Faryn tidak mengira jika Hakam akan menciumnya. Terlebih lagi setelah mereka berselisih seperti tadi. Dan juga ... mereka tidak saling mengenal. Lalu apa yang saat ini terjadi?
Lumatan itu semakin menekan bibir Faryn kala ia hendak memberontak. Kedua lengannya ditahan demikian erat oleh Hakam, membatasi gerakannya. Karena merasa kalah oleh tenaga Hakam, wanita itu tidak kehabisan akal. Ia gigit bibir bawah pria itu hingga akhirnya tautan bibir mereka terlepas.Langsung saja, tangan Faryn dengan gemulai melayangkan tamparan pada pipi Hakam. "Kamu pikir saya perempuan apa sampai kamu berhak mencium seenaknya?" bentak Faryn dengan nada tinggi. Tatapannya nyalang, deru napasnya memburu karena amarah yang tidak lagi dapat ditahan.Hakam tersenyum miring. Ibu jari tangan kanannya mengusap bibir bawahnya yang sedikit terluka. Tatapannya sulit diartikan. Namun, wajahnya memerah. Entah karena marah atau mungkin ... berhasrat."Perempuan murahan tentu saja. Memang harus dianggap sebagai apa lagi?" Hakam mendengus geli bercampur mencemooh."Sekalipun saya rendahan, Anda tidak memiliki hak apapun untuk mencium saya semau Anda."Dengan menghentak kaki, Faryn berjalan menuju pintu. Sebelah tangannya mengusap bibirnya yang masih basah. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Begitu banyak perasaan berkecamuk di dalam dadanya saat ini.Ia sudah melewati pintu kamar mewah di mana Hakam menginap saat sepasang tangan merangkul perutnya kencang dan menariknya kembali ke dalam kamar. Tubuhnya terpelanting ke atas kasur yang empuk. Kepalanya sedikit pusing akibat mengalami pentalan singkat. Saat ia berhasil menyesuaikan keadaan, wajah Hakam yang makin memerah terpampang jelas di hadapannya."Anda pikir Anda mau ke mana?" desis Hakam tajam. Tatapannya menusuk tatapan Faryn di bawahnya."Saya pikir Anda tidak ingin berdekatan dengan saya. Terlebih lagi sampai menyentuh kulit hina ini," timpal Faryn sama mendesisnya."Saya ingin menunjukan betapa hinanya Anda."Kedua tangan Faryn dihentakan ke sisi kepalanya dan ditahan demikian kuatnya. Faryn terus memberontak. Kepalanya bergerak seiring dengan perlawanannya hingga rambutnya kini berantakan. Tapi Hakam tidak berniat sedikit pun untuk menghentikan aksinya."Tidak ada yang tidak bisa diberikan oleh seorang pria untuk seorang wanita seperti Anda. Cari saja pria lain yang sama rendahnya dengan Anda," geram Hakam.Kemudian tangan Faryn ditarik ke atas kepalanya dan ditahan hanya dengan satu tangan berotot Hakam. Sedangkan tangan satunya, pria itu gunakan untuk membuka pakaian yang dikenakaan Faryn. Wanita itu panik bukan main. Ia tahu ke mana arah tindakan adik Lintang itu.Dan Faryn tidak mau itu terjadi.Meski kakinya terus bergerak, Hakam tidak kesulitan menarik rok yang dikenakan oleh Faryn. Lalu dengan sekali hentakan, wanita itu merasa dirinya telah terbagi dua.Rasa sakitnya berkumpul menjadi satu di satu titik di bawah sana. Ia menjerit tanpa suara. Air matanya mengalir begitu saja melewati ujung mata. Semua perlawanan Faryn berhenti total. Deru napasnya juga berhenti untuk sesaat.Sedangkan Hakam, ia juga sama. Pria itu berhenti bergerak dan juga berhenti bersuara. Tidak ada kata-kata kasar yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya, tidak ada gerakan memaksa, dan juga tidak ada keinginan untuk meneruskan tindakannya.Ia ... terkejut. Faryn masih perawan!Napas Hakam tertahan. Jantungnya mencelos mengetahui hal itu. Bagaimana bisa seorang pelakor seperti Faryn ternyata masih perawan, terlebih lagi wanita ini dan Linggar sering bertemu di hotel?Dengan perlahan, Hakam menolehkan kepala. Menatap wajah memerah Faryn yang dibasahi oleh air mata. Perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Pria itu tahu dan sangat tahu jika Faryn tengah menahan sakit yang amat sangat di titik penyatuan mereka.Hakam menelan salivanya. Perasaan bersalah menghinggapi dirinya. Sial, ia baru saja melakukan kesalahan fatal.Hakam