sesaat pikirannya teralihkan. Sampai-sampai,ia tidak tahu sejak kapan Hakam sudah melepaskan jas dan menggulung lengan kemejanya. Tampak begitu berkuasa.

“Anda bilang hanya Linggar yang bisa memberikan apa yang Anda inginkan.” Suara bariton itu kembali memenuhi telinga Faryn , mengembalikan kesadarannya.

“Iya.” Meski kesadarannya telah kembali, manik Faryn tidak bisa beralih sedikit pun. Dekorasi kamar ini terlalu menarik perhatiannya.

“Saya harap Anda bisa menarik kata-kata Anda itu setelah ini.”

Dengan gerakan yang begitu cepat, bahkan otak Faryn tidak bisa mencerna apa yang terjadi, ia bisa merasakan ada sentuhan hangat dan lembut di bibirnya dengan sedikit rasa kopi. Faryn mengedip pelan. Setelah sentuhan itu bergerak melumat bibinya, dirinya baru menyadari sesuatu.

Hakam tengah mencium dirinya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status