"Mom apa daddy marah karenaku?" tanya Gerald polos.
Anna menggeleng, "Tidak. Mungkin daddy sedang lelah setelah seharian bekerja." "Tapi daddy memang sangat marah jika melihatku Mom," adunya. Rasanya Anna ingin menangis detik ini juga, melihat wajah polos penuh luka tak kasat mata milik Gerald. Anna menangkup wajah tampan tersebut, "Ingat, sekarang ada mommy yang akan melindungi kamu. Mau daddy marah atau enggak, mommy tetap ada untuk kamu Sayang." Bagaimana ada manusia yang tidak memilki hati malah Tuhan utus untuk menjadi seorang ayah? "Mommy janji tidak akan meninggalkanku?" Anna mengangguk, "Mommy berjanji." Kemudian ia mencium pipi tirus Gerald lalu memeluknya, Anna berjanji akan membuat Gerald bahagia. Beruntungnya Anna dan Jeremy berbeda kamar, sejak hari pertama menikah Jeremy mengatakan bahwa mereka pisah kamar. Jelas Anna menyetujuinya. Dan sekarang ia bisa membawa Gerald untuk tidur bersamanya. "Apa Gerald mau tidur bersama Mommy?" "Gerald mau Mommy!" pekiknya girang. Selama ini bocah laki-laki itu tidur seorang diri, sejak umur Gerald dua tahun Jeremy sudah tidak mau melihat wajah anaknya tersebut. Entah apa alasan Jeremy melakukan hal itu. Gerald kecil juga tidak tau ke mana ibu kandungnya, tau-tau ia hanya sendiri di kamar sempit nan gelap itu. "Ya sudah. Makannya dihabiskan dulu, terus nanti gosok gigi lalu tidur. Mengerti?" Gerald mengangguk, "Mengerti Mom." "Anak pintar," Anna kembali menyuapi Gerald sampai makanan itu benar-benar habis tak tersisa. Gerald makan dengan sangat lahap, membuat Anna senang melihatnya. Setelah piring tersebut bersih. Anna mengajak Gerald untuk menggosok gigi dan membasuh kaki tangan bocah tersebut. Barulah ia menemani Gerald untuk tidur. Tidak butuh waktu lama untuknya tertidur. Tetapi Anna masih tetap mengelus kepala Gerald sampai benar-benar ia tertidur nyenyak. Karena Gerald sudah nyenyak dalam tidurnya, Anna turun dari ranjang lalu beranjak menuju dapur sambil membawa piring kotor bekas Gerald. Anna juga belum makan malam, ia berniat untuk sekalian makan di bawah. Anna mendengus saat melihat Jeremy ternyata ada di meja makan juga. Mau menghindar juga percuma, Anna tidak mau Jeremy merasa bahwa dirinya takut sekarang. Anna mengambil nasi seperti biasanya, seolah tidak melihat keberadaan Jeremy yang kini menatapnya tajam. Menyuapkan nasi ke mulutnya dengan santai, tatapan intimidasi Jeremy bukan apa-apa bagi Anna. Karena Anna yang seakan tidak menganggapnya ada, Jeremy membanting sendok dan garpunya. "Kenapa?" Tanya Anna mengangkat kedua alisnya. Jeremy tidak menjawab ia pergi begitu saja. Ia merasa bahwa kali ini ada orang asing yang berani kepadanya. Selama ini tidak ada orang yang tidak bertekuk lutut pada Jeremy. Sial! Baru ia temukan wanita seperti Anna. Jeremy beberapa kali mengumpat, ia keluar dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Padahal malam ini Jeremy ingin tidur dengan tenang, namun pemandangan yang ia temui membuat moodnya memburuk. Entah emosinya memuncak saat melihat Anna dekat dengan Gerald, Jeremy tidak suka melihat Gerald. Ia benci dengan anak dari wanita murahan itu. Jeremy membenci ibu dari Gerald, yang merupakan mantan istrinya. Cintanya habis ia berikan semua kepada Maureen. Tetapi sayang, Maureen mengkhianatinya. Saat ia masih menikah dengan Jeremy, wanita itu tidur dengan laki-laki lain. Hingga akhirnya Mauren hamil Gerald. Ya, Gerald ternyata bukan darah daging Jeremy. Itu sebabnya Jeremy sangat benci melihat wajah Gerald. Kesetiaan dan ketulusannya pada Mauren dibalas dengan pengkhianatan. Mauren berselingkuh sampai menghasilkan benih yang kini menjadi sosok bocah laki-laki itu. Jadi jangan anggap Jeremy jahat, ia sudah baik membesarkan anak tersebut meski Jeremy benci dengan hadirnya Gerald. Dan itu alasan Jeremy tidak lagi mempercayai wanita, menurutnya semua wanita sama saja. Hanya mau harta Jeremy saja. Anna juga seperti itu dimata Jeremy, wanita yang hanya butuh harta Jeremy, tidak lebih. Nyatanya tidak ada wanita yang benar-benar tulus mencintainya. Persetan dengan cinta! Jeremy mengendarai mobilnya menuju rumah Frans, yang merupakan satu-satunya teman Jeremy sejak kecil dulu. Frans sudah hafal dengan kelakuan Jeremy. Sesampainya di depan pintu apartemen Frans, tanpa aba-aba Jeremy masuk begitu saja. Frans sudah tidak heran dan ia juga sudah tau itu Jeremy. "Ada apa lagi?" tanya Frans bangkit dari kasurnya beranjak ke depan. Frans melihat wajah Jeremy yang tampak menahan amarah. Frans sudah biasa melihat Jeremy seperti, "Kenapa?" "Sialan! Wanita itu sekarang dekat dengan Gerald," "Ya bagus. Kenapa kau marah?" "Aku tidak suka melihat dia dekat dengan bocah ingusan itu," Frans memicingkan matanya, "Apa kau cemburu Jer?" Mendengar itu Jeremy langsung menyiratkan tatapan membunuh, "Shit! Apa yang kau katakan!" emosinya semakin membludak. Selain Robert dan juga Anna ada manusia lain yang juga tidak takut dengan kemarahan Jeremy. Ya dia adalah Frans. Berteman dengan Jeremy sejak kecil membuat Frans terbiasa melihat kemarahan Jeremy, bahkan ia sering melihat Jeremy membunuh orang dengan kedua tangannya. Menurut Frans sebenarnya Jeremy orang baik, ia tidak akan seperti iblis jika tidak ada orang yang memancing amarahnya. Buktinya Frans betah berteman dengan pria tersebut. "Persetan dengan cinta! Kau tau aku sudah tidak mempercayainya Frans?" lanjut Jeremy. "Apa aku bisa memegang omonganmu? Menurutku Anna berbeda, dia tidak seperti wanita lainnya yang mendekatimu hanya karena harta," Jeremy tersenyum simpul, "Kata siapa? Dia menerima perjodohan ini karena ingin menyelamatkan perusahaan daddynya yang bermasalah. Jadi apa menurutmu dia berbeda?" ujar Jeremy sambil menarik ujung bibir sebelah kanan. "Aku rasa ada hal yang lain, bukan karena itu dia menerima perjodohan ini. Dan Anna adalah wanita berpendidikan, kau tau sebelum kau menikahinya dia adalah seorang guru kan?" "Ya lalu apa karena dia seorang guru tidak ada kemungkinan dia seperti Maureen atau malah lebih seperti wanita jalang itu!" ujar Jeremy keukeh. "Lihat saja nanti, buktinya Gerald gampang sekali dekat dengan Anna. Padahal kau tau sendiri, dengan Maureen saja dia tidak mau," "Sudahlah Frans! Aku ke sini untuk menangkan pikiranku malah kau beri argumen-argumenmu yang semakin menambah beban pikiranku!" amuk Jeremy. Frans tertawa, "Kau pulang saja. Mencoba dekat dengan Anna apa susahnya?" "Sialan kau Frans!" *** Jeremy menikmati sarapannya dengan wajah datar, rasa-rasanya tidak ada mimik wajah lain yang bisa pria itu tampilkan. Selalu wajah datar dan dingin itu, Anna saja yang baru beberapa hari tinggal disana bosan. Bagaimana dengan para pelayan yang tidak bertahun-tahun melihat wajah Jeremy yang seperti itu. "Jer apa bisa kita bicara sebentar?" tanya Anna yang baru saja duduk di hadapan Jeremy. Wanita itu ingin membicarakan perihal Gerald.Kemarin sore saat mereka bermain, tiba-tiba Gerald mengatakan bahwa ia ingin bersekolah. Mengingat umur Gerald sudah lima tahun, Anna jadi ingin memasukkan dia ke sekolah tk.
Kebetulan, Anna memiliki teman yang mengajar di sebuah tk, ia bisa menanyakannya nanti. Apa bisa Gerald langsung masuk ke kelompok b langsung?
Namun sebelum itu, ia harus mendapat persetujuan Jeremy terlebih dahulu. Anna masih menghormati Jeremy sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga.
Hanya saja, Jeremy kini malah menatapnya tajam. "Tidak bisa, aku harus segera ke kantor," jawabnya datar.
Anna sontak melirik jam tangan yang ada di pergelangan kirinya. Ia berdecak, masih pukul tujuh lebih, padahal Anna tau jam kerja kantor Jeremy jam 8. Artinya masih banyak waktu untuknya hanya sekedar berbincang sepuluh menit saja dengan Anna.
"Oh ayolah ini masih sangat pagi Jer, hanya sebentar. Aku hanya butuh waktu sepuluh menit saja tidak lama."
"Dua menit," ujar Jeremy sambil menyendokkan nasi ke dalam mulut.
Anna mendelik, dua menit dari banyaknya waktu yang pria itu berikan. Anna mengenggam erat garpu dan pisau makannya, ingin sekali Anna lempar ke wajah Jeremy. Laki-laki itu benar-benar angkuh, semakin benci saja Anna kepadanya. "Bagaimana kalau lima menit?" tawar Anna. Ia mencoba mengalah meski hatinya sudah tumbuh rasa ingin mencakar Jeremy. "Dua menit atau tidak sama sekali." Jeremy mempertahankan jawabannya. Benar-benar pria egois yang menjengkelkan. Anna menghembuskan nafasnya pelan, masalahnya apa yang bisa ia bicarakan dalam waktu singkat itu? Apa perlu Anna membayar permenitnya bila ingin mengobrol dengan Jeremy? Namun tidak ada yang bisa Anna perbuat selain menuruti laki-laki brengsek itu, daripada Jeremy tidak memberinya kesempatan berbicara. Anna lakukan ini demi Gerald, "Baiklah." Jadi setelah makan, Jeremy terlebih dahulu pergi ke ruang tengah kemudian Anna menyusulnya. Karena Jeremy hanya memberikan waktu dua menit, Anna langsung mengutarakan hal apa yang akan ia bicar
Menyadari Jeremy yang tak jauh dari mereka, Anna lantas berjalan menghampiri suaminya itu. "Ada apa?"Jeremy melirik Gerald yang ada di samping Anna. Anna mengikuti arah pandang Jeremy dan ia mengerti apa yang ada di pikiran pria tersebut."Sayang, Gerald main dulu sama Bibi Rose ya? Ada yang mau dad bicarakan ke mommy. Nanti kalau sudah selesai berbicara dengan daddy, mommy bakal susul Gerald," ujar Anna lembut.Gerald mengangguk, pasalnya ia juga takut dengan Jeremy. Bocah laki-laki itu berjalan mendekati Rose, kemudian Rose mengajak Gerald bermain ke taman belakang.Setelah kepergian Gerald, Anna melirik Jeremy sinis, "Apa yang akan kau bicarakan? Cepatlah aku tidak punya banyak waktu."Jeremy tersenyum meremehkan, "Memang kau sibuk apa?" ujar Jeremy menyunggingkan sebelah bibirnya."Bermain bersama anakku!" sahut Anna menekankan kata "anakku" di hadapan Jeremy.Jeremy hanya memasang wajah menyebalkan, "Gerald?" tanyanya enteng tanpa dosa.Anna mendengus, "Ya siapa lagi menurutmu h
"Anak Sambung? Oh astaga, aku lupa kalau sahabatku ini sekarang seorang ibu. Pasti kau sangat sibuk ya?" Mendengar itu, Anna terkekeh. "Ya begitulah, aku ingin sekali bertemu denganmu setelah acara pernikahanku kita belum sempat bertemu lagi," "Ah benar, padahal waktu itu aku dulu yang dilamar, ternyata kau dulu malah yang nikah. Dengan duda kaya raya lagi, seperti doamu," "Sialan! Bagaimana kau bisa kapan?" "Sore nanti aku bisa." "Oke baiklah sore nanti kita bertemu, di cafe biasa saja kali ini aku yang traktir," ujar Anna. "Wah benarkah?" "Ya!" "Tumben kau baik An?" goda Gisella. "Sejak dulu aku selalu baik ya!" cerocos Anna. Terdengar gelak tawa dari Gisela, "Benar memang kau selalu baik An!" Pasalnya memang Anna senang menraktir Gisela mulai dari jaman mereka sekolah, sesekali Gisela juga sering mentraktir Anna."Ngomong-ngomong kau nanti datang bersama anak sambungmu itu?" tanya Gisela. "Sepertinya iya, kasian dia sendiri di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk bercerit
Anna mengedikkan bahu lalu melanjutkan makannya, sedangkan Gerald kaget melihat Jeremy yang tiba-tiba ada di sana.Gisela mengedipkan sebelah matanya, memberi kode kalau Jeremy memang suami Anna. Pasalnya Rafael saat itu tidak pergi ke pernikahan Anna karena ia sedang bertandang ke Paris jadi Rafael tidak tau siapa suami dari Anna."Dunia memang sempit, dan ternyata kau adalah istri Mr Jeremy,"Jeremy tersenyum tipis, ia juga tidak tau bila Anna kenal dengan Rafael."Silahkan duduk Tuan," ujar Gisela memperkenankan Jeremy bergabung di mejanya.Anna hanya menunjukkan wajah datarnya. Ia masih kesal dengan Jeremy.Suasana mendadak menjadi hening, Gisela yang awalnya banyak bicara sekarang langsung diam, pun dengan Anna.Jeremy dan Rafael tampak menikmati makanannya, tak tau jika Gisela dan Anna sedang beradu tatap merasa canggung untuk membuka suara."Ekhem!" Gisela berdeham. "An bagaimana mengenai sekolah Gerald?""Oh iya aku hampir lupa ingin membahas itu," sahut Anna. "Jer kau ingat ka
"Diamlah bajingan! Lebih baik kau tutup mulut baumu itu!" ketus Jeremy."Sialan!" gerutu Frans.Namun, Jeremy tak membalasnya.Kepalanya kini semakin pusing.Apa yang dikatakan Frans itu benar. Sebentar lagi Robert pulang dan pasti menanyakan soal anak. "Argh! Brengsek!" teriaknya. Anna yang keras kepala ditambah Jeremy yang seenaknya, tidak ada yang saling mengalah. Membuat darah Jeremy selalu mendidih bila berinteraksi dengan Anna. Jeremy menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pelan, mencoba fokus untuk kembali bekerja. "Katakan apa jadwalku sampai minggu depan!" "Nanti dan besok kau ada jadwal meeting siang. Lusa kau harus terbang ke Singapore selama 3 hari. Dan di hari Sabtu kau ada undangan dari Mr Rafael untuk menghadiri perayaan lamarannya." Frans menerangkan semua kegiatan Jeremy. Setidaknya Jeremy merasa puas untuk tidak bertemu Anna selama 3 hari, ia bisa merefreshingkan kepalanya meskipun tidak akan bisa. Baru kali ini ada sosok asing yang membuat Jeremy
"Papa tidak peduli penolakanmu Jer! Apa kau mau cuti satu bulan saja hah!" Tegas Robert yang membuat Jeremy murka. Anna hanya membatin, ternyata sama saja. Sifat Robert yang tidak menerima bantahan menurun pada Jeremy, namun Robert masih memiliki sisi baik sedangkan Jeremy tidak ada. Robert beralih menatap Anna, "An suruh anak itu berkemas, siang nanti kalian berangkat!" titahnya. Anna mengangguk, ia tidak berani menyanggah Robert. "Apa mommy dan daddy akan pergi kek?" tanya Gerald membuka suara. Robert mengangguk, "Hanya 3 hari. Gerald mau bersama Kakek?" Bocah laki-laki itu mengangguk, "Gerald mau Kek!" serunya. "Tapi nanti Gerald tidak bisa bertemu Mommy." Ia memasang wajah melasnya. "Rupanya kau sayang sekali kepada mommy ya?" tanya Robert. Robert tau perlakuan Jeremy terhadap cucunya seperti apa. Itu sebabnya Gerald tidak ingin pisah dari Anna. Dari pelayan yang bekerja, Robert sering mendapat kabar bahwa Anna memperlakukan Gerald dengan sangat baik. Robert lega
Senyum iblis di wajahnya membuat Anna ingin mencakar wajah Jeremy! "Tidak! Kau mau memanfaatkanku hah!" Emosi Anna sudah tidak terbendung lagi. Sejak tadi ia mencoba menahan, namun rupanya Jeremy semakin membuatnya naik darah. Mendengar penolakan Anna, Jeremy tersenyum puas karena Jeremy pun sebenarnya tau jawaban apa yang akan keluar dari mulut wanita itu. Jeremy merebahkan dirinya di atas kasur menatap Anna yang masih berdiri dengan wajah sinisnya. "Ya sudah sekarang pergilah!" Anna mengacak rambutnya asal, ia terus mengumpat meski dalam hati. "Baik aku mau!" ketus Anna. Ia terpaksa melakukan ini demi Jeremy agar mau pergi berlibur. Anna heran, kenapa ada manusia seperti laki-laki itu? Padahal manusia lainnya, sangat ingin pergi berlibur sedangkan Jeremy? Sialan memang laki-laki itu! Jeremy mengulum senyum, ia akan bermain-main dengan Anna. Lihat aja, Jeremy akan membawa Anna ke dalam permainannya. Ia langsung bangkit dari tidurnya, "Kita berangkat!" seru Jeremy dengan sen
"Apanya? Kenapa kau cerewet sekali!" Oh Tuhan, dosa apa yang pernah Anna perbuat hingga memiliki suami seperti Jeremy. "Kau akan terus menggunakan pakaian itu saja hah!" Bentak Anna sudah tidak bisa mengontrol emosinya. "Beli di sana apa susahnya? Sudahlah cepat!" Sudah tidak mau membantu, malah menyuruh-nyuruh dengan keji. Anna ingin sekali menusuknya dari belakang. "Mom." Ujar Gerald saat berpapasan dengan Anna di pintu masuk mansion. Ia baru saja datang bersama Robert. "Sayang." Anna memeluk tubuh Gerald. Sejujurnya ia tidak tega meninggalkan Gerald selama beberapa hari, meskipun Anna yakin Gerald tidak akan kesepian karena ada Robert dan para pelayan yang menemani. Tetapi karena jiwa keibuannya yang begitu besar, membuatnya tidak ingin berpisah dengan bocah tersebut. "Selamat bersenang-senang Mom." Anna mengangguk, "Mommy akan cepat pulang. Gerald di sini tidak boleh nakal, harus nurut sama kakek." "Baik Mom." Robert menyaksikan langsung rasa cinta Anna yang terp
"Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
Jeremy meringis kecil mengingat apa yang Frans katakan tadi. Ia sendiri bingung antara, apakah dirinya benar menyukai Anna atau tidak, kebimbangan itu membuat kepalanya pusing sendiri. "Kau bodoh atau bagaimana sih Jer?" tanya Frans yang tidak percaya bila Jeremy masih bimbang dengan perasaannya. Jeremy menggeleng polos, seperti anak anjing yang baru melihat dunia. Brak! Reflek pria itu menggebrak kuat mejanya, "Sudah kupastikan, bahwa kau bodoh!" "Sialan! Aku datang ke mari memintamu pendapat, aku tidak tau dengan diriku sendiri," "Shit!" Frans memijat pelan keningnya. Heran dengan kebodohan Jeremy, pantas saja ia selalu dipermainkan oleh wanita. "Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa aneh tidak dengan sikapmu?" "Entahlah," jawabnya yang mengundang Frans ingin memukul wajahnya. "Oh bagaimana kalau aku memukul kepalamu di dinding agar sedikit lebih mudah mencerna?" "Boleh, asalkan aku dulu yang melemparmu dari lantai dua belas!" "Ya sudah fikir saja sendiri, bagaiman
Tidak segampang itu ternyata menahan diri untuk tidak berbicara dengan Anna, ia akui dirinya mulai ketergantungan oleh sosok Anna. Seperti barang haram, Anna bisa membuat Jeremy candu semudah itu. Ia buru-buru keluar dan pergi ke kamar anaknya, dengan sangat pelan pria itu membuka kamarnya. Tiba-tiba Jeremy terdiam, ia melihat sang istri tidur memeluk Gerald. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pria berdarah diringin itu menghangat, sedikit demi sedikit bongkahan es pada hatinya meleleh. Cinta yang Anna berikan sangat lah tulus, wanita itu yang membuat kehidupannya yang semula gelap menjadi terang. Apalagi Gerald, ia terurus dengan sangat baik. Bolehkah jika sekarang Jeremy benar-benar takut kehilangannya? Wanita yang tidak gila dengan harta, wanita yang sederhana dengan penampilannya, wanita yang sangat sopan dengan tutur bahasanya, wanita yang penuh cinta setiap harinya, relakah bila wanita sesempurna itu hilang dari kehidupannya? Jeremy berjalan mendekat lalu mencium k
Anna melihat bibir Jeremy yang mengerucut kesal, "Kau marah?" goda Anna seraya mencolek dagu suaminya. Jeremy melirik sebentar lalu balik membelakangi Anna. Mereka baru saja sampai, tadi tanpa sepengetahuan Anna suaminya itu menjemputnya di sebuah restoran saat bersama Gisela tadi. Setelah mengurus berkas Gerald, Anna dan Gisela memutuskan untuk mampir makan siang di restauran jepang milik teman kuliahnya dulu, di salah satu mall yang kebetulan mereka datangi. Menurut rumor yang beredar saat mereka masih duduk di bangku perkuliahan, pemilik restaurant tersebut yang bernama Tama ini menyukai Anna, tetapi Anna tidak tau itu benar atau tidak. Dan tadi saat Anna berada di restaurant Tama, tiba-tiba Jeremy menyusulnya. Suaminya itu merasa kesal sebab tatapan Tama yang selalu mengawasi Anna. Jeremy melihat secara langsung kala Tama mencuri-curi pandang kepada sang istri. Ia tau itu bukan tatapan biasa, entah Jeremy sedang cemburu atau tidak yang pasti ia tidak suka dengan tatapan
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se
Bukannya takut, Anna malah memberikan sentuhan-sentuhan sayang di pipi Jeremy, merabahnya pelan hingga membuat Jeremy sedikit menegang. "Jangan marah," Sepertinya pria itu masih keukeuh mempertahankan diamnya. Mungkin saja dirinya tergoda kepada Anna, namun lagi-lagi egonya terlalu besar. "Jer ...." panggilnya lirih, ia tidak putus asa saat Jeremy mengabaikannya. "Yakin masih marah?" Jeremy menghembuskan nafasnya kasar, "Jika kau terus seperti ini aku akan kembali membawamu ke kamar!" Mana bisa ia marah kepada Anna jika seperti ini dan ya dia juga tidak ingin marah kepada wanitanya itu. Anna terkekeh, "Ternyata Direktur Utama yang terkenal garang memiliki sisi manja juga." ledeknya. Jeremy menenggelamkan kepalanya di pelukan Anna, ia kesal istrinya itu terus menggodanya, tidak taukah Anna bahwa tubuhnya sangat amat candu bagi Jeremy. Setiap menit Jeremy ingin terus menyentuhnya. Tanpa mereka sadari semua orang yang ada di mansion melihat tingkah Jeremy yang berbeda. Mu
Anna menurut, ia berjalan ke sisi kanan lalu merebahkan tubuhnya di samping Jeremy. Dengan gerak cepat Jeremy langsung memeluknya, menenggelamkan kepalanya di leher Anna. Tangan Anna terulur pada pipi Jeremy, diusapnya pelan hingga membuat pria yang ada didekapannya itu terbuai akan belaian Anna. "Tidurlah aku akan menemanimu di sini," ucap Anna. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Jeremy, berharap suaminya tersebut secepatnya terlelap. *** Karena menemani Jeremy, alhasil Anna ikut tertidur juga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ia melihat Jeremy masih memeluknya. Anna mencoba menggerakkan badannya pelan guna melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya hampir empat jam ia tidur. Anna segera mengecek suhu tubuh Jeremy, syukurlah suhu tubuhnya kembali normal. Perlahan ia melepaskan pelukan Jeremy, Anna merasa lapar. "Kau mau ke mana Ann?" Anna merutuki kepekaan Jeremy, padahal ia sudah berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu ti
Sudah menjadi rutinitas Anna bangun terlebih dulu dari suaminya lalu beranjak pergi untuk memasak, namun tidak dengan pagi ini. Anna bangun cukup siang karena kemarin Jeremy mengatakan ingin sarapan dengan roti bakar saja, ia tidak ingin Anna sibuk memasak mengingat Gerald juga sedang menginap di rumah Robert. Anna menyibakkan selimutnya dan hendak turun tetapi sebuah tangan menghalanginya untuk bangkit. Ia merasakan suhu tubuh Jeremy yang sedikit hangat, Anna mengurungkan niatnya lalu memeriksa kondisi Jeremy yang tampak sedang kurang enak badan ternyata. Ia menempelkan tangannya ke dahi Jeremy dan benar suhu tubuh pria tersebut terasa hangat. "Jer kau sakit?" Jeremy menggerang pelan dari tidurnya, "Hari ini kau tidak perlu ke kantor dulu biar aku hubungi Frans sekarang." kata Anna. "Tidak usah Ann aku baik-baik saja," lirih Jeremy yang masih menutup mata. Bagaimana suaminya itu bisa mengatakan baik-baik saja, padahal jelas tubuhnya terasa hangat. Memang si keras kepala i