Hakam masih berkutat dengan laptop di atas meja kerja dalam kamarnya ketika suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian."Mas, dipanggil Bapak ke taman belakang."Suara dari asisten rumah tangga itu membuat Hakam terdiam sesaat. Lalu ia menjawab dengan sedikit berteriak, "Iya. Tunggu sebentar."Hakam menekan beberapa tombol di papan ketik sebelum menutup layarnya. Ia lepaskan kacamata khusus yang biasa gunakan saat memakai laptopnya untuk mengurangi pancaran radiasi. Ia tahu malam ini giliran sang ayah yang berbicara dengannya secara empat mata.Setelah berjalan ke taman belakang rumahnya dengan mencari beribu alasan atas beribu pertanyaan yang mungkin nanti diucapkan Papa Pram, Hakam menarik napas dalam-dalam.Dari belakang punggung sang ayah, Hakam bisa melihat jika Papa Pram tampak sedang menelepon seseorang. Karena sadar akan kehadiran pria itu, beliau menolehkan kepala ke belakang dan segera menutup sambungan telepon."Sini."Hanya satu perintah. Tapi Hakam tahu Papa Pram
Faryn memainkan jemarinya di atas meja di kamar. Di depannya, layar gawai masih menyala, menampilkan pop up pesan terakhir dari Linggar. Sedikit tidak menyangka bahwa ternyata perkiraan dan rencananya akan berbanding terbalik dengan kenyataan.Sebuah embusan muncur dari bibirnya. Tak lama diikuti dengan sebuah senyuman penuh arti. Memang berbanding terbalik sih, tapi semuanya terasa lebih mudah.Saat Faryn hendak mengetikan pesan balasan pada Linggar, pria itu lebih dulu menelponnya. Sebelah alis indah di wajah Faryn terangkat. Dia tidak langsung mengangkat telepon itu. Dibiarkan Linggar menunggu hingga panggilan dering kelima."Halo," sapanya kemudian.Hening. Tidak ada suara untuk beberapa detik. "Jangan mempermainkan aku, Faryn."Kelopak manik Faryn mengedip pelan, "Mempermainkan?""Sudah seharusnya kamu mengangkat telepon begitu ada panggilan masuk dariku," balas Linggar dengan nada kesal.Sekuat tenaga wanita itu menahan tawanya yang hampir lepas. Rupanya Linggar tidak suka dibua
"Itu Pak Hakam beneran resign per hari ini?""Bukannya lusa ada acara ulang tahun kantor?""Yakin sih, Pak Hakam mau membuat perusahaan sendiri. Perusahaan saingan."Bisik-bisik yang terdengar sangat jelas saat Hakam menajamkan pendengarannya dalam perjalanannya menuju ruangan, membuat telinganya memanas.Perkataan Papa Bram benar-benar diaktualisasikan. Mulai sore hari ini, Hakam resmi dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama empat tahun ini. Banyak karyawan yang celingukan, mencuri pandang ke arah ruang kerja Hakam.Seorang atasan yang dikenal anti melakukan kesalahan dalam bekerja itu, tiba-tiba saja akan berhenti bekerja.Untung saja yang mereka tahu Hakam mengundurkan diri, bukan dipecat oleh si pemilik perusahaan. Apalagi jika sampai tersiar alasan yang sebenarnya. Bisa turun harga diri seorang Mahakam Laksmana.Manik yang biasanya menatap tajam pada karyawan, kini menatap lesu pada sekitarnya. Ini serius dia harus hengkang dari ruangannya hari juga? Tidak bisa papanya m
Apa? Menginap?Kepala Faryn menoleh cepat ke belakamg. Hakan tengah menatapnya dengan pandangan ... antara serius dan memelas.Apa-apaan ini?Ujung bibir Faryn berkedut menahan geli. Orang sekaya dan semapan Hakam, ingin bermalam di rumahnya yang kecil ini?Rasanya Faryn sangat ingin tertawa."Kamu nggak salah ngomong?"Hakam tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan tatapannya yang serius. Melihat hal itu, Faryn berdeham sekali."Aku nggak tahu sebesar apa masalah yang kamu buat di rumah. Tapi rumahku ini bukan tempat menanggung beban masalah kamu."Hakam terdiam sesaat. Tatapannya masih lekat pada Faryn. Wanita tetap terlihat menarik meski sedikit lusuh setelah pulang kerja.Akhirnya, Hakam menghela napas panjang lelah dari bibirnya. "Aku juga diusir dari rumah," katanya kemudian.Eh? Diusir?"Kenapa ... diusir? Kamu kan ... anak kebanggaan mereka?" tanya Faryn dengan nada tidak percaya sampai suaranya memelan dan terputus-putus.Hakam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Kalau masalah beradu argumen, Faryn akui ia memang selalu menang melawan Hakam. Tapi kalau soal kejutan, Hakam jagonya. Satu-satunya pria yang tidak berhenti memberikannkejutan dalam hidupnya hanya Hakam seorang. Kejutan dalam arti negatif baginya.Faryn masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. Saat Pak RT kembali bersuara pun ia hanya diam dengan pikiran yang dipenuhi oleh dua kata.Nikah. Siri."E-e-e tapi Nak Faryn nggak pernah mengatakan kalau dia sudah menikah walaupun menikah siri," ujar Pak RT terbata. Beliau sendiri belum sepenuhnya tersadar dari ucapan Hakam barusan.Hakam mengangguk. Di antara mereka, hanya dia orang yang paling tenang."Saya bisa menjelaskan beberapa kemungkinan. Tapi saya rasa berbicara di depan pintu seperti ini sedikit kurang sopan," jawab Hakam sedikit menyindir.Padahal satu-satunya orang di sini yang kurang sopan adalah dirinya. Sudah bertamu seenaknya, memberikan 'kejutan', dan sekarang malah menyindir si empumya rumah."A-ah iya. Mari mari si
Dua minggu lagi, ya? Hakam hanya diberikan waktu dua minggu waktu yang diberikan oleh Pak RT bagi dirinya dan Faryn untuk mengurus pernikahan dan melegalkan status mereka.Hakam mengacak rambutnya frustasi. 'Kenapa semuanya jadi serba mendadak begini?' batinnya. Meski ia berhasil memperoleh ijin secara langsung oleh Pak RT untuk menginap di rumah Faryn, hal itu malah menimbulkan PR lain baginya."Makanya kalau bicara tuh dipikir dulu," kata Faryn mengolok sambil sibuk mengunyah camilan. Sedari pulang dari rumah Pak RT, toples berisi nastar tidak lepas dari pangkuannya.Hakam mendongak frustasi bercampur kesal. Dibanding mengoloknya sambil menyemil, bukankah lebih baik wanita itu membantunya memikirkan jalan keluar?"Ck. Nggak usah menambahi beban pikiran," sewot Hakam. Ia sedang tidak ingin berdebat. Jadi, mendingan keduanya sama-sama diam.Faryn hanya mengedikan bahu acuh. Melihat hal itu, Hakam jadi semakin kesal. "Yang akan aku nikahi kan kamu, harusnya kamu juga ikutan panik dong.
Faryn bangun masih dalam keadaan dongkol karena serangan balik Hakam semalam. Bisa-bisanya pria itu mencuri kesempatan di saat ia tengah serius mengusir. Tapi, meski begitu, anehnya tidur malam kemarin terasa lebih nyenyak dan menenangkan setelah ciuman yang diberikan adik dari Lintang itu.Jari telunjuk dan jari tengah Faryn meraba bibir bawahnya yang semalam terasa menggelitik. Masih bisa ia ingat bagaimana rasanya saat bibir mereka berdua menempel. Dan selintas kejadian semalam kembali mampir di kepalanya. Kali ini ciuman itu lebih lembut dibanding yang pertama.Faryn langsung menggelengkan kepala. Ia tidak ingin mengingat itu. Dia harus segera mempersiapkan diri untuk bekerja dengan orang paling dibencinya. Suasana hati yang tadi sempat membaik, sekali lagi dipenuhi dengan emosi yang bercampur."Kamu udah mau berangkat?" tanya Hakam dengan suara parau khas orang bangun tidur.Faryn yang tengah mengambil segelas air putih hangat dengan pakain yang sudah rapi dan siap berangkat."Hm
Selama perjalanan pulang, Faryn tidak berhenti memikirkan cara supaya mendapatkan posisi yang lebih 'dekat' dengan target sekaligus atasannya. Jiak memang harus menyingkirkan sekertaris pria itu, ia pasti melakukannya.Tidak peduli jika dirinya akan menggunakan cara yang sama kotornya dengan yang dilakukan Bahari dulu saat akan menyingkirkannya. Baginya, dendam ini harus dibayar tuntas selama ia hidup."Tapi, bagaimana, ya?" gumamnya pelan.Setelah merasa tidak memiliki banyak pilihan lain, Faryn sampai pada keputusan bulatnya. Ia akan merebut posisi sekertaris itu apapun caranya.Saat membuka pintu rumah, wajahnya yang tadi kebingungan berubah melongo. Rumah yang biasanya rapi, bersih, dan tertata sebelum ia berangkat kerja, kini seperti habis terkena angin topan. Berantakan dan banyak sampah di atas meja."Oh, kamu udah pulang? Biasa pulang jam segini, ya?" tanya Hakam dengan handuk di kepalanya.Perlahan kepala Faryn mendongak. "Kamu habis melakukan apa?" tanyanya dengan suara tida