Share

3. Dijodohkan

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:35:48

Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup.

"Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya.

"Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental.

"Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir.

"Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.

Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak kecil, Nadira diurus oleh Mbok Ras. Ibunya sudah lama meninggal dunia, bahkan sejak Nadira masih balita.

Ekor mata gadis itu melirik ke atas ranjang, di mana sebuah midi dress berwarna peach diletakkan oleh pembantunya itu di sana.

"Ini baju siapa?" Nadira bertanya ketika Mbok Ras kembali  dengan membawa handuk kecil yang baru saja ia ambil dari dalam lemari.

"Bapak yang nyiapin. Buat Gendhuk pakai," jawab Mbok Ras seraya mulai mengusak rambut Nadira agar lekas kering. Gendhuk adalah panggilan sayang dari Mbok Ras untuk Nadira. Panggilan umum untuk gadis di kampung, tetapi Nadira merasa istimewa ketika Mbok Ras menyebutnya 'Nduk'.

"Suruh dipakai sekarang?" Gadis itu memiringkan kepala, mendongak ke arah pembantunya.

"Iya. Ini dikeringkan dulu rambutnya, terus ganti baju. Nanti Simbok bantu dandan." Wanita setengah tua yang mengenakan daster batik itu menyampirkan handuk kecil tadi pada bahu Nadira.

"Emangnya mau ke mana, sih, Mbok? Kok harus dandan segala." Gadis itu menoleh ke arah Mbok Ras, sambil menggosok sendiri rambutnya.

"Ndak ke mana-mana. Di rumah saja. Tapi mau ada tamu yang datang." Mbok Ras menjawab sembari mengambil hairdryer dari dalam laci meja rias.

Nadira bertanya saat wanita paruh baya itu kembali mendekat. "Ayah mau bawa wanita ke rumah? Ayah mau nikah, ya?" terkanya.

Mbok Ras tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. "Kalau Bapak memang mau menikah lagi yo sudah dari dulu to, Nduk. Bapak itu cintanya cuma buat ibu sama kamu. Ndak bakal ada wanita lainnya."

"Lah, terus. Mau ada acara apa? Segala suruh pakai dress ginian. Diminta dandan pula." Ujung jari Nadira menyentuh gaun sederhana yang ada di sebelahnya.

"Kalau Simbok bilang, bukan kejutan, dong, namanya. Bapak saja ndak ngasih tahu, to?" Mbok Ras mencubit hidung bangir milik majikan kecilnya.

"Ah, Simbok gitu. Ayo bilang buruan." Sang gadis menggoyang-goyangkan lengan si wanita setengah tua yang selama ini mengasuhnya. Merayu, meminta jawaban.

"Nanti kamu juga tahu sendiri." Mbok Ras menunjukkan senyuman.

Meski banyak pertanyaan di dalam kepala, Nadira akhirnya patuh juga. Pasrah ketika akhirnya dirinya di-permak oleh Mbok Ras.

Ternyata, bersiap saja membutuhkan waktu cukup lama. Hari sudah mulai gelap saat Nadira turun ke lantai bawah. Wajah manisnya tampak bercahaya dengan riasan tipis ala Mbok Ras. Rambut sedikit bergelombang sebatas bahu itu dibiarkan terurai dengan aksesoris jepit pita kecil di salah satu sisi.

Tampak seperti gadis-gadis Korea dalam drama, tetapi kecantikan alami pribumi yang Nadira miliki sungguh terpancar lebih indah. Para aktris dijamin kalah.

"Ayah!" panggilnya, berjalan cepat dan melompat pada barisan anak tangga. Kakinya tak memakai alas. Sepatunya belum disiapkan oleh Mbok Ras.

Tidak mendapat sahutan dari sang ayah, gadis itu mencari sang pembantu yang sudah turun lebih dulu. Dapur adalah area yang dia tuju. Benar saja, si wanita pecinta daster batik itu sedang menata hidangan di atas meja makan.

"Oh, wow!" seru gadis tersebut.

