“Itu, Pak, mereka.” kata Rendra menunjukkan telunjuknya ke arah Gayatri dan Galuh.“Ini juga cucu Yangti?” tanya Garnis haru lalu memeluk Galuh erat. Galuh mendongakkan wajahnya. Memandang wanita cantik yang lebih tinggi sedikit darinya. Lalu dia memandang lelaki berkepala sedikit pelontos dan bertubuh pendek.“Aku Yangkung, Nak. Sini peluk Yangkung.” katanya dengan mata mengaca. Lalu merangkul Galuh.“Kami sudah mau pulang, Ma.” kata Gayatri. “ini diantar sama mas Rendra, kalau lama-lama di sini, ghak enak juga.”“Ghak usah ghak enak sama aku. Aku free kok hari ini.” kata Rendra. “Kalian puasin ketemuannya.”“Tadi mama juga kaget, setahu mama Prayogi duluh tinggi kurus, juga sawo matang, ini kok beda. Terus Papa yang ngomong, kayak dia pernah lihat dia di perkawinan, baru deh dia bilang kalau dia memang petugas KUA yang jadi penghulu. Baru Mama keingