Home / Romansa / JODOHKU GURU GALAK / 4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

Share

4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:37:15

Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.

Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih.

"Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.

Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.

Pria itu menegakkan badan, ekspresinya tak berubah. "Akhirnya kamu sadar juga," katanya singkat, tetapi ada nada lega di balik suaranya. "Kamu tahu berapa lama kamu membuat orang lain khawatir?"

Nadira mencoba mengumpulkan pikirannya, tapi hanya mendapati kepingan-kepingan ingatan yang tak utuh. "Kenapa ... Bapak di sini?"

Adhinata berjalan mendekat. Dengan satu gerakan tangan, ia menggeser kursi plastik di samping brankar dan mendudukinya.

"Saya hampir menabrak kamu tadi," ucap Adhinata dingin.

Mata Nadira melebar, tubuhnya menegang. "MENABRAK?!"

"Hampir," koreksi Adhinata dengan nada yang lebih tegas. "Lain kali tolong lebih hati-hati. Kalau saya terlambat menginjak rem beberapa detik saja ...." Ia tidak melanjutkan, tetapi tatapannya cukup untuk membuat Nadira paham.

Gadis itu menunduk, mencoba mengingat apa yang terjadi. Langkahnya meninggalkan rumah, rasa marah yang membakar dada, klakson kendaraan, dan sorot lampu yang menyilaukan.

Benar, dia tidak tertabrak. Namun, mungkin karena emosi yang meluap ditambah belum sempat makan seharian, membuat ia kehabisan tenaga.

"Saya pingsan?" gumam Nadira.

"Sepertinya begitu." Adhinata menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tetap serius.

"Ini pasti gara-gara Pak Nata!" celetuk Nadira tiba-tiba. Tubuh atasnya sedikit ia angkat dengan bertumpu siku di atas brankar. Tatapannya menyorot Nata penuh tuduhan.

"Kok saya?" Kening sang pria berkerut dalam.

"Saya belum makan seharian. Capek juga karena hukuman dari Bapak. Makanya lemas dan pingsan. Bapak harus tanggung jawab," sembur gadis itu kemudian.

Adhinata berdecak. "Jangan mengada-ada."

"Memang begitu adanya," sahut Nadira, tak mau kalah.

"Tidak usah mencari pengalihan," ucap Adhinata datar, tetapi sarat akan perhatian. Pria itu memindai tubuh Nadira yang masih terbalut midi dress yang ia kenakan dari rumah. Sepatu Mari Jane tergeletak di bawah ranjang pasien. Nata yang melepaskannya.

Nata ingat benar bagaimana panik dirinya ketika ada seorang gadis yang tiba-tiba berlari menyeberang di depan mobilnya. Jantung Nata nyaris berhenti berdetak saat seseorang itu tiba-tiba ambruk, tepat ketika ia berhasil menghentikan mobilnya secara paksa dan penuh usaha.

Adhinata pikir dia telah menabraknya. Pikiran Nata semakin kalut saat ia keluar dari mobil dan mengenali sosok yang tergeletak tak berdaya di sana.

Nadira Amaya. Murid istimewanya.

Saat itu, ia bergegas membopong Nadira memasuki kendaraan. Butuh usaha ekstra karena tidak ada yang membantunya. Jalanan sedang tak banyak pengguna.

Adhinata membawa Nadira ke klinik terdekat. Terlalu jauh jika harus ke rumah sakit besar. Pria itu sudah kepalang cemas hingga lemas. Jujur saja Adhinata paling tidak bisa melihat seseorang terluka, apalagi karena dirinya.

"Dari penampilanmu, saya bisa menebak ada sesuatu yang tidak beres. Karena saya sedang baik, kamu boleh cerita," ujar Nata sesaat kemudian.

"Apa yang kamu pikirkan sampai keluar rumah seperti itu? Kalau kamu punya masalah, setidaknya jangan bodoh dengan membahayakan dirimu sendiri," sambung pria itu.

Nada suaranya tajam, membuat Nadira merasa seperti anak kecil yang dimarahi. Namun, ada sesuatu di balik kata-kata itu—sebuah perhatian yang terselip di antara teguran.

"Maaf ...." Nadira berbisik pelan.

"Maaf untuk apa?" sentak Adhinata, matanya tetap fokus pada Nadira. "Saya bukan orang yang perlu kamu mintai maaf."

Nadira menghela napas panjang, menatap langit-langit ruangan. Mulai serius sepertinya. "Saya enggak tahu harus gimana, Pak."

"Bagaimana apanya?" Sebelah alis Nata terangkat.

"Segalanya." Nadira memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya bercerita. Ia menjelaskan tentang ayahnya yang diam-diam melakukan perjodohan, tentang bagaimana selama ia merasa dikekang, kurang perhatian, dan bagaimana ia hanya ingin bebas menentukan pilihan.

Selama ini Nadira tertekan, tetapi menutupnya dengan sikap ceria, manis, walau sedikit bengal. Tidak akan ada satu pun yang menyadari kehancuran Nadira, karena gadis itu begitu pandai menutupnya dengan senyuman.

Adhinata mendengarkan dalam diam, tak sekali pun menyela. Hanya matanya yang bergerak, memperhatikan setiap ekspresi Nadira dengan saksama.

Setelah gadis itu selesai, ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saya mengerti kenapa kamu marah. Tapi keluar rumah tanpa tujuan seperti itu? Kamu hanya membuat keadaan lebih runyam."

Nadira menggigit bibirnya. Merasa malu, tetapi tetap bertahan pada pendapatnya. "Saya enggak punya pilihan, Pak. Ayah enggak pernah mendengarkan saya."

"Lalu menurut kamu, apakah melawan seperti ini akan membuat ayahmu berubah pikiran? Beliau pasti punya alasan dan ingin yang terbaik untuk putrinya." Nada suara Nata tetap dingin, tapi sorot matanya melembut.

"Membantah orang tua tanpa memberi alasan yang jelas hanya akan membuat kamu terlihat seperti anak kecil yang keras kepala," sambungnya penuh cibiran.

Nadira mendongak menatapnya, rasa kesal mulai muncul. Kata-kata Adhinata terkesan menyudutkan.

"Jadi menurut kamu aku harus nyerah aja, gitu? Aku enggak mau dijodohin! Aku bahkan belum pernah ketemu cowok itu. Aku mau nentuin hidup aku sendiri, bukan dikendaliin kayak gini! Kamu enggak akan paham." Suara Nadira meninggi, bahkan tanpa sadar menggunakan 'aku-kamu' ke Adhinata.

Guru muda itu terdiam di tempat. Mencerna setiap ucapan penuh amarah dari gadis di depannya—yang kini bahkan sudah terduduk di atas brankar. Saking marahnya.

Sebegitu keras Nadira menolak perjodohan. Padahal bertemu dengan calon suaminya saja belum, bukan? batin Adhinata.

"Saya tidak bilang kamu harus nyerah, Rara," ucap Nata setelah sekian detik jeda. Matanya menatap langsung ke mata Nadira.

"Tapi, kalau kamu ingin ayahmu mempertimbangkan pendapatmu, kamu harus memberinya alasan yang masuk akal. Katakan sesuatu yang membuatnya berpikir ulang." Adhinata bicara panjang lebar.

Nadira mengernyit bingung. "Sesuatu seperti apa?"

"Misalnya," Adhinata berkata dengan nada datar, "katakan kalau kamu sudah punya pacar."

Nadira terbelalak. "Apa?!"

"Dengar dulu," potong Adhinata, suaranya sedikit lebih tegas. "Ayahmu ingin tetap melanjutkan perjodohan karena beliau merasa kamu belum punya siapa-siapa. Kalau beliau tahu kamu sudah punya pilihan sendiri, mungkin ayah kamu akan berpikir dua kali."

"Tapi saya kan gak punya pacar! Gak ada yang mau, Pak." Nadira memotong cepat, wajahnya memerah karena malu.

"Itu masalah lain," balas Adhinata singkat. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin keluar dari situasi ini, kamu harus mulai mempertimbangkan solusi yang realistis."

"Realistis?" Nadira memelototinya. "Bohong pada ayah sendiri itu realistis, Pak?"

Adhinata mendesah, kehilangan sedikit kesabaran. "Nadira Amaya, dengar baik-baik. Saya hanya memberikan saran. Kalau kamu tidak suka, terserah. Tapi ingat, apa pun yang kamu lakukan, tanggung sendiri konsekuensinya."

Hening menyelimuti ruangan. Nadira menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Adhinata. Meski terasa tidak masuk akal, ada logika di balik saran itu.

"Kalau nanti ayah minta ketemu pacar saya gimana, dong, Pak?" tanya Nadira.

"Itu urusan kamu." Adhinata hanya mengangkat bahu.

Senyap kembali merambat.

"Pak," Nadira akhirnya bersuara setelah beberapa menit sama-sama diam. Pelan, tetapi penuh pertimbangan. "Kalau saya bilang saya sudah punya pacar ke ayah, berarti gak salah?"

Adhinata memandangnya, lama, sebelum akhirnya menjawab, "Salah atau tidaknya itu tergantung pada alasan kamu. Kalau kamu hanya ingin lari dari masalah, itu salah. Tapi kalau kamu benar-benar ingin mempertahankan kebebasanmu, saya tidak bisa bilang itu sepenuhnya salah."

Nadira terdiam, pikirannya berputar mencoba mencari jawaban. Setelah beberapa saat, ia memandang Adhinata dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Pak ...." Nadira tiba-tiba bersuara, suaranya terdengar seperti celetukan spontan.

"Hm?" Adhinata mengangkat alis, menunggu.

"Kalau begitu—" Nadira menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, "Gimana kalau Bapak saja yang jadi pacar saya?"

Kalimat itu menggantung di udara, memenuhi ruangan dengan keheningan yang nyaris menyesakkan.

Adhinata menatapnya, matanya membelalak tipis, tetapi ekspresinya sulit dibaca. Nadira merasa jantungnya berdegup kencang, hampir menyesali apa yang baru saja ia katakan.

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   1. Guru Galak vs Murid Bengal

    "Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

    Last Updated : 2025-01-23
  • JODOHKU GURU GALAK   3. Dijodohkan

    Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

  • JODOHKU GURU GALAK   4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

    Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya

  • JODOHKU GURU GALAK   3. Dijodohkan

    Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak

  • JODOHKU GURU GALAK   2. Sebuah Kejutan

    Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca

  • JODOHKU GURU GALAK   1. Guru Galak vs Murid Bengal

    "Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status