Share

3. Dijodohkan

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:35:48

Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup.

"Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya.

"Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental.

"Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir.

"Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.

Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak kecil, Nadira diurus oleh Mbok Ras. Ibunya sudah lama meninggal dunia, bahkan sejak Nadira masih balita.

Ekor mata gadis itu melirik ke atas ranjang, di mana sebuah midi dress berwarna peach diletakkan oleh pembantunya itu di sana.

"Ini baju siapa?" Nadira bertanya ketika Mbok Ras kembali  dengan membawa handuk kecil yang baru saja ia ambil dari dalam lemari.

"Bapak yang nyiapin. Buat Gendhuk pakai," jawab Mbok Ras seraya mulai mengusak rambut Nadira agar lekas kering. Gendhuk adalah panggilan sayang dari Mbok Ras untuk Nadira. Panggilan umum untuk gadis di kampung, tetapi Nadira merasa istimewa ketika Mbok Ras menyebutnya 'Nduk'.

"Suruh dipakai sekarang?" Gadis itu memiringkan kepala, mendongak ke arah pembantunya.

"Iya. Ini dikeringkan dulu rambutnya, terus ganti baju. Nanti Simbok bantu dandan." Wanita setengah tua yang mengenakan daster batik itu menyampirkan handuk kecil tadi pada bahu Nadira.

"Emangnya mau ke mana, sih, Mbok? Kok harus dandan segala." Gadis itu menoleh ke arah Mbok Ras, sambil menggosok sendiri rambutnya.

"Ndak ke mana-mana. Di rumah saja. Tapi mau ada tamu yang datang." Mbok Ras menjawab sembari mengambil hairdryer dari dalam laci meja rias.

Nadira bertanya saat wanita paruh baya itu kembali mendekat. "Ayah mau bawa wanita ke rumah? Ayah mau nikah, ya?" terkanya.

Mbok Ras tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. "Kalau Bapak memang mau menikah lagi yo sudah dari dulu to, Nduk. Bapak itu cintanya cuma buat ibu sama kamu. Ndak bakal ada wanita lainnya."

"Lah, terus. Mau ada acara apa? Segala suruh pakai dress ginian. Diminta dandan pula." Ujung jari Nadira menyentuh gaun sederhana yang ada di sebelahnya.

"Kalau Simbok bilang, bukan kejutan, dong, namanya. Bapak saja ndak ngasih tahu, to?" Mbok Ras mencubit hidung bangir milik majikan kecilnya.

"Ah, Simbok gitu. Ayo bilang buruan." Sang gadis menggoyang-goyangkan lengan si wanita setengah tua yang selama ini mengasuhnya. Merayu, meminta jawaban.

"Nanti kamu juga tahu sendiri." Mbok Ras menunjukkan senyuman.

Meski banyak pertanyaan di dalam kepala, Nadira akhirnya patuh juga. Pasrah ketika akhirnya dirinya di-permak oleh Mbok Ras.

Ternyata, bersiap saja membutuhkan waktu cukup lama. Hari sudah mulai gelap saat Nadira turun ke lantai bawah. Wajah manisnya tampak bercahaya dengan riasan tipis ala Mbok Ras. Rambut sedikit bergelombang sebatas bahu itu dibiarkan terurai dengan aksesoris jepit pita kecil di salah satu sisi.

Tampak seperti gadis-gadis Korea dalam drama, tetapi kecantikan alami pribumi yang Nadira miliki sungguh terpancar lebih indah. Para aktris dijamin kalah.

"Ayah!" panggilnya, berjalan cepat dan melompat pada barisan anak tangga. Kakinya tak memakai alas. Sepatunya belum disiapkan oleh Mbok Ras.

Tidak mendapat sahutan dari sang ayah, gadis itu mencari sang pembantu yang sudah turun lebih dulu. Dapur adalah area yang dia tuju. Benar saja, si wanita pecinta daster batik itu sedang menata hidangan di atas meja makan.

"Oh, wow!" seru gadis tersebut.

Bibir Nadira membulat. Selama tujuh belas tahun hidup di dunia, sepertinya baru kali ini Nadira melihat Mbok Ras masak banyak. Bahkan di hari raya atau hari ulang tahunnya saja tidak seheboh ini isi meja makan mereka.

"Ini mau ada tamu siapa, sih, Mbok? Kok meja makan ampe penuh begini?" tanya Nadira. Tangannya terulur ingin mencomot potongan lauk, tetapi punggung tangannya langsung ditepuk pelan sama si pembantu.

"Ndak sopan itu. Nanti saja bareng-bareng tamu," tegur Mbok Ras dengan ekspresi marah yang dibuat-buat. Sementara Nadira menyuguhkan cengiran konyolnya.

