"Cepat sarapan."
Suara berat Adhinata memecah kesunyian pagi di rumah kecilnya. Nadira yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan kaos kebesaran milik Adhinata dan celana training hitam yang semalam, menoleh ke arahnya.
Di dapur itu, ada seperti meja bar yang tak terlalu panjang, dan dua kursi tinggi. Dua mangkuk bubur ayam berjejer rapi. Aroma gurih kaldu langsung menyeruak, menggoda perut Nadira yang sedang didemo oleh para cacing.
Ya, Nadira sudah lapar lagi.
"Bubur ayam?" Nadira melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk.
"Bapak masak sendiri?" tanyanya pada Adhinata yang tengah membuat kopi.
Pria itu mendengkus pendek. "Kalau iya?"
"Wah, hebat juga ya. Tapi kayaknya ini beli, deh. Plastiknya aja masih ada, tuh," jawab Nadira ceplas-ceplos, menunjuk plastik bekas bubur di sudut konter dapur.
Adhinata mengangkat alis, memutar badan lalu meletakkan kopi ke atas meja. Pria itu pun menarik kursi. Membuat jarak, dan duduk di sisi meja berseberangan dengan Nadira.
"Kalau tidak mau sarapan, tidak masalah. Saya bisa kasih ke kucing tetangga," respon Adhinata.
Nadira langsung meraih sendok. "Makan kok, makan! Cacing-cacing di perut saya lebih butuh daripada kucing tetangga. Hehehehe."
Adhinata hanya mendecak pelan. Alih-alih segera makan, pria itu justru meraih sebuah buku yang sejak tadi ada di atas meja, dan mulai membaca.
Nadira mengaduk buburnya dengan semangat, sesekali mencuri pandang ke arah Adhinata yang sudah rapi dan wangi. Mata pria itu terpaku pada buku, tetapi Nadira yakin otaknya sedang memikirkan sesuatu.
"Pak," panggil Nadira tiba-tiba, menarik perhatian Adhinata.
"Hm?" jawab pria tersebut tanpa menurunkan bukunya.
"Kalau makan bubur ayam, Pak Nata tim yang dimakan langsung atau tim diaduk dulu?"
Adhinata mengangkat wajah. Menggulirkan tatapan tajam ke arah Nadira. "Penting, ya, pertanyaannya?"
Sang gadis mengangguk. "Penting banget. Karakter seseorang bisa terlihat dari cara dia makan bubur ayam."
Adhinata berdecih. "Sepertinya kamu terlalu lapar, sampai bicara ngawur."
"Eh, beneran loh, Pak. Kalau saya, sih, tim diaduk. Jadi cita rasanya itu menyatu. Mak Nyuss." Nadira terus berceloteh seru.
"Berarti karakter orangnya berantakan, ya. Gak teratur. Amburadul. Cocok itu sama kamu." Adhinata berceletuk.
"Eh, gak gitu juga. Itu artinya, karakter orang yang suka makan bubur diaduk tuh, penuh perasaan. Mampu melebur dalam situasi apa pun, pandai beradaptasi, dan pastinya punya empati dan simpati. Duh, kok, tiba-tiba saya jadi keren begini kata-katanya," ujar gadis itu bangga. Padahal, Nadira juga hanya mengada-ada.
"Kalau yang tim rapi, langsung makan gitu aja, berarti orangnya hanya mementingkan tampilan. Gak begitu peduli dengan cita rasa. Bahkan bisa dibilang, kasarnya, sih, tidak berperasaan. Dia itu—"
"Saya tim makan rapi," potong Adhinata. "Bukannya tidak peduli cita rasa atau bahkan tidak berperasaan. Justru, karena saya menerima apa adanya sesuatu sebagaimana yang sudah dikasih dari sana-Nya. Bersyukur, intinya. Dan nikmati saja."
Nadira terdiam. Melongo sesaat. Pembahasan perkara bubur malah jadi seserius ini. Padahal niatnya tadi hanya untuk mencairkan suasana pagi.
"Cepat makan. Nanti keburu dingin." Kalimat Nata menyadarkan Nadira. Gadis itu pun mulai makan setelah berdoa.
Setelah sekian detik saling diam, Nadira kembali mengeluarkan suara.
"Bapak sering, ya, nyelamatin murid-murid kayak saya gini? Seperti malam tadi." Nadira bertanya sambil mengunyah pelan.
Adhinata yang masih membaca, akhirnya menurunkan bukunya. Menatap Nadira dengan tatapan datar. "Tidak. Biasanya saya hanya menyelamatkan angka rapormu."
Nadira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Bapak bisa aja. Ternyata Bapak lucu juga, ya."
"Jangan ketawa waktu makan. Nanti keselek," balas Adhinata tanpa ekspresi, kali ini ia menyesap kopi.
Nadira tersenyum lebar. Rasanya pagi ini lebih ringan dari biasanya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Jika sebelumnya Adhinata selalu terasa jauh dan dingin, pagi ini ia terasa seperti ... teman.
"Pak," panggil Nadira lagi, membuat Adhinata mendesah kecil.
"Apa lagi?"
"Kenapa Bapak baik banget sama saya? Maksudnya, Bapak bisa aja nyuruh saya balik sendiri semalam, tapi kok malah repot-repot bawa saya ke sini."
Adhinata menutup bukunya, menatap Nadira dengan tajam. "Karena saya tidak mau ada berita murid saya ditemukan terlantar di jalan, dan nama saya ikut disebut-sebut. Puas dengan jawabannya?"
Nadira mengangguk, meski wajahnya masih penasaran. "Tapi kayaknya Bapak nggak cuma peduli nama baik, deh. Saya yakin Bapak itu sebenarnya orang baik."
"Jangan terlalu yakin. Nanti kecewa." Adhinata berdiri, membawa gelas kopinya ke wastafel. Sudah habis dalam beberapa teguk ternyata.
Nadira memiringkan kepala, mengamati pria itu dari belakang. Ada banyak hal yang membuatnya penasaran. Rumah ini, gaya bicara Adhinata, bahkan bagaimana ia seolah selalu memiliki jawaban untuk segalanya.
"Pak, saya boleh nanya sesuatu lagi?" Gadis itu kembali beraksi.
Adhinata kembali dari dapur, lalu duduk di kursi yang sama. Kali ini membawa segelas air putih dan meletakkan di depan Nadira.
"Sepertinya kamu tidak butuh izin," balas sang pria.
Nadira menyeringai kecil. "Kenapa rumah Bapak sederhana banget? Anu, bukan menghina. Maksud saya, Bapak kan guru yang kelihatan keren. Mobilnya juga bagus. Tapi kok rumahnya kayak ... nggak cocok sama Bapak."
Adhinata mengangkat alis, menatap gadis itu dengan tatapan tidak percaya. "Kamu makan bubur atau sedang menginterogasi saya?"
"Cuma penasaran, Pak," jawab Nadira. Cengegesan hingga gingsulnya terlihat.
Adhinata menghela napas. "Ini adalah salah satu rumah milik keluarga saya. Saya hanya tinggal di sini sementara."
"Salah satu?!" Mata gadis itu membulat penuh.
"Wah, berarti keluarga Bapak kaya, dong?" Nadira bertanya dengan mata berbinar.
Ayah Wirawan juga kaya saking gila kerja. Nadira tidak pernah kekurangan jika itu perkara materi saja. Namun, gadis ini membutuhkan perhatian lebih dari sang ayah. Namun, Wirawan sering mengabaikan.
Apa mungkin Pak Nata mengalami hal yang sama? batinnya.
Adhinata mulai memakan buburnya, tidak langsung menjawab. Nadira menunggu, tetapi pria itu tampak sengaja membiarkan pertanyaan itu mengambang.
"Pak, seriusan. Saya nggak akan cerita ke siapa-siapa, kok. Pak Nata boleh cerita apa aja ke saya," tambah Nadira, mencoba membujuknya.
"Kenapa kamu tiba-tiba jadi seperti reporter gosip?" Adhinata membalas dengan nada datar.
"Karena Pak Nata misterius banget!" Nadira mengeluh. "Kayak di drama Korea, gitu. Tokohnya selalu punya rahasia besar."
Adhinata hampir tersenyum mendengar pernyataan itu, tetapi ia menahannya. "Jangan kebanyakan nonton drama. Saya hanya guru biasa, Rara. Tidak ada yang menarik dari saya."
"Eiy, jangan gitu, Pak. Pak Nata itu punya daya tarik tersendiri. Buktinya, saya tertarik, tuh," ceplos Nadira.
"Apa?" Adhinata mengangkat wajah.
"Eh, jangan salah paham. Maksudnya, saya tertarik sama anunya Bapak. Duh, kok anu, sih." Nadira panik. Membuat Adhinata tersenyum kecil.
Sekali lagi, tersenyum kecil. Bukan seringai mengejek, atau senyum sarkas seperti biasanya. Dan, Nadira terpesona. Tampan sekali Pak Adhinata.
"Mingkem, Rara. Nanti lalat masuk." Pria itu berkata sembari kembali menyuap bubur.
Nadira tersentak. Sadar, sudah sangat terpesona sampai menganga. Gadis itu buru-buru menunduk, menutupi wajahnya yang memerah.
"Pak Nata gak usah ge er, ya," celetuk Nadira tiba-tiba, sebagai pengalihan kecanggungan.
"Aman. Saya biasa dipuji orang, tapi tidak lantas membuat saya terbang." Adhinata terlihat santai.
Cara bicara Adhinata yang selalu semi formal ini membuat Nadira teringat pembicaraan lelaki tersebut semalam. Saat ada seseorang yang menelepon, dan tak sengaja Nadira mendengar dari kamar.
Saat itu Adhinata bahkan menggunakan percakapan layaknya anak muda zaman sekarang. Memakai 'lo-gue' pula. Rasa penasaran kembali menyeruak di dada Nadira. Gadis itu pun tak sabar ingin bertanya.
"Pak."
"Hm."
"Semalam, saya denger Pak Nata telepon, deh. Bapak bilang, 'Jangan paksa gue pulang!'. Jangan-jangan ... Pak Nata sendiri juga lagi kabur dari rumah, ya?"
Adhinata yang sedang menyuap buburnya langsung tersedak. Ia terbatuk-batuk hebat, membuat Nadira panik dan beranjak mendekat.
"Pak! Minum, minum!" Nadira menyodorkan gelas air putih yang ada di meja, sementara Adhinata mencoba menenangkan dirinya.
Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya bisa bernapas normal kembali. Ia menatap Nadira dengan tatapan penuh peringatan.
"Kamu terlalu banyak bicara," gumamnya sambil mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Nadira tersenyum lebar, merasa menang karena reaksinya tadi. "Jadi, beneran, dong? Bapak kabur dari rumah?"
Adhinata menghela napas panjang, meletakkan sendoknya dengan pelan. Nadira yang tadinya tertawa kecil mendadak terdiam, menunggu jawaban serius dari pria di depannya.
Namun, Adhinata hanya mengambil gelasnya lagi. Meneguk pelan, lalu memandang Nadira dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui, Rara," ucap Nata akhirnya.
Nadira membuka mulut hendak bertanya lagi, tetapi Adhinata mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti.
"Sudah selesai sarapan? Kalau sudah, cepat bersiap. Saya akan antar kamu pulang sebelum ke sekolah."
Nadira terdiam, lalu mengangguk pelan. Tetapi dalam hatinya, ia tahu satu hal. Rahasia Adhinata baru saja menjadi teka-teki yang ingin ia pecahkan.
Adhinata menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nadira. Rumah besar bergaya kolonial itu tampak megah dengan halaman luas yang dihiasi taman bunga. Akan tetapi, bagi Nadira, rumah itu lebih menyerupai sangkar emas. Tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup, sementara matanya terpaku ke arah pintu gerbang yang tertutup."Sudah sampai. Turun," ujar Adhinata dengan nada datar, memutuskan kesunyian yang menggantung di antara mereka.Namun Nadira tetap diam. Ia menggigiti bibir bawahnya, seperti seseorang yang sedang mempersiapkan mental untuk maju ke medan perang.Adhinata melirik gadis itu. "Rara, jangan bilang kamu mau tinggal di mobil ini sampai saya selesai mengajar."Nadira menghela napas panjang, lalu menoleh dengan ekspresi memelas. "Pak, saya takut.""Takut apa? Kamu tinggal bilang pada ayahmu kalau kamu sudah berpikir ulang. Atau gunakan rencana yang tadi malam kita setujui. Selesai, 'kan?!" balas Adhinata santai, meskipun mat
"Eh, jam Pak Nata kosong!"Seruan Faiz, salah satu murid yang baru saja memasuki kelas, langsung memecah keheningan XI IPS 4. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak bersorak, sebagian lain sibuk membuka ponsel atau melanjutkan obrolan santai mereka. Ada juga yang berkelompok di belakang dan duduk di lantai, pada mabar.Di barisan tengah, Nadira sedang tertawa kecil bersama teman sebangkunya. Namun, tawa itu terhenti begitu mendengar nama Adhinata. Ekspresinya berubah—dari santai menjadi penuh kekhawatiran."Pak Nata kosong? Tumbenan. Yang bener lo, Iz?" Teman sebangku Nadira, berceletuk tak percaya. Salsa namanya."Seriusan, tadi anak kelas sebelah juga kosong. Tapi pada berisik, sih. Jadi malah diisi sama Pak Widodo. Hahaha ...." Faiz ini ketua kelas, tetapi anaknya woles aja."Aduh-aduh, kesayangan aku kenapa, ya? Kok hari ini nggak ngajar." Salsa mencebik. Gadis ini sangat mengidolakan Adhinata Rahagi."Jad
"Jadi, begini."Pak Widodo memulai dengan suara bergetar, mencoba menahan luapan emosi dan rasa canggung. Tatapannya bergantian antara Adhinata dan Nadira, yang duduk di kursi kayu di hadapannya.Nadira menunduk dalam-dalam, merasa ingin menghilang ke dasar bumi. Sedangkan Adhinata, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Namun, ada kilatan kekesalan di matanya, seperti sedang menghitung dosa apa yang membuatnya terjebak dalam situasi ini."Pak Adhinata, saya tahu Bapak ini guru teladan. Tapi saya tidak menyangka Bapak ... ASTAGFIRULLAH!" Pak Widodo menutup wajah dengan kedua tangan, seperti mencegah diri sendiri melihat lebih jauh. "Apa-apaan ini?!""Pak, ini hanya salah paham," ujar Adhinata akhirnya, dengan nada sedingin AC ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang seperti Bapak pikirkan."Nadira mengangkat tangan, menyela. "Benar, Pak. Saya cuma ....""CUMA APA, NADIRA?!" Kepala sekolah itu menatap Nadira tajam, lalu m
"Karena saya—"Adhinata menggantungkan kalimatnya, ketika suara seseorang tiba-tiba memecah ketegangan dari arah depan."Non Rara! Non Rara!" Suara lantang itu berasal dari Pak Supri. Sorotan senter yang dibawanya menari-nari di dinding rumah. Langkah tergesa pria paruh baya itu semakin mendekat, hingga akhirnya cahayanya menemukan mereka di dapur."Astaga, Non!" Pak Supri terperangah melihat Nadira duduk di lantai, bersandar pada Adhinata yang memeluknya dengan tubuh separuh basah. Raut wajah Pak Supri langsung berubah marah, salah paham dengan situasi di depannya."Mas! Apa-apaan ini?!" serunya seraya melangkah cepat, berniat menarik Nadira menjauh. Namun, Adhinata segera berbicara sebelum pria itu sempat bertindak."Berhenti di situ, Pak. Pak Supri bisa terluka," ucapnya dengan suara tenang, tetapi tegas.Pak Supri menghentikan langkah dan mengerutkan dahi, bingung. "Luka? Apa maksudnya?" Sorot senternya turun mengikuti arah tatapan
Jam sekolah berjalan seperti biasa, tetapi pikiran Nadira terasa berat sejak pagi. Malam tadi, Adhinata bersikeras pulang sendiri saat listrik akhirnya menyala. Dan itu sudah tengah malam. Adhinata menolak tawaran Pak Supri untuk diantar. Meski Nadira telah memastikan pria itu tiba dengan selamat di rumah, tetap saja dia merasa tidak tenang.Bagaimana tidak? Kaki Adhinata terluka cukup parah, dan dia bahkan tidak membiarkan lukanya dirawat dengan benar.Dasar guru galak keras kepala.Di sekolah, kekhawatiran itu bertambah. Biasanya, Adhinata selalu terlihat sibuk di lorong-lorong atau berinteraksi dengan para guru lain. Namun hari ini, dia seperti menghilang. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya."Heh, Ra. Lo kenapa, sih, ngelamun terus? Dari tadi gue ngomong sama angin," protes Salsa diiringi tepukan di bajunya.Nadira tersentak. "Hah? Apa? Lo ngomong apa tadi?"Salsa mendengkus, lalu memasang wajah sok sedih dan melontar kata-kata d
Selesai latihan renang, Nadira berjalan cepat ke ruang ganti dengan langkah penuh semangat. Hari ini dia punya misi: menghadapi Adhinata. Kalau dibiarkan, pria itu akan terus bersikap dingin seperti patung batu.Setelah berganti baju, Nadira mengabaikan panggilan Salsa yang masih sibuk mengobrol dengan anggota klub renang lainnya. Gadis itu bergegas ke luar gedung olahraga, matanya langsung mencari sosok yang ia kenal di sekitar sekolah.Adhinata tidak akan pulang cepat, pikir Nadira yakin. Pria itu biasanya seperti bayangan, selalu ada di sekitar sekolah meski suasana sudah mulai sepi.Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Regas menghadang. Cowok yang rambutnya masih basah dan saat ini mengenakan jaket dengan logo klub renang SMA Cakrawala itu tersenyum cerah ke arah Nadira."Mau langsung pulang, Ra?" tanya cowok itu."Eh. Iya, Kak," jawab Nadira."Mau gue antar?"Nadira menggeleng dan mengibaskan tangan. "Enggak usah, Kak. Gue dijemp
Langit sore tampak gelap, mendung tebal menggantung seakan siap menumpahkan hujan. Adhinata menyusuri jalanan dengan tenang, kedua tangannya mantap di kemudi. Di sebelahnya, Nadira duduk santai, matanya berbinar-binar menikmati percakapan yang baru saja dimulai."Bapak ... eh, Mas Nata." Nadira tergagap, langsung memukul pelan dahinya sendiri sambil tertawa. "Aduh, kenapa susah sekali sih membiasakan ini."Adhinata hanya melirik sekilas, menghela napas pendek. "Kamu harus mulai terbiasa. Kamu bilang banyak mata-mata ayah kamu yang entah di mana. Setidaknya panggilan itu akan meyakinkan mereka. Begitu, 'kan, maunya kamu?""Iya, Mas Nata. Kalau mode seperti ini, manggilnya pakai aku-kamu aja, ya." Nadira menekankan setiap katanya, terlihat berusaha keras menahan tawa."Terserah. Tapi ingat," lanjut Adhinata, nada suaranya kembali serius. "Kalau di sekolah, tetap panggil saya Pak Nata. Jangan sampai ada yang curiga.""Siap, Pak Guru." Nadira memberi h
"Sepertinya kamu berencana membunuh saya," ujar Adhinata, suaranya terdengar serak, tetapi diselingi nada sarkasme khasnya. Kembali menyebut dirinya sendiri dengan kata 'saya', padahal beberapa menit yang lalu sudah tak terlalu kaku ketika menggunakan 'aku.'Nadira yang duduk di kursi pengemudi, menoleh cepat. "Apa?! Mas jangan ngomong sembarangan kayak gitu!" Seruan itu keluar dengan nada kesal, tetapi getaran dalam suaranya menunjukkan bahwa ia masih syok dengan apa yang baru saja terjadi.Untung saja dua pengurus rumah singgah tadi dengan sigap memberi bantuan dan berhasil membawa Adhinata kembali ke mobil yang di parkir di halaman depan.Adhinata memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur napasnya yang masih berat. "Kenapa kamu menyeret saya ke tempat penuh bulu seperti itu? Kalau saya tidak tahu kamu, saya mungkin mengira ini adalah rencana pembunuhan.""Mas jangan bercanda!" Nadira berteriak kecil, tangannya mencengkeram kemudi begitu kuat hingga bu
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad