Share

6. Bermalam

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-02-12 18:33:34

Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama.

"Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.

Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"

Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."

Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."

Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini."

"Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubungi ayah kamu."

"Apa?" Nadira hampir menjatuhkan sendoknya. Suaranya meninggi. "Bapak ngapain ngehubungin ayah?!"

Adhinata menatap Nadira, tidak terganggu oleh nada kerasnya. "Tentu saja untuk memberitahu kalau kamu aman dan tidak kabur ke tempat yang aneh-aneh."

Nadira mengerutkan kening, bingung sekaligus kesal. "Dari mana Bapak bisa dapat nomor ayah saya?"

Adhinata bersandar di sofa dengan santai. "Saya wali kelas kamu, kalau kamu lupa. Semua data murid, termasuk nomor kontak orang tua, ada di tangan saya."

"Kenapa nggak bilang dulu ke saya? Saya kan bisa melarang Bapak." Nadira semakin menunjukkan muka kesal.

"Kalau saya bilang, kamu pasti keberatan. Dan lagi, Ayah kamu punya hak tahu keberadaan anaknya. Kalau tidak ada kabar, ayah kamu bisa saja melapor ke polisi."

Nadira mendengkus. Ia tahu Adhinata benar, tetapi tetap saja merasa tidak senang. "Terus, Bapak bilang apa ke ayah?"

Adhinata berdiri, menyilangkan tangan di depan dada. "Saya bilang, saya nemu kamu di jalan. Sudah, itu saja. Tidak ada kebohongan, 'kan?!"

"Nemu. Emangnya saya apaan? Dan lagi, memangnya ayah percaya?" tanya Nadira curiga. Ayahnya bukan orang yang mudah mempercayai orang sembarangan.

Adhinata mengangguk. "Tentu saja. Saya bilang kalau saya guru kamu, dia langsung tenang. Sepertinya dia menganggap saya orang yang bisa dipercaya."

Nadira melipat tangan di depan dada, masih kesal. "Jadi sekarang ayah tahu saya ada di sini?"

"Ya," jawab Adhinata tegas. "Dan itu seharusnya membuat kamu merasa lebih lega, bukan malah mengomel."

Nadira terdiam, menggigit bibirnya. Ia memang lega karena Ayah tidak akan mencari, tetapi situasi ini membuatnya semakin merasa tidak nyaman.

"Sudahlah, sekarang tidur," ujar Adhinata lagi. "Kamu sudah cukup menyulitkan saya untuk satu hari ini."

"Apa Bapak menyesal menolong saya?" tanya Nadira pelan.

Adhinata menghela napas panjang, lalu menatap gadis itu dengan sorot mata serius. "Kalau saya menyesal, saya tidak akan membawa kamu ke sini. Jangan pikirkan hal yang tidak perlu."

Nadira hanya mengangguk kecil, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar yang ditunjukkan Adhinata. Pintu kamar itu sederhana, dengan cat putih polos. Begitu ia membukanya, ia mendapati ruangan yang rapi dan bersih. Tempat tidur single dengan seprai biru muda, meja belajar di sudut, dan lemari kayu kecil.

Dia menutup pintu perlahan, lalu membaringkan badan, membiarkan tubuhnya terhempas di atas kasur yang terasa empuk dan nyaman. Meskipun lelah, pikirannya terlalu penuh untuk terlelap. Ia memikirkan keputusan gilanya. Meminta Adhinata menjadi pacar pura-pura jelas bukan langkah biasa.

Sementara itu, di ruang tamu, Adhinata memutuskan untuk membereskan meja dari peralatan bekas makan. Nasi goreng miliknya bahkan masih banyak tersisa. Pria itu sudah tidak nafsu untuk menghabiskan.

Ia mencuci piring dengan gerakan cepat tetapi teratur. Setelah selesai, ia duduk kembali di sofa, mencoba membaca buku yang ada di rak. Namun, pikirannya terus berputar pada satu hal. Keputusan untuk menyetujui permintaan Nadira.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumamnya pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.

Sedangkan di kamar, Nadira memandang langit-langit ruangan yang kosong, mencoba mencerna semuanya. Adhinata adalah pria yang dingin, tegas, tetapi anehnya, ia merasa ada sisi lain darinya yang tulus. Bagaimana mungkin pria yang selama ini terkenal kaku bersedia membantunya dengan cara seperti ini?

Ia merasa bersalah. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Adhinata mungkin harus ikut menanggung risiko besar. Nama baiknya sebagai guru, bahkan pekerjaannya, bisa saja terancam.

Ketukan pelan di pintu mengagetkan Nadira.

"Ya?" jawabnya.

Pintu terbuka sedikit, dan kepala Adhinata menyembul di baliknya. "Lampu akan saya matikan sebagian. Kalau ada apa-apa, panggil saja. Tidur yang nyenyak."

"Oh, iya, Pak. Makasih. Tapi lampu kamar biar tetap nyala, ya. Saya takut gelap soalnya," balas Nadira pelan. Walau bagaimanapun, ia harus tetap sopan. Adhinata juga tidak lagi terlihat seperti predator anak. Jadi, sepertinya aman.

Adhinata mengangguk, lalu menutup pintu. Pria itu kembali ke ruang tamu lalu mematikan lampu utama, membiarkan hanya lampu kecil di sudut dapur yang menyala. Ia berbaring di sofa, mencoba menyesuaikan posisi. Sofanya terlalu pendek untuk tubuhnya yang tinggi, tetapi ia tidak peduli.

Matanya terpejam, tetapi suara pintu kamar yang terbuka pelan membuatnya kembali membuka mata.

"Kenapa?" tanyanya pada Nadira yang berjalan mendekat. Pria itu pun kembali mendudukkan badan.

Terlihat ragu, Nadira meletakkan bantal dan selimut yang ia bawa, di samping Adhinata. “Bantal sama selimut Bapak."

Adhinata mengangguk. "Hm."

"Saya boleh bicara sebentar?" tanya Nadira kemudian.

Nata tidak menjawab, tetapi Nadira tahu pria itu mempersilakan. Raut wajah datar tersebut seperti menunggu ia bicara.

"Saya tahu Bapak sebenarnya tidak mau terlibat dalam urusan saya. Tapi, saya janji, saya nggak akan menyusahkan Bapak lebih dari ini."

Adhinata menatap gadis itu lama, lalu mengangguk. "Pastikan kamu menepati janji itu."

Pria itu menata bantal dan mulai membaringkan badan.

"Akan saya coba." Nadira tersenyum tipis. "Ya sudah, saya balik ke kamar lagi, ya, Pak. Selamat malam."

Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, Adhinata berbicara lagi.

"Nadira."

Gadis itu menoleh.

"Besok saya antar kamu pulang," ucap Adhinata.

Nadira mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"

"Pagi-pagi sebelum ke sekolah, saya antar kamu pulang," ujar Adhinata dengan nada yang serius. "Sekalian mau ketemu sama ayah kamu."

"Ngapain?" Kening Nadira mengernyit.

"Kenalan sama calon mertua," jawab Adhinata ringan, seolah tanpa beban.

"Bapak jangan aneh-aneh, deh. Kalau ayah enggak nanya, ya gak usah bilang apa-apa," sahut Nadira.

"Ya sudah kalau tetap mau dijodohkan. Itu, sih, bukan urusan saya." Adhinata melebarkan selimutnya, menutup permukaan badan hingga sebatas dada.

"Duh, iya juga, ya." Nadira menggaruk kepala.

Adhinata mengangguk. "Bagus kalau paham. Sekarang, tidur sana."

"Baiklah, tapi besok gimana cara ngomongnya ke ayah?" Nadira gelisah.

"Serahkan sama saya." Adhinata percaya diri.

"Ok, deh, Pak. Makasih."

Nadira menuruti untuk segera tidur, tetapi ketika ia kembali ke kamar dan berbaring, pikirannya tetap tidak tenang. Ia mulai memikirkan sesuatu yang belum ia tanyakan.

Bukan mengenai dirinya. Akan tetapi, tentang Adhinata.

Apakah pria itu tinggal sendirian? Tempat ini pun jauh dari keramaian. Satu lagi keanehan, Adhinata memiliki kendaraan yang bagus, modern, elegan, dan terlihat mahal. Kenapa rumah tinggalnya begitu sederhana? Style pria itu juga tidak seperti guru pada umumnya. Terlalu kece, kalau kata Nadira.

Ah, ini pasti karena aku kebanyakan nonton drama sama baca novel.  Dahlah, tidur aja.

Ketika Nadira akhirnya merasakan kantuk menyerang, ia mendengar ponsel Adhinata berdering di ruang tamu sana. Suara pria itu terdengar pelan tetapi cukup jelas. Mengingat rumah tersebut tak cukup luas.

"Hm. Kenapa?"

Jeda. Mungkin pria itu sedang mendengarkan sahutan dari seberang.

"Berapa kali gue bilang? Jangan paksa gue pulang. Lo paham?"

Nadira menggigit bibir. Siapa yang menelepon Adhinata? Apa yang sebenarnya pria itu bicarakan?

Suara Adhinata terngiang.

'Jangan paksa gue pulang?'

Jangan bilang, dia sendiri juga sedang dalam pelarian. Astaga, ini gak bener. Gadis itu membatin gusar.

Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apakah Adhinata menyembunyikan sesuatu darinya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • JODOHKU GURU GALAK   7. Sarapan Rahasia

    "Cepat sarapan."Suara berat Adhinata memecah kesunyian pagi di rumah kecilnya. Nadira yang baru keluar dari kamar, masih mengenakan kaos kebesaran milik Adhinata dan celana training hitam yang semalam, menoleh ke arahnya.Di dapur itu, ada seperti meja bar yang tak terlalu panjang, dan dua kursi tinggi. Dua mangkuk bubur ayam berjejer rapi. Aroma gurih kaldu langsung menyeruak, menggoda perut Nadira yang sedang didemo oleh para cacing.Ya, Nadira sudah lapar lagi."Bubur ayam?" Nadira melangkah mendekat, menarik kursi dan duduk."Bapak masak sendiri?" tanyanya pada Adhinata yang tengah membuat kopi.Pria itu mendengkus pendek. "Kalau iya?""Wah, hebat juga ya. Tapi kayaknya ini beli, deh. Plastiknya aja masih ada, tuh," jawab Nadira ceplas-ceplos, menunjuk plastik bekas bubur di sudut konter dapur.Adhinata mengangkat alis, memutar badan lalu meletakkan kopi ke atas meja. Pria itu pun menarik kursi. Membuat jarak, dan duduk di

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   8. Pertemuan di Pintu Gerbang

    Adhinata menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nadira. Rumah besar bergaya kolonial itu tampak megah dengan halaman luas yang dihiasi taman bunga. Akan tetapi, bagi Nadira, rumah itu lebih menyerupai sangkar emas. Tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup, sementara matanya terpaku ke arah pintu gerbang yang tertutup."Sudah sampai. Turun," ujar Adhinata dengan nada datar, memutuskan kesunyian yang menggantung di antara mereka.Namun Nadira tetap diam. Ia menggigiti bibir bawahnya, seperti seseorang yang sedang mempersiapkan mental untuk maju ke medan perang.Adhinata melirik gadis itu. "Rara, jangan bilang kamu mau tinggal di mobil ini sampai saya selesai mengajar."Nadira menghela napas panjang, lalu menoleh dengan ekspresi memelas. "Pak, saya takut.""Takut apa? Kamu tinggal bilang pada ayahmu kalau kamu sudah berpikir ulang. Atau gunakan rencana yang tadi malam kita setujui. Selesai, 'kan?!" balas Adhinata santai, meskipun mat

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   9. Salah Paham

    "Eh, jam Pak Nata kosong!"Seruan Faiz, salah satu murid yang baru saja memasuki kelas, langsung memecah keheningan XI IPS 4. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Anak-anak bersorak, sebagian lain sibuk membuka ponsel atau melanjutkan obrolan santai mereka. Ada juga yang berkelompok di belakang dan duduk di lantai, pada mabar.Di barisan tengah, Nadira sedang tertawa kecil bersama teman sebangkunya. Namun, tawa itu terhenti begitu mendengar nama Adhinata. Ekspresinya berubah—dari santai menjadi penuh kekhawatiran."Pak Nata kosong? Tumbenan. Yang bener lo, Iz?" Teman sebangku Nadira, berceletuk tak percaya. Salsa namanya."Seriusan, tadi anak kelas sebelah juga kosong. Tapi pada berisik, sih. Jadi malah diisi sama Pak Widodo. Hahaha ...." Faiz ini ketua kelas, tetapi anaknya woles aja."Aduh-aduh, kesayangan aku kenapa, ya? Kok hari ini nggak ngajar." Salsa mencebik. Gadis ini sangat mengidolakan Adhinata Rahagi."Jad

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   10. Dalam Pelukan Hujan

    "Jadi, begini."Pak Widodo memulai dengan suara bergetar, mencoba menahan luapan emosi dan rasa canggung. Tatapannya bergantian antara Adhinata dan Nadira, yang duduk di kursi kayu di hadapannya.Nadira menunduk dalam-dalam, merasa ingin menghilang ke dasar bumi. Sedangkan Adhinata, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Namun, ada kilatan kekesalan di matanya, seperti sedang menghitung dosa apa yang membuatnya terjebak dalam situasi ini."Pak Adhinata, saya tahu Bapak ini guru teladan. Tapi saya tidak menyangka Bapak ... ASTAGFIRULLAH!" Pak Widodo menutup wajah dengan kedua tangan, seperti mencegah diri sendiri melihat lebih jauh. "Apa-apaan ini?!""Pak, ini hanya salah paham," ujar Adhinata akhirnya, dengan nada sedingin AC ruang kepala sekolah. "Tidak ada yang seperti Bapak pikirkan."Nadira mengangkat tangan, menyela. "Benar, Pak. Saya cuma ....""CUMA APA, NADIRA?!" Kepala sekolah itu menatap Nadira tajam, lalu m

    Last Updated : 2025-02-13
  • JODOHKU GURU GALAK   11. Gelap yang Berkisah

    "Karena saya—"Adhinata menggantungkan kalimatnya, ketika suara seseorang tiba-tiba memecah ketegangan dari arah depan."Non Rara! Non Rara!" Suara lantang itu berasal dari Pak Supri. Sorotan senter yang dibawanya menari-nari di dinding rumah. Langkah tergesa pria paruh baya itu semakin mendekat, hingga akhirnya cahayanya menemukan mereka di dapur."Astaga, Non!" Pak Supri terperangah melihat Nadira duduk di lantai, bersandar pada Adhinata yang memeluknya dengan tubuh separuh basah. Raut wajah Pak Supri langsung berubah marah, salah paham dengan situasi di depannya."Mas! Apa-apaan ini?!" serunya seraya melangkah cepat, berniat menarik Nadira menjauh. Namun, Adhinata segera berbicara sebelum pria itu sempat bertindak."Berhenti di situ, Pak. Pak Supri bisa terluka," ucapnya dengan suara tenang, tetapi tegas.Pak Supri menghentikan langkah dan mengerutkan dahi, bingung. "Luka? Apa maksudnya?" Sorot senternya turun mengikuti arah tatapan

    Last Updated : 2025-02-14
  • JODOHKU GURU GALAK   12. Terjebak dalam Perjanjian

    Jam sekolah berjalan seperti biasa, tetapi pikiran Nadira terasa berat sejak pagi. Malam tadi, Adhinata bersikeras pulang sendiri saat listrik akhirnya menyala. Dan itu sudah tengah malam. Adhinata menolak tawaran Pak Supri untuk diantar. Meski Nadira telah memastikan pria itu tiba dengan selamat di rumah, tetap saja dia merasa tidak tenang.Bagaimana tidak? Kaki Adhinata terluka cukup parah, dan dia bahkan tidak membiarkan lukanya dirawat dengan benar.Dasar guru galak keras kepala.Di sekolah, kekhawatiran itu bertambah. Biasanya, Adhinata selalu terlihat sibuk di lorong-lorong atau berinteraksi dengan para guru lain. Namun hari ini, dia seperti menghilang. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya."Heh, Ra. Lo kenapa, sih, ngelamun terus? Dari tadi gue ngomong sama angin," protes Salsa diiringi tepukan di bajunya.Nadira tersentak. "Hah? Apa? Lo ngomong apa tadi?"Salsa mendengkus, lalu memasang wajah sok sedih dan melontar kata-kata d

    Last Updated : 2025-02-14
  • JODOHKU GURU GALAK   13. Mas Nata and Good Girl

    Selesai latihan renang, Nadira berjalan cepat ke ruang ganti dengan langkah penuh semangat. Hari ini dia punya misi: menghadapi Adhinata. Kalau dibiarkan, pria itu akan terus bersikap dingin seperti patung batu.Setelah berganti baju, Nadira mengabaikan panggilan Salsa yang masih sibuk mengobrol dengan anggota klub renang lainnya. Gadis itu bergegas ke luar gedung olahraga, matanya langsung mencari sosok yang ia kenal di sekitar sekolah.Adhinata tidak akan pulang cepat, pikir Nadira yakin. Pria itu biasanya seperti bayangan, selalu ada di sekitar sekolah meski suasana sudah mulai sepi.Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Regas menghadang. Cowok yang rambutnya masih basah dan saat ini mengenakan jaket dengan logo klub renang SMA Cakrawala itu tersenyum cerah ke arah Nadira."Mau langsung pulang, Ra?" tanya cowok itu."Eh. Iya, Kak," jawab Nadira."Mau gue antar?"Nadira menggeleng dan mengibaskan tangan. "Enggak usah, Kak. Gue dijemp

    Last Updated : 2025-02-14
  • JODOHKU GURU GALAK   14. Rumah Singgah

    Langit sore tampak gelap, mendung tebal menggantung seakan siap menumpahkan hujan. Adhinata menyusuri jalanan dengan tenang, kedua tangannya mantap di kemudi. Di sebelahnya, Nadira duduk santai, matanya berbinar-binar menikmati percakapan yang baru saja dimulai."Bapak ... eh, Mas Nata." Nadira tergagap, langsung memukul pelan dahinya sendiri sambil tertawa. "Aduh, kenapa susah sekali sih membiasakan ini."Adhinata hanya melirik sekilas, menghela napas pendek. "Kamu harus mulai terbiasa. Kamu bilang banyak mata-mata ayah kamu yang entah di mana. Setidaknya panggilan itu akan meyakinkan mereka. Begitu, 'kan, maunya kamu?""Iya, Mas Nata. Kalau mode seperti ini, manggilnya pakai aku-kamu aja, ya." Nadira menekankan setiap katanya, terlihat berusaha keras menahan tawa."Terserah. Tapi ingat," lanjut Adhinata, nada suaranya kembali serius. "Kalau di sekolah, tetap panggil saya Pak Nata. Jangan sampai ada yang curiga.""Siap, Pak Guru." Nadira memberi h

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

  • JODOHKU GURU GALAK   117. Kita Belum Selesai

    Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena

  • JODOHKU GURU GALAK   116. Terpaksa Membongkar Rahasia

    Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi

  • JODOHKU GURU GALAK   115. Ketegangan di Balik Bilik

    Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber

  • JODOHKU GURU GALAK   114. Terpisah Membuat Resah

    "Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.

  • JODOHKU GURU GALAK   113. Nyaris Kebablasan

    Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t

  • JODOHKU GURU GALAK   112. Momen Manis di Tengah Keramaian

    "Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status