Bibir Nadira membulat. Selama tujuh belas tahun hidup di dunia, sepertinya baru kali ini Nadira melihat Mbok Ras masak banyak. Bahkan di hari raya atau hari ulang tahunnya saja tidak seheboh ini isi meja makan mereka.

"Ini mau ada tamu siapa, sih, Mbok? Kok meja makan ampe penuh begini?" tanya Nadira. Tangannya terulur ingin mencomot potongan lauk, tetapi punggung tangannya langsung ditepuk pelan sama si pembantu.

"Ndak sopan itu. Nanti saja bareng-bareng tamu," tegur Mbok Ras dengan ekspresi marah yang dibuat-buat. Sementara Nadira menyuguhkan cengiran konyolnya.

"Habisnya Rara lapar, Mbok. Tadi di sekolah Rara kena hukum suruh bersihin toilet seluruh gedung. Gak sempet makan. Untung gak semaput." Gadis itu mengadu sambil mengusap perut.

"Waduh, siapa yang berani menghukum tuan putrinya Mbok Ras?" Wajah wanita tua itu terkejut. Meski sebenarnya kejadian seperti itu bukan hal yang baru. Sudah biasa mendengar kabar Nadira dihukum. Namun, membersihkan toilet di seluruh gedung itu terdengar sungguh terlalu.

"Sama guru galak predator anak. Ngeselin banget, deh, Mbok. Tapi ganteng, sih. Hihihi ...." Nadira tak memungkiri. Adhinata memang setampan itu.

"Guru galak predator anak, piye to maksudnya?" Mbok Ras mengerutkan keningnya.

"Dah, enggak usah dipikir, Mbok. Nanti pusing." Nadira mengibaskan tangan.

"Mendingan Simbok ganti baju sana. Masa mau ada tamu, dasteran gombrong begini. Buruan dandan yang cantik," sambung gadis itu, memutar bahu Mbok Ras dan mendorong tubuh sedikit subur tersebut menuju kamar yang tak jauh dari dapur.

"Simbok lho mau nonton sinetron saja di kamar. Kamu saja nanti yang menjamu tamunya," kata Mbok Ras.

"Enak saja. Mana boleh gitu." Nadira berkacak pinggang.

"Boleh saja. Terserah Simbok," seloroh Mbok Ras.

"Dih, Simbok mah gitu." Nadira cemberut.

"Yo ben!" Wanita paruh baya itu melenggang ke kamar. Setelah mengucap satu kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti 'biarin' tersebut.

"Pakai sepatu yang Simbok siapin di dekat tangga, Nduk." Mbok Ras bersuara lantang sebelum sepenuhnya menghilang ke dalam kamar.

Nadira tak membalas. Pipinya menggembung lucu karena sebal. Namun, gadis itu tetap melakukan apa yang Mbok Ras minta. Dia memutar badan lalu melangkah mendekati tangga.

Benar kata Mbok Ras. Di sana, sudah ada kotak sepatu berwarna hitam. Gadis itu duduk di anak tangga terbawah dan membuka kotak sepatunya. Tidak seperti warna kotaknya yang gelap, justru sepasang sepatu di dalamnya berwarna putih tulang dengan style Mary Jane kekinian.

"Wah, bagus," celetuk Nadira kagum. Selera ayahnya bagus juga. Selama ini biasanya Wirawan hanya memberi uang. Perkara mau dibelanjakan apa, itu terserah Nadira. Baru malam ini dia mendapatkan hadiah yang tak terduga.

Nadira suka.

Bukan perkara selera yang merasa dipuaskan, tetapi ini karena sang ayah menunjukkan perhatian yang biasanya sangat jarang Nadira dapat.

Sungguh hal langka. Wirawan biasanya hanya sibuk kerja.

Gadis itu memasukkan kaki kanan, lalu kaki kirinya. Kaitan di dekat pergelangan kaki berbentuk seperti mutiara yang jika dipasangkan tampak seperti gelang kaki yang elegan. Sungguh indah dipandang.

Nadira berdiri dan berputar-putar sembari tersenyum cerah. Menyebabkan ujung dress-nya berkibar.

Cantik sekali.

