Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas.
"Turun," katanya tanpa basa-basi.
Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.
Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.
Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—"
"Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin membantah. Dengan hati-hati, ia menuruti perintah.
Adhinata membawa Nadira masuk ke dalam rumahnya. Interior rumah itu sederhana, hampir kosong dari ornamen yang tidak perlu. Sofa abu-abu, meja kayu, dan rak buku mendominasi ruang tamu. Nadira berdiri kikuk di dekat pintu, merasa tidak nyaman berada di rumah gurunya yang selama ini ia kenal sebagai sosok tegas dan tidak ramah.
"Duduk di sana," ujar Adhinata sambil menunjuk sofa. Nadira menurut.
Ya ampun, ini gimana ceritanya aku malah berakhir di sini? Gimana kalau dia beneran predator anak? Tahu gitu aku tidur di kolong jembatan aja. Nadira membatin gamang sembari berjalan menuju sofa.
Setelah memastikan gadis itu duduk, Adhinata melenggang tanpa sepatah pun kata. Suara langkah kakinya yang berat, membuat Nadira semakin merasa tidak enak. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali dengan pakaian terlipat di tangan.
"Ini pakaian ganti. Pakai di kamar mandi situ," ujarnya sambil menunjuk pintu di dekat lorong dapur. "Kamu tidak mungkin terus-terusan memakai baju yang itu."
Nadira mengambil pakaian itu tanpa banyak protes, meskipun pikirannya terus bertanya-tanya kenapa Adhinata mau repot-repot membawanya ke rumah. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaus abu-abu yang kebesaran dan celana olahraga hitam. Rambutnya yang sebelumnya berantakan kini tampak basah dan tertutup handuk dengan asal. Dia memutuskan untuk mandi lagi biar segar. Dia tidak sakit, sepertinya hanya kelaparan.
Adhinata yang tengah berkutat di dapur pun menoleh dan diam-diam mengulum senyum. Merasa lucu melihat Nadira yang tenggelam dalam pakaian yang dia berikan.
"Pak, baju kotor saya ditaruh di mana?" Gadis itu tampak kebingungan, dengan dress lembab yang ia peluk dengan dua tangan.
"Taruh saja di bak." Adhinata menunjuk bak hitam di samping kamar mandi.
"Uhm, mau saya cuci sekalian aja kali ya, Pak," ujar gadis itu.
"Memangnya kamu bisa?" Adhinata meremehkan.
"Enggak yakin, sih. Tapi kayaknya bisa." Gadis itu berbicara tanpa melupakan kebiasaan menggaruk kepala, padahal tidak gatal.
"Di sini tidak ada mesin cuci seperti di rumah kamu. Saya juga tidak punya pembantu," ucap pria itu.
"Kalau gitu—"
"Tinggal saja. Duduk sana di sofa." Adhinata memotong ucapan Nadira.
Gadis itu tak berniat membantah. Ia pun melempar pakaian kotor ke dalam bak, menggantung handuk pada hanger, kemudian melangkah menuju sofa, seperti apa yang disuruh Adhinata.
"Bapak lagi apa?" tanyanya dari kejauhan. Tak ada dinding penyekat antara ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Hanya lemari kaca dengan beberapa piala yang menjadi pemisah. Nadira masih bisa melihat punggung tegap Adhinata yang tengah sibuk di dapur sana. Di balik meja bar.
"Nyangkul," celetuk Nata asal, dan membuat Nadira merengut kesal.
"Tidak pernah melihat orang masak? Begini saja nanya," cibir sang guru galak yang kini sedang mengaduk-aduk entah apa dalam wajan di atas kompor yang menyala. Aromanya menggugah selera.
"Ngeselin, ih," decih sang gadis dengan suara lirih.
"Kamu bicara apa?" Adhinata memutar badan, menatap Nadira.
"Enggak, kok, Pak. Saya cegukan aja tadi," jawab Nadira ngawur.
Di atas meja ada satu gelas teh hangat. Nadira menggigit bibir. Ingin minum, tetapi ragu apakah itu untuk dirinya.
Seperti bisa menangkap kerisauan muridnya, Nata pun berkata, "Itu teh buat kamu."
"Eh. Iya, Pak. Makasih." Nadira pun menyeruput isi gelas. Hangat terasa menjalar melalui kerongkongan hingga perutnya.
"Sekarang makan," perintah Adhinata, yang datang dan meletakkan dua piring nasi goreng di meja. Pria itu duduk di lantai dengan sikap santai, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. Datar, seperti yang sudah-sudah.
Nadira tidak enak hati duduk di atas sendiri. Dia pun turun, mendaratkan pantat di lantai yang dingin.
Bau harum nasi goreng itu menggoda, tetapi atmosfer di antara mereka terasa begitu tegang. Nadira memegang sendok, tetapi tidak segera menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kenapa bengong?" tanya Adhinata tanpa menatapnya. Pria itu bahkan sudah mulai mengunyah.
"Pak, saya ...." Nadira menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Saya minta maaf soal tadi."
Adhinata akhirnya mendongak, matanya bertemu dengan mata Nadira. "Tadi?"
"Soal saya yang minta Bapak jadi pacar saya." Nadira menghela napas berat, lalu menunduk. "Saya tahu itu lancang, dan mungkin Bapak merasa terganggu. Tapi saya benar-benar bingung harus gimana."
Adhinata tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Nadira dalam diam, ekspresinya tetap sulit ditebak. Namun, di balik sikap dinginnya, ada kehangatan samar yang tidak pernah ia tunjukkan. Adhinata mulai memahami Nadira. Gadis itu terlihat rapuh, meskipun mencoba menyembunyikannya dengan sikap keras kepala.
"Lupakan saja," kata Nata akhirnya, mencoba mengakhiri topik yang menurutnya tidak perlu, dan melanjutkan makan.
Nadira mendongak lagi, tatapannya penuh kebingungan. "Tapi, Pak—"
"Sudah, makan saja. Kamu butuh tenaga. Katanya tadi lemas karena tidak makan seharian." Adhinata memotong dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Nadira terpaksa menuruti. Suapan pertama nasi goreng itu terasa nikmat di mulutnya, meskipun pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang Adhinata. Apa pria itu benar-benar tidak peduli, ataukah ia hanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia peduli?
Di sisi lain, perasaan Nadira tak tenang karena teringat sang ayah. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Ayah pasti sangat marah. Nadira ingin memantapkan tekad untuk memberontak, tetapi hati kecilnya merasa bersalah.
Setelah dipikir-pikir, sepertinya dia akan melanjutkan ide yang Adhinata berikan.
Setelah beberapa saat hening, Nadira akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lagi. "Pak, tapi saya serius soal itu."
Adhinata berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Nadira dengan pandangan yang tajam.
"Serius soal apa?" tanyanya dingin, meskipun ia tahu apa yang akan dikatakan gadis itu. Pria itu meneguk air putih dari dalam botol yang tadi ia bawa.
"Soal Bapak jadi pacar saya," ujar Nadira tanpa ragu. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas. "Bukan sungguhan, tentu saja. Cuma pura-pura, supaya ayah saya berhenti memaksa saya menikah."
Adhinata menghela napas panjang. "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."
"Saya tahu, Pak. Saya juga sadar sepenuhnya," balas Nadira cepat. "Saya cuma butuh bantuan. Ini tidak akan lama. Setelah ayah saya yakin saya sudah punya pacar, semuanya akan selesai."
Adhinata menatap gadis itu lama, seolah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di balik pikirannya. "Dan kamu pikir ini solusi yang baik?"
"Bapak sendiri yang bilang tadi di klinik," sahut Nadira, tak mau kalah. "Kalau saya bilang sudah punya pacar, ayah pasti berhenti menjodohkan saya. Saya hanya mengikuti saran Bapak. Atau jangan-jangan ... Bapak malah udah punya pacar?"
Pria itu terdiam. Tidak ingin menjawab kalimat terakhir dari gadis di depannya. Ia tahu, saran tentang pacar memang datang dari mulutnya, tetapi ia tidak pernah menyangka gadis ini akan menanggapinya dengan begitu semangat. Malah dirinya yang dijadikan target pacar pura-pura.
"Jadi, bagaimana, Pak?" Nadira menatapnya penuh harap. "Bapak mau atau tidak?"
Adhinata menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Ia menunduk, menatap meja di depannya sambil berpikir keras. Rasanya ini adalah keputusan paling sulit yang pernah ia buat.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Baiklah," ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Saya akan membantu kamu."
Mata Nadira membesar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Serius, Pak?"
"Ya," jawab Adhinata dingin, tetapi ada nada pasrah dalam suaranya.
Nadira nyaris bersorak. Bahkan kedua telapaknya beradu, hampir saja bertepuk tangan. Namun, ekspresi datar Adhinata membuat gadis itu kembali membeku dan tersenyum canggung.
"Makasih, ya, Pak," ucapnya kemudian.
"Hm." Adhinata hanya bergumam sebagai tanggapan.
"Eh, tapi sebentar, Pak." Nadira buru-buru menambahkan.
"Apa lagi?" Kening Adhinata mengernyit.
"Kita harus bikin perjanjian." Sang gadis berucap kilat.
"Perjanjian?!"
Nadira mengangguk cepat dan berulang, terlalu semangat.
"Sebentar, saya mikir dulu."
Adhinata melengos melihat kekonyolan Nadira. Dia yang diminta, dia yang menyanggupinya, kenapa gadis itu yang mengajukan perjanjian?
"Ah, sudah dapat," seru Nadira.
Adhinata tak banyak bereaksi, tetapi Nadira tahu pria itu menanti.
"Ada tiga hal yang perlu kita pegang, Pak Nata."
"Hm. Katakan."
"Pertama, kita harus bersikap biasa kalau di sekolah. Seperti murid dan guru pada umumnya. Kita hanya bersikap kayak pacaran kalau ada kemungkinan ketemu ayah." Poin pertama.
Adhinata mengangguk. Bukan hal yang sulit.
"Kedua, masing-masing dari kita tetap bebas melakukan apa pun, gak boleh larang ini dan itu." Tangan Nadira bergerak seiring omongannya.
"Lihat situasi kalau itu."
"Enggak. Harus setuju pokoknya," paksa gadis tersebut.
"Terserah." Adhinata pasrah.
"Ketiga ...." Nadira memberi jeda, menatap Adhinata begitu dalam, lalu melanjutkan, "Kita gak boleh baper. Jangan sampai saling jatuh cinta."
Adhinata terdiam. Debar jantungnya meningkat tanpa berkabar. Dingin serasa menyergap badan, seiring pemahamannya mencerna permintaan Nadira.
Tidak boleh jatuh cinta, ya?
Akhirnya Adhinata mengangguk tipis, lalu berdiri. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus belajar bermain peran. Sekali kamu salah langkah, semuanya bisa berantakan."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Nadira yang masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya, apakah ini benar-benar keputusan yang tepat, ataukah ia baru saja membuat kesalahan besar?
Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu
"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu
Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca
Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak
Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya
Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu
Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m
Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya
Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak
Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca
"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu