Setelah melalui beberapa proses psikotest dan interview kerja, Rindu akhirnya diterima sebagai salah satu karyawati di Perusahaan Ritel terbesar di Indonesia itu.
Sebagai seorang sarjana ekonomi, Rindu mendapat posisi bagus di kantor cabang baru itu menggantikan sementara posisi sekretaris CEO yang kebetulan sedang cuti melahirkan.
PT. He-Market Trijaya Tbk bergerak dalam bidang distribusi eceran produk konsumen dengan mengoperasikan jaringan mini market, dengan nama "He-Mart". Jaringan mini market terdiri dari minimarket, dengan kepemilikan langsung dan berdasarkan perjanjian waralaba.
Jaringan ini sangat luas dan sudah mencakup hampir di setiap pelosok daerah di Indonesia.
Itulah sebabnya perusahaan ini berkembang pesat dan menjadi salah satu perusahaan besar yang menjanjikan.
Ini hari pertama Rindu bekerja.
Dia sengaja bangun pagi-pagi buta untuk membuat sarapan terlebih dahulu.
Karena sudah memiliki pekerjaan, Rindu dan Albani memberanikan diri untuk meminjam uang pada tetangga mereka terlebih dahulu sebagai penyambung hidup. Untungnya, tetangga di kontrakan sebelah yang bernama Bu Risma orangnya baik.
Beliau adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang ikan dan ayam mentah di pasar tradisional daerah pasar baru. Suaminya sudah lama di vonis stroke dan di urus oleh anak sulung Bu Risma di rumah.
Bu Risma orangnya supel dan gaul. Dia seringkali menggoda Rindu dan Albani karena tahu ke duanya adalah sepasang pengantin baru.
Kecantikan Rindu yang cukup menarik perhatian warga sekitar kontrakannya terkadang menjadi bahan pembicaraan Bu Risma.
"Hati-hati loh, Nak Bani, punya istri cantik begitu jangan di tinggal-tinggal, banyak kucing garong ples buaya darat di Jakarta," canda Bu Risma ketika dirinya berpapasan dengan Albani sewaktu pulang dari pasar sehabis berjualan.
"Santai, Bu. Rindu nggak akan kemana-mana, hatinyakan udah saya gembok," balas Albani yang juga suka bercanda.
Ke dua tetangga itu cepat akrab.
Itulah sebabnya Rindu dan Albani tidak begitu sungkan ketika memutuskan untuk meminjam uang.
Usai membuat sarapan, Rindu beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya.
"Mas, Mas, bangun Mas. Sarapan yuk," ajaknya sambil berbisik di telinga Albani.
Albani menggeliat dan memicingkan mata. Dia mengintip ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.
Aroma semerbak tubuh Rindu yang sudah rapi dengan seragam kerjanya menusuk rongga penciuman Albani.
"Wangi banget?" ucapnya menatap Rindu sambil sesekali menguap.
"Ya akukan mau kerja, Mas. Ayo cepet bangun!" Rindu menarik lengan Albani.
"Iya-iya,"
Dengan langkah sedikit sempoyongan Albani berjalan menuju kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok gigi baru setelah itu dia melongok ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini.
Nasi goreng + telur ceplok.
Selera makan Albani pun langsung terbit.
Dia menyendok satu centong nasi goreng dan mengambil satu telur ceplok dan membawanya ke depan.
Dilihatnya Rindu sedang bermake up.
"Jangan tebel-tebel dandannya, nanti Bos kamu naksir lagi," goda Albani pada sang istri.
Rindu menghentikan aktifitasnya. Dia menatap Albani dengan tatapan yang sulit diartikan.
Setelah mengetahui posisi pekerjaan yang diperoleh Rindu diperusahaan sebagai seorang sekretaris, sikap Albani sedikit berubah. Lelaki itu terlihat lebih cuek atau bisa dibilang seperti tidak ikhlas melepas sang istri bekerja.
"Mas, kamu kenapa sih? Sejak awalkan aku udah izin untuk bekerja dan kamu mengizinkan, tapi semakin ke sini kok kamu malah kayak orang nggak suka gitu aku kerja?" ucap Rindu serba salah.
Albani tampak santai menyantap sarapannya. Seolah tidak mendengar perkataan Rindu.
"Mas!" gertak Rindu yang jadi kesal padahal dia sudah susah payah mendapatkan pekerjaan demi kelangsungan hidup mereka berdua karena sampai saat ini Albani belum juga bekerja tapi balasannya, Albani malah mengacuhkannya.
"Mas, dengerin dong kalo aku ngomong!"
"Iya aku denger," sahut Albani kemudian. Lelaki itu menghentikan sejenak sarapannya dan beralih menatap sang istri. "Aku izinkan kamu bekerja karena aku belum mendapat pekerjaan. Kalau nanti ekonomi kita sudah membaik dan aku sudah bekerja, aku mau kamu berhenti. Cukup di rumah, tunggu aku pulang kerja dan jadi istri yang baik buat aku. Apalagi kalau nanti kamu hamil, aku nggak mau kamu sampai cape-cape kerja," jelas Albani panjang lebar sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan sarapannya.
Rindu tersenyum dalam hati.
Dia tahu Albani memang sangat menyayanginya.
Sikap Albani yang berubah mungkin akibat imbas dari ketidakberdayaan lelaki itu saat ini.
"Iya, aku ngerti. Aku bakal turutin apa kata kamu kok Mas," jawab Rindu dan menyudahi rutinitas make upannya. Rindu memasukkan bekal dan botol minum ke dalam tas jinjingnya dan hendak berpamitan.
"Aku berangkat dulu ya,"
"Loh, kamu nggak sarapan?"
"Aku bawa bekal, takut telat. Kamu tahu sendiri Jakarta macetnya kayak apa. Masa hari pertama aku udah terlambat,"
Albani bangkit dan mengantar sang istri ke tepi jalan untuk menunggu angkutan umum.
"Nanti sore pulang jam berapa?" tanya Albani.
"Paling jam empat,"
"Hati-hati ya. Sarapannya di makan, nanti kamu sakit lagi nggak sarapan,"
"Iya Mas,"
Setelah mencium tangan sang suami, Rindu pun berangkat dengan menaiki angkutan umum jurusan pasar baru.
Albani terus menatap angkutan umum yang membawa Rindu pagi itu.
Maafin aku, Ndu...
Mungkin, kalau aja aku nggak egois dengan menarik kamu masuk ke dalam kehidupan aku yang serba sulit, bisa jadi hidup kamu nggak akan susah seperti sekarang...
Bisik Albani membatin sebelum akhirnya dia kembali melangkah menuju kontrakannya.
Dia hendak bersiap-siap untuk kembali berpetualang agar lekas mendapat pekerjaan.
Demi Rindu.
*****
Bulan madu yang dilalui Fahri dan Adel di Switzerland begitu menakjubkan.
Walaupun Swiss tergolong negara kecil di Eropa, namun untuk urusan pariwisata bisa dibilang nomor satu. Negara Switzerland berbentuk konderasi dan setiap region atau canton dan kota bisa dibilang unik.
Fahri dan Adel membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu untuk bisa puas berkeliling negara Swiss.
Mereka memulai perjalanan dari canton St. Gallen dekat border Austria hingga Geneva di dekat border France dan menghabiskan waktu beberapa hari di sana lalu melanjutkan perjalanan ke Lugano Locarno di canton Ticino wilayah selatan berbatasan dengan Italia. Masing-masing wilayah mempunyai kekhasan sendiri, objek wisata yang unik, juga bahasa yang berbeda-beda.
Mendekati waktu-waktu terakhir bulan madu, mereka memilih kota Zurich sebagai destinasi penutup liburan mereka.
Tiba di Zurich menggunakan pesawat Swiss Air dari Frankfurt. Walaupun masih musim dingin dan banyaknya delay pesawat karena salju, untungnya mereka bisa tiba tepat waktu, jadi sisa waktu bulan madu mereka tidak terbuang sia-sia hanya untuk menunggu keberangkatan pesawat.
Transportasi utama untuk berkeliling kota Zurich adalah menggunakan tram. Jalur tram meng-cover hampir seluruh kota dan sangat efisien.
Selesai check-in di hotel dan menyimpan koper, saatnya pasangan pengantin baru itu mengeksplorasi kota Zurich.
Walaupun Zurich tergolong kota yang besar, namun untuk tempat wisata rata-rata dapat dijelajah cukup dengan jalan kaki.
Adel dan Fahri menghabiskan waktu pagi mereka dari stasiun kereta pusat Zurich Hbf, semacam shopping centre yang cukup besar mulai dari toko menjual makanan dan snack ringan, restoran, hingga toko jam dan coklat.
Di sana, Fahri membelikan Adel sekotak besar chocolate truffle di toko Luxemburgerli karena lelaki itu tahu kalau sang istri pecinta coklat.
"Aku tau kenapa kamu belikan aku coklat segini banyak?" ucap Adel saat itu ketika mereka sedang berjalan bergandengan tangan menyusuri Bahnhofstrasse, jalan panjang di depan stasiun.
Fahri hanya tersenyum memperhatikan Adel yang tampak bersemangat pagi ini.
"Kamu pasti berharap aku bakalan gendut, terus aku berhenti deh jadi model, iyakan?" todong Adel dengan ujung jari telunjuknya yang mengarah ke wajah sang suami.
Fahri menarik tubuh Adel dan merangkulnya. Cuaca dingin membuat hembusan napas mereka kian berasap.
"Kok kamu pinter sih?" candanya sambil tertawa kecil.
"Iya dong, Adel..." ucap Adel sok bangga.
Lalu mereka tertawa bersamaan.
Puas berbelanja, mereka memutuskan untuk kembali ke Hotel sejenak untuk menaruh barang belanjaan mereka sebelum melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka sore ini.
Sambil menatap indahnya kota Zurich yang berbalut salju tebal dari balkon hotel, Fahri dan Adel berdiri saling memeluk.
Sesekali mereka bercumbu memagut bibir.
Cumbuan Adel selalu sukses membuat Fahri melayang.
Ciuman maut Adel di bibirnya memabukkan. Membuat lelaki itu ketagihan hingga sulit untuk berhenti.
Dengan nafas terengah, keduanya menyudahi ciuman panas mereka dan menyatukan kening. Ke dua tangan Adel melingkar kuat di leher Fahri sementara Fahri memeluk erat pinggul sang istri.
"Kenapa dua minggu ini berasa cepet banget ya?" ucap Fahri setengah berbisik.
Adel tersenyum dan memberi jarak wajah mereka. Ditatapnya wajah Fahri yang tampan itu.
"Kita masih punya banyak waktu, Beb," bisik Adel.
"Mungkin waktu seribu tahun nggak akan cukup buat aku melalui hidup sama kamu, Del. Aku sayang banget sama kamu,"
Adel langsung mencibir. "Yakin? Kitakan baru menikah dua minggu, wajar kamu ngomong begitu. Coba sepuluh tahun kemudian, apa kamu masih bisa ngomong kayak gitu ke aku? Apalagi kalau nanti aku udah melahirkan terus aku gendut, aku nggak seksi lagi, nggak cantik lagi, dasar lelaki!" Adel menepuk dada Fahri dan menjauh. Dia berdiri menghadap kota Zurich sambil bersidekap.
Fahri tertawa kecil dan langsung menarik kembali tubuh istrinya ke dalam pelukan seraya menciumi leher Adel berkali-kali membuat Adel meronta geli.
"Kamu itu kalau lagi ngomel gemesin tahu nggak," seru Fahri tanpa melepas pelukannya.
Adel hanya tersenyum masam. "Gombal,"
"Besok kita langsung pindah ke Jakarta ya. Kantor cabang baru di Jakarta sudah buka, Papah meminta aku yang mengurusnya," beritahu Fahri saat itu. Kebetulan, Adel juga memang ada pekerjaan di Jakarta untuk pemotretan.
"Nanti kita tinggal di rumah bekas ortu kamu atau gimana?" tanya Adel.
"Ya untuk sementara kita di sana dulu. Aku harap sih kamu betah. Tapi kalau nggak, nanti kita bisa beli rumah baru,"
Adel hanya mengangguk tanda setuju.
"Beb, dingin," panggil Fahri kemudian disertai kerlingan nakal ke arah tempat tidur.
Adel tahu maksud suaminya itu.
Bahkan belum sempat Adel menjawab, Fahri sudah lebih dulu membopong tubuh istrinya ke dalam kamar dan menghempaskannya ke atas tempat tidur untuk menuntaskan apa yang tadi sudah mereka mulai.
Kehadiran Rindu di kantor cabang baru itu mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak yang kebanyakan berasal dari kubu kaum adam.Kecantikan Rindu seolah mengguncang seluruh divisi bagian di dalam kantor untuk mencari tahu siapa karyawati baru yang beruntung karena bisa menempati posisi paling diminati berbagai pihak yakni sebagai sekretaris dari Direktur utama mereka, yang konon katanya kini beralih tangan kepada anak si pemilik perusahaan.Seorang lelaki tampan bergelar sarjana Master lulusan salah satu Universitas terkemuka di USA."Wah, kalau sekretarisnya model begitu sih, udah pasti jadi simpenannya Pak Hendrawan," celetuk salah satu karyawati di divisi perencanaan. Sesekali dia melirik Rindu yang sibuk di kubikel kerjanya."Sayangnya punya Pak Hendrawan udah meletoy kali nggak bisa lurus dan tegak lagi," sahut karyawati lain yang disambut dengan cekiki
Ini hari pertama pasangan Fahri dan Adelia menempati kediaman mereka di Jakarta sepulang mereka berbulan madu dari Swiss.Sebuah rumah mewah nan megah yang didominasi dinding kaca dengan halaman super luas dan kolam renang big size di taman belakang yang merupakan peninggalan ke dua orang tua Fahri sebelum Pak Hendrawan dan Nyonya Heni memutuskan untuk menghabiskan masa tua mereka di kampung halaman Pak Hendrawan di Surabaya.Hari ini Fahri sudah harus masuk kantor karena pagi ini akan ada rapat penting bersama dewan direksi dan beberapa Relasi Bisnis dari perusahaan asing untuk membahas kerjasama demi memperluas cakupan jaringan Bisnis perusahaannya yang hendak dia kembangkan di luar negeri.Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi tapi Fahri sudah terlihat rapi dengan setelan kantornya yang membuat dirinya terlihat semakin gagah dan tampan.Sejak keci
"Jadi kamu sekretaris baru disini?" tanya Fahri pada Rindu yang kini duduk dihadapannya."Iya, Pak," Rindu mengangguk tanpa berani menatap Fahri. Kepala perempuan itu terus saja menunduk bahkan sejak pertama kali dirinya memasuki ruangan sang direktur.Fahri masih menatap Rindu.Entah kenapa, sepertinya wajah Rindu tidak begitu asing meski dia sendiri pun tidak tahu sebenarnya apakah dia pernah bertemu dengan Rindu sebelum hari ini?"Sudah menikah?" tanya Fahri lagi."Sudah Pak," Rindu kembali mengangguk.Fahri ikutan mengangguk. Sekelebat ingatan tentang kejadian di lift tadi kembali berputar dikepalanya, membuat lelaki itu tersenyum.Fahri berpikir, pasti saat ini Rindu malu sekali karena telah salah mengira orang. Itulah sebabnya, sejak tadi dia terus saja menunduk t
Malam itu Rindu tidak bisa tidur. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam namun sang suami tak kunjung pulang. Bahkan setelah percakapan anehnya di telepon dengan seorang wanita yang memakai nomor ponsel suaminya, selepas maghrib tadi, membuat hati Rindu semakin dibuat gelisah. Bagaimana tidak, jika ponsel suami kita tiba-tiba saja dipegang oleh seorang wanita tak dikenal, istri manapun pasti langsung curiga, tak terkecuali Rindu. Setelah puas mundar-mandir seperti setrikaan di teras kontrakan menunggu kepulangan Albani, Rindu pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan membenamkan tubuhnya di balik selimut di ruang tamu. Padahal di luar tidak hujan, tapi entah kenapa Rindu merasa tubuhnya menggigil. Beberapa menit berlalu, kelopak mata Rindu sudah terpejam, namun suara deritan pintu yang terbuka membuat Rindu kembali terjaga. Saat Rindu membuka mata, didapatinya keadaan kontrakan begitu gelap. Apa iya mati lampu? Piki
Sudah dua hari berlalu tanpa Fahri dan Adel saling bertemu karena kesibukan Adel yang harus melakukan pemotretan keluar kota. Rencananya malam ini Adel akan pulang. Setelah menyantap makan malamnya seorang diri, Fahri langsung beranjak ke kamar untuk mengecek beberapa laporan yang harus dia tanda tangani. Fahri baru saja memasuki kamarnya ketika dia mendengar suara deru mesin mobil yang berasal dari arah bawah halaman depan rumahnya. Kebetulan kamar Fahri dan Adel yang terletak di lantai dua itu memiliki jendela yang mengarah ke halaman depan pekarangan rumah mereka yang luas. Saat itu Fahri melihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman utama kediamannya. Seorang lelaki keluar dari arah kemudi dan membukakan pintu mobil disebelahnya yang dihuni oleh seorang perempuan cantik yang tak lain adalah Adelia, istrinya. Sebelum pergi ke duanya sempat bercakap di dekat mobil terparkir, lalu si lelaki sempat mengecup pipi kanan dan kiri Adel sebelum beranjak ma
Hari ini Rindu sengaja berdandan lebih menor dibanding hari biasanya. Bukan karena dia genit hanya saja Rindu tidak ingin Albani melihat wajahnya yang pucat karena kondisi tubuhnya yang terasa semakin memburuk.Hari ini Rindu harus menemani sang Bos untuk meeting dengan klien penting yang berasal dari luar negeri. Dia harus hadir sebab Rindu tak ingin mengecewakan Fahri terlebih membuat lelaki itu repot karena semua proposal penting untuk meeting Rindu yang menyimpannya."Mas, nanti kamu beli makan siang diluar aja dulu ya, aku cuma masak untuk sarapan aja Mas, nggak sempet," ucap Rindu beralasan padahal bukannya tidak sempat, hanya saja Rindu harus menyimpan energinya sampai dia meeting nanti. Rindu tak mau kejadian tempo hari saat dia tiba-tiba memuntahkan isi perutnya ke jas mahal Fahri terulang.Albani yang saat itu baru selesai menunaikan shalat shubuh hanya mengiyakan perkataan Rindu.Seperti biasa, Albani mengantar sang istri hingga Rindu m
Adel baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dia hendak pulang meski rasanya enggan.Pertengkaran kecil yang terjadi antara dirinya dengan sang suami tadi malam membuat Adel jadi malas bertatap muka dengan Fahri."Del, ayo gue antar pulang," ajak seorang lelaki bertubuh tegap dengan gayanya yang maskulin.Lelaki itu duduk di sebelah Adel yang masih merapikan riasannya."Gue lagi males pulang, Mar," ucap Adel cepat."Loh? Kenapa? Lo berantem sama Fahri?" tanya lelaki bernama Damar itu.Adel mengesah. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Iya," jawabnya singkat dan tak bersemangat.Damar tertawa kecil. "Emang si Fahri kenapa lagi? Dia suruh lo pake hijab lagi?""Bukan,""Terus?"Adel menatap Damar. "Fahri larang gue untuk jadi model majalah dewasa,"Damar berdecak jengkel. "Sejak awal guekan udah bilang supaya lo pikir seribu kali untuk ambil keputusan menikah dalam waktu dekat,
"Rindu, ke ruangan saya sekarang," panggil Fahri siang itu.Ini hari ke sepuluh setelah dua manusia itu bekerja tanpa bertegur sapa di kantor.Rindu menyudahi aktifitas makan siangnya dan buru-buru melaksanakan perintah.Setelah merapikan sedikit penampilannya, Rindu pun masuk ke ruangan sang atasan.Dilihatnya Fahri tampil sempurna seperti biasa. Rapi dengan jas dan dasi yang selalu serasi dengan warna jas yang dia pakai.Meski saat itu, wajah Fahri tampak lelah dan tidak bersemangat."Ada apa, Pak?" tanya Rindu begitu dirinya sudah menghadap."Kamu sudah makan siang?" tanya Fahri seraya menutup layar laptop di meja kerjanya."Sudah, tapi belum habis," jawab Rindu dengan kejujuran penuh."Bawa bekal?" tanya Fahri lagi.Rindu mengangguk, "Iya Pak,""Mau temani saya makan siang?"Kali ini, Rindu jadi tertegun.*****Tak memiliki alasan, Rindu pun menyanggupi a