"Mas, aku bisa bicara dengan Davin gak?" tanyaku pada Mas Haris setelah pria di seberang telpon sana menjawab salamku. "Ya ampun, Mbak. Kamu sama aku panggil Mas. Giliran sama calon suami panggil nama."Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Mas Haris. "Bisa gak, Mas?" Lagi, aku bertanya. "Bentar." Dari sini terlihat Mas Haris memberi kode pada seseorang yang ada di depannya, pasti Davin."Gak bisa, Mbak. Davinnya gak mau.""Kenapa?" Aku bertanya dengan alis bertautan. Mas Haris hanya menghendikkan bahunya saja. "Mas!" Kunaikkan nada bicaraku, kesal sekali aku dibuatnya. "Kakak dan calon Bapak mertua yang melarang kita berkomunikasi sebelum menikah resmi." Terdengar suara tanpa rupa. Suara si Davin, betapa menyebalkan sekali dia. Kenapa dia menolak berbicara denganku. Awas. "Aku akan kabur dari rumah kalau kamu tak mau berbicara denganku," seruku mengancamnya. "Haris, suruh panggil aku mas dulu baru aku mau bicara dengannya," perintah Davin pada temannya. Mas Haris
Kutatap tubuh lelaki yang memejamkan mata itu, apa dia hendak tidur dengan bertelanjang dada seperti itu. Apa tidak kedinginan, kurasa pendingin ruangan di kamar ini bekerja dengan maksimal sehingga menghasilkan suhu yang cukup dingin. Perlahan aku mendekat ke arah ranjang. "Hei, bolehkah kuganti lampu kamar dengan lampu yang lebih redup itu," tanyaku padanya. Aku yakin, Davin belum benar-benar tertidur. Kulihat ada lampu dengan hiasan di atas nakas, kupikir itu lampu tidur. "Lakukan apapun yang kamu mau, ini kamarmu juga," jawabnya tanpa membuka mata. Segera kuganti lampu kamar setelah mendapatkan ijin darinya. Aku memang terbiasa tidur dengan suasana remang-remang, sehingga tidak bisa jika tidur dengan lampu yang menyala dengan terang. Setelah mengganti lampu, aku ikut merebahkan diri di ranjang, di sisi lain yang cukup berjarak dengan pria itu. Aku memilih terlentang daripada memunggungi atau menghadap padanya. Dadaku berdebar-debar dan aku merasa tak nyaman. "Kenapa kamu pa
Aku tidak berani membuka mata meskipun pria itu sudah melepaskan tautan bibirnya, dadaku naik turun, nafasku terasa berat. "Mau lagi," bisiknya, membuatku seketika tersadar dan melepaskan cengkraman tanganku pada tangannya. "Ke-kenapa kamu lakukan itu padaku?" Aku bertanya dengan terbata. "Kamu menggemaskan kalau seperti itu," sahut Davin. "Lagipula apa aku harus bertanya saat ingin mencium istriku?"Aku mundur selangkah dan berbalik, kemana sekarang aku harus menyembunyikan diri. Aku malu setengah mati. Tanpa pikir panjang, aku segera berlalu keluar kamar, seperti pergi ke dapur adalah pilihan yang tepat. Pura-pura membuat sarapan untuk menghilangkan rasa malu. ***Kubuka semua pintu kitchen set yang ada di dapur, tak ada sedikit pun bahan makanan. Hanya ada perabotan untuk makan, bahkan untuk masak juga tidak apa. Apa manusia di sini tidak ada yang makan. Aku menghela nafas panjang."Nyari apa?" "Astaghfirullah ... bikin kaget saja," seruku tak suka. Aku benar-benar kaget saa
"Sudah lupakan saja. Lebih baik sarapan," ucap Davin sembari meminum air putih yang barusan aku tuang di gelas yang ada di depannya. Mas Haris menurut dan tidak bertanya lagi lebih jauh, aman. Aku bisa tenang. Kuharap, suamiku itu bukan tipe pria yang gampang bercerita urusan pribadi pada temannya, terutama urusan pribadi dengan pasangan. Meja makan ini berbentuk segi empat, tiap sisi hanya ada satu kursi, kami duduk masing-masing, aku duduk berhadapan dengan suamiku. "Dav, tawaran review paket honeymoon gimana? Orangnya minta kepastian." Mas Haris berkata di sela-sela suapannya. Davin menatapku. "Kenapa menatapku begitu?" Aku bertanya, pura-pura tak mengerti. Aku tahu, pria itu sedang meminta jawabanku, paket honeymoon tentu saja dengan pasangan. Tidak mungkin sendirian. "Kali ini aku harus bekerja denganmu, tidak bisa sendirian. Apalagi dengan Haris, aku pria normal," jawab Davin. "Ya udah aku terima, ya. Kalian udah sah ini, mau ngapain juga boleh. Ya kan, Mbak?" Mas Haris
Sesampainya di rumah, bukannya membantu suamiku membereskan belanjaan, aku malah mengikuti langkah Mas Haris yang pergi ke lantai atas."Mas, siapa bagian editing?" tanyaku sambil mengekor langkahnya. "Kenapa?" Mas Haris balik bertanya."Mau request beberapa bagian, minta dicut.""Nanti Davin yang bakalan memeriksa dan memberitahu mana saja yang memang kudu dipotong.""Aku saja, Mas.""Gak bisa, Mbak.""Ayolah ...." Aku mencoba membujuknya."Kalian obrolin berdua saja ya. Suamimu Davin, loh. Merengeklah padanya," ucap Mas Haris memutuskan obrolan kami.Aku berhenti mengikutinya dan menghela nafas panjang, harus dengannya. Mana mau dia memenuhi permintaanku. Dengan lesu, aku kembali ke bawah. Melihat suamiku yang pastinya membutuhkan bantuan. Di dapur, pria itu asyik membereskan belanjaan dengan kamera yang menyala. Tentu saja, semua aktifitasnya perlu diabadikan dan dijadikan cuan. "Hai, Sayang, sini bantuin," panggil Davin sembari tersenyum padaku. Aku menunjuk pada kameranya yan
"Ngabdi di mana? Kamu pernah di pesantren, kenal sama Mas Hamid di sana. Kalau dipikir-pikir usiamu dengan usia kakak iparku itu tidak beda jauh pasti cuma beda satu tingkat atau dua tingkat. Makanya dari itu tiba-tiba saja Mas Hamid setuju menikahkan kita." Aku memberondong suamiku dengan banyak pertanyaan. Entah apa yang aku inginkan dari semua itu, apa memang aku berharap bisa menikah dengan pria yang pernah setidaknya belajar ilmu agama di sana. Aku tahu, pesantren itu adalah pesantren terbaik yang ada di kota kelahiranku. Di sana santri berasal dari seluruh pelosok Indonesia, bahkan dari luar negeri. "Kamu mengharap jawaban iya dariku? Jangan terlalu berharap, dan berpikir sejauh itu." Davin berkata sambil berlalu dari hadapanku. Benar-benar menyebalkan, kenapa dia tidak pernah sekalipun mau bercerita tentang pribadinya. Bukankah kami ini suami istri. "Hei, kenapa kamu selalu menghindar jika aku menyakan hal pribadi padamu. Bukannya untuk bisa saling dekat kita harus saling m
Malam sudah beranjak larut, suasana sudah sepi karena karyawan Davin sudah turun semua. Namun entah kenapa aku masih menikmati berada di sini. Suasana malam yang dingin, dan hembusan angin yang cukup berasa di atas sini membuatku enggan beranjak. Ditemani suamiku yang duduk di sebelahku, aku menikmati malam dari atas ketinggian. Meskipun aku mengatakan tak perlu menemani, tapi tetap saja dia melakukan. Pria itu duduk diam di sampingku. "Mana ponselku." Aku berkata sembari menyodorkan tangan dengan posisi meminta. "Buat apa, duduk berdua dengan suami harusnya tidak mencari handphone lagi.""Kamu bilang aku bisa melihat semua videomu jika ingin mengenalmu.""Kamu bilang apa yang ada di media sosial hanyalah kebohongan." Davin membalikkan ucapanku. Aku menghela nafas dalam, diam lebih baik sepertinya. Tak lagi kupinta smartphone milikku yang masih di simpan di saku celananya.Pria itu bangkit dari tempat duduk dan melepas jaketnya, lalu memakaikannya padaku. "Pakailah, di sini angin
Perlahan aku membuka mata, dengan posisi yang masih memeluk tubuh pria yang sudah menjadi suamiku itu. Pandangan kami bertemu, untuk beberapa saat aku lupa hendak mengatakan apa tadi. "Memangnya kamu mau ngapain jika aku tetap pura-pura tertidur?" Aku bertanya, menantangnya."Kamu sudah berani ya, sekarang.""Sejak dahulu aku pemberani."Dengan gerakan cepat, pria itu membalik tubuhku hingga berada di bawahnya. Katanya semalam tidak berniat menikah, tapi dia seperti pria yang membutuhkan wanita. Begitu bertindak agresif setiap bersamaku. "Kamu akan menyesalinya jika berani berbuat jauh padaku," lirihku tanpa mengalihkan pandangan dari matanya. Mendadak aku seberani ini menggodanya karena aku tau, dia tidak akan bisa berbuat lebih padaku karena aku sedang berhalangan. "Aku tidak akan menyesali apapun yang akan kulakukan padamu.""Kamu akan kecewa." "Kenapa?""Karena aku sedang berhalangan," sahutku dengan tertawa riang. "Kapan?" tanya Davin tak percaya. "Semalam sebelum tidur, s
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t