Home / Romansa / JODOHKU GURU GALAK / 1. Guru Galak vs Murid Bengal

Share

JODOHKU GURU GALAK
JODOHKU GURU GALAK
Author: Elita Lestari

1. Guru Galak vs Murid Bengal

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:29:34

"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."

Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya.

"Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.

Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar.

"Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.

Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik.

"Dalam satu minggu ini, sudah berapa kali kamu membolos? Masih mau menambah poin pelanggaran?" tegur Adhinata. Kedua tangan terlipat di depan dada, masih dengan ekspresi dinginnya.

"Jangan, dong, Pak. Saya tadi sudah izin sama guru piket, mau ada keperluan penting di luar sekolah," sahut Nadira, memelas.

"Kalau sudah izin, kenapa harus manjat pagar?" selidik guru muda yang akrab dipanggil Pak Nata oleh murid-muridnya tersebut.

"Bener kok udah minta izin, tapi ... enggak dikasih, Pak. He he he ...." Nadira menggaruk kepala hingga beberapa helai rambut mencuat ke mana-mana. Cengiran konyol masih terpasang, menampilkan gigi gingsul yang menawan.

Tatapan datar Adhinata masih belum berubah saat dia berkata, "Ikut ke ruangan saya sekarang."

"Loh, kenapa gitu, Pak? Saya mau ada urusan penting ini, Pak." Gadis itu berusaha menolak.

"Saya tidak menerima alasan."

Tahu-tahu pria muda 27 tahun itu sudah menarik lengan siswinya menuju ruang bimbingan.

"Lepasin, Pak. Jangan tarik-tarik gini, saya bisa jalan sendiri." Nadira menahan laju badannya, tetapi tak bisa. Adhinata terlalu kuat. Hingga tubuh sang gadis terseret paksa.

"Pak, tangan saya sakit. Tolong lepasin." Nadira berseru terburu.

Adhinata menghentikan langkah mendadak dan memutar badan secara tiba-tiba, saat mendengar keluhan demikian. Membuat tubuh Nadira terhuyung cepat hingga menubruk dada bidangnya.

Tangan Nata refleks merengkuh tubuh siswi yang hanya setinggi bahunya itu, saat keduanya terhuyung selepas bertubrukan. Posisi mereka kini layaknya sepasang kekasih yang sedang berpelukan.

Keduanya beradu tatap begitu lekat. Lengan Adhinata merengkuh pinggang Nadira, sementara tangan gadis itu berpegangan kuat pada lengan atas gurunya. Suasana sekitar seolah bergerak lambat bak slow motion dalam drama, dan soundtrack romantis pun seakan terdengar.

"Hei, apa-apaan ini? Pak Nata, apa yang Anda lakukan?"

Keduanya gelagapan ketika seruan lantang itu menegur tegas. Merusak momen saja.

Adhinata spontan melepaskan pegangan pada Nadira, membuat gadis itu ambruk ke atas tanah.

"Akhh!" Rintihan Nadira tidak Nata hiraukan. Guru muda itu sedikit membungkukkan badan, memberi salam sopan pada seseorang yang baru saja menegurnya.

Pak Widodo—sang kepala sekolah—berada tak jauh dari mereka. Berdiri kaku dengan mata melebar, kacamata merosot, mulut menganga, dan ekspresi syok yang membuat wajah tuanya memucat.

"Maaf, Pak. Siswi ini kedapatan mau membolos, jadi sedang saya tertibkan," ujar Nata dengan nada tenang. Ekor matanya melirik ke arah Nadira.

Pandangan sang kepala sekolah beralih pada siswi yang kini sudah berdiri kembali, dan tengah membersihkan rok dari debu yang mengotori.

"Nadira Amaya. Astaga, kamu lagi ternyata. Kenapa suka sekali membuat ulah?" desah kepala sekolah. "Ya sudah Pak Nata, lanjutkan saja menertibkan anak ini. Saya ada rapat di sekolah lain. Saya tidak mau ada anak yang menggunakan seragam sekolah ini berkeliaran di jalan saat jam pelajaran," sambungnya.

"Baik, Pak." Adhinata memberi anggukan.

Setelah kepala sekolah menjauh, Nata menatap sekilas ke arah Nadira. Sekadar memastikan bahwa gadis itu baik saja-saja setelah ia jatuhkan tadi.

Nadira dibuat terkejut saat tiba-tiba Adinata meraih tangannya dan ditarik mendekat. Kali ini gadis tersebut tak memberontak, justru keheranan melihat Adhinata yang mengamati telapak dan pergelangan tangannya dengan serius. Tidak ada luka, hanya sedikit goresan di salah satu telapak tangan. Sepertinya karena tadi tersungkur di atas tanah.

Tanpa kata, Adhinata menatap lekat Nadira, lantas kembali melanjutkan langkah. Sorot matanya mengisyaratkan agar Nadira mengikuti dari belakang. Sang gadis pun tak punya pilihan. Dengan wajah cemberut, bibir manyun, dan langkah menghentak, Nadira pun mengekor sang guru galak.