menjauh dari tubuh setengah polos Faryn. Tautan tubuh mereka terlepas perlahan. Meski sudah terlepas, Faryn masih merasakan sakit yang sama seperti sebelumnya. Sedangkan Hakam, ia mulai panik melihat kondisinya. Lalu matanya yang tajam terpaku pada sebuah noda merah di atas sprei.Ia menyugar rambutnya ke belakang dengan risau. Ia gugup. Ia bingung. Hakam bergerak ke kanan kiri menelaah apa yang sudah ia lakukan. Sementara itu, Faryn meringkuk di atas kasur."Kamu ... kamu tunggu sebentar di sini. Aku panggil bantuan," ujar Hakam panik. Dengan segera, ia berlari ke luar kamar meninggalkan Faryn yang masih kesakitan.Di antara rasa sakitnya, dalam otak Faryn terlintas pertanyaan, 'Memangnya apa yang bisa dilakukan petugas hotel untuk seorang perempuan yang baru saja direnggut keperawanannya di kamar hotel?'Meski terlihat cerdas dan mengintimidasi, Hakam tidak lebih dari seorang laki-laki yang juga bisa merasakan panik saat menghadapi situasi di luar kendalinya. Baginya, berada di atas ranjang dengan seorang perawan adalah kesalahan besar. Ia belum pernah berhubungan dengan seorang perawan. Tentu saja ia tidak tahu bagaimana cara memperlakukan seorang perawan setelah merenggut 'mahkotanya'.Ya, Hakam tidak tidur satu ranjanng dengan seorang perawan. Dan Faryn adalah yang pertama dan satu-satunya.Dengan merintih pelan, Faryn berusaha membenahi pakaiannya yang obrak-abrik dan sobek di bagian bawah. Ia ingin pergi secepatnya dari kamar ini. Menyempatkan diri mematut penampilannya di cermin, setidaknya dia harus terlihat baik-baik saja saat keluar nanti, maniknya menatap jas Hakam yang sempat dilepas.Dirinya tidak memiliki pilihan lain. Setidaknya dengan mengenekan jas itu, ia bisa menutupi penampilannya yang berantakan. Meski kebesaran dan panjangnya hampir menutupi seuruh rok selutut yang ia kenakan, itu lebih baik dibandingkan menunjukan belahan di samping rok nya yang setinggi pinggul.Saat lift yang ia masuki membawanya ke lobi, ia bisa melihat Hakam dengan wajah paniknya. Sepertinya ia berusaha menjelaskan sesuatu pada sang resepsionis wanita. Sementara yang dijelaskan tampak mengerutkan kening mencoba memahami. Dengan melangkah tanpa berusara, Faryn bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan."Maksud Bapak, ada yang sedang mencoba bunuh diri di kamar yang Bapak pesan, begitu?" tanya sang resepsionis.Hakam mengusap wajahnya gusar. "Bukan bunuh diri. Saya sudah bilang. Dia berdarah. Hanya berdarah."Resepsionis itu tersenyum kikuk mendengar suara Hakam yang meninggi. "Kalau boleh tahu, istri Bapak berdarah karna apa?"Tangan Hakam menggebrak meja resepsionis hingga wanita dengan rambut digelung itu terlonjak kaget. Faryn juga refleks menoleh ke arah mereka."Dia bukan istri saya.""Jadi, Bapak melukai pacar Bapak?""Y-Ya. Sedikit melukai," jawabnya gugup.Sang resepsionis menarik napas dalam dan mulai bisa mencerna apa yang terjadi. Sepertinya sih."Baik. Bapak ingin kami panggilkan ambulans?" Resepsionis mengambil gagang telpon dan bersiap memanggil ambulans.Hakam mengerutkan keningnya. "Dia tidak separah itu sampai harus dibawa dengan ambulans."Resepsionis itu kembali meletakan gagang telepon di tangannya. "Lalu apa yang bisa kami lakukan untuk Bapak?"Manik Hakam berkeliaran menatap sekeliling. Kondisi Faryn tidak begitu parah seperti orang yang terancam nyawanya, tapi juga tidak sesepele teriris oleh silet cukur. Faryn hanya terluka karena ... benda tumpul.Benda tumpul yang dipaksakan.Ah, sial. Hakam tidak tahu harus berbuat apa. Ia kehabisan akal. Pria itu tanpak menarik napas dalam. Kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh Hakam, membuat Faryn kehabisan kata-kata. Bahkan untuk mengumpati dirinya pun tidak bisa.Setelah berusaha mengendalikan diri, ia akhirnya berkata, “Berikan saya plester untuk luka.”Faryn menghela napas pelan begitu selesai menghias diri. Sesekali ia meringis karena sisa sakit yang masih ia rasakan kemarin. Kalau bukan karena permintaan Linggar, ia tidak akan mau untuk datang di acara ulang tahun anak pertamanya.Faryn bisa mengacungkan dua ibu jari untuk keberanian Linggar yang mengundang selingkuhannya ke acara bahagia keluarga mereka. Karena biasanya seorang suami akan menutupi identitas selingkuhannya. Tapi ... Linggar memang sedikit berbeda. Entah apa yang direncanakan pria itu.Sekali lagi, ia mematut penampilannya di depan cermin. Sesuai permintaan Linggar, Faryn mengenakan pakaian yang sedikit seksi. Pria beristri itu tidak menjelaskan apa maksud dari permintaannya tersebut.Yah, bagi Faryn itu bukan hal sulit selama pakaian itu sudah disiapkan oleh Linggar dan dibelikan olehnya."Ck, sial. Sakit banget sih," keluh Faryn.Dalam hati, Faryn berjanji bahwa rasa sakit ini adalah yang pertama dan yang terakhir. Ia tidak ingin diganggu oleh apapun, termasuk ra
Wajah Linggar tampak kusut. Begitu pula dengan Faryn. Semua yang sudah pria itu rencanakan gagal dan harus berubah total. Yang lebih menyebalkan adalah ia tidak mengantisipasi sejauh ini untuk membuat rencana cadangan.Rencana Linggar sudah cukup matang, tapi dikacaukan hanya dengan satu ucapan dari Hakam."Kamu yakin nggak punya hubungan apapun sama Hakam? Teman lama mungkin?"Faryn menggeleng. Linggar menghela napas panjang. "Aku mengenal Hakam hampir dari kecil. Dan yang aku tahu, dia bukan tipe yang akan mengambil keputusan berisiko secara mendadak.""Menurut kamu menikahi aku itu sebuah resiko?" tanya Faryn agak tersinggung."Ya jelas dong. Dia tahu hubungan kita. Kalau secara logikanya, pelakor seperti kamu akan dijauhkan dari keluarga si korban. Dengan dia menikahi kamu, berarti dia memberikan celah untuk kita bertemu," jelas Linggar diikuti gerakan tangan.Ya betul juga sih. Secara logika, seharusnya itu yang dilakukan Hakam. Tapi, mengapa justru ini berkebalikan."Nggak tahula
Mereka tiba di rumah sakit swasta yang terkenal hanya untuk kalangan kelas sosial atas. Dulu Faryn hanya bisa melihatnya di media sosial, pada akun para artis yang dirawat di sana. Kini ia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung.Yah, sebesar dan semegah apapun bangunan yang tengah ia pijak ini, tetap saja ia tidak ingin tinggal ataupun sekedar merebahkan diri di ranjang yang disediakan bila harus ditukar dengan kesehatannya.Di ujung lorong di lantai lima rumah sakit ini, Faryn bisa melihat orang-orang yang merupakan keluarga Hakam dan Linggar berkumpul. Setelah keributan yang dibuat oleh Hakam tadi siang, seharusnya Faryn tidak datang ke sini. Apalagi jika berkemungkinan mengundang keributan."Hakam, akhirnya datang juga. Kamu habis dari mana sih?" tanya seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang cukup elegan untuk datang ke rumah sakit."Maaf, Bun. Tadi lagi di luar soalnya. Kondisi Nenek gimana, Bun?""Sudah lewat masa kritisnya. Tapi masih belum sadarkan diri." Terdenga
Dahi Faryn sedikit berkerut saat duduk di depan meja dokter spesialis kandungan. Ia dan ‘calon mama mertua yang tidak diharapkan’ duduk bersampingan menunggu sang dokter membawa hasil lab pemeriksaan. Ia berpikir bukan karena khawatir akan hasil dari pemeriksaan, melainkan ia belum mematangkan rencana cadangannya.“Saya yakin anak saya tidak serendah itu menghamili wanita secara sembarangan,” kata si calon mama mertua yang bernama Mama Adelina. Perkataan itu memang memecahkan keheningan dalam ruangan. Namun, membangkitkan kekesalan Faryn.Orang tua yang satu ini pasti sangat membanggakan anak lelakinya sampai percaya jika anaknya tidak mungkin melakukan kesalahan.“Dan kebetulan saya bukan wanita sembarangan,” balas Faryn tak acuh. Ia memang bukan wanita sembarangan. Ia selingkuhan menantunya.Mama mendengus mencemooh. “Ya memang bukan wanita sembarangan. Tapi wanita penggoda.”Tangan Faryn terkepal erat. Ia menahan diri untuk tidak membalas ucapan ibu dari Hakam. Seandainya dokter ti
Menang? Apanya yang menang?Faryn justru sudah kalah telak. Godaan yang awalnya hanya ia gunakan untuk membalas ucapan Mama Adel dan senjata membungkam wanita itu, ternyata malah berbalik kembali menyerangnya."Seharusnya kamu bisa mengendalikan istri muda kamu! Kenapa jadi menyalahkan aku?!" bentak Mama Adel."Kok jadi aku yang bersalah? Anaknya sakit, ya wajar dong kalau dibawa ke rumah sakit," bantah sang suami tak kalah sengit."Wanita itu bilang kalau kamu yang suruh ke rumah sakit itu. Padahal kamu tahu aku akan pergi ke sana dengan perempuan ini," kata Mama Adel sambil menuding Faryn yang duduk anteng.Faryn duduk diam memperhatikan pertengkaran orang tua Hakam. Dari adu mulut yang ia dengar selama setengah jam lebih di ruang tamu rumah keluarga Laksamana ini, dapat ia tarik kesimpulan. Perempuan yang beberapa saat lalu ia temui di rumah sakit adalah pemicunya. Tapi, Faryn tidak sepenuhnya yakin jika Tantri yang bersalah atas semua yang terjadi.Jika dilihat secara kasat mata s
Hakam masih berkutat dengan laptop di atas meja kerja dalam kamarnya ketika suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian."Mas, dipanggil Bapak ke taman belakang."Suara dari asisten rumah tangga itu membuat Hakam terdiam sesaat. Lalu ia menjawab dengan sedikit berteriak, "Iya. Tunggu sebentar."Hakam menekan beberapa tombol di papan ketik sebelum menutup layarnya. Ia lepaskan kacamata khusus yang biasa gunakan saat memakai laptopnya untuk mengurangi pancaran radiasi. Ia tahu malam ini giliran sang ayah yang berbicara dengannya secara empat mata.Setelah berjalan ke taman belakang rumahnya dengan mencari beribu alasan atas beribu pertanyaan yang mungkin nanti diucapkan Papa Pram, Hakam menarik napas dalam-dalam.Dari belakang punggung sang ayah, Hakam bisa melihat jika Papa Pram tampak sedang menelepon seseorang. Karena sadar akan kehadiran pria itu, beliau menolehkan kepala ke belakang dan segera menutup sambungan telepon."Sini."Hanya satu perintah. Tapi Hakam tahu Papa Pram
Faryn memainkan jemarinya di atas meja di kamar. Di depannya, layar gawai masih menyala, menampilkan pop up pesan terakhir dari Linggar. Sedikit tidak menyangka bahwa ternyata perkiraan dan rencananya akan berbanding terbalik dengan kenyataan.Sebuah embusan muncur dari bibirnya. Tak lama diikuti dengan sebuah senyuman penuh arti. Memang berbanding terbalik sih, tapi semuanya terasa lebih mudah.Saat Faryn hendak mengetikan pesan balasan pada Linggar, pria itu lebih dulu menelponnya. Sebelah alis indah di wajah Faryn terangkat. Dia tidak langsung mengangkat telepon itu. Dibiarkan Linggar menunggu hingga panggilan dering kelima."Halo," sapanya kemudian.Hening. Tidak ada suara untuk beberapa detik. "Jangan mempermainkan aku, Faryn."Kelopak manik Faryn mengedip pelan, "Mempermainkan?""Sudah seharusnya kamu mengangkat telepon begitu ada panggilan masuk dariku," balas Linggar dengan nada kesal.Sekuat tenaga wanita itu menahan tawanya yang hampir lepas. Rupanya Linggar tidak suka dibua
"Itu Pak Hakam beneran resign per hari ini?""Bukannya lusa ada acara ulang tahun kantor?""Yakin sih, Pak Hakam mau membuat perusahaan sendiri. Perusahaan saingan."Bisik-bisik yang terdengar sangat jelas saat Hakam menajamkan pendengarannya dalam perjalanannya menuju ruangan, membuat telinganya memanas.Perkataan Papa Bram benar-benar diaktualisasikan. Mulai sore hari ini, Hakam resmi dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama empat tahun ini. Banyak karyawan yang celingukan, mencuri pandang ke arah ruang kerja Hakam.Seorang atasan yang dikenal anti melakukan kesalahan dalam bekerja itu, tiba-tiba saja akan berhenti bekerja.Untung saja yang mereka tahu Hakam mengundurkan diri, bukan dipecat oleh si pemilik perusahaan. Apalagi jika sampai tersiar alasan yang sebenarnya. Bisa turun harga diri seorang Mahakam Laksmana.Manik yang biasanya menatap tajam pada karyawan, kini menatap lesu pada sekitarnya. Ini serius dia harus hengkang dari ruangannya hari juga? Tidak bisa papanya m