Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama.
"Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.
Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"
Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."
Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."
Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini."
"Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubungi ayah kamu."
"Apa?" Nadira hampir menjatuhkan sendoknya. Suaranya meninggi. "Bapak ngapain ngehubungin ayah?!"
Adhinata menatap Nadira, tidak terganggu oleh nada kerasnya. "Tentu saja untuk memberitahu kalau kamu aman dan tidak kabur ke tempat yang aneh-aneh."
Nadira mengerutkan kening, bingung sekaligus kesal. "Dari mana Bapak bisa dapat nomor ayah saya?"
Adhinata bersandar di sofa dengan santai. "Saya wali kelas kamu, kalau kamu lupa. Semua data murid, termasuk nomor kontak orang tua, ada di tangan saya."
"Kenapa nggak bilang dulu ke saya? Saya kan bisa melarang Bapak." Nadira semakin menunjukkan muka kesal.
"Kalau saya bilang, kamu pasti keberatan. Dan lagi, Ayah kamu punya hak tahu keberadaan anaknya. Kalau tidak ada kabar, ayah kamu bisa saja melapor ke polisi."
Nadira mendengkus. Ia tahu Adhinata benar, tetapi tetap saja merasa tidak senang. "Terus, Bapak bilang apa ke ayah?"
Adhinata berdiri, menyilangkan tangan di depan dada. "Saya bilang, saya nemu kamu di jalan. Sudah, itu saja. Tidak ada kebohongan, 'kan?!"
"Nemu. Emangnya saya apaan? Dan lagi, memangnya ayah percaya?" tanya Nadira curiga. Ayahnya bukan orang yang mudah mempercayai orang sembarangan.
Adhinata mengangguk. "Tentu saja. Saya bilang kalau saya guru kamu, dia langsung tenang. Sepertinya dia menganggap saya orang yang bisa dipercaya."
Nadira melipat tangan di depan dada, masih kesal. "Jadi sekarang ayah tahu saya ada di sini?"
"Ya," jawab Adhinata tegas. "Dan itu seharusnya membuat kamu merasa lebih lega, bukan malah mengomel."
Nadira terdiam, menggigit bibirnya. Ia memang lega karena Ayah tidak akan mencari, tetapi situasi ini membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
"Sudahlah, sekarang tidur," ujar Adhinata lagi. "Kamu sudah cukup menyulitkan saya untuk satu hari ini."
"Apa Bapak menyesal menolong saya?" tanya Nadira pelan.
Adhinata menghela napas panjang, lalu menatap gadis itu dengan sorot mata serius. "Kalau saya menyesal, saya tidak akan membawa kamu ke sini. Jangan pikirkan hal yang tidak perlu."
Nadira hanya mengangguk kecil, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar yang ditunjukkan Adhinata. Pintu kamar itu sederhana, dengan cat putih polos. Begitu ia membukanya, ia mendapati ruangan yang rapi dan bersih. Tempat tidur single dengan seprai biru muda, meja belajar di sudut, dan lemari kayu kecil.
Dia menutup pintu perlahan, lalu membaringkan badan, membiarkan tubuhnya terhempas di atas kasur yang terasa empuk dan nyaman. Meskipun lelah, pikirannya terlalu penuh untuk terlelap. Ia memikirkan keputusan gilanya. Meminta Adhinata menjadi pacar pura-pura jelas bukan langkah biasa.
Sementara itu, di ruang tamu, Adhinata memutuskan untuk membereskan meja dari peralatan bekas makan. Nasi goreng miliknya bahkan masih banyak tersisa. Pria itu sudah tidak nafsu untuk menghabiskan.
Ia mencuci piring dengan gerakan cepat tetapi teratur. Setelah selesai, ia duduk kembali di sofa, mencoba membaca buku yang ada di rak. Namun, pikirannya terus berputar pada satu hal. Keputusan untuk menyetujui permintaan Nadira.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumamnya pelan, berbicara kepada dirinya sendiri.
Sedangkan di kamar, Nadira memandang langit-langit ruangan yang kosong, mencoba mencerna semuanya. Adhinata adalah pria yang dingin, tegas, tetapi anehnya, ia merasa ada sisi lain darinya yang tulus. Bagaimana mungkin pria yang selama ini terkenal kaku bersedia membantunya dengan cara seperti ini?
Ia merasa bersalah. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Adhinata mungkin harus ikut menanggung risiko besar. Nama baiknya sebagai guru, bahkan pekerjaannya, bisa saja terancam.
Ketukan pelan di pintu mengagetkan Nadira.
"Ya?" jawabnya.
Pintu terbuka sedikit, dan kepala Adhinata menyembul di baliknya. "Lampu akan saya matikan sebagian. Kalau ada apa-apa, panggil saja. Tidur yang nyenyak."
"Oh, iya, Pak. Makasih. Tapi lampu kamar biar tetap nyala, ya. Saya takut gelap soalnya," balas Nadira pelan. Walau bagaimanapun, ia harus tetap sopan. Adhinata juga tidak lagi terlihat seperti predator anak. Jadi, sepertinya aman.
