Wajah Linggar tampak kusut. Begitu pula dengan Faryn. Semua yang sudah pria itu rencanakan gagal dan harus berubah total. Yang lebih menyebalkan adalah ia tidak mengantisipasi sejauh ini untuk membuat rencana cadangan.
Rencana Linggar sudah cukup matang, tapi dikacaukan hanya dengan satu ucapan dari Hakam."Kamu yakin nggak punya hubungan apapun sama Hakam? Teman lama mungkin?"Faryn menggeleng. Linggar menghela napas panjang. "Aku mengenal Hakam hampir dari kecil. Dan yang aku tahu, dia bukan tipe yang akan mengambil keputusan berisiko secara mendadak.""Menurut kamu menikahi aku itu sebuah resiko?" tanya Faryn agak tersinggung."Ya jelas dong. Dia tahu hubungan kita. Kalau secara logikanya, pelakor seperti kamu akan dijauhkan dari keluarga si korban. Dengan dia menikahi kamu, berarti dia memberikan celah untuk kita bertemu," jelas Linggar diikuti gerakan tangan.Ya betul juga sih. Secara logika, seharusnya itu yang dilakukan Hakam. Tapi, mengapa justru ini berkebalikan."Nggak tahulah," kata Faryn akhirnya. Ia menyerah memikirkan rencana terselubung Hakam. "Sekarang rencana kamu apa?""Ya ... nggak ada. Kita lihat dulu situasinya. Nanti kita manfaatkan celah yang ada."Faryn mendongak frustasi. Ia punya rencana sendiri untuk mencapai tujuannya. Tapi rencana itu akan mudah sekali terbongkar tanpa penggabungan dengan rencana Linggar.Manik Faryn terpejam. Sebenarnya ada cara paling cepat untuk mengakhiri kekacauan ini. Mereka hanya perlu menyingkarkan Hakam. Terdengar mudah, tapi sebenarnya sulit.Di tengah kekalutan pikiran mereka berdua, sebuah pesan masuk ke ponsel Faryn. Wanita itu menaikan sebelah alisnya saat membaca isi pesan."Dia mengajak aku bertemu," lapor Faryn."Malam ini?""Ya."Linggar berpikir sejenak, lalu berkata, "Kita ikuti dulu permainan Hakam untuk saat ini. Kita nggak ada pilihan."Faryn mendesah pelan.Kadang Faryn lupa bahwa dengan menyetujui permintaan Linggar beberapa waktu lalu untuk menjadikannya selingkuhan, secara tidak langsung, masalah Linggar adalah masalahnya juga. Dan sekarang, Faryn sedikit menyesal. Tidak pernah terpikirkan ia akan terlibat masalah sekonyol ini.Faryn pamit dan berniat pergi ke tempat di mana Hakam menunggu. Tapi Linggar menawarkan diri untuk mengantarnya. Sesampainya di sana, Hakam juga terlihat tidak baik-baik saja. Dia juga baru saja diinterogasi oleh keluarganya sendiri karena melamar gadis yang tidak mereka kenal sebelumnya. Padahal Hakam memiliki seorang kekasih yang sudah sangat diharapkan menjadi bagian dari keluarga mereka."Orang tua aku ingin bertemu kamu besok," ucap Hakam tanpa basa-basi. Sepertinya emang itu adalah salah satu ciri khas pria ini. Ia sengaja mengubah kalimatnya menjadi tidak formal agar lebih leluasa dalam menyampaikan maksud."Memangnya saya mau?" Faryn tersenyum mencemooh.Tatapan Hakam berubah tidak suka. Lalu Faryn melanjutkan, "Anda seharusnya bertanya terlebih dahulu saya ingin menikah dengan Anda atau tidak. Baru mengajak saya menemui orang tua Anda."Faryn menatap ke depan. Tempat yang dipilih oleh Hakam kali ini jauh berbeda dari yang sebelumnya. Sekarang mereka tengah berada di sebuah warung jagung bakar di atas bukit dengan pemandangan lampu-lampu malam yang berkelap-kelip. Udaranya terasa sejuk.Mungkin memang itulah tujuan Hakam membawanya ke sini. Agar ia bisa berpikir jernih dan mereka bisa saling bicara tanpa emosi.Hakam menyugar rambutnya ke belakang dengan gusar. "Tapi sudah terlanjur. Kamu tidak memiliki pilihan lain.""Anda yang tidak memiliki pilihan. Saya dari awal memang tidak berurusan dengan Anda. Saya bisa memilih untuk menjadi selingkuhan Linggar.""Justru itu masalahnya! Aku bilang ke orang tua aku, kalau kamu hamil anakku," ucap Hakam dengan nada tinggi. Untung saja malam ini bukan Malam Minggu dan hujan juga baru saja reda. Jadi, sekitar mereka tidak begitu ramai.Faryn menyipitkan matanya. "Tapi saya tidak hamil. Kita bahkan tidak melakukannya dengan benar." Meski masih perawan sebelum kemarin, ia tahu bagaimana cara melakukannya melalui film yang pernah ia tonton.Ucapan itu membuat pipi Hakam memerah seketika. Apa perempuan ini berharap diperlakukan dengan lembut saat itu? Ah, siapa juga yang tidak ingin diperlakukan dengan lembut saat pertama kali melakukannya?Hakam mengusap tengkuknya, "Y-Ya kalau ingin melakukan dengan benar, kita harus menikah dulu."Sungguh, Hakam merasa malu mengatakannya. Seolah ia menikahi Faryn hanya untuk memuaskan diri. Padahal tujuannya menikahi wanita itu adalah untuk mengawasi tindak tanduk Faryn sebagai selingkuhan Linggar. Dan juga karena ia merasa bersalah telah merenggut paksa kehormatannya."Saya tidak mau," tolak Faryn dengan nada datar.Penolakan Faryn membuat Hakam kembali memfokuskan diri padanya. "Kenapa?"Hakam yakin ia memiliki semua kualifikasi dan kualitas sebagai suami yang diinginkan oleh seorang wanita. Lalu mengapa Faryn tidak menginginkannya. "Kamu nggak berniat meminta Linggar menikahi kamu, kan?""Memangnya ada seorang selingkuhan yang tidak ingin dinikahi?" tanya Faryn balik.Rahang Hakam mengetat. Otot di pelipisnya menonjol. "Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari Linggar? Harta? Aku bisa berikan lebih dari yang dia kasih. Cinta? Aku bisa mengusahakan supaya bisa jatuh cinta kepada kamu. Yang bisa Linggar beri ke kamu, pasti juga bisa aku berikan. Kamu hanya perlu menjauh dari Linggar," desis Hakam dengan menekan hampir setiap katanya.Andai Faryn tidak memiliki niat terselubung mendekati Linggar, tentu ia akan menyetujui permintaan Hakam untuk menikah dengannya. Sayangnya, Faryn tidak memiliki tujuan hidup kecuali hanya untuk membalaskan dendamnya.Hakam masih memberikan tatapan tajam pada Faryn. Lalu wanita itu pun teringat perkataan Linggar. Untuk kali ini, ia akan mengikuti keinginan Hakam. Setelahnya, ia akan mencari cara termudah membalaskan dendam pada keluarga Linggar dan meninggalkan Hakam. Toh, mereka memang tidak seharusnya saling bersinggungan satu sama lain."Berapa lama?"Raut wajah Hakam berubah bingung. "Apanya?""Berapa lama saya harus menjadi istri Anda?"Yah, sepertinya tidak buruk juga dari selingkuhan bayaran menjadi istri pura-pura."Aku nggak menawarkan sebuah pernikahan kontrak," jawabnya masih kebingungan dan agak tersingung.Giliran Faryn yang heran. "Maksud Anda, Anda menawarkan pernikahan seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya?""Tentu saja. Kenapa harus menikah kontrak kalau aku bisa menikahi kamu seperti seharusnya?""Kita tidak saling cinta.""Lalu?""Kita tidak seharusnya menikah seperti itu.""Jika itu hanya alasan kamu menolak sekali lagi, bagaimana kalau aku memberikan jaminan?" kata Hakam spontan.Faryn semakin keheranan. "Jaminan? Jaminan apa?""Jaminan kalau sekalipun aku tidak memiliki perasaan kepada kamu, aku nggak akan meninggalkan kamu."Faryn langsung merubah ekspresinya menjadi malas. Berkebalikan dengan Hakam yang terlihat berharap.Ah, bullshit.Belum sempat Hakam mendengar jawaban Faryn atas jaminannya, ia mendapatkan telpon. Ia sedikit bergeser dari tempatnya semula saat mengangkatnya. Suaranya tetap tenang tapi ekspresinya terlihat sedikit kalut."Kamu ikut aku sekarang.""Nggak mau." Setelah beberapa kali mendengar ucapan informal Hakam, akhirnya Faryn mengikuti caranya berbicara."Kamu nggak mungkin bisa pulang kalau bukan aku yang antar.""Aku bisa pesan lewat online.""Ojek online mana yang mau menjemput ke atas bukit di jam segini?"Benar juga. Ini sudah hampir tengah malam. Penjual jagung bakarnya sendiri pun sudah mau tutup. Sekitarnya juga mulai sepi.Dengan terpaksa, Faryn pun mennyambut tawaran itu. Di dalam mobil, ia bertanya, "Kita akan ke mana?""Ke rumah sakit. Nenek Gie terkena serangan jantung," jelas Hakam singkat.Nenek Gie? Nenek dari Linggar?"Kamu pasti pernah diceritakan oleh Linggar perihal neneknya, kan? Linggar sangat dekat dengan neneknya."Faryn tidak pernah tahu soal Nenek Gie dari Linggar. Ia tidak perlu tahu. Karena Faryn sudah pernah menemui nenek tua itu dulu saat ia kecil. Hanya beberapa kali bertemu tapi pertemuannya sangat membekas sampai-sampai membuatnya benci."Ya. Aku rasa pernah,” bohong Faryn.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, otak Faryn terus berpikir. Mengapa Hakam harus ikut menjenguk nenek tua itu? Apakah hubungan keluarga mereka sangat dekat?"Keluarga kamu dengan keluarga Linggar pasti sangat dekat," ucap Faryn berusaha memancing informasi.Hakam menganguk sambil terus fokus menyetir. "Karena mamaku sebenarnya adalah anak asuh Nenek Gie."Jackpot.Faryn merasa baru saja memenangkan taruhan. Ia sempat berpikir bahwa akan sangat sulit menjalankan misinya sendiri jika berhubungan dengan Hakam. Tapi ternyata, ini akan lebih mudah dari bayangannya.Ia memiliki kesempatan lebih besar sekarang. Ia harus memikirkan rencananya matang-matang.Dan Hakam bisa menjadi batu tumpuannya.Mereka tiba di rumah sakit swasta yang terkenal hanya untuk kalangan kelas sosial atas. Dulu Faryn hanya bisa melihatnya di media sosial, pada akun para artis yang dirawat di sana. Kini ia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung.Yah, sebesar dan semegah apapun bangunan yang tengah ia pijak ini, tetap saja ia tidak ingin tinggal ataupun sekedar merebahkan diri di ranjang yang disediakan bila harus ditukar dengan kesehatannya.Di ujung lorong di lantai lima rumah sakit ini, Faryn bisa melihat orang-orang yang merupakan keluarga Hakam dan Linggar berkumpul. Setelah keributan yang dibuat oleh Hakam tadi siang, seharusnya Faryn tidak datang ke sini. Apalagi jika berkemungkinan mengundang keributan."Hakam, akhirnya datang juga. Kamu habis dari mana sih?" tanya seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang cukup elegan untuk datang ke rumah sakit."Maaf, Bun. Tadi lagi di luar soalnya. Kondisi Nenek gimana, Bun?""Sudah lewat masa kritisnya. Tapi masih belum sadarkan diri." Terdenga
Dahi Faryn sedikit berkerut saat duduk di depan meja dokter spesialis kandungan. Ia dan ‘calon mama mertua yang tidak diharapkan’ duduk bersampingan menunggu sang dokter membawa hasil lab pemeriksaan. Ia berpikir bukan karena khawatir akan hasil dari pemeriksaan, melainkan ia belum mematangkan rencana cadangannya.“Saya yakin anak saya tidak serendah itu menghamili wanita secara sembarangan,” kata si calon mama mertua yang bernama Mama Adelina. Perkataan itu memang memecahkan keheningan dalam ruangan. Namun, membangkitkan kekesalan Faryn.Orang tua yang satu ini pasti sangat membanggakan anak lelakinya sampai percaya jika anaknya tidak mungkin melakukan kesalahan.“Dan kebetulan saya bukan wanita sembarangan,” balas Faryn tak acuh. Ia memang bukan wanita sembarangan. Ia selingkuhan menantunya.Mama mendengus mencemooh. “Ya memang bukan wanita sembarangan. Tapi wanita penggoda.”Tangan Faryn terkepal erat. Ia menahan diri untuk tidak membalas ucapan ibu dari Hakam. Seandainya dokter ti
Menang? Apanya yang menang?Faryn justru sudah kalah telak. Godaan yang awalnya hanya ia gunakan untuk membalas ucapan Mama Adel dan senjata membungkam wanita itu, ternyata malah berbalik kembali menyerangnya."Seharusnya kamu bisa mengendalikan istri muda kamu! Kenapa jadi menyalahkan aku?!" bentak Mama Adel."Kok jadi aku yang bersalah? Anaknya sakit, ya wajar dong kalau dibawa ke rumah sakit," bantah sang suami tak kalah sengit."Wanita itu bilang kalau kamu yang suruh ke rumah sakit itu. Padahal kamu tahu aku akan pergi ke sana dengan perempuan ini," kata Mama Adel sambil menuding Faryn yang duduk anteng.Faryn duduk diam memperhatikan pertengkaran orang tua Hakam. Dari adu mulut yang ia dengar selama setengah jam lebih di ruang tamu rumah keluarga Laksamana ini, dapat ia tarik kesimpulan. Perempuan yang beberapa saat lalu ia temui di rumah sakit adalah pemicunya. Tapi, Faryn tidak sepenuhnya yakin jika Tantri yang bersalah atas semua yang terjadi.Jika dilihat secara kasat mata s
Hakam masih berkutat dengan laptop di atas meja kerja dalam kamarnya ketika suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian."Mas, dipanggil Bapak ke taman belakang."Suara dari asisten rumah tangga itu membuat Hakam terdiam sesaat. Lalu ia menjawab dengan sedikit berteriak, "Iya. Tunggu sebentar."Hakam menekan beberapa tombol di papan ketik sebelum menutup layarnya. Ia lepaskan kacamata khusus yang biasa gunakan saat memakai laptopnya untuk mengurangi pancaran radiasi. Ia tahu malam ini giliran sang ayah yang berbicara dengannya secara empat mata.Setelah berjalan ke taman belakang rumahnya dengan mencari beribu alasan atas beribu pertanyaan yang mungkin nanti diucapkan Papa Pram, Hakam menarik napas dalam-dalam.Dari belakang punggung sang ayah, Hakam bisa melihat jika Papa Pram tampak sedang menelepon seseorang. Karena sadar akan kehadiran pria itu, beliau menolehkan kepala ke belakang dan segera menutup sambungan telepon."Sini."Hanya satu perintah. Tapi Hakam tahu Papa Pram
Faryn memainkan jemarinya di atas meja di kamar. Di depannya, layar gawai masih menyala, menampilkan pop up pesan terakhir dari Linggar. Sedikit tidak menyangka bahwa ternyata perkiraan dan rencananya akan berbanding terbalik dengan kenyataan.Sebuah embusan muncur dari bibirnya. Tak lama diikuti dengan sebuah senyuman penuh arti. Memang berbanding terbalik sih, tapi semuanya terasa lebih mudah.Saat Faryn hendak mengetikan pesan balasan pada Linggar, pria itu lebih dulu menelponnya. Sebelah alis indah di wajah Faryn terangkat. Dia tidak langsung mengangkat telepon itu. Dibiarkan Linggar menunggu hingga panggilan dering kelima."Halo," sapanya kemudian.Hening. Tidak ada suara untuk beberapa detik. "Jangan mempermainkan aku, Faryn."Kelopak manik Faryn mengedip pelan, "Mempermainkan?""Sudah seharusnya kamu mengangkat telepon begitu ada panggilan masuk dariku," balas Linggar dengan nada kesal.Sekuat tenaga wanita itu menahan tawanya yang hampir lepas. Rupanya Linggar tidak suka dibua
"Itu Pak Hakam beneran resign per hari ini?""Bukannya lusa ada acara ulang tahun kantor?""Yakin sih, Pak Hakam mau membuat perusahaan sendiri. Perusahaan saingan."Bisik-bisik yang terdengar sangat jelas saat Hakam menajamkan pendengarannya dalam perjalanannya menuju ruangan, membuat telinganya memanas.Perkataan Papa Bram benar-benar diaktualisasikan. Mulai sore hari ini, Hakam resmi dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama empat tahun ini. Banyak karyawan yang celingukan, mencuri pandang ke arah ruang kerja Hakam.Seorang atasan yang dikenal anti melakukan kesalahan dalam bekerja itu, tiba-tiba saja akan berhenti bekerja.Untung saja yang mereka tahu Hakam mengundurkan diri, bukan dipecat oleh si pemilik perusahaan. Apalagi jika sampai tersiar alasan yang sebenarnya. Bisa turun harga diri seorang Mahakam Laksmana.Manik yang biasanya menatap tajam pada karyawan, kini menatap lesu pada sekitarnya. Ini serius dia harus hengkang dari ruangannya hari juga? Tidak bisa papanya m
Apa? Menginap?Kepala Faryn menoleh cepat ke belakamg. Hakan tengah menatapnya dengan pandangan ... antara serius dan memelas.Apa-apaan ini?Ujung bibir Faryn berkedut menahan geli. Orang sekaya dan semapan Hakam, ingin bermalam di rumahnya yang kecil ini?Rasanya Faryn sangat ingin tertawa."Kamu nggak salah ngomong?"Hakam tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan tatapannya yang serius. Melihat hal itu, Faryn berdeham sekali."Aku nggak tahu sebesar apa masalah yang kamu buat di rumah. Tapi rumahku ini bukan tempat menanggung beban masalah kamu."Hakam terdiam sesaat. Tatapannya masih lekat pada Faryn. Wanita tetap terlihat menarik meski sedikit lusuh setelah pulang kerja.Akhirnya, Hakam menghela napas panjang lelah dari bibirnya. "Aku juga diusir dari rumah," katanya kemudian.Eh? Diusir?"Kenapa ... diusir? Kamu kan ... anak kebanggaan mereka?" tanya Faryn dengan nada tidak percaya sampai suaranya memelan dan terputus-putus.Hakam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Kalau masalah beradu argumen, Faryn akui ia memang selalu menang melawan Hakam. Tapi kalau soal kejutan, Hakam jagonya. Satu-satunya pria yang tidak berhenti memberikannkejutan dalam hidupnya hanya Hakam seorang. Kejutan dalam arti negatif baginya.Faryn masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. Saat Pak RT kembali bersuara pun ia hanya diam dengan pikiran yang dipenuhi oleh dua kata.Nikah. Siri."E-e-e tapi Nak Faryn nggak pernah mengatakan kalau dia sudah menikah walaupun menikah siri," ujar Pak RT terbata. Beliau sendiri belum sepenuhnya tersadar dari ucapan Hakam barusan.Hakam mengangguk. Di antara mereka, hanya dia orang yang paling tenang."Saya bisa menjelaskan beberapa kemungkinan. Tapi saya rasa berbicara di depan pintu seperti ini sedikit kurang sopan," jawab Hakam sedikit menyindir.Padahal satu-satunya orang di sini yang kurang sopan adalah dirinya. Sudah bertamu seenaknya, memberikan 'kejutan', dan sekarang malah menyindir si empumya rumah."A-ah iya. Mari mari si