"Habisnya Rara lapar, Mbok. Tadi di sekolah Rara kena hukum suruh bersihin toilet seluruh gedung. Gak sempet makan. Untung gak semaput." Gadis itu mengadu sambil mengusap perut.

"Waduh, siapa yang berani menghukum tuan putrinya Mbok Ras?" Wajah wanita tua itu terkejut. Meski sebenarnya kejadian seperti itu bukan hal yang baru. Sudah biasa mendengar kabar Nadira dihukum. Namun, membersihkan toilet di seluruh gedung itu terdengar sungguh terlalu.

"Sama guru galak predator anak. Ngeselin banget, deh, Mbok. Tapi ganteng, sih. Hihihi ...." Nadira tak memungkiri. Adhinata memang setampan itu.

"Guru galak predator anak, piye to maksudnya?" Mbok Ras mengerutkan keningnya.

"Dah, enggak usah dipikir, Mbok. Nanti pusing." Nadira mengibaskan tangan.

"Mendingan Simbok ganti baju sana. Masa mau ada tamu, dasteran gombrong begini. Buruan dandan yang cantik," sambung gadis itu, memutar bahu Mbok Ras dan mendorong tubuh sedikit subur tersebut menuju kamar yang tak jauh dari dapur.

"Simbok lho mau nonton sinetron saja di kamar. Kamu saja nanti yang menjamu tamunya," kata Mbok Ras.

"Enak saja. Mana boleh gitu." Nadira berkacak pinggang.

"Boleh saja. Terserah Simbok," seloroh Mbok Ras.

"Dih, Simbok mah gitu." Nadira cemberut.

"Yo ben!" Wanita paruh baya itu melenggang ke kamar. Setelah mengucap satu kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti 'biarin' tersebut.

"Pakai sepatu yang Simbok siapin di dekat tangga, Nduk." Mbok Ras bersuara lantang sebelum sepenuhnya menghilang ke dalam kamar.

Nadira tak membalas. Pipinya menggembung lucu karena sebal. Namun, gadis itu tetap melakukan apa yang Mbok Ras minta. Dia memutar badan lalu melangkah mendekati tangga.

Benar kata Mbok Ras. Di sana, sudah ada kotak sepatu berwarna hitam. Gadis itu duduk di anak tangga terbawah dan membuka kotak sepatunya. Tidak seperti warna kotaknya yang gelap, justru sepasang sepatu di dalamnya berwarna putih tulang dengan style Mary Jane kekinian.

"Wah, bagus," celetuk Nadira kagum. Selera ayahnya bagus juga. Selama ini biasanya Wirawan hanya memberi uang. Perkara mau dibelanjakan apa, itu terserah Nadira. Baru malam ini dia mendapatkan hadiah yang tak terduga.

Nadira suka.

Bukan perkara selera yang merasa dipuaskan, tetapi ini karena sang ayah menunjukkan perhatian yang biasanya sangat jarang Nadira dapat.

Sungguh hal langka. Wirawan biasanya hanya sibuk kerja.

Gadis itu memasukkan kaki kanan, lalu kaki kirinya. Kaitan di dekat pergelangan kaki berbentuk seperti mutiara yang jika dipasangkan tampak seperti gelang kaki yang elegan. Sungguh indah dipandang.

Nadira berdiri dan berputar-putar sembari tersenyum cerah. Menyebabkan ujung dress-nya berkibar.

Cantik sekali.

Perpaduan simple midi dress sebatas betis, riasan tipis yang manis, dan sepatu modis, membuat Nadira tampak sempurna malam ini.

Ketika sedang asyik mengamati diri sendiri dari ujung kaki, tiba-tiba sang ayah memanggil.

"Rara."

Gadis itu pun menoleh. Mendapati ayahnya yang juga tampak rapi dengan kemeja warna krem dan celana panjang hitam yang membalut kaki.

"Cantik sekali putri Ayah," puji Wirawan, mendekati Nadira. "Baju sama sepatunya pas?" sambungnya.

Tentu saja Nadira tersipu mendapat pujian demikian. Ingat, 'kan, Wirawan ini jarang-jarang menunjukkan perhatian.

"Pas, kok. Beneran ini Ayah yang beli? Gak yakin, sih, tapi makasih," ucap gadis itu diiringi senyum manis.

Tak menjawab, Wirawan justru berkata, "Ikut Ayah sebentar. Ayah mau bicara."

Tumben alus bener bicaranya, batin Nadira.

Suasana yang mendadak berubah dan ekspresi serius Wirawan, membuat Nadira curiga.

"Ada apa, sih, Yah? Di sini aja bicaranya," sahut gadis tersebut.

"Rara curiga, Ayah mau bawa perempuan ke rumah, ya? Ayah mau menikah?" terka gadis itu tak sabar. Mencoba berkelakar, meski ayahnya ini nyaris tak memiliki selera humor seperti dirinya.

"Kenapa berpikir seperti itu?" sergah Wirawan. "Sini duduk dulu." Pria itu menuntun putrinya untuk duduk pada sofa di ruang keluarga. Lagi-lagi hal itu membuat Nadira terheran-heran.

Kali ini Nadira duduk diam. Bersiap mendengarkan apa pun yang akan Wirawan bicarakan. Tatap matanya begitu lekat memaku sepasang netra sang ayah.

Wirawan menghela napas. Tangannya meraih jemari Nadira dan menggenggamnya erat. Perasaan gadis itu pun menghangat.

"Dengarkan Ayah," kata Wirawan pelan, tetapi penuh penekanan. Dan Nadira memberikan anggukan.

"Malam ini, akan ada yang datang melamar kamu—"

"Apa?!" Mata Nadira membulat sempurna dan memotong kalimat ayahnya yang belum tuntas. Terkejut bukan kepalang.

"Dengarkan Ayah dulu—"

"Enggak-enggak. Ini gak bener. Rara masih sekolah, Yah," kata gadis itu.

"Iya, Ayah tahu."

"Terus kenapa begitu?" sambar Nadira lagi.

"Menikahnya juga kan tidak sekarang. Nanti setelah kamu lulus. Dan sebenarnya, kamu sudah Ayah jodohkan sejak dulu, dengan anak dari teman Ayah dan Bunda kamu," terang Wirawan.

"Enggak. Apa-apaan. Kenapa tiba-tiba? Kenapa Rara gak dikasih tahu sebelumnya? Rara gak mau dijodohkan!" Nada suara Nadira meningkat.

"Maafkan Ayah—"

"Selama ini Ayah jarang di rumah. Gak peduli seberapa besar aku butuh perhatian Ayah. Ayah sibuk terus sama kerjaan. Dan sekarang mendadak mau menerima lamaran orang? Enggak! Rara gak mau, Yah!" Nadira menggeleng kuat.

Wirawan mengusap wajah, kentara mulai tersulut emosinya. Padahal dia sudah sebisa mungkin menunjukkan kelembutan.

"Tolong nanti bersikap baik, Rara. Sebentar lagi mereka datang. Kita harus—"

"Rara enggak mau!" Gadis itu berdiri cepat.

"Rara, jangan seperti ini!" Wirawan mendongak—masih dalam posisi duduk, menatap tajam putrinya.

"Harusnya aku yang ngomong begitu ke Ayah. Ayah keterlaluan. Ayah selalu seenaknya!" Anak itu berteriak.

Mbok Ras yang telah selesai bersiap pun berlari mendekat, tetapi tak berani berbuat banyak. Wanita setengah tua itu hanya memperhatikan dari balik dinding sekat dapur dengan muka tegang.

"Ayah selalu memaksakan kehendak! Maaf, tapi kali ini Rara gak bisa nurutin kemauan Ayah."

Gadis itu berlari pergi. Wirawan tersentak dan menyusul secepat mungkin. Namun, Nadira lebih gesit. Gadis itu sudah membuka pintu depan dan kian kencang berlari. Menembus gerimis tipis yang menyapa bumi.

Mbok Ras memanggil-manggil sang majikan kecil sambil menangis. Langkahnya turut mengejar, tetapi gagal.

Bersamaan dengan Wirawan yang kehilangan jejak dan berteriak memanggil putrinya di halaman, Mbok Ras pun mematung di teras rumah.

Sementara itu, Nadira masih berlari dalam tangis. Melewati lorong kecil di sela-sela rumah warga yang sempit. Sengaja ia mengambil jalan itu, agar sang ayah tak mengetahui.

Nahas bagi Nadira, saat ia keluar gang hendak menyeberang jalan raya, sebuah kendaraan melaju cukup kencang dari arah kanan.

Gadis itu sudah terlanjur menginjakkan kaki di atas jalan beraspal. Lamunannya membuat konsentrasi hilang hingga tak sadar telah membawanya dalam bahaya. Kini, Nadira bak linglung tak tahu harus berbuat apa karena kejadiannya begitu cepat.

TIN!!! TIN!!! TIN!!!

Bunyi klakson kencang yang membuat pengang telinga disertai sorot lampu kendaraan yang menyilaukan, mengiring tubuh Nadira yang tersungkur seketika.

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   1. Guru Galak vs Murid Bengal

    "Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

  • JODOHKU GURU GALAK   3. Dijodohkan

    Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak

  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

  • JODOHKU GURU GALAK   1. Guru Galak vs Murid Bengal

    "Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status