Adhinata mengangguk, lalu menutup pintu. Pria itu kembali ke ruang tamu lalu mematikan lampu utama, membiarkan hanya lampu kecil di sudut dapur yang menyala. Ia berbaring di sofa, mencoba menyesuaikan posisi. Sofanya terlalu pendek untuk tubuhnya yang tinggi, tetapi ia tidak peduli.
Matanya terpejam, tetapi suara pintu kamar yang terbuka pelan membuatnya kembali membuka mata.
"Kenapa?" tanyanya pada Nadira yang berjalan mendekat. Pria itu pun kembali mendudukkan badan.
Terlihat ragu, Nadira meletakkan bantal dan selimut yang ia bawa, di samping Adhinata. “Bantal sama selimut Bapak."
Adhinata mengangguk. "Hm."
"Saya boleh bicara sebentar?" tanya Nadira kemudian.
Nata tidak menjawab, tetapi Nadira tahu pria itu mempersilakan. Raut wajah datar tersebut seperti menunggu ia bicara.
"Saya tahu Bapak sebenarnya tidak mau terlibat dalam urusan saya. Tapi, saya janji, saya nggak akan menyusahkan Bapak lebih dari ini."
Adhinata menatap gadis itu lama, lalu mengangguk. "Pastikan kamu menepati janji itu."
Pria itu menata bantal dan mulai membaringkan badan.
"Akan saya coba." Nadira tersenyum tipis. "Ya sudah, saya balik ke kamar lagi, ya, Pak. Selamat malam."
Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, Adhinata berbicara lagi.
"Nadira."
Gadis itu menoleh.
"Besok saya antar kamu pulang," ucap Adhinata.
Nadira mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"
"Pagi-pagi sebelum ke sekolah, saya antar kamu pulang," ujar Adhinata dengan nada yang serius. "Sekalian mau ketemu sama ayah kamu."
"Ngapain?" Kening Nadira mengernyit.
"Kenalan sama calon mertua," jawab Adhinata ringan, seolah tanpa beban.
"Bapak jangan aneh-aneh, deh. Kalau ayah enggak nanya, ya gak usah bilang apa-apa," sahut Nadira.
"Ya sudah kalau tetap mau dijodohkan. Itu, sih, bukan urusan saya." Adhinata melebarkan selimutnya, menutup permukaan badan hingga sebatas dada.
"Duh, iya juga, ya." Nadira menggaruk kepala.
Adhinata mengangguk. "Bagus kalau paham. Sekarang, tidur sana."
"Baiklah, tapi besok gimana cara ngomongnya ke ayah?" Nadira gelisah.
"Serahkan sama saya." Adhinata percaya diri.
"Ok, deh, Pak. Makasih."
Nadira menuruti untuk segera tidur, tetapi ketika ia kembali ke kamar dan berbaring, pikirannya tetap tidak tenang. Ia mulai memikirkan sesuatu yang belum ia tanyakan.
Bukan mengenai dirinya. Akan tetapi, tentang Adhinata.
Apakah pria itu tinggal sendirian? Tempat ini pun jauh dari keramaian. Satu lagi keanehan, Adhinata memiliki kendaraan yang bagus, modern, elegan, dan terlihat mahal. Kenapa rumah tinggalnya begitu sederhana? Style pria itu juga tidak seperti guru pada umumnya. Terlalu kece, kalau kata Nadira.
Ah, ini pasti karena aku kebanyakan nonton drama sama baca novel. Dahlah, tidur aja.
Ketika Nadira akhirnya merasakan kantuk menyerang, ia mendengar ponsel Adhinata berdering di ruang tamu sana. Suara pria itu terdengar pelan tetapi cukup jelas. Mengingat rumah tersebut tak cukup luas.
"Hm. Kenapa?"
Jeda. Mungkin pria itu sedang mendengarkan sahutan dari seberang.
"Berapa kali gue bilang? Jangan paksa gue pulang. Lo paham?"
Nadira menggigit bibir. Siapa yang menelepon Adhinata? Apa yang sebenarnya pria itu bicarakan?
Suara Adhinata terngiang.
'Jangan paksa gue pulang?'
Jangan bilang, dia sendiri juga sedang dalam pelarian. Astaga, ini gak bener. Gadis itu membatin gusar.
Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apakah Adhinata menyembunyikan sesuatu darinya?
"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu
Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca
Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak
Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya
Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m
Adhinata duduk di sofa, setelah tadi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Tangan kiri memegang ponsel, sementara tangan kanannya menggulung lengan baju hingga siku. Wajahnya yang tadi tampak lelah, kini sedikit lebih segar. Ia melirik Nadira, yang masih memegang sendok dengan ekspresi kebingungan. Tidak fokus, jadi makannya lama."Sudah selesai makan? Kalau sudah, pergi tidur. Kamar di sebelah kanan," kata Nata, nada suaranya terdengar seperti perintah biasa.Nadira menoleh, tak segera merespon. Matanya memperhatikan Adhinata yang terlihat begitu santai. "Kamar? Maksud Bapak, saya tidur di kamar Bapak?"Adhinata mengangguk ringan. "Ya. Kamu tidur di kamar. Saya di sofa. Jangan berpikir kita akan tidur bersama."Mata Nadira membesar, dan menggeleng cepat. "Enggaklah."Kemudian gadis itu melirik sofa kecil di belakangnya. "Tapi, sofanya kecil, Pak. Bapak bakal pegel tidur di sini.""Itu urusan saya," balas Adhinata singkat. Ia meletakkan ponselnya di meja. "Saya sudah menghubu
Malam kian beranjak saat Adhinata memarkir mobilnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Ia turun lebih dulu, kemudian membuka pintu penumpang dengan gerakan yang tegas."Turun," katanya tanpa basa-basi.Nadira melirik pria itu dengan ragu. Lantas pandangannya beralih ke arah sebuah rumah di depannya. Saat ini, mobil terparkir di halaman yang tak terlalu luas, tetapi cukup lega. Tubuhnya sudah lebih baik sekarang, setelah menghabiskan satu kantong infus di klinik tadi. Dokter telah mengatakan tidak perlu rawat inap, tetapi Nadira tidak mau pulang.Jujur, suasana sangat canggung sekarang sejak terakhir percakapan. Bukan hanya perkara permintaan Nadira yang ingin menjadikan Adhinata pacar, tetapi juga karena Nadira yang menolak pulang ke rumahnya sendiri setelah dokter menyatakan dia tidak perlu dirawat.Nadira menautkan jemarinya. Gelisah. "Anu, Pak—""Saya bilang turun. Jangan bikin saya bicara dua kali." Suara Adhinata tetap tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Nadira tak ingin m
Cahaya putih menyilaukan mata Nadira yang perlahan terbuka. Pandangan buram, seperti ada selubung kabut yang menutupinya. Tubuh gadis itu terasa lemas, dan denyut pelan di pelipis membuat setiap gerakan kecil menjadi menyakitkan. Sensasi kebas di punggung tangan kiri, memaksanya menoleh dengan susah payah. Sebuah jarum infus menancap di kulitnya, dengan cairan bening yang mengalir lambat.Udara ruangan terasa steril, bercampur dengan aroma khas obat-obatan. "Aku di mana?" Nadira mendesis lirih."Di klinik." Suara rendah dan tenang itu terdengar.Suara itu ... Nadira mengenalnya. Ia memutar kepala ke arah sumber suara, lalu mendapati sosok pria berperawakan tegap dengan wajah datar. Berdiri bersandar pada dinding ruangan, dengan kedua tangan terlipat di dada."Pak Nata?" Nadira sedikit terperanjat melihat gurunya—yang malam ini tampil dengan style berbeda. Layaknya anak muda pada umumnya. Mengenakan celana jeans, dan hoodie abu-abu membalut badan.Pria itu menegakkan badan, ekspresinya
Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup."Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya."Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental."Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir."Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak
Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan Nadira menyeret langkah menjauhi gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terasa lelah, setelah hampir seharian penuh menjalankan hukuman. Untung ada petugas kebersihan sekolah yang datang membantunya.Alhamdulillah.Ya, akhirnya gadis tujuh belas tahun itu memilih untuk membersihkan seluruh toilet daripada dicium sama si guru galak itu di hadapan seluruh warga sekolah."Kayaknya Pak Nata udah gak waras," gumamnya sepanjang jalan. Gadis itu geleng-geleng kepala dengan perilaku gurunya."Kasihan. Kelamaan ngejomlo sepertinya. Sampai nekat mau nyium murid sebagai pelampiasan." Nadira bahkan bergidik ngeri membayangkan tingkah Adhinata.Kaki Nadira sudah pegal, tetapi dia belum juga mendapatkan tumpangan. Mau naik kendaraan umum pun harus jalan kurang lebih seratus meter untuk tiba di tepian jalan raya.Biasanya Pak Supri—sang sopir pribadi—yang menjemputnya. Namun, karena rencana membolos siang tadi, dia pun sudah mewanti-wanti Pak Supri untuk tidak usah menca
"Masuk kelas sekarang juga, Rara! Jangan coba-coba membolos lagi, atau saya gantung kamu di tiang bendera."Seruan bernada tegas itu seketika membuat Nadira menghentikan pergerakan dan spontan melebarkan mata. Menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan memasang cengiran konyol setelahnya."Eh, Pak Nata," ucap Nadira canggung.Gadis yang semula memanjat gerbang belakang sekolah itu pun terpaksa melompat turun, setelah melepas pegangan dari jeruji pagar."Halo, Pak. Selamat pagi menjelang siang." Siswi bernama lengkap Nadira Amaya dan akrab dipanggil Rara itu mencoba berkelakar. Tangannya melambai kikuk ke arah sang guru galak. Berakting senatural mungkin agar tak terlihat bersalah.Pengampu mata pelajaran matematika merangkap guru BK, dan juga wali kelas Nadira—bernama Adhinata Rahagi itu mengangkat sebelah alis mendengar sang murid memberikan reaksi. Wajah anak di depannya ini begitu manis, tetapi tidak dengan kelakuannya yang selalu membuat tekanan darah semakin naik."Dalam satu