Beberapa menit berselang, mereka sudah memasuki ruang bimbingan. Adhinata mendudukkan diri di balik meja kerja, sementara Nadira mendaratkan pantat pada sofa hitam di seberang Adhinata berada.

"Siapa yang kasih izin kamu duduk di situ? Ke sini!" Menggunakan dagu, Pak Nata menunjuk kursi di depan mejanya.

Dengan langkah malas, Nadira kali ini mendekat tanpa bantahan. Tas sekolah ia letakkan asal di dekat kaki meja, dan kini ia melirik Pak Nata dengan raut kesal.

"Katanya suruh masuk kelas. Malah diajak ke sini," gerutunya lirih.

"Apa kamu bilang?" Nata bertanya penuh selidik.

"Enggak, Pak. Bukan apa-apa. Ruangan Bapak enak. Adem, ada sofanya, bisalah kerja sambil rebahan." Nadira asal bicara. Cengiran konyol kembali terpampang.

Adhinata menghela napas. Memutar kursi dan tangannya menyalakan komputer di sisi meja. Menunggu beberapa saat, lalu jari-jari panjangnya mengetikkan sesuatu. Setelah itu, muncullah daftar nama-nama siswa beserta poin pelanggaran pada monitor.

"Perhatikan ini." Pria tersebut menunjuk layar, meminta Nadira memperhatikan.

"Enggak kelihatan, Pak. Mata saya buram." Gadis itu beralasan.

Adhinata menyandarkan badan pada punggung kursi. Tak peduli dengan Nadira yang seakan tak menggubris.

"Nama kamu ada di urutan paling atas pada daftar murid yang sering melakukan pelanggaran. Kamu memegang poin tertinggi dalam hal ini," papar sang guru tampan.

"Wah, bakal dapat medali gak, nih?" Nadira menaik-turunkan alis.

"Jangan bercanda, Rara. Ini perkara serius." Adinata menegur tegas.

Siswi di depannya terdiam dan manggut-manggut, sembari mengedipkan mata lucu. Sok lugu.

"Ditambah upaya membolos kamu hari ini, seharusnya sanki yang kamu dapat akan lebih berat. Saya punya wewenang untuk memanggil orang tuamu agar datang ke sekolah."

"Orang tua saya sibuk, gak akan sempat datang, Pak. Langsung jatuhin skorsing aja deh." Nadira menyambar.

"Itu mau kamu, 'kan? Bilang saja malas sekolah," tukas Adhinata.

"Bapak tahu aja." Nadira genit. Menggigit bibir dan memajukan badan.

Sang pria berdeham melihat tingkah murid nakalnya, dan segera mengalihkan pandang setelah meneguk ludah susah payah.

"Jangan pasang wajah seperti itu di depan saya." Nata memperingatkan.

"Kenapa? Bapak tergoda, ya?" ledek Nadira.

"Poin pelanggaran saya tambah karena kamu berusaha merayu guru." Nata mengetikkan pelanggaran baru pada kolom nama Nadira dan poin tambahan pun menyusul.

"Hei, itu gak masuk dalam kategori pelanggaran, ya. Bapak gak bisa seenaknya." Nadira mengulurkan tangan melintasi meja, menarik lengan sang guru agar tak melanjutkan ketikan, tetapi terlambat. Nata sudah memperbarui catatannya.

"Saya bisa." Nata menatap Nadira tajam. "Tapi karena kamu gagal membolos hari ini, saya tidak akan memanggil orang tuamu."

"Hhh ... bagus deh kalau begitu." Nadira menghela napas lega.

"Sebagai gantinya, saya sudah siapkan hukuman lainnya."

"Hukuman apa, sih, Pak? Saya pasrah aja deh suruh masuk kelas. Dengerin guru sambil ngantuk-ngantuk gak masalah," sambar si gadis belia.

"Tidak sesederhana itu. Kamu harus membersihkan toilet di seluruh gedung sekolah. Termasuk toilet guru dan staff tata usaha," ucap Nata penuh penekanan.

Nadira melongo di tempat. "Yang bener aja, Pak? Bisa gempor saya."

"Saya tidak menerima bantahan." Nata beranjak meninggalkan kursinya.

"Gak mau ah. Jangan ya, pliss. Saya tuh jijik kalau disuruh ngerjain yang kayak gituan." Nadira ikut berdiri, mendekat ke arah sang guru yang berada di samping meja.

"Kerjakan, atau saya bawa kamu ke tengah lapangan." Suara rendah Adhinata ditambah tatapan lekatnya membuat merinding sekujur badan.

"Ke tengah lapangan suruh hormat bendera?" terka Nadira.

Salah satu sudut bibir Adhinata terangkat. Menampilkan smirk misterius yang lagi-lagi membuat bulu roma meremang. Dia tarik tubuh Nadira mendekat, seraya melontar kalimat yang membuat gadis itu terhenyak.

"Bukan. Tapi, untuk saya cium di hadapan seluruh warga sekolah. Jadi, pilih mana?"

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   3. Dijodohkan

    Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

    Last Updated : 2025-02-12

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

  • JODOHKU GURU GALAK   3. Dijodohkan

    Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak

  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

  • JODOHKU GURU GALAK   1. Guru Galak vs Murid Bengal

    "Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status