Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas.
"Turun," katanya tanpa basa-basi.
Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.
Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.
Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—"
"Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin membantah. Dengan hati-hati, ia menuruti perintah.
Adhinata membawa Nadira masuk ke dalam rumahnya. Interior rumah itu sederhana, hampir kosong dari ornamen yang tidak perlu. Sofa abu-abu, meja kayu, dan rak buku mendominasi ruang tamu. Nadira berdiri kikuk di dekat pintu, merasa tidak nyaman berada di rumah gurunya yang selama ini ia kenal sebagai sosok tegas dan tidak ramah.
"Duduk di sana," ujar Adhinata sambil menunjuk sofa. Nadira menurut.
Ya ampun, ini gimana ceritanya aku malah berakhir di sini? Gimana kalau dia beneran predator anak? Tahu gitu aku tidur di kolong jembatan aja. Nadira membatin gamang sembari berjalan menuju sofa.
Setelah memastikan gadis itu duduk, Adhinata melenggang tanpa sepatah pun kata. Suara langkah kakinya yang berat, membuat Nadira semakin merasa tidak enak. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali dengan pakaian terlipat di tangan.
"Ini pakaian ganti. Pakai di kamar mandi situ," ujarnya sambil menunjuk pintu di dekat lorong dapur. "Kamu tidak mungkin terus-terusan memakai baju yang itu."
Nadira mengambil pakaian itu tanpa banyak protes, meskipun pikirannya terus bertanya-tanya kenapa Adhinata mau repot-repot membawanya ke rumah. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaus abu-abu yang kebesaran dan celana olahraga hitam. Rambutnya yang sebelumnya berantakan kini tampak basah dan tertutup handuk dengan asal. Dia memutuskan untuk mandi lagi biar segar. Dia tidak sakit, sepertinya hanya kelaparan.
Adhinata yang tengah berkutat di dapur pun menoleh dan diam-diam mengulum senyum. Merasa lucu melihat Nadira yang tenggelam dalam pakaian yang dia berikan.
"Pak, baju kotor saya ditaruh di mana?" Gadis itu tampak kebingungan, dengan dress lembab yang ia peluk dengan dua tangan.
"Taruh saja di bak." Adhinata menunjuk bak hitam di samping kamar mandi.
"Uhm, mau saya cuci sekalian aja kali ya, Pak," ujar gadis itu.
"Memangnya kamu bisa?" Adhinata meremehkan.
"Enggak yakin, sih. Tapi kayaknya bisa." Gadis itu berbicara tanpa melupakan kebiasaan menggaruk kepala, padahal tidak gatal.
"Di sini tidak ada mesin cuci seperti di rumah kamu. Saya juga tidak punya pembantu," ucap pria itu.
"Kalau gitu—"
"Tinggal saja. Duduk sana di sofa." Adhinata memotong ucapan Nadira.
Gadis itu tak berniat membantah. Ia pun melempar pakaian kotor ke dalam bak, menggantung handuk pada hanger, kemudian melangkah menuju sofa, seperti apa yang disuruh Adhinata.
"Bapak lagi apa?" tanyanya dari kejauhan. Tak ada dinding penyekat antara ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Hanya lemari kaca dengan beberapa piala yang menjadi pemisah. Nadira masih bisa melihat punggung tegap Adhinata yang tengah sibuk di dapur sana. Di balik meja bar.
"Nyangkul," celetuk Nata asal, dan membuat Nadira merengut kesal.
"Tidak pernah melihat orang masak? Begini saja nanya," cibir sang guru galak yang kini sedang mengaduk-aduk entah apa dalam wajan di atas kompor yang menyala. Aromanya menggugah selera.
"Ngeselin, ih," decih sang gadis dengan suara lirih.
"Kamu bicara apa?" Adhinata memutar badan, menatap Nadira.
"Enggak, kok, Pak. Saya cegukan aja tadi," jawab Nadira ngawur.
Di atas meja ada satu gelas teh hangat. Nadira menggigit bibir. Ingin minum, tetapi ragu apakah itu untuk dirinya.
Seperti bisa menangkap kerisauan muridnya, Nata pun berkata, "Itu teh buat kamu."
"Eh. Iya, Pak. Makasih." Nadira pun menyeruput isi gelas. Hangat terasa menjalar melalui kerongkongan hingga perutnya.
"Sekarang makan," perintah Adhinata, yang datang dan meletakkan dua piring nasi goreng di meja. Pria itu duduk di lantai dengan sikap santai, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. Datar, seperti yang sudah-sudah.
Nadira tidak enak hati duduk di atas sendiri. Dia pun turun, mendaratkan pantat di lantai yang dingin.
Bau harum nasi goreng itu menggoda, tetapi atmosfer di antara mereka terasa begitu tegang. Nadira memegang sendok, tetapi tidak segera menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kenapa bengong?" tanya Adhinata tanpa menatapnya. Pria itu bahkan sudah mulai mengunyah.
"Pak, saya ...." Nadira menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Saya minta maaf soal tadi."
Adhinata akhirnya mendongak, matanya bertemu dengan mata Nadira. "Tadi?"
"Soal saya yang minta Bapak jadi pacar saya." Nadira menghela napas berat, lalu menunduk. "Saya tahu itu lancang, dan mungkin Bapak merasa terganggu. Tapi saya benar-benar bingung harus gimana."
Adhinata tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Nadira dalam diam, ekspresinya tetap sulit ditebak. Namun, di balik sikap dinginnya, ada kehangatan samar yang tidak pernah ia tunjukkan. Adhinata mulai memahami Nadira. Gadis itu terlihat rapuh, meskipun mencoba menyembunyikannya dengan sikap keras kepala.
"Lupakan saja," kata Nata akhirnya, mencoba mengakhiri topik yang menurutnya tidak perlu, dan melanjutkan makan.
Nadira mendongak lagi, tatapannya penuh kebingungan. "Tapi, Pak—"
"Sudah, makan saja. Kamu butuh tenaga. Katanya tadi lemas karena tidak makan seharian." Adhinata memotong dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Nadira terpaksa menuruti. Suapan pertama nasi goreng itu terasa nikmat di mulutnya, meskipun pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang Adhinata. Apa pria itu benar-benar tidak peduli, ataukah ia hanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia peduli?
Di sisi lain, perasaan Nadira tak tenang karena teringat sang ayah. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Ayah pasti sangat marah. Nadira ingin memantapkan tekad untuk memberontak, tetapi hati kecilnya merasa bersalah.
Setelah dipikir-pikir, sepertinya dia akan melanjutkan ide yang Adhinata berikan.
Setelah beberapa saat hening, Nadira akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lagi. "Pak, tapi saya serius soal itu."
Adhinata berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Nadira dengan pandangan yang tajam.
"Serius soal apa?" tanyanya dingin, meskipun ia tahu apa yang akan dikatakan gadis itu. Pria itu meneguk air putih dari dalam botol yang tadi ia bawa.
"Soal Bapak jadi pacar saya," ujar Nadira tanpa ragu. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas. "Bukan sungguhan, tentu saja. Cuma pura-pura, supaya ayah saya berhenti memaksa saya menikah."
Adhinata menghela napas panjang. "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."
"Saya tahu, Pak. Saya juga sadar sepenuhnya," balas Nadira cepat. "Saya cuma butuh bantuan. Ini tidak akan lama. Setelah ayah saya yakin saya sudah punya pacar, semuanya akan selesai."
Adhinata menatap gadis itu lama, seolah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di balik pikirannya. "Dan kamu pikir ini solusi yang baik?"
"Bapak sendiri yang bilang tadi di klinik," sahut Nadira, tak mau kalah. "Kalau saya bilang sudah punya pacar, ayah pasti berhenti menjodohkan saya. Saya hanya mengikuti saran Bapak. Atau jangan-jangan ... Bapak malah udah punya pacar?"
Pria itu terdiam. Tidak ingin menjawab kalimat terakhir dari gadis di depannya. Ia tahu, saran tentang pacar memang datang dari mulutnya, tetapi ia tidak pernah menyangka gadis ini akan menanggapinya dengan begitu semangat. Malah dirinya yang dijadikan target pacar pura-pura.
"Jadi, bagaimana, Pak?" Nadira menatapnya penuh harap. "Bapak mau atau tidak?"
Adhinata menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Ia menunduk, menatap meja di depannya sambil berpikir keras. Rasanya ini adalah keputusan paling sulit yang pernah ia buat.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Baiklah," ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Saya akan membantu kamu."
Mata Nadira membesar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Serius, Pak?"
"Ya," jawab Adhinata dingin, tetapi ada nada pasrah dalam suaranya.
Nadira nyaris bersorak. Bahkan kedua telapaknya beradu, hampir saja bertepuk tangan. Namun, ekspresi datar Adhinata membuat gadis itu kembali membeku dan tersenyum canggung.
"Makasih, ya, Pak," ucapnya kemudian.
"Hm." Adhinata hanya bergumam sebagai tanggapan.
"Eh, tapi sebentar, Pak." Nadira buru-buru menambahkan.
"Apa lagi?" Kening Adhinata mengernyit.
"Kita harus bikin perjanjian." Sang gadis berucap kilat.
"Perjanjian?!"
Nadira mengangguk cepat dan berulang, terlalu semangat.
"Sebentar, saya mikir dulu."
Adhinata melengos melihat kekonyolan Nadira. Dia yang diminta, dia yang menyanggupinya, kenapa gadis itu yang mengajukan perjanjian?
