Home / Romansa / JODOHKU GURU GALAK / 4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

Share

4. Ruang Putih dan Percakapan Tak Terduga

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:37:15

Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.

Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih.

"Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.

Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.

Pria itu menegakkan badan, ekspresinya tak berubah. "Akhirnya kamu sadar juga," katanya singkat, tetapi ada nada lega di balik suaranya. "Kamu tahu berapa lama kamu membuat orang lain khawatir?"

Nadira mencoba mengumpulkan pikirannya, tapi hanya mendapati kepingan-kepingan ingatan yang tak utuh. "Kenapa ... Bapak di sini?"

Adhinata berjalan mendekat. Dengan satu gerakan tangan, ia menggeser kursi plastik di samping brankar dan mendudukinya.

"Saya hampir menabrak kamu tadi," ucap Adhinata dingin.

Mata Nadira melebar, tubuhnya menegang. "MENABRAK?!"

"Hampir," koreksi Adhinata dengan nada yang lebih tegas. "Lain kali tolong lebih hati-hati. Kalau saya terlambat menginjak rem beberapa detik saja ...." Ia tidak melanjutkan, tetapi tatapannya cukup untuk membuat Nadira paham.

Gadis itu menunduk, mencoba mengingat apa yang terjadi. Langkahnya meninggalkan rumah, rasa marah yang membakar dada, klakson kendaraan, dan sorot lampu yang menyilaukan.

Benar, dia tidak tertabrak. Namun, mungkin karena emosi yang meluap ditambah belum sempat makan seharian, membuat ia kehabisan tenaga.

"Saya pingsan?" gumam Nadira.

"Sepertinya begitu." Adhinata menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tetap serius.

"Ini pasti gara-gara Pak Nata!" celetuk Nadira tiba-tiba. Tubuh atasnya sedikit ia angkat dengan bertumpu siku di atas brankar. Tatapannya menyorot Nata penuh tuduhan.

"Kok saya?" Kening sang pria berkerut dalam.

"Saya belum makan seharian. Capek juga karena hukuman dari Bapak. Makanya lemas dan pingsan. Bapak harus tanggung jawab," sembur gadis itu kemudian.

Adhinata berdecak. "Jangan mengada-ada."

"Memang begitu adanya," sahut Nadira, tak mau kalah.

"Tidak usah mencari pengalihan," ucap Adhinata datar, tetapi sarat akan perhatian. Pria itu memindai tubuh Nadira yang masih terbalut midi dress yang ia kenakan dari rumah. Sepatu Mari Jane tergeletak di bawah ranjang pasien. Nata yang melepaskannya.

Nata ingat benar bagaimana panik dirinya ketika ada seorang gadis yang tiba-tiba berlari menyeberang di depan mobilnya. Jantung Nata nyaris berhenti berdetak saat seseorang itu tiba-tiba ambruk, tepat ketika ia berhasil menghentikan mobilnya secara paksa dan penuh usaha.

Adhinata pikir dia telah menabraknya. Pikiran Nata semakin kalut saat ia keluar dari mobil dan mengenali sosok yang tergeletak tak berdaya di sana.

Nadira Amaya. Murid istimewanya.

Saat itu, ia bergegas membopong Nadira memasuki kendaraan. Butuh usaha ekstra karena tidak ada yang membantunya. Jalanan sedang tak banyak pengguna.

Adhinata membawa Nadira ke klinik terdekat. Terlalu jauh jika harus ke rumah sakit besar. Pria itu sudah kepalang cemas hingga lemas. Jujur saja Adhinata paling tidak bisa melihat seseorang terluka, apalagi karena dirinya.

"Dari penampilanmu, saya bisa menebak ada sesuatu yang tidak beres. Karena saya sedang baik, kamu boleh cerita," ujar Nata sesaat kemudian.

"Apa yang kamu pikirkan sampai keluar rumah seperti itu? Kalau kamu punya masalah, setidaknya jangan bodoh dengan membahayakan dirimu sendiri," sambung pria itu.

Nada suaranya tajam, membuat Nadira merasa seperti anak kecil yang dimarahi. Namun, ada sesuatu di balik kata-kata itu—sebuah perhatian yang terselip di antara teguran.

"Maaf ...." Nadira berbisik pelan.

"Maaf untuk apa?" sentak Adhinata, matanya tetap fokus pada Nadira. "Saya bukan orang yang perlu kamu mintai maaf."

Nadira menghela napas panjang, menatap langit-langit ruangan. Mulai serius sepertinya. "Saya enggak tahu harus gimana, Pak."

"Bagaimana apanya?" Sebelah alis Nata terangkat.

"Segalanya." Nadira memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya bercerita. Ia menjelaskan tentang ayahnya yang diam-diam melakukan perjodohan, tentang bagaimana selama ia merasa dikekang, kurang perhatian, dan bagaimana ia hanya ingin bebas menentukan pilihan.

Selama ini Nadira tertekan, tetapi menutupnya dengan sikap ceria, manis, walau sedikit bengal. Tidak akan ada satu pun yang menyadari kehancuran Nadira, karena gadis itu begitu pandai menutupnya dengan senyuman.

Adhinata mendengarkan dalam diam, tak sekali pun menyela. Hanya matanya yang bergerak, memperhatikan setiap ekspresi Nadira dengan saksama.

Setelah gadis itu selesai, ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saya mengerti kenapa kamu marah. Tapi keluar rumah tanpa tujuan seperti itu? Kamu hanya membuat keadaan lebih runyam."

Nadira menggigit bibirnya. Merasa malu, tetapi tetap bertahan pada pendapatnya. "Saya enggak punya pilihan, Pak. Ayah enggak pernah mendengarkan saya."

"Lalu menurut kamu, apakah melawan seperti ini akan membuat ayahmu berubah pikiran? Beliau pasti punya alasan dan ingin yang terbaik untuk putrinya." Nada suara Nata tetap dingin, tapi sorot matanya melembut.

"Membantah orang tua tanpa memberi alasan yang jelas hanya akan membuat kamu terlihat seperti anak kecil yang keras kepala," sambungnya penuh cibiran.

Nadira mendongak menatapnya, rasa kesal mulai muncul. Kata-kata Adhinata terkesan menyudutkan.

"Jadi menurut kamu aku harus nyerah aja, gitu? Aku enggak mau dijodohin! Aku bahkan belum pernah ketemu cowok itu. Aku mau nentuin hidup aku sendiri, bukan dikendaliin kayak gini! Kamu enggak akan paham." Suara Nadira meninggi, bahkan tanpa sadar menggunakan 'aku-kamu' ke Adhinata.

Guru muda itu terdiam di tempat. Mencerna setiap ucapan penuh amarah dari gadis di depannya—yang kini bahkan sudah terduduk di atas brankar. Saking marahnya.

Sebegitu keras Nadira menolak perjodohan. Padahal bertemu dengan calon suaminya saja belum, bukan? batin Adhinata.

"Saya tidak bilang kamu harus nyerah, Rara," ucap Nata setelah sekian detik jeda. Matanya menatap langsung ke mata Nadira.

"Tapi, kalau kamu ingin ayahmu mempertimbangkan pendapatmu, kamu harus memberinya alasan yang masuk akal. Katakan sesuatu yang membuatnya berpikir ulang." Adhinata bicara panjang lebar.

Nadira mengernyit bingung. "Sesuatu seperti apa?"

"Misalnya," Adhinata berkata dengan nada datar, "katakan kalau kamu sudah punya pacar."

Nadira terbelalak. "Apa?!"

"Dengar dulu," potong Adhinata, suaranya sedikit lebih tegas. "Ayahmu ingin tetap melanjutkan perjodohan karena beliau merasa kamu belum punya siapa-siapa. Kalau beliau tahu kamu sudah punya pilihan sendiri, mungkin ayah kamu akan berpikir dua kali."

"Tapi saya kan gak punya pacar! Gak ada yang mau, Pak." Nadira memotong cepat, wajahnya memerah karena malu.

"Itu masalah lain," balas Adhinata singkat. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin keluar dari situasi ini, kamu harus mulai mempertimbangkan solusi yang realistis."

"Realistis?" Nadira memelototinya. "Bohong pada ayah sendiri itu realistis, Pak?"

Adhinata mendesah, kehilangan sedikit kesabaran. "Nadira Amaya, dengar baik-baik. Saya hanya memberikan saran. Kalau kamu tidak suka, terserah. Tapi ingat, apa pun yang kamu lakukan, tanggung sendiri konsekuensinya."

Hening menyelimuti ruangan. Nadira menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Adhinata. Meski terasa tidak masuk akal, ada logika di balik saran itu.

"Kalau nanti ayah minta ketemu pacar saya gimana, dong, Pak?" tanya Nadira.

"Itu urusan kamu." Adhinata hanya mengangkat bahu.

Senyap kembali merambat.

"Pak," Nadira akhirnya bersuara setelah beberapa menit sama-sama diam. Pelan, tetapi penuh pertimbangan. "Kalau saya bilang saya sudah punya pacar ke ayah, berarti gak salah?"

Adhinata memandangnya, lama, sebelum akhirnya menjawab, "Salah atau tidaknya itu tergantung pada alasan kamu. Kalau kamu hanya ingin lari dari masalah, itu salah. Tapi kalau kamu benar-benar ingin mempertahankan kebebasanmu, saya tidak bisa bilang itu sepenuhnya salah."

Nadira terdiam, pikirannya berputar mencoba mencari jawaban. Setelah beberapa saat, ia memandang Adhinata dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Pak ...." Nadira tiba-tiba bersuara, suaranya terdengar seperti celetukan spontan.

"Hm?" Adhinata mengangkat alis, menunggu.

"Kalau begitu—" Nadira menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, "Gimana kalau Bapak saja yang jadi pacar saya?"

Kalimat itu menggantung di udara, memenuhi ruangan dengan keheningan yang nyaris menyesakkan.

Adhinata menatapnya, matanya membelalak tipis, tetapi ekspresinya sulit dibaca. Nadira merasa jantungnya berdegup kencang, hampir menyesali apa yang baru saja ia katakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   5. Kesanggupan dan Perjanjian

    Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   6. Bermalam

    Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu

    Last Updated : 2025-02-12
  • JODOHKU GURU GALAK   7. Sarapan Rahasia

    "Cepat sarapan."Suara berat Adhinata memecah kesunyian pagi di rumah kecilnya. Nadira yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan kaos kebesaran milik Adhinata dan celana training hitam yang semalam, menoleh ke arahnya.Di dapur itu, ada seperti meja bar yang tak terlalu panjang, dan dua kursi tinggi. Dua mangkuk bubur ayam berjejer rapi. Aroma gurih kaldu langsung menyeruak, menggoda perut Nadira yang sedang didemo oleh para cacing.Ya, Nadira sudah lapar lagi."Bubur ayam?" Nadira melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk."Bapak masak sendiri?" tanyanya pada Adhinata yang tengah membuat kopi.Pria itu mendengkus pendek. "Kalau iya?""Wah, hebat juga ya. Tapi kayaknya ini beli, deh. Plastiknya aja masih ada, tuh," jawab Nadira ceplas-ceplos, menunjuk plastik bekas bubur di sudut konter dapur.Adhinata mengangkat alis, memutar badan lalu meletakkan kopi ke atas meja. Pria itu pun menarik kursi. Membuat jarak, dan duduk di

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   8. Pertemuan di Pintu Gerbang

    Adhinata menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nadira. Rumah besar bergaya kolonial itu tampak megah dengan halaman luas yang dihiasi taman bunga. Akan tetapi, bagi Nadira, rumah itu lebih menyerupai sangkar emas. Tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup, sementara matanya terpaku ke arah pintu gerbang yang tertutup."Sudah sampai. Turun," ujar Adhinata dengan nada datar, memutuskan kesunyian yang menggantung di antara mereka.Namun Nadira tetap diam. Ia menggigiti bibir bawahnya, seperti seseorang yang sedang mempersiapkan mental untuk maju ke medan perang.Adhinata melirik gadis itu. "Rara, jangan bilang kamu mau tinggal di mobil ini sampai saya selesai mengajar."Nadira menghela napas panjang, lalu menoleh dengan ekspresi memelas. "Pak, saya takut.""Takut apa? Kamu tinggal bilang pada ayahmu kalau kamu sudah berpikir ulang. Atau gunakan rencana yang tadi malam kita setujui. Selesai, 'kan?!" balas Adhinata santai, meskipun mat

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   9. Salah Paham

    "Eh, jam Pak Nata kosong!"Seruan Faiz, salah satu murid yang baru saja memasuki kelas, langsung memecah keheningan XI IPS 4. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak bersorak, sebagian lain sibuk membuka ponsel atau melanjutkan obrolan santai mereka. Ada juga yang berkelompok di belakang dan duduk di lantai, pada mabar.Di barisan tengah, Nadira sedang tertawa kecil bersama teman sebangkunya. Namun, tawa itu terhenti begitu mendengar nama Adhinata. Ekspresinya berubah—dari santai menjadi penuh kekhawatiran."Pak Nata kosong? Tumbenan. Yang bener lo, Iz?" Teman sebangku Nadira, berceletuk tak percaya. Salsa namanya."Seriusan, tadi anak kelas sebelah juga kosong. Tapi pada berisik, sih. Jadi malah diisi sama Pak Widodo. Hahaha ...." Faiz ini ketua kelas, tetapi anaknya woles aja."Aduh-aduh, kesayangan aku kenapa, ya? Kok hari ini nggak ngajar." Salsa mencebik. Gadis ini sangat mengidolakan Adhinata Rahagi."Jad

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   10. Dalam Pelukan Hujan

    "Jadi, begini."Pak Widodo memulai dengan suara bergetar, mencoba menahan luapan emosi dan rasa canggung. Tatapannya bergantian antara Adhinata dan Nadira, yang duduk di kursi kayu di hadapannya.Nadira menunduk dalam-dalam, merasa ingin menghilang ke dasar bumi. Sedangkan Adhinata, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Namun, ada kilatan kekesalan di matanya, seperti sedang menghitung dosa apa yang membuatnya terjebak dalam situasi ini."Pak Adhinata, saya tahu Bapak ini guru teladan. Tapi saya tidak menyangka Bapak ... ASTAGFIRULLAH!" Pak Widodo menutup wajah dengan kedua tangan, seperti mencegah diri sendiri melihat lebih jauh. "Apa-apaan ini?!""Pak, ini hanya salah paham," ujar Adhinata akhirnya, dengan nada sedingin AC ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang seperti Bapak pikirkan."Nadira mengangkat tangan, menyela. "Benar, Pak. Saya cuma ....""CUMA APA, NADIRA?!" Kepala sekolah itu menatap Nadira tajam, lalu m

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   11. Gelap yang Berkisah

    "Karena saya—"Adhinata menggantungkan kalimatnya, ketika suara seseorang tiba-tiba memecah ketegangan dari arah depan."Non Rara! Non Rara!" Suara lantang itu berasal dari Pak Supri. Sorotan senter yang dibawanya menari-nari di dinding rumah. Langkah tergesa pria paruh baya itu semakin mendekat, hingga akhirnya cahayanya menemukan mereka di dapur."Astaga, Non!" Pak Supri terperangah melihat Nadira duduk di lantai, bersandar pada Adhinata yang memeluknya dengan tubuh separuh basah. Raut wajah Pak Supri langsung berubah marah, salah paham dengan situasi di depannya."Mas! Apa-apaan ini?!" serunya seraya melangkah cepat, berniat menarik Nadira menjauh. Namun, Adhinata segera berbicara sebelum pria itu sempat bertindak."Berhenti di situ, Pak. Pak Supri bisa terluka," ucapnya dengan suara tenang, tetapi tegas.Pak Supri menghentikan langkah dan mengerutkan dahi, bingung. "Luka? Apa maksudnya?" Sorot senternya turun mengikuti arah tatapan

    Last Updated : 2025-02-14
  • JODOHKU GURU GALAK   12. Terjebak dalam Perjanjian

    Jam sekolah berjalan seperti biasa, tetapi pikiran Nadira terasa berat sejak pagi. Malam tadi, Adhinata bersikeras pulang sendiri saat listrik akhirnya menyala. Dan itu sudah tengah malam. Adhinata menolak tawaran Pak Supri untuk diantar. Meski Nadira telah memastikan pria itu tiba dengan selamat di rumah, tetap saja dia merasa tidak tenang.Bagaimana tidak? Kaki Adhinata terluka cukup parah, dan dia bahkan tidak membiarkan lukanya dirawat dengan benar.Dasar guru galak keras kepala.Di sekolah, kekhawatiran itu bertambah. Biasanya, Adhinata selalu terlihat sibuk di lorong-lorong atau berinteraksi dengan para guru lain. Namun hari ini, dia seperti menghilang. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya."Heh, Ra. Lo kenapa, sih, ngelamun terus? Dari tadi gue ngomong sama angin," protes Salsa diiringi tepukan di bajunya.Nadira tersentak. "Hah? Apa? Lo ngomong apa tadi?"Salsa mendengkus, lalu memasang wajah sok sedih dan melontar kata-kata d

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

  • JODOHKU GURU GALAK   117. Kita Belum Selesai

    Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena

  • JODOHKU GURU GALAK   116. Terpaksa Membongkar Rahasia

    Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi

  • JODOHKU GURU GALAK   115. Ketegangan di Balik Bilik

    Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber

  • JODOHKU GURU GALAK   114. Terpisah Membuat Resah

    "Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.

  • JODOHKU GURU GALAK   113. Nyaris Kebablasan

    Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t

  • JODOHKU GURU GALAK   112. Momen Manis di Tengah Keramaian

    "Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status