Satu bulan berlalu.
Kehidupan yang dijalani Rindu dan Albani di Jakarta kian sulit.
Usaha Albani mencari pekerjaan tak juga membuahkan hasil padahal sisa uang simpanannya sudah pailit.
Belum lagi ditambah biaya sewa kontrakan yang sudah mendekati tempo.
Albani benar-benar kebingungan.
Kesana kemari dia melamar pekerjaan, berbekal ijazah SMAnya tapi selalu saja ditolak.
Nyatanya, benar apa yang dikatakan Syarif sahabatnya di kampung mengenai kejamnya kota metropolitan. Jika tidak kuat-kuat iman, banyak orang yang pada akhirnya menyerah pada keadaan dengan cara menghalalkan segala cara demi mempertahankan hidup.
Seharian ini setelah lelah berjalan kaki mengunjungi kantor, pabrik, ruko dan mall-mall di selatan Jakarta, Albani memutuskan untuk beristirahat di trotoar pejalan kaki sekedar merelaksasi otot-otot kakinya yang mulai keram dan kesemutan.
Sisa uang yang dia miliki di dalam dompetnya hanya cukup untuk ongkos pulang.
Adzan maghrib terdengar berkumandang dikejauhan, Albani pun beranjak dari tepi trotoar untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini dia memutuskan untuk pulang.
Lelaki berkemeja putih itu masih menunggu metromini, ketika tiba-tiba ponselnya tiba-tiba berdering.
My wife calling...
Albani langsung mengangkatnya.
"Halo Mas? Kamu kok belum pulang udah gelap begini?" suara Rindu terdengar di seberang. Dari nada bicaranya, Albani bisa menebak pasti Rindu sangat mengkhawatirkan dirinya.
"Ini juga mau pulang, sayang," sahut Albani.
"Aku hari ini nggak masak. Gasnya habis. Mau beli uangnya kurang. Kamu beli lauk diluar ya, nanti aku masak nasi,"
Albani menarik napas lelah. Merasa bersalah. "Iya, nanti aku belikan lauk. Kamu mau apa?" tanya Albani saat itu.
"Beli bakso aja sayang, kayaknya enak uyup kuah bakso campur nasi hangat, hehehe," kekeh Rindu yang memang sangat menyukai bakso.
"Oke, nanti aku belikan bakso buat kamu. Udah dulu ya, aku mau naik metromini dulu,"
"Iya. Kamu hati-hati di jalan. Muach," Rindu memberikan kecupan jarak jauh dan Albani pun membalasnya.
Sambungan telepon itu pun terputus.
Metromini lewat, namun Albani tidak jadi naik.
Dia menatap selembar uang sepuluh ribu di dompetnya.
Jika dia naik metromini itu, sudah jelas dia tidak bisa membelikan bakso untuk Rindu.
Jadilah, Albani kembali berjalan kaki menempuh perjalanan untuk kembali ke kontrakannya malam itu.
Demi satu porsi bakso untuk Rindu.
*****
Hari sudah larut.
Namun sang suami belum juga pulang.
Rindu tidak bisa tidur.
Wanita berdaster helokitty itu terlihat mundar-mandir di depan teras kontrakannya sambil terus mencoba menghubungi Albani. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi tatkala panggilan dan sms nya tak juga mendapat balasan.
Kamu kemana sih Mas?
Tanya hati Rindu.
Lamat-lamat, sesosok tubuh manusia yang tertangkap indra penglihatannya berjalan gontai dari kejauhan membuat wajah Rindu berbinar.
Saat sosok itu semakin dekat, Rindu langsung mencecarnya dengan segala pertanyaan.
"Lama banget sih pulangnya? Kamu kemana dulu? Aku teleponin nggak di angkat! Aku sms nggak di bales! Aku khawatir tau! Nyebelin ihk!"
Albani tersenyum lebar mencoba menyembunyikan gurat lelah di wajahnya.
"Iya maaf. Tadi aku keasikan ngobrol sama tukang rokok," jawab Albani terpaksa berbohong. "Nih baksonya, makan gih. Kamu pasti udah laper?" dia memberikan sebungkus bakso yang dibelinya di depan gang pada sang istri.
Rindu menerimanya meski wajahnya masih saja ditekuk.
"Jangan cemberut gitu dong, cantiknya ilang tuh," goda Albani seraya mencuil ujung hidung istrinya yang bangir.
"Dapet kerjaannya Mas?" tanya Rindu meski dia sudah bisa menebak apa jawaban Albani. Suaminya itu tak bisa menyembunyikan apapun dari Rindu.
"Belum,"
Rindu memulas senyum tipis. "Kamu udah makan?" tanyanya ketika Albani sedang membuka sepatu.
"Udah," jawab Albani tanpa membalas tatapan Rindu. Dia takut ketahuan berbohong.
"Makan apa? Makan angin?" tanya Rindu seolah tahu kalau suaminya berbohong.
Albani kembali tersenyum.
"Kamu makan aja duluan. Aku mau mandi dulu," Albani beranjak ke dapur dan mengambil handuk di pintu.
Rindu mengekor langkah Albani.
"Aku beli kerupuk dulu," ucap Rindu setelah mengambil mangkuk dan piring.
Beberapa menit kemudian, tubuh Albani sudah lebih segar usai mandi, dilihatnya Rindu duduk di atas tikar di ruang depan sambil memainkan ponselnya.
"Loh, kok belum di makan?" tanya Albani yang memposisikan diri di sebelah sang istri.
"Kita makan berdua," kata Rindu yang langsung menuangkan kuah bakso beserta baksonya ke atas sepiring nasi. Lalu dia menyuapi Albani.
"Enak?" tanya Rindu sambil tersenyum.
Albani hanya mengangguk dengan tatapan yang tak lepas dari wajah sang istri.
Mendapati kenyataan hidup mereka yang semakin sulit, entah kenapa Albani tak mampu menahan bendungan air matanya yang tiba-tiba saja menggenang.
Lelaki itu menangis.
"Loh, Mas? Kamu kenapa?" tanya Rindu bingung.
Albani menyeka air matanya. Dia menaruh piring nasi di tangan Rindu ke lantai dan langsung menarik Rindu ke dalam pelukannya.
"Aku sayang banget sama kamu, Ndu. Aku minta maaf kalau aku belum bisa membahagiakan kamu," ucap Albani dengan deraian air matanya yang kembali membanjir di pipi.
Mendengar hal itu, kelopak mata Rindu langsung berkaca-kaca namun dia berusaha untuk tidak menangis. Dia melepas pelukan suaminya dan tercengir lebar.
"Aku juga sayang banget sama kamu, Mas. Siapa bilang aku nggak bahagia? Aku bahagia, Mas. Aku bahagia bisa hidup sama kamu. Ketemu kamu setiap hari. Bisa denger kamu ngorok setiap malem. Bisa mijitin kamu kalau kamu capek. Bisa masak makanan buat kamu walau hasilnya selalu keasinan, aku bahagia Mas..."
Albani terharu mendengar celoteh Rindu.
Hingga setelahnya, dia kembali meraih Rindu ke dalam pelukannya.
Rindu membalas pelukan itu sama erat.
Dia tersenyum.
Tak ada pelukan senyaman pelukan suaminya.
Malam itu, mereka menghabiskan satu porsi bakso berdua.
Hujan yang turun deras membuat Rindu terpancing untuk mengajak suaminya bercinta.
Di atas kasur lantai di dalam kamar kontrakan keduanya bercumbu dengan mesra.
Tingkah nakal Rindu membuat Albani melayang.
Rindu tahu Albani lelah, itulah sebabnya malam ini dia yang mendominasi permainan.
"Mas, besok aku ada panggilan interview," ucap Rindu menyampaikan sesuatu yang sejak dua hari lalu dia pendam.
Tentang keinginannya untuk bekerja, hitung-hitung meringankan beban Albani.
Albani tampak kaget. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuh dirinya dan sang istri yang masih polos. Mereka baru saja selesai dengan aktifitas ranjang mereka dan kini tidur melepas lelah dengan saling memeluk.
"Kapan kamu melamar kerja?" tanya Albani.
"Seminggu yang lalu, lewat online,"
Albani terdiam.
Sebenarnya dia kurang setuju.
Tapi, jika memang Rindu yang menginginkan Albani tidak akan melarang.
"Interviewnya di mana?" tanya Albani.
"Di daerah Pasar Baru. Perusahaan Ritel,"
"Yasudah, nanti aku antar. Sekarang kamu tidur ya?"
Rindu mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia mengecup sekilas pipi Albani sebelum akhirnya memejamkan mata untuk tidur.
Hangatnya cinta membuat keduanya tak merasakan sedikit pun hawa dingin yang menyeruak di sekitar mereka.
Hujan masih mengguyur kota Jakarta dengan derasnya, seolah menjadi saksi betapa cinta itu indah.
Setelah melalui beberapa proses psikotest dan interview kerja, Rindu akhirnya diterima sebagai salah satu karyawati di Perusahaan Ritel terbesar di Indonesia itu.Sebagai seorang sarjana ekonomi, Rindu mendapat posisi bagus di kantor cabang baru itu menggantikan sementara posisi sekretaris CEO yang kebetulan sedang cuti melahirkan.PT. He-Market Trijaya Tbk bergerak dalam bidang distribusi eceran produk konsumen dengan mengoperasikan jaringan mini market, dengan nama "He-Mart". Jaringan mini market terdiri dari minimarket, dengan kepemilikan langsung dan berdasarkan perjanjian waralaba.Jaringan ini sangat luas dan sudah mencakup hampir di setiap pelosok daerah di Indonesia.Itulah sebabnya perusahaan ini berkembang pesat dan menjadi salah satu perusahaan besar yang menjanjikan.Ini hari pertama Rindu bekerja.
Kehadiran Rindu di kantor cabang baru itu mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak yang kebanyakan berasal dari kubu kaum adam.Kecantikan Rindu seolah mengguncang seluruh divisi bagian di dalam kantor untuk mencari tahu siapa karyawati baru yang beruntung karena bisa menempati posisi paling diminati berbagai pihak yakni sebagai sekretaris dari Direktur utama mereka, yang konon katanya kini beralih tangan kepada anak si pemilik perusahaan.Seorang lelaki tampan bergelar sarjana Master lulusan salah satu Universitas terkemuka di USA."Wah, kalau sekretarisnya model begitu sih, udah pasti jadi simpenannya Pak Hendrawan," celetuk salah satu karyawati di divisi perencanaan. Sesekali dia melirik Rindu yang sibuk di kubikel kerjanya."Sayangnya punya Pak Hendrawan udah meletoy kali nggak bisa lurus dan tegak lagi," sahut karyawati lain yang disambut dengan cekiki
Ini hari pertama pasangan Fahri dan Adelia menempati kediaman mereka di Jakarta sepulang mereka berbulan madu dari Swiss.Sebuah rumah mewah nan megah yang didominasi dinding kaca dengan halaman super luas dan kolam renang big size di taman belakang yang merupakan peninggalan ke dua orang tua Fahri sebelum Pak Hendrawan dan Nyonya Heni memutuskan untuk menghabiskan masa tua mereka di kampung halaman Pak Hendrawan di Surabaya.Hari ini Fahri sudah harus masuk kantor karena pagi ini akan ada rapat penting bersama dewan direksi dan beberapa Relasi Bisnis dari perusahaan asing untuk membahas kerjasama demi memperluas cakupan jaringan Bisnis perusahaannya yang hendak dia kembangkan di luar negeri.Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi tapi Fahri sudah terlihat rapi dengan setelan kantornya yang membuat dirinya terlihat semakin gagah dan tampan.Sejak keci
"Jadi kamu sekretaris baru disini?" tanya Fahri pada Rindu yang kini duduk dihadapannya."Iya, Pak," Rindu mengangguk tanpa berani menatap Fahri. Kepala perempuan itu terus saja menunduk bahkan sejak pertama kali dirinya memasuki ruangan sang direktur.Fahri masih menatap Rindu.Entah kenapa, sepertinya wajah Rindu tidak begitu asing meski dia sendiri pun tidak tahu sebenarnya apakah dia pernah bertemu dengan Rindu sebelum hari ini?"Sudah menikah?" tanya Fahri lagi."Sudah Pak," Rindu kembali mengangguk.Fahri ikutan mengangguk. Sekelebat ingatan tentang kejadian di lift tadi kembali berputar dikepalanya, membuat lelaki itu tersenyum.Fahri berpikir, pasti saat ini Rindu malu sekali karena telah salah mengira orang. Itulah sebabnya, sejak tadi dia terus saja menunduk t
Malam itu Rindu tidak bisa tidur. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam namun sang suami tak kunjung pulang. Bahkan setelah percakapan anehnya di telepon dengan seorang wanita yang memakai nomor ponsel suaminya, selepas maghrib tadi, membuat hati Rindu semakin dibuat gelisah. Bagaimana tidak, jika ponsel suami kita tiba-tiba saja dipegang oleh seorang wanita tak dikenal, istri manapun pasti langsung curiga, tak terkecuali Rindu. Setelah puas mundar-mandir seperti setrikaan di teras kontrakan menunggu kepulangan Albani, Rindu pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan membenamkan tubuhnya di balik selimut di ruang tamu. Padahal di luar tidak hujan, tapi entah kenapa Rindu merasa tubuhnya menggigil. Beberapa menit berlalu, kelopak mata Rindu sudah terpejam, namun suara deritan pintu yang terbuka membuat Rindu kembali terjaga. Saat Rindu membuka mata, didapatinya keadaan kontrakan begitu gelap. Apa iya mati lampu? Piki
Sudah dua hari berlalu tanpa Fahri dan Adel saling bertemu karena kesibukan Adel yang harus melakukan pemotretan keluar kota. Rencananya malam ini Adel akan pulang. Setelah menyantap makan malamnya seorang diri, Fahri langsung beranjak ke kamar untuk mengecek beberapa laporan yang harus dia tanda tangani. Fahri baru saja memasuki kamarnya ketika dia mendengar suara deru mesin mobil yang berasal dari arah bawah halaman depan rumahnya. Kebetulan kamar Fahri dan Adel yang terletak di lantai dua itu memiliki jendela yang mengarah ke halaman depan pekarangan rumah mereka yang luas. Saat itu Fahri melihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman utama kediamannya. Seorang lelaki keluar dari arah kemudi dan membukakan pintu mobil disebelahnya yang dihuni oleh seorang perempuan cantik yang tak lain adalah Adelia, istrinya. Sebelum pergi ke duanya sempat bercakap di dekat mobil terparkir, lalu si lelaki sempat mengecup pipi kanan dan kiri Adel sebelum beranjak ma
Hari ini Rindu sengaja berdandan lebih menor dibanding hari biasanya. Bukan karena dia genit hanya saja Rindu tidak ingin Albani melihat wajahnya yang pucat karena kondisi tubuhnya yang terasa semakin memburuk.Hari ini Rindu harus menemani sang Bos untuk meeting dengan klien penting yang berasal dari luar negeri. Dia harus hadir sebab Rindu tak ingin mengecewakan Fahri terlebih membuat lelaki itu repot karena semua proposal penting untuk meeting Rindu yang menyimpannya."Mas, nanti kamu beli makan siang diluar aja dulu ya, aku cuma masak untuk sarapan aja Mas, nggak sempet," ucap Rindu beralasan padahal bukannya tidak sempat, hanya saja Rindu harus menyimpan energinya sampai dia meeting nanti. Rindu tak mau kejadian tempo hari saat dia tiba-tiba memuntahkan isi perutnya ke jas mahal Fahri terulang.Albani yang saat itu baru selesai menunaikan shalat shubuh hanya mengiyakan perkataan Rindu.Seperti biasa, Albani mengantar sang istri hingga Rindu m
Adel baru saja menyelesaikan sesi pemotretan dia hendak pulang meski rasanya enggan.Pertengkaran kecil yang terjadi antara dirinya dengan sang suami tadi malam membuat Adel jadi malas bertatap muka dengan Fahri."Del, ayo gue antar pulang," ajak seorang lelaki bertubuh tegap dengan gayanya yang maskulin.Lelaki itu duduk di sebelah Adel yang masih merapikan riasannya."Gue lagi males pulang, Mar," ucap Adel cepat."Loh? Kenapa? Lo berantem sama Fahri?" tanya lelaki bernama Damar itu.Adel mengesah. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Iya," jawabnya singkat dan tak bersemangat.Damar tertawa kecil. "Emang si Fahri kenapa lagi? Dia suruh lo pake hijab lagi?""Bukan,""Terus?"Adel menatap Damar. "Fahri larang gue untuk jadi model majalah dewasa,"Damar berdecak jengkel. "Sejak awal guekan udah bilang supaya lo pikir seribu kali untuk ambil keputusan menikah dalam waktu dekat,