"Ah, sudah dapat," seru Nadira.
Adhinata tak banyak bereaksi, tetapi Nadira tahu pria itu menanti.
"Ada tiga hal yang perlu kita pegang, Pak Nata."
"Hm. Katakan."
"Pertama, kita harus bersikap biasa kalau di sekolah. Seperti murid dan guru pada umumnya. Kita hanya bersikap kayak pacaran kalau ada kemungkinan ketemu ayah." Poin pertama.
Adhinata mengangguk. Bukan hal yang sulit.
"Kedua, masing-masing dari kita tetap bebas melakukan apa pun, gak boleh larang ini dan itu." Tangan Nadira bergerak seiring omongannya.
"Lihat situasi kalau itu."
"Enggak. Harus setuju pokoknya," paksa gadis tersebut.
"Terserah." Adhinata pasrah.
"Ketiga ...." Nadira memberi jeda, menatap Adhinata begitu dalam, lalu melanjutkan, "Kita gak boleh baper. Jangan sampai saling jatuh cinta."
Adhinata terdiam. Debar jantungnya meningkat tanpa berkabar. Dingin serasa menyergap badan, seiring pemahamannya mencerna permintaan Nadira.
Tidak boleh jatuh cinta, ya?
Akhirnya Adhinata mengangguk tipis, lalu berdiri. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus belajar bermain peran. Sekali kamu salah langkah, semuanya bisa berantakan."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Nadira yang masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya, apakah ini benar-benar keputusan yang tepat, ataukah ia baru saja membuat kesalahan besar?
Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu
"Cepat sarapan."Suara berat Adhinata memecah kesunyian pagi di rumah kecilnya. Nadira yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan kaos kebesaran milik Adhinata dan celana training hitam yang semalam, menoleh ke arahnya.Di dapur itu, ada seperti meja bar yang tak terlalu panjang, dan dua kursi tinggi. Dua mangkuk bubur ayam berjejer rapi. Aroma gurih kaldu langsung menyeruak, menggoda perut Nadira yang sedang didemo oleh para cacing.Ya, Nadira sudah lapar lagi."Bubur ayam?" Nadira melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk."Bapak masak sendiri?" tanyanya pada Adhinata yang tengah membuat kopi.Pria itu mendengkus pendek. "Kalau iya?""Wah, hebat juga ya. Tapi kayaknya ini beli, deh. Plastiknya aja masih ada, tuh," jawab Nadira ceplas-ceplos, menunjuk plastik bekas bubur di sudut konter dapur.Adhinata mengangkat alis, memutar badan lalu meletakkan kopi ke atas meja. Pria itu pun menarik kursi. Membuat jarak, dan duduk di
Adhinata menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nadira. Rumah besar bergaya kolonial itu tampak megah dengan halaman luas yang dihiasi taman bunga. Akan tetapi, bagi Nadira, rumah itu lebih menyerupai sangkar emas. Tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup, sementara matanya terpaku ke arah pintu gerbang yang tertutup."Sudah sampai. Turun," ujar Adhinata dengan nada datar, memutuskan kesunyian yang menggantung di antara mereka.Namun Nadira tetap diam. Ia menggigiti bibir bawahnya, seperti seseorang yang sedang mempersiapkan mental untuk maju ke medan perang.Adhinata melirik gadis itu. "Rara, jangan bilang kamu mau tinggal di mobil ini sampai saya selesai mengajar."Nadira menghela napas panjang, lalu menoleh dengan ekspresi memelas. "Pak, saya takut.""Takut apa? Kamu tinggal bilang pada ayahmu kalau kamu sudah berpikir ulang. Atau gunakan rencana yang tadi malam kita setujui. Selesai, 'kan?!" balas Adhinata santai, meskipun mat
"Eh, jam Pak Nata kosong!"Seruan Faiz, salah satu murid yang baru saja memasuki kelas, langsung memecah keheningan XI IPS 4. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak bersorak, sebagian lain sibuk membuka ponsel atau melanjutkan obrolan santai mereka. Ada juga yang berkelompok di belakang dan duduk di lantai, pada mabar.Di barisan tengah, Nadira sedang tertawa kecil bersama teman sebangkunya. Namun, tawa itu terhenti begitu mendengar nama Adhinata. Ekspresinya berubah—dari santai menjadi penuh kekhawatiran."Pak Nata kosong? Tumbenan. Yang bener lo, Iz?" Teman sebangku Nadira, berceletuk tak percaya. Salsa namanya."Seriusan, tadi anak kelas sebelah juga kosong. Tapi pada berisik, sih. Jadi malah diisi sama Pak Widodo. Hahaha ...." Faiz ini ketua kelas, tetapi anaknya woles aja."Aduh-aduh, kesayangan aku kenapa, ya? Kok hari ini nggak ngajar." Salsa mencebik. Gadis ini sangat mengidolakan Adhinata Rahagi."Jad
"Jadi, begini."Pak Widodo memulai dengan suara bergetar, mencoba menahan luapan emosi dan rasa canggung. Tatapannya bergantian antara Adhinata dan Nadira, yang duduk di kursi kayu di hadapannya.Nadira menunduk dalam-dalam, merasa ingin menghilang ke dasar bumi. Sedangkan Adhinata, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Namun, ada kilatan kekesalan di matanya, seperti sedang menghitung dosa apa yang membuatnya terjebak dalam situasi ini."Pak Adhinata, saya tahu Bapak ini guru teladan. Tapi saya tidak menyangka Bapak ... ASTAGFIRULLAH!" Pak Widodo menutup wajah dengan kedua tangan, seperti mencegah diri sendiri melihat lebih jauh. "Apa-apaan ini?!""Pak, ini hanya salah paham," ujar Adhinata akhirnya, dengan nada sedingin AC ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang seperti Bapak pikirkan."Nadira mengangkat tangan, menyela. "Benar, Pak. Saya cuma ....""CUMA APA, NADIRA?!" Kepala sekolah itu menatap Nadira tajam, lalu m
"Karena saya—"Adhinata menggantungkan kalimatnya, ketika suara seseorang tiba-tiba memecah ketegangan dari arah depan."Non Rara! Non Rara!" Suara lantang itu berasal dari Pak Supri. Sorotan senter yang dibawanya menari-nari di dinding rumah. Langkah tergesa pria paruh baya itu semakin mendekat, hingga akhirnya cahayanya menemukan mereka di dapur."Astaga, Non!" Pak Supri terperangah melihat Nadira duduk di lantai, bersandar pada Adhinata yang memeluknya dengan tubuh separuh basah. Raut wajah Pak Supri langsung berubah marah, salah paham dengan situasi di depannya."Mas! Apa-apaan ini?!" serunya seraya melangkah cepat, berniat menarik Nadira menjauh. Namun, Adhinata segera berbicara sebelum pria itu sempat bertindak."Berhenti di situ, Pak. Pak Supri bisa terluka," ucapnya dengan suara tenang, tetapi tegas.Pak Supri menghentikan langkah dan mengerutkan dahi, bingung. "Luka? Apa maksudnya?" Sorot senternya turun mengikuti arah tatapan
Jam sekolah berjalan seperti biasa, tetapi pikiran Nadira terasa berat sejak pagi. Malam tadi, Adhinata bersikeras pulang sendiri saat listrik akhirnya menyala. Dan itu sudah tengah malam. Adhinata menolak tawaran Pak Supri untuk diantar. Meski Nadira telah memastikan pria itu tiba dengan selamat di rumah, tetap saja dia merasa tidak tenang.Bagaimana tidak? Kaki Adhinata terluka cukup parah, dan dia bahkan tidak membiarkan lukanya dirawat dengan benar.Dasar guru galak keras kepala.Di sekolah, kekhawatiran itu bertambah. Biasanya, Adhinata selalu terlihat sibuk di lorong-lorong atau berinteraksi dengan para guru lain. Namun hari ini, dia seperti menghilang. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya."Heh, Ra. Lo kenapa, sih, ngelamun terus? Dari tadi gue ngomong sama angin," protes Salsa diiringi tepukan di bajunya.Nadira tersentak. "Hah? Apa? Lo ngomong apa tadi?"Salsa mendengkus, lalu memasang wajah sok sedih dan melontar kata-kata d
Selesai latihan renang, Nadira berjalan cepat ke ruang ganti dengan langkah penuh semangat. Hari ini dia punya misi: menghadapi Adhinata. Kalau dibiarkan, pria itu akan terus bersikap dingin seperti patung batu.Setelah berganti baju, Nadira mengabaikan panggilan Salsa yang masih sibuk mengobrol dengan anggota klub renang lainnya. Gadis itu bergegas ke luar gedung olahraga, matanya langsung mencari sosok yang ia kenal di sekitar sekolah.Adhinata tidak akan pulang cepat, pikir Nadira yakin. Pria itu biasanya seperti bayangan, selalu ada di sekitar sekolah meski suasana sudah mulai sepi.Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Regas menghadang. Cowok yang rambutnya masih basah dan saat ini mengenakan jaket dengan logo klub renang SMA Cakrawala itu tersenyum cerah ke arah Nadira."Mau langsung pulang, Ra?" tanya cowok itu."Eh. Iya, Kak," jawab Nadira."Mau gue antar?"Nadira menggeleng dan mengibaskan tangan. "Enggak usah, Kak. Gue dijemp
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad