"Papa tidak peduli penolakanmu Jer! Apa kau mau cuti satu bulan saja hah!" Tegas Robert yang membuat Jeremy murka.
Anna hanya membatin, ternyata sama saja. Sifat Robert yang tidak menerima bantahan menurun pada Jeremy, namun Robert masih memiliki sisi baik sedangkan Jeremy tidak ada. Robert beralih menatap Anna, "An suruh anak itu berkemas, siang nanti kalian berangkat!" titahnya. Anna mengangguk, ia tidak berani menyanggah Robert. "Apa mommy dan daddy akan pergi kek?" tanya Gerald membuka suara. Robert mengangguk, "Hanya 3 hari. Gerald mau bersama Kakek?" Bocah laki-laki itu mengangguk, "Gerald mau Kek!" serunya. "Tapi nanti Gerald tidak bisa bertemu Mommy." Ia memasang wajah melasnya. "Rupanya kau sayang sekali kepada mommy ya?" tanya Robert. Robert tau perlakuan Jeremy terhadap cucunya seperti apa. Itu sebabnya Gerald tidak ingin pisah dari Anna. Dari pelayan yang bekerja, Robert sering mendapat kabar bahwa Anna memperlakukan Gerald dengan sangat baik. Robert lega mendengarnya, ia tidak sia-sia menjodohkan Jeremy dengan Anna. Karena memang sebelum ia menjodohkan Jeremy, Robert mencari tau terlebih dulu soal Anna anak dari Gideon rekan bisnisnya. Anna terkenal dengan kelembutan hatinya dan juga jiwa sosialnya yang begitu tinggi. Perempuan itu memiliki attitude bagus apalagi kecintaannya terhadap anak kecil tidak perlu diragukan. Rumor yang Robert dengar, Anna lebih memilih menjadi seorang guru daripada mengurus perusahan ayahnya membuat ia semakin yakin dengan pilihannya. Itu mengapa ia ingin Anna menjadi pendamping Jeremy. Anna mensejajarkan tubuhnya dengan Gerald, "Mommy hanya sebentar, nanti mommy pulang. Gerald di sini menemani kakek, kasian kakek. Nanti kalau Gerald ikut, kakek dengan siapa? Mommy menemani daddy bekerja sayang." Ia mencoba memberi pengertian kepada Gerald, meski sebenarnya dirinya ke sana tidak dalam perjalanan menemani Jeremy bekereja, tetapi yang Anna takutkan kalau Gerald ikut pergi bersamanya, percekcokan diantara ia dan Jeremy akan membuat Gerald semakin takut. Tidak baik juga saat anak kecil melihat pertengkaran kedua orang tuanya, apalagi soal Jeremy yang tidak bisa mengkontrol emosi. Akan sangat kacau nanti. Gerald menatap Robert, ia rindu dengan laki-laki itu, "Baiklah Mom Gerald menemani kakek saja." senyum Gerald mulai mengembang. Melihat itu Robert semakin yakin bahwa ia tidak salah pilih menantu. "Aku akan mengajak Gerald jalan-jalan, kau dan Jeremy siap-siaplah." Anna mengangguk, ia mengelus pucuk kepala Gerald, "Bersenang-senanglah sayang." Setelah itu Robert menggandeng tangan cucunya keluar. Anna berjalan menuju kamar Jeremy. Dengan sopan ia mengetuknya terlebih dahulu. "Jer!" panggil Anna pelan. Ia berusaha untuk mengalah, Anna tak enak hati kepada Robert yang sudah membelikan tiket liburan bersama Jeremy. Dan tugasnya sekarang adalah membujuk Jeremy untuk mau berangkat nanti. Tidak ada jawaban dari dalam, Anna mengetuk lagi. "Jer!" Kali ini lebih keras namun Jeremy tidak menyautinya. Karena kesal Anna membuka paksa pintu kamar Jeremy yang ternyata tidak laki-laki itu kunci, "Jer!" Anna masuk ke dalam dan tidak ada batang hidung laki-laki tersebut di sana. "Kau di mana Jer?" Anna mulai panik, tetapi saat mendengar suara gemericik air dari kamar mandi Anna bernafas lega. Rupanya Jeremy sedang berada di sana. Saat Anna hendak berbalik badan, suara pintu kamar mandi terbuka. "Ahh ...!" jerit Anna tak tertahan. Jeremy yang baru keluar kamar mandi dengan dada telanjang, hanya lilitan handuk yang menutupi tubuh bawahnya ikut kaget mendengar teriakan Anna. "Kau!" desis Jeremy. "Untuk apa kau ke kamarku hah!" Anna masih menutup matanya dengan kedua tangan. Wajah Anna merah padam saat melihat sekilas perut kotak-kotak milik Jeremy, "Aku hanya ingin mengingatkan kau untuk segera packing." "Memangnya kau pikir aku mau berangkat!" "Ya kau pikir aku mau juga!" batin Anna. Karena Anna sedang tak ingin berdebat dengan Jeremy, ia harus menengahi Jeremy sekarang, "Oh ayolah Jer kasian papa telah memesankan kita tiket." Anna memelankan nada bicara, ia buat sepelan mungkin agar Jeremy luluh akan dirinya. "Aku tidak peduli!" Acuh Jeremy sambil berlalu menuju walk in closet. Anna tak tinggal ia mengikuti Jeremy. "Hanya 3 hari, apa kau mau papa marah?" Jeremy mengambil kaos polos warna hitam lalu memakainya. "Bisakah kau keluar? Atau kau mau melihatku telanjang?" "Ah iya maaf." Buru-buru Anna keluar, menunggu laki-laki itu di sofa yang ada kamar Jeremy. Anna menatap desain kamar milik Jeremy, sepertinya kamar Jeremy ini adalah kamar terbesar yang ada di mansion miliknya. Pasti, sudah jelas karena memang ini mansion Jeremy, jadi suka-suka laki-laki itu. Mengingat kamar Jeremy yang sebesar dan sebagus ini, Anna jadi teringat kamar Gerald yang dulu. Anna kesal sendiri, ingin rasanya ia yang memindahkan Gerald untuk tidur disana. "Rencana jahat apa yang akan kau rencanakan?!" tuduhnya tiba-tiba. Anna mendongak, sebenarnya ia mulai terpancing dengan ucapan Jeremy barusan. Namun ia tahan, Anna kembali tata hatinya dan ia luruskan kembali niatnya pergi ke kamar Jeremy untuk apa. "Rencana jahat? Aku tidak merencanakan apapun Jer. Aku hanya ingin membicarakan soal tadi."Anna benar-benar menahan diri agar tidak mengamuk brutal di kamar Jeremy!
Sayangnya, Jeremy malah mengendikan bahunya. "Aku tidak mau!" tolaknya tegas. "Kalau kau mau pergilah sendiri!"
Anna meneguk ludahnya pelan, menarik nafas dalam-dalam sembari memutar otak untuk mencari cara agar duda sialan itu mau. Bukan apa-apa, sekali lagi Anna hanya tidak enak pada Robert.
"Aku ingin pergi denganmu." Senjata terakhir Anna keluarkan, memasang wajah sedih dengan puppy eyesnya agar Jeremy luluh. Wajah andalan Anna saat merayu seseorang, terbukti sering kali berhasil. Dan kali ini ia berharap berhasil pada pria bengis itu. Jeremy melirik sinis Anna dengan tampang dinginnya, sejujurnya Jeremy biasa saja namun saat Anna mengatakan ingin pergi bersamanya sebuah ide cemerlang tercetus di sana. "Baiklah kita pergi." Seketika wajah Anna berubah, ia bersorak. Dalam hati Anna tersenyum puas, memang muka melas adalah andalannya. Apalagi seorang Jeremy bisa tergugah, Anna merasa bangga. "Tapi ada syaratnya!" ucap Jeremy yang cukup membuat senyum Anna pudar. "Apa? Syarat apa?" ujar Anna. Jeremy menampilkan senyum sengitnya dengan menatap Anna tajam, "Turutilah semua keinginanku."Senyum iblis di wajahnya membuat Anna ingin mencakar wajah Jeremy! "Tidak! Kau mau memanfaatkanku hah!" Emosi Anna sudah tidak terbendung lagi. Sejak tadi ia mencoba menahan, namun rupanya Jeremy semakin membuatnya naik darah. Mendengar penolakan Anna, Jeremy tersenyum puas karena Jeremy pun sebenarnya tau jawaban apa yang akan keluar dari mulut wanita itu. Jeremy merebahkan dirinya di atas kasur menatap Anna yang masih berdiri dengan wajah sinisnya. "Ya sudah sekarang pergilah!" Anna mengacak rambutnya asal, ia terus mengumpat meski dalam hati. "Baik aku mau!" ketus Anna. Ia terpaksa melakukan ini demi Jeremy agar mau pergi berlibur. Anna heran, kenapa ada manusia seperti laki-laki itu? Padahal manusia lainnya, sangat ingin pergi berlibur sedangkan Jeremy? Sialan memang laki-laki itu! Jeremy mengulum senyum, ia akan bermain-main dengan Anna. Lihat aja, Jeremy akan membawa Anna ke dalam permainannya. Ia langsung bangkit dari tidurnya, "Kita berangkat!" seru Jeremy dengan sen
"Apanya? Kenapa kau cerewet sekali!" Oh Tuhan, dosa apa yang pernah Anna perbuat hingga memiliki suami seperti Jeremy. "Kau akan terus menggunakan pakaian itu saja hah!" Bentak Anna sudah tidak bisa mengontrol emosinya. "Beli di sana apa susahnya? Sudahlah cepat!" Sudah tidak mau membantu, malah menyuruh-nyuruh dengan keji. Anna ingin sekali menusuknya dari belakang. "Mom." Ujar Gerald saat berpapasan dengan Anna di pintu masuk mansion. Ia baru saja datang bersama Robert. "Sayang." Anna memeluk tubuh Gerald. Sejujurnya ia tidak tega meninggalkan Gerald selama beberapa hari, meskipun Anna yakin Gerald tidak akan kesepian karena ada Robert dan para pelayan yang menemani. Tetapi karena jiwa keibuannya yang begitu besar, membuatnya tidak ingin berpisah dengan bocah tersebut. "Selamat bersenang-senang Mom." Anna mengangguk, "Mommy akan cepat pulang. Gerald di sini tidak boleh nakal, harus nurut sama kakek." "Baik Mom." Robert menyaksikan langsung rasa cinta Anna yang terp
Anna bangun pagi-pagi sekali, tidurnya sangat tidak nyenyak. Ia merenggangkan badannya sebentar lalu Anna beranjak turun. Di lihatnya Jeremy yang masih memejamkan mata, jambang yang tumbuh tipis-tipis di sekitar rahangnya membuat Jeremy terlihat seperti laki-laki perkasa. Apalagi hidung yang mancung, juga proporsi bibirnya yang pas dengan sistematik wajahnya. Tanpa sadar Anna menarik kedua ujung sudut bibirnya melengkung ke atas. Dan baru ia sadari ternyata Jeremy setampan itu. "Apa yang kau lakukan di sana?" Tiba-tiba Jeremy membuka matanya dan melihat sosok yang sedang berdiri sambil menatapnya dengan senyum mengembang. Sontak membuat Anna berjingkat kaget, "Kau yang apa-apa Jer! Kau membuat jantungku hampir copot!" Anna mengelus dadanya kaget karena suara bass milik Jeremy. Anna berlalu pergi ke kamar mandi begitu saja dan saat ia ingat bahwa di kamar mandi itu tidak ada pintu, Anna menghentikan langkahnya kemudian berbalik. "Jer.." pangilnya pelan. "Hmm." sahutnya tanpa mi
"Cepatlah! Sebelum aku berubah pikiran!" Baru saja Anna tersanjung dengan kebaikan Jeremy dan sekarang ia sudah kembali menjadi Jeremy dengan tingkah menyebalkan. "Ya aku mau!" jawab Anna dengan sedikit ketus. Malam ini ia tidak ada tenaga untuk mendebat Jeremy, lebih baik dia menjawab seperlunya saja. Mereka berdua berjalan beriringan, jangan berharap mereka berjalan dengan bergandengan tangan satu sama lain, tidak. Mustahil! Mereka hanya berjalan beriringan dengan jarak yang cukup jauh. Bahkan sama sekali tidak terlihat sebagai pasangan suami istri. Sepertinya tempat romantis ini tidak cocok dengan Anna dan juga Jeremy. Setidaknya malam ini Anna bisa memanjakan matanya, ia melihat banyaknya penjual makanan di sepanjang jalan. Pandangan Anna tertuju pada sebuah tempat yang sangat ramai di kunjungi banyak orang, kebanyakan yang datang membawa pasangannya. Anna jadi semakin penasaran, "Tempat apa itu Jer ramai sekali pengunjung yang datang?" tanyanya kepada Jeremy. "Itu tempa
Tidak ada jawaban. Anna menghela nafas pasrah. "Ayolah Jer aku sudah meminta maaf kepadamu. Apa kau tak mau memaafkanku?" Anna memasang wajah melasnya, berharap Jeremy mau berbicara kepadanya. "Ya aku sudah melupakannya." Senyum Anna tercetak di wajahnya, lega mendengar jawaban Jeremy. Tetapi setelah itu mereka kembali diam. Mereka membuka suara bila hanya beradu pendapat saja, maka dari itu mendengar pernyataan peramal yang menyebutkan mereka pasangan cinta sejati terdengar sangat lucu. Anna mengedarkan pandangannya ke segala arah bibir pantai. Tepat saat ia menoleh ke kanan ia melihat seorang wanita dilamar oleh kekasihnya, sangat romantis. Apalagi sang kekasih bertekuk lutut sambil menyodorkan sebuah kotak beludru berisi sebuah cincin. Sorak dan tepuk tangan dari teman-teman mereka menambah meriah acara wedding proposal pasangan kekasih tersebut. Ditambah sebuah tulisan 'will you marry me' yang sengaja dibuat di pasir tepi pantai membuat Anna iri. Anna yakin bukan hanya dir
Jeremy melepaskan pelukannya lalu kembali menatap manik mata Anna. "Apa katakanlah?" "Cobalah untuk merubah sikapmu kepada Gerald." pinta Anna. Jeremy tidak langsung menjawab, tampaknya ia masih bimbang. Ia takut malah semakin mengecewakan bocah tersebut. Anna mengenggam sebelah tangan Jeremy memberikan sisa energi untuknya. "Aku akan membantumu sebisaku." kata Anna. Kali ini tanpa ragu Jeremy mengangguk. Sekarang tidak ada kata gengsi lagi di antara keduanya. Jeremy membawa Anna ke dalam pelukannya. "Terima kasih." Kemudian Anna mengangguk di dekapan Jeremy. Malam ini sempurna dan begitu luar biasa. Akhirnya Anna merasakan momen romatis di tempat yang memang cocok untuk melakukan hal-hal berbau romance. Semua mengalir begitu saja tanpa ada satu pun yang sebelumnya Anna pikirkan. Padahal tadi ia berniat pergi keluar mencari udara segar karena kesal kepada Jeremy. "Apa kau tidak lapar?" tanya Jeremy mengingat memang mereka gagal makan malam akibat insiden kecil itu. Anna
Tak lama Jeremy datang, ia menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya 'siapa' pada Anna. "Itu Daddy sudah pulang Sayang." kata Anna. Ia mengarahkan kamera belakang agar Gerald bisa melihat Jeremy. Jeremy tau pasti itu Gerald yang sedang istrinya hubungi. Karena tidak tau harus apa, ia hanya diam saja. "Katakan halo Gerald!" perintah Anna tanpa suara. Jeremy yang tidak mengerti maksud Anna hanya mengeryitkan dahi bingung. "Katakan kau rindu padanya!" ujar Anna masih tanpa suara. Namun Jeremy tetap diam, tak mengerti maksud Anna. Melihat Jeremy yang hanya diam Anna kembali mengganti ke mode kamera depan, ia sedikit kesal dengan Jeremy yang tidak paham-paham juga. "Apa Gerald sudah sarapan?" tanya Anna memecah keheningan. "Sudah Mom. Tadi Gerald sarapan bersama Kakek." "Oh begitu rupanya." Anna menarik Jeremy yang masih berdiri agar duduk di sampingnya kemudian ia mengarahkan handphonenya agar menyorot ke arah dirinya dan juga Jeremy. "Gerald apa ada yang Gerald ingin samp
Jeremy menggeleng, lalu menarik Anna agar duduk di sampingnya. "Duduklah di sini, temani aku." pintanya. Anna mengangguk, "Asal kau menepati janjimu untuk pergi jalan-jalan. Aku akan duduk di sini." "Ya aku janji." sahut Jeremy. Anna menyungingkan bibirnya ke atas membentuk lengkungan, ia begitu senang kala Jeremy berjanji mengajaknya pergi keluar. Anna melihat wajah serius Jeremy saat meneliti kembali berkasnya. Tidak ada senyum ramah, bagaimana Frans bisa betah bekerja dengannya. Kalau Anna paling-paling memilih berhenti saja. Hidupnya terancam sial mendapat bos seperti Jeremy. "Kenapa kamu menatapku begitu hm?" kata Jeremy saat ia merasa Anna memperhatikannya tajam. "Aku heran saja dengan semua karyawanmu, kenapa betah memiliki bos sepertimu." "Karena aku baik mungkin." jawab Jeremy. Anna berdecih pelan, "Baik dari mana?" lirihnya. "Aku terlihat arogan seperti ini karena memang harus begini. Kau tau kan An, bagaimana kerasnya dunia bisnis? Kalau aku tidak begini s