Jauhi suami kakak saya."Cangkir di tangan Faryn berhenti tepat di depan bibirnya. Teh hangatnya belum diseruput. Untuk sesaat dia tertegun dengan permintaan orang di depannya.Belum juga ada lima menit dia duduk. Sudah ditodong dengan pernyataan seperti itu.Faryn dengan tenang menyeruput pelan teh. Lalu meletakan cangkir tesebut dengan gerakan anggun. Salah satu kaki tersilang, punggung bersandar, dan bibir menyunggingkan senyuman."Sorry?"Tatapan pria di depan Faryn tidak berubah sama sekali sejak ia datang dan memulai percakapan. Ya, itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh pria itu."Jauhi suami kakak saya," ulangnya sekali lagi. Nada datar, tatapan tajam, dan wajah serius.Faryn tertawa canggung. "Saya tidak mengerti maksud Anda.""Anda jelas sangat memahami apa yang saya maksud.""Oh ya?"Pria itu mengedipkan mata sekali tapi tidak mengubah tatapan tajamnya. Faryn pun melanjutkan, "Atas dasar apa Anda berkata bahwa saya memahami maksud Anda? Mengenal Anda saja tidak. Apa
Faryn tidak mengira jika Hakam akan menciumnya. Terlebih lagi setelah mereka berselisih seperti tadi. Dan juga ... mereka tidak saling mengenal. Lalu apa yang saat ini terjadi?Lumatan itu semakin menekan bibir Faryn kala ia hendak memberontak. Kedua lengannya ditahan demikian erat oleh Hakam, membatasi gerakannya. Karena merasa kalah oleh tenaga Hakam, wanita itu tidak kehabisan akal. Ia gigit bibir bawah pria itu hingga akhirnya tautan bibir mereka terlepas.Langsung saja, tangan Faryn dengan gemulai melayangkan tamparan pada pipi Hakam. "Kamu pikir saya perempuan apa sampai kamu berhak mencium seenaknya?" bentak Faryn dengan nada tinggi. Tatapannya nyalang, deru napasnya memburu karena amarah yang tidak lagi dapat ditahan.Hakam tersenyum miring. Ibu jari tangan kanannya mengusap bibir bawahnya yang sedikit terluka. Tatapannya sulit diartikan. Namun, wajahnya memerah. Entah karena marah atau mungkin ... berhasrat."Perempuan murahan tentu saja. Memang harus dianggap sebagai apa lag
Faryn menghela napas pelan begitu selesai menghias diri. Sesekali ia meringis karena sisa sakit yang masih ia rasakan kemarin. Kalau bukan karena permintaan Linggar, ia tidak akan mau untuk datang di acara ulang tahun anak pertamanya.Faryn bisa mengacungkan dua ibu jari untuk keberanian Linggar yang mengundang selingkuhannya ke acara bahagia keluarga mereka. Karena biasanya seorang suami akan menutupi identitas selingkuhannya. Tapi ... Linggar memang sedikit berbeda. Entah apa yang direncanakan pria itu.Sekali lagi, ia mematut penampilannya di depan cermin. Sesuai permintaan Linggar, Faryn mengenakan pakaian yang sedikit seksi. Pria beristri itu tidak menjelaskan apa maksud dari permintaannya tersebut.Yah, bagi Faryn itu bukan hal sulit selama pakaian itu sudah disiapkan oleh Linggar dan dibelikan olehnya."Ck, sial. Sakit banget sih," keluh Faryn.Dalam hati, Faryn berjanji bahwa rasa sakit ini adalah yang pertama dan yang terakhir. Ia tidak ingin diganggu oleh apapun, termasuk ra
Wajah Linggar tampak kusut. Begitu pula dengan Faryn. Semua yang sudah pria itu rencanakan gagal dan harus berubah total. Yang lebih menyebalkan adalah ia tidak mengantisipasi sejauh ini untuk membuat rencana cadangan.Rencana Linggar sudah cukup matang, tapi dikacaukan hanya dengan satu ucapan dari Hakam."Kamu yakin nggak punya hubungan apapun sama Hakam? Teman lama mungkin?"Faryn menggeleng. Linggar menghela napas panjang. "Aku mengenal Hakam hampir dari kecil. Dan yang aku tahu, dia bukan tipe yang akan mengambil keputusan berisiko secara mendadak.""Menurut kamu menikahi aku itu sebuah resiko?" tanya Faryn agak tersinggung."Ya jelas dong. Dia tahu hubungan kita. Kalau secara logikanya, pelakor seperti kamu akan dijauhkan dari keluarga si korban. Dengan dia menikahi kamu, berarti dia memberikan celah untuk kita bertemu," jelas Linggar diikuti gerakan tangan.Ya betul juga sih. Secara logika, seharusnya itu yang dilakukan Hakam. Tapi, mengapa justru ini berkebalikan."Nggak tahula
Mereka tiba di rumah sakit swasta yang terkenal hanya untuk kalangan kelas sosial atas. Dulu Faryn hanya bisa melihatnya di media sosial, pada akun para artis yang dirawat di sana. Kini ia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung.Yah, sebesar dan semegah apapun bangunan yang tengah ia pijak ini, tetap saja ia tidak ingin tinggal ataupun sekedar merebahkan diri di ranjang yang disediakan bila harus ditukar dengan kesehatannya.Di ujung lorong di lantai lima rumah sakit ini, Faryn bisa melihat orang-orang yang merupakan keluarga Hakam dan Linggar berkumpul. Setelah keributan yang dibuat oleh Hakam tadi siang, seharusnya Faryn tidak datang ke sini. Apalagi jika berkemungkinan mengundang keributan."Hakam, akhirnya datang juga. Kamu habis dari mana sih?" tanya seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang cukup elegan untuk datang ke rumah sakit."Maaf, Bun. Tadi lagi di luar soalnya. Kondisi Nenek gimana, Bun?""Sudah lewat masa kritisnya. Tapi masih belum sadarkan diri." Terdenga
Dahi Faryn sedikit berkerut saat duduk di depan meja dokter spesialis kandungan. Ia dan ‘calon mama mertua yang tidak diharapkan’ duduk bersampingan menunggu sang dokter membawa hasil lab pemeriksaan. Ia berpikir bukan karena khawatir akan hasil dari pemeriksaan, melainkan ia belum mematangkan rencana cadangannya.“Saya yakin anak saya tidak serendah itu menghamili wanita secara sembarangan,” kata si calon mama mertua yang bernama Mama Adelina. Perkataan itu memang memecahkan keheningan dalam ruangan. Namun, membangkitkan kekesalan Faryn.Orang tua yang satu ini pasti sangat membanggakan anak lelakinya sampai percaya jika anaknya tidak mungkin melakukan kesalahan.“Dan kebetulan saya bukan wanita sembarangan,” balas Faryn tak acuh. Ia memang bukan wanita sembarangan. Ia selingkuhan menantunya.Mama mendengus mencemooh. “Ya memang bukan wanita sembarangan. Tapi wanita penggoda.”Tangan Faryn terkepal erat. Ia menahan diri untuk tidak membalas ucapan ibu dari Hakam. Seandainya dokter ti
Menang? Apanya yang menang?Faryn justru sudah kalah telak. Godaan yang awalnya hanya ia gunakan untuk membalas ucapan Mama Adel dan senjata membungkam wanita itu, ternyata malah berbalik kembali menyerangnya."Seharusnya kamu bisa mengendalikan istri muda kamu! Kenapa jadi menyalahkan aku?!" bentak Mama Adel."Kok jadi aku yang bersalah? Anaknya sakit, ya wajar dong kalau dibawa ke rumah sakit," bantah sang suami tak kalah sengit."Wanita itu bilang kalau kamu yang suruh ke rumah sakit itu. Padahal kamu tahu aku akan pergi ke sana dengan perempuan ini," kata Mama Adel sambil menuding Faryn yang duduk anteng.Faryn duduk diam memperhatikan pertengkaran orang tua Hakam. Dari adu mulut yang ia dengar selama setengah jam lebih di ruang tamu rumah keluarga Laksamana ini, dapat ia tarik kesimpulan. Perempuan yang beberapa saat lalu ia temui di rumah sakit adalah pemicunya. Tapi, Faryn tidak sepenuhnya yakin jika Tantri yang bersalah atas semua yang terjadi.Jika dilihat secara kasat mata s
Hakam masih berkutat dengan laptop di atas meja kerja dalam kamarnya ketika suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian."Mas, dipanggil Bapak ke taman belakang."Suara dari asisten rumah tangga itu membuat Hakam terdiam sesaat. Lalu ia menjawab dengan sedikit berteriak, "Iya. Tunggu sebentar."Hakam menekan beberapa tombol di papan ketik sebelum menutup layarnya. Ia lepaskan kacamata khusus yang biasa gunakan saat memakai laptopnya untuk mengurangi pancaran radiasi. Ia tahu malam ini giliran sang ayah yang berbicara dengannya secara empat mata.Setelah berjalan ke taman belakang rumahnya dengan mencari beribu alasan atas beribu pertanyaan yang mungkin nanti diucapkan Papa Pram, Hakam menarik napas dalam-dalam.Dari belakang punggung sang ayah, Hakam bisa melihat jika Papa Pram tampak sedang menelepon seseorang. Karena sadar akan kehadiran pria itu, beliau menolehkan kepala ke belakang dan segera menutup sambungan telepon."Sini."Hanya satu perintah. Tapi Hakam tahu Papa Pram