"Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
"Iya ... nanti akan kucari dan kunikahi duda kaya raya!" Anna ingat doanya kala sedang berulang tahun beberapa bulan lalu. Tapi, siapa sangka doanya yang hanya main-main ternyata mustajab juga? Mendadak ia dijodohkan dengan Jeremy dan ini adalah hari ketiga Anna menjabat sebagai istri pria itu! Dan seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada percakapan layaknya pasutri baru di antara keduanya. Setelah menyelesaikan sarapan, Jeremy bahkan pergi begitu saja tanpa sepatah kata. "Jadi kau menikahiku untuk apa?" monolog Anna. "Dasar duda!" Kekesalan membuat Anna tidak peduli akan ke mana perginya Jeremy! Ia melanjutkan sarapannya kemudian Anna akan tidur seharian. Ya, sejak menikah dengan Jeremy, Anna dipaksa untuk berhenti dari pekerjaannya. Sebenarnya sangat berat bagi Anna berhenti dari pekerjaan yang begitu ia cintai, namun Jeremy memaksanya dan berkata bahwa ia tak butuh penolakan. Semua titah pria itu harus dilakukan tanpa pengecualian. Jeremy yang dingin dan yang tentunya kera
"Tenanglah Sayang, jangan takut. Aku adalah mommymu sekarang," ucap Anna memeluk Gerald yang masih diam berada pelukannya. Sepertinya anak kecil kaget dengan kehadiran orang asing tiba-tiba. Emosi Anna tak terbendung. Kenapa ada manusia yang diam saja melihat hal seperti ini? "Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Kau aman bersamaku." Anna tidak peduli jika sebentar lagi Jeremy datang dan melihatnya lancang menemui Gerald. Yang akan dia lakukan adalah melindungi putra sambungnya dari manusia biadab seperti Jeremy. Diliriknya Rose, yang masih berdiri di depan pintu, "Apa begini cara kerja kalian? Membiarkan anak kecil hidup di tempat seperti ini! Apa menurutmu ini layak untuk anak sekecil Gerald, Rose!" "Maaf nyonya. Tapi kami tidak berani, sebelum Tuan yang memerintahkan kami untuk membersihkannya," Seketika Anna terdiam. Ya, dia tau ini bukan salah pelayan yang ada di mansion Jeremy. Tapi kenapa mereka bungkam melihat keadaan Gerald yang terbilang cukup mengenaskan? Dan pal
"Mom apa daddy marah karenaku?" tanya Gerald polos. Anna menggeleng, "Tidak. Mungkin daddy sedang lelah setelah seharian bekerja." "Tapi daddy memang sangat marah jika melihatku Mom," adunya. Rasanya Anna ingin menangis detik ini juga, melihat wajah polos penuh luka tak kasat mata milik Gerald. Anna menangkup wajah tampan tersebut, "Ingat, sekarang ada mommy yang akan melindungi kamu. Mau daddy marah atau enggak, mommy tetap ada untuk kamu Sayang." Bagaimana ada manusia yang tidak memilki hati malah Tuhan utus untuk menjadi seorang ayah? "Mommy janji tidak akan meninggalkanku?" Anna mengangguk, "Mommy berjanji." Kemudian ia mencium pipi tirus Gerald lalu memeluknya, Anna berjanji akan membuat Gerald bahagia. Beruntungnya Anna dan Jeremy berbeda kamar, sejak hari pertama menikah Jeremy mengatakan bahwa mereka pisah kamar. Jelas Anna menyetujuinya. Dan sekarang ia bisa membawa Gerald untuk tidur bersamanya. "Apa Gerald mau tidur bersama Mommy?" "Gerald mau Mommy!" peki
Anna mendelik, dua menit dari banyaknya waktu yang pria itu berikan. Anna mengenggam erat garpu dan pisau makannya, ingin sekali Anna lempar ke wajah Jeremy. Laki-laki itu benar-benar angkuh, semakin benci saja Anna kepadanya. "Bagaimana kalau lima menit?" tawar Anna. Ia mencoba mengalah meski hatinya sudah tumbuh rasa ingin mencakar Jeremy. "Dua menit atau tidak sama sekali." Jeremy mempertahankan jawabannya. Benar-benar pria egois yang menjengkelkan. Anna menghembuskan nafasnya pelan, masalahnya apa yang bisa ia bicarakan dalam waktu singkat itu? Apa perlu Anna membayar permenitnya bila ingin mengobrol dengan Jeremy? Namun tidak ada yang bisa Anna perbuat selain menuruti laki-laki brengsek itu, daripada Jeremy tidak memberinya kesempatan berbicara. Anna lakukan ini demi Gerald, "Baiklah." Jadi setelah makan, Jeremy terlebih dahulu pergi ke ruang tengah kemudian Anna menyusulnya. Karena Jeremy hanya memberikan waktu dua menit, Anna langsung mengutarakan hal apa yang akan ia bicar
Menyadari Jeremy yang tak jauh dari mereka, Anna lantas berjalan menghampiri suaminya itu. "Ada apa?"Jeremy melirik Gerald yang ada di samping Anna. Anna mengikuti arah pandang Jeremy dan ia mengerti apa yang ada di pikiran pria tersebut."Sayang, Gerald main dulu sama Bibi Rose ya? Ada yang mau dad bicarakan ke mommy. Nanti kalau sudah selesai berbicara dengan daddy, mommy bakal susul Gerald," ujar Anna lembut.Gerald mengangguk, pasalnya ia juga takut dengan Jeremy. Bocah laki-laki itu berjalan mendekati Rose, kemudian Rose mengajak Gerald bermain ke taman belakang.Setelah kepergian Gerald, Anna melirik Jeremy sinis, "Apa yang akan kau bicarakan? Cepatlah aku tidak punya banyak waktu."Jeremy tersenyum meremehkan, "Memang kau sibuk apa?" ujar Jeremy menyunggingkan sebelah bibirnya."Bermain bersama anakku!" sahut Anna menekankan kata "anakku" di hadapan Jeremy.Jeremy hanya memasang wajah menyebalkan, "Gerald?" tanyanya enteng tanpa dosa.Anna mendengus, "Ya siapa lagi menurutmu h
"Anak Sambung? Oh astaga, aku lupa kalau sahabatku ini sekarang seorang ibu. Pasti kau sangat sibuk ya?" Mendengar itu, Anna terkekeh. "Ya begitulah, aku ingin sekali bertemu denganmu setelah acara pernikahanku kita belum sempat bertemu lagi," "Ah benar, padahal waktu itu aku dulu yang dilamar, ternyata kau dulu malah yang nikah. Dengan duda kaya raya lagi, seperti doamu," "Sialan! Bagaimana kau bisa kapan?" "Sore nanti aku bisa." "Oke baiklah sore nanti kita bertemu, di cafe biasa saja kali ini aku yang traktir," ujar Anna. "Wah benarkah?" "Ya!" "Tumben kau baik An?" goda Gisella. "Sejak dulu aku selalu baik ya!" cerocos Anna. Terdengar gelak tawa dari Gisela, "Benar memang kau selalu baik An!" Pasalnya memang Anna senang menraktir Gisela mulai dari jaman mereka sekolah, sesekali Gisela juga sering mentraktir Anna."Ngomong-ngomong kau nanti datang bersama anak sambungmu itu?" tanya Gisela. "Sepertinya iya, kasian dia sendiri di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk bercerit
Anna mengedikkan bahu lalu melanjutkan makannya, sedangkan Gerald kaget melihat Jeremy yang tiba-tiba ada di sana.Gisela mengedipkan sebelah matanya, memberi kode kalau Jeremy memang suami Anna. Pasalnya Rafael saat itu tidak pergi ke pernikahan Anna karena ia sedang bertandang ke Paris jadi Rafael tidak tau siapa suami dari Anna."Dunia memang sempit, dan ternyata kau adalah istri Mr Jeremy,"Jeremy tersenyum tipis, ia juga tidak tau bila Anna kenal dengan Rafael."Silahkan duduk Tuan," ujar Gisela memperkenankan Jeremy bergabung di mejanya.Anna hanya menunjukkan wajah datarnya. Ia masih kesal dengan Jeremy.Suasana mendadak menjadi hening, Gisela yang awalnya banyak bicara sekarang langsung diam, pun dengan Anna.Jeremy dan Rafael tampak menikmati makanannya, tak tau jika Gisela dan Anna sedang beradu tatap merasa canggung untuk membuka suara."Ekhem!" Gisela berdeham. "An bagaimana mengenai sekolah Gerald?""Oh iya aku hampir lupa ingin membahas itu," sahut Anna. "Jer kau ingat ka
"Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
Jeremy meringis kecil mengingat apa yang Frans katakan tadi. Ia sendiri bingung antara, apakah dirinya benar menyukai Anna atau tidak, kebimbangan itu membuat kepalanya pusing sendiri. "Kau bodoh atau bagaimana sih Jer?" tanya Frans yang tidak percaya bila Jeremy masih bimbang dengan perasaannya. Jeremy menggeleng polos, seperti anak anjing yang baru melihat dunia. Brak! Reflek pria itu menggebrak kuat mejanya, "Sudah kupastikan, bahwa kau bodoh!" "Sialan! Aku datang ke mari memintamu pendapat, aku tidak tau dengan diriku sendiri," "Shit!" Frans memijat pelan keningnya. Heran dengan kebodohan Jeremy, pantas saja ia selalu dipermainkan oleh wanita. "Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa aneh tidak dengan sikapmu?" "Entahlah," jawabnya yang mengundang Frans ingin memukul wajahnya. "Oh bagaimana kalau aku memukul kepalamu di dinding agar sedikit lebih mudah mencerna?" "Boleh, asalkan aku dulu yang melemparmu dari lantai dua belas!" "Ya sudah fikir saja sendiri, bagaiman
Tidak segampang itu ternyata menahan diri untuk tidak berbicara dengan Anna, ia akui dirinya mulai ketergantungan oleh sosok Anna. Seperti barang haram, Anna bisa membuat Jeremy candu semudah itu. Ia buru-buru keluar dan pergi ke kamar anaknya, dengan sangat pelan pria itu membuka kamarnya. Tiba-tiba Jeremy terdiam, ia melihat sang istri tidur memeluk Gerald. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pria berdarah diringin itu menghangat, sedikit demi sedikit bongkahan es pada hatinya meleleh. Cinta yang Anna berikan sangat lah tulus, wanita itu yang membuat kehidupannya yang semula gelap menjadi terang. Apalagi Gerald, ia terurus dengan sangat baik. Bolehkah jika sekarang Jeremy benar-benar takut kehilangannya? Wanita yang tidak gila dengan harta, wanita yang sederhana dengan penampilannya, wanita yang sangat sopan dengan tutur bahasanya, wanita yang penuh cinta setiap harinya, relakah bila wanita sesempurna itu hilang dari kehidupannya? Jeremy berjalan mendekat lalu mencium k
Anna melihat bibir Jeremy yang mengerucut kesal, "Kau marah?" goda Anna seraya mencolek dagu suaminya. Jeremy melirik sebentar lalu balik membelakangi Anna. Mereka baru saja sampai, tadi tanpa sepengetahuan Anna suaminya itu menjemputnya di sebuah restoran saat bersama Gisela tadi. Setelah mengurus berkas Gerald, Anna dan Gisela memutuskan untuk mampir makan siang di restauran jepang milik teman kuliahnya dulu, di salah satu mall yang kebetulan mereka datangi. Menurut rumor yang beredar saat mereka masih duduk di bangku perkuliahan, pemilik restaurant tersebut yang bernama Tama ini menyukai Anna, tetapi Anna tidak tau itu benar atau tidak. Dan tadi saat Anna berada di restaurant Tama, tiba-tiba Jeremy menyusulnya. Suaminya itu merasa kesal sebab tatapan Tama yang selalu mengawasi Anna. Jeremy melihat secara langsung kala Tama mencuri-curi pandang kepada sang istri. Ia tau itu bukan tatapan biasa, entah Jeremy sedang cemburu atau tidak yang pasti ia tidak suka dengan tatapan
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se
Bukannya takut, Anna malah memberikan sentuhan-sentuhan sayang di pipi Jeremy, merabahnya pelan hingga membuat Jeremy sedikit menegang. "Jangan marah," Sepertinya pria itu masih keukeuh mempertahankan diamnya. Mungkin saja dirinya tergoda kepada Anna, namun lagi-lagi egonya terlalu besar. "Jer ...." panggilnya lirih, ia tidak putus asa saat Jeremy mengabaikannya. "Yakin masih marah?" Jeremy menghembuskan nafasnya kasar, "Jika kau terus seperti ini aku akan kembali membawamu ke kamar!" Mana bisa ia marah kepada Anna jika seperti ini dan ya dia juga tidak ingin marah kepada wanitanya itu. Anna terkekeh, "Ternyata Direktur Utama yang terkenal garang memiliki sisi manja juga." ledeknya. Jeremy menenggelamkan kepalanya di pelukan Anna, ia kesal istrinya itu terus menggodanya, tidak taukah Anna bahwa tubuhnya sangat amat candu bagi Jeremy. Setiap menit Jeremy ingin terus menyentuhnya. Tanpa mereka sadari semua orang yang ada di mansion melihat tingkah Jeremy yang berbeda. Mu
Anna menurut, ia berjalan ke sisi kanan lalu merebahkan tubuhnya di samping Jeremy. Dengan gerak cepat Jeremy langsung memeluknya, menenggelamkan kepalanya di leher Anna. Tangan Anna terulur pada pipi Jeremy, diusapnya pelan hingga membuat pria yang ada didekapannya itu terbuai akan belaian Anna. "Tidurlah aku akan menemanimu di sini," ucap Anna. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Jeremy, berharap suaminya tersebut secepatnya terlelap. *** Karena menemani Jeremy, alhasil Anna ikut tertidur juga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ia melihat Jeremy masih memeluknya. Anna mencoba menggerakkan badannya pelan guna melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya hampir empat jam ia tidur. Anna segera mengecek suhu tubuh Jeremy, syukurlah suhu tubuhnya kembali normal. Perlahan ia melepaskan pelukan Jeremy, Anna merasa lapar. "Kau mau ke mana Ann?" Anna merutuki kepekaan Jeremy, padahal ia sudah berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu ti
Sudah menjadi rutinitas Anna bangun terlebih dulu dari suaminya lalu beranjak pergi untuk memasak, namun tidak dengan pagi ini. Anna bangun cukup siang karena kemarin Jeremy mengatakan ingin sarapan dengan roti bakar saja, ia tidak ingin Anna sibuk memasak mengingat Gerald juga sedang menginap di rumah Robert. Anna menyibakkan selimutnya dan hendak turun tetapi sebuah tangan menghalanginya untuk bangkit. Ia merasakan suhu tubuh Jeremy yang sedikit hangat, Anna mengurungkan niatnya lalu memeriksa kondisi Jeremy yang tampak sedang kurang enak badan ternyata. Ia menempelkan tangannya ke dahi Jeremy dan benar suhu tubuh pria tersebut terasa hangat. "Jer kau sakit?" Jeremy menggerang pelan dari tidurnya, "Hari ini kau tidak perlu ke kantor dulu biar aku hubungi Frans sekarang." kata Anna. "Tidak usah Ann aku baik-baik saja," lirih Jeremy yang masih menutup mata. Bagaimana suaminya itu bisa mengatakan baik-baik saja, padahal jelas tubuhnya terasa hangat. Memang si keras kepala i