Perpaduan simple midi dress sebatas betis, riasan tipis yang manis, dan sepatu modis, membuat Nadira tampak sempurna malam ini.

Ketika sedang asyik mengamati diri sendiri dari ujung kaki, tiba-tiba sang ayah memanggil.

"Rara."

Gadis itu pun menoleh. Mendapati ayahnya yang juga tampak rapi dengan kemeja warna krem dan celana panjang hitam yang membalut kaki.

"Cantik sekali putri Ayah," puji Wirawan, mendekati Nadira. "Baju sama sepatunya pas?" sambungnya.

Tentu saja Nadira tersipu mendapat pujian demikian. Ingat, 'kan, Wirawan ini jarang-jarang menunjukkan perhatian.

"Pas, kok. Beneran ini Ayah yang beli? Gak yakin, sih, tapi makasih," ucap gadis itu diiringi senyum manis.

Tak menjawab, Wirawan justru berkata, "Ikut Ayah sebentar. Ayah mau bicara."

Tumben alus bener bicaranya, batin Nadira.

Suasana yang mendadak berubah dan ekspresi serius Wirawan, membuat Nadira curiga.

"Ada apa, sih, Yah? Di sini aja bicaranya," sahut gadis tersebut.

"Rara curiga, Ayah mau bawa perempuan ke rumah, ya? Ayah mau menikah?" terka gadis itu tak sabar. Mencoba berkelakar, meski ayahnya ini nyaris tak memiliki selera humor seperti dirinya.

"Kenapa berpikir seperti itu?" sergah Wirawan. "Sini duduk dulu." Pria itu menuntun putrinya untuk duduk pada sofa di ruang keluarga. Lagi-lagi hal itu membuat Nadira terheran-heran.

Kali ini Nadira duduk diam. Bersiap mendengarkan apa pun yang akan Wirawan bicarakan. Tatap matanya begitu lekat memaku sepasang netra sang ayah.

Wirawan menghela napas. Tangannya meraih jemari Nadira dan menggenggamnya erat. Perasaan gadis itu pun menghangat.

"Dengarkan Ayah," kata Wirawan pelan, tetapi penuh penekanan. Dan Nadira memberikan anggukan.

"Malam ini, akan ada yang datang melamar kamu—"

"Apa?!" Mata Nadira membulat sempurna dan memotong kalimat ayahnya yang belum tuntas. Terkejut bukan kepalang.

"Dengarkan Ayah dulu—"

"Enggak-enggak. Ini gak bener. Rara masih sekolah, Yah," kata gadis itu.

"Iya, Ayah tahu."

"Terus kenapa begitu?" sambar Nadira lagi.

"Menikahnya juga kan tidak sekarang. Nanti setelah kamu lulus. Dan sebenarnya, kamu sudah Ayah jodohkan sejak dulu, dengan anak dari teman Ayah dan Bunda kamu," terang Wirawan.

"Enggak. Apa-apaan. Kenapa tiba-tiba? Kenapa Rara gak dikasih tahu sebelumnya? Rara gak mau dijodohkan!" Nada suara Nadira meningkat.

"Maafkan Ayah—"

"Selama ini Ayah jarang di rumah. Gak peduli seberapa besar aku butuh perhatian Ayah. Ayah sibuk terus sama kerjaan. Dan sekarang mendadak mau menerima lamaran orang? Enggak! Rara gak mau, Yah!" Nadira menggeleng kuat.

Wirawan mengusap wajah, kentara mulai tersulut emosinya. Padahal dia sudah sebisa mungkin menunjukkan kelembutan.

"Tolong nanti bersikap baik, Rara. Sebentar lagi mereka datang. Kita harus—"

"Rara enggak mau!" Gadis itu berdiri cepat.

"Rara, jangan seperti ini!" Wirawan mendongak—masih dalam posisi duduk, menatap tajam putrinya.

"Harusnya aku yang ngomong begitu ke Ayah. Ayah keterlaluan. Ayah selalu seenaknya!" Anak itu berteriak.

Mbok Ras yang telah selesai bersiap pun berlari mendekat, tetapi tak berani berbuat banyak. Wanita setengah tua itu hanya memperhatikan dari balik dinding sekat dapur dengan muka tegang.

"Ayah selalu memaksakan kehendak! Maaf, tapi kali ini Rara gak bisa nurutin kemauan Ayah."

Gadis itu berlari pergi. Wirawan tersentak dan menyusul secepat mungkin. Namun, Nadira lebih gesit. Gadis itu sudah membuka pintu depan dan kian kencang berlari. Menembus gerimis tipis yang menyapa bumi.

Mbok Ras memanggil-manggil sang majikan kecil sambil menangis. Langkahnya turut mengejar, tetapi gagal.

Bersamaan dengan Wirawan yang kehilangan jejak dan berteriak memanggil putrinya di halaman, Mbok Ras pun mematung di teras rumah.

Sementara itu, Nadira masih berlari dalam tangis. Melewati lorong kecil di sela-sela rumah warga yang sempit. Sengaja ia mengambil jalan itu, agar sang ayah tak mengetahui.

Nahas bagi Nadira, saat ia keluar gang hendak menyeberang jalan raya, sebuah kendaraan melaju cukup kencang dari arah kanan.

Gadis itu sudah terlanjur menginjakkan kaki di atas jalan beraspal. Lamunannya membuat konsentrasi hilang hingga tak sadar telah membawanya dalam bahaya. Kini, Nadira bak linglung tak tahu harus berbuat apa karena kejadiannya begitu cepat.

TIN!!! TIN!!! TIN!!!

Bunyi klakson kencang yang membuat pengang telinga disertai sorot lampu kendaraan yang menyilaukan, mengiring tubuh Nadira yang tersungkur seketika.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   7. Sarapan Rahasia

    "Cepat sarapan."Suara berat Adhinata memecah kesunyian pagi di rumah kecilnya. Nadira yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan kaos kebesaran milik Adhinata dan celana training hitam yang semalam, menoleh ke arahnya.Di dapur itu, ada seperti meja bar yang tak terlalu panjang, dan dua kursi tinggi. Dua mangkuk bubur ayam berjejer rapi. Aroma gurih kaldu langsung menyeruak, menggoda perut Nadira yang sedang didemo oleh para cacing.Ya, Nadira sudah lapar lagi."Bubur ayam?" Nadira melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk."Bapak masak sendiri?" tanyanya pada Adhinata yang tengah membuat kopi.Pria itu mendengkus pendek. "Kalau iya?""Wah, hebat juga ya. Tapi kayaknya ini beli, deh. Plastiknya aja masih ada, tuh," jawab Nadira ceplas-ceplos, menunjuk plastik bekas bubur di sudut konter dapur.Adhinata mengangkat alis, memutar badan lalu meletakkan kopi ke atas meja. Pria itu pun menarik kursi. Membuat jarak, dan duduk di

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   8. Pertemuan di Pintu Gerbang

    Adhinata menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nadira. Rumah besar bergaya kolonial itu tampak megah dengan halaman luas yang dihiasi taman bunga. Akan tetapi, bagi Nadira, rumah itu lebih menyerupai sangkar emas. Tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup, sementara matanya terpaku ke arah pintu gerbang yang tertutup."Sudah sampai. Turun," ujar Adhinata dengan nada datar, memutuskan kesunyian yang menggantung di antara mereka.Namun Nadira tetap diam. Ia menggigiti bibir bawahnya, seperti seseorang yang sedang mempersiapkan mental untuk maju ke medan perang.Adhinata melirik gadis itu. "Rara, jangan bilang kamu mau tinggal di mobil ini sampai saya selesai mengajar."Nadira menghela napas panjang, lalu menoleh dengan ekspresi memelas. "Pak, saya takut.""Takut apa? Kamu tinggal bilang pada ayahmu kalau kamu sudah berpikir ulang. Atau gunakan rencana yang tadi malam kita setujui. Selesai, 'kan?!" balas Adhinata santai, meskipun mat

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   9. Salah Paham

    "Eh, jam Pak Nata kosong!"Seruan Faiz, salah satu murid yang baru saja memasuki kelas, langsung memecah keheningan XI IPS 4. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak bersorak, sebagian lain sibuk membuka ponsel atau melanjutkan obrolan santai mereka. Ada juga yang berkelompok di belakang dan duduk di lantai, pada mabar.Di barisan tengah, Nadira sedang tertawa kecil bersama teman sebangkunya. Namun, tawa itu terhenti begitu mendengar nama Adhinata. Ekspresinya berubah—dari santai menjadi penuh kekhawatiran."Pak Nata kosong? Tumbenan. Yang bener lo, Iz?" Teman sebangku Nadira, berceletuk tak percaya. Salsa namanya."Seriusan, tadi anak kelas sebelah juga kosong. Tapi pada berisik, sih. Jadi malah diisi sama Pak Widodo. Hahaha ...." Faiz ini ketua kelas, tetapi anaknya woles aja."Aduh-aduh, kesayangan aku kenapa, ya? Kok hari ini nggak ngajar." Salsa mencebik. Gadis ini sangat mengidolakan Adhinata Rahagi."Jad

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   10. Dalam Pelukan Hujan

    "Jadi, begini."Pak Widodo memulai dengan suara bergetar, mencoba menahan luapan emosi dan rasa canggung. Tatapannya bergantian antara Adhinata dan Nadira, yang duduk di kursi kayu di hadapannya.Nadira menunduk dalam-dalam, merasa ingin menghilang ke dasar bumi. Sedangkan Adhinata, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Namun, ada kilatan kekesalan di matanya, seperti sedang menghitung dosa apa yang membuatnya terjebak dalam situasi ini."Pak Adhinata, saya tahu Bapak ini guru teladan. Tapi saya tidak menyangka Bapak ... ASTAGFIRULLAH!" Pak Widodo menutup wajah dengan kedua tangan, seperti mencegah diri sendiri melihat lebih jauh. "Apa-apaan ini?!""Pak, ini hanya salah paham," ujar Adhinata akhirnya, dengan nada sedingin AC ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang seperti Bapak pikirkan."Nadira mengangkat tangan, menyela. "Benar, Pak. Saya cuma ....""CUMA APA, NADIRA?!" Kepala sekolah itu menatap Nadira tajam, lalu m

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   11. Gelap yang Berkisah

    "Karena saya—"Adhinata menggantungkan kalimatnya, ketika suara seseorang tiba-tiba memecah ketegangan dari arah depan."Non Rara! Non Rara!" Suara lantang itu berasal dari Pak Supri. Sorotan senter yang dibawanya menari-nari di dinding rumah. Langkah tergesa pria paruh baya itu semakin mendekat, hingga akhirnya cahayanya menemukan mereka di dapur."Astaga, Non!" Pak Supri terperangah melihat Nadira duduk di lantai, bersandar pada Adhinata yang memeluknya dengan tubuh separuh basah. Raut wajah Pak Supri langsung berubah marah, salah paham dengan situasi di depannya."Mas! Apa-apaan ini?!" serunya seraya melangkah cepat, berniat menarik Nadira menjauh. Namun, Adhinata segera berbicara sebelum pria itu sempat bertindak."Berhenti di situ, Pak. Pak Supri bisa terluka," ucapnya dengan suara tenang, tetapi tegas.Pak Supri menghentikan langkah dan mengerutkan dahi, bingung. "Luka? Apa maksudnya?" Sorot senternya turun mengikuti arah tatapan

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

  • JODOHKU GURU GALAK   117. Kita Belum Selesai

    Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena

  • JODOHKU GURU GALAK   116. Terpaksa Membongkar Rahasia

    Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi

  • JODOHKU GURU GALAK   115. Ketegangan di Balik Bilik

    Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber

  • JODOHKU GURU GALAK   114. Terpisah Membuat Resah

    "Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.

  • JODOHKU GURU GALAK   113. Nyaris Kebablasan

    Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t

  • JODOHKU GURU GALAK   112. Momen Manis di Tengah Keramaian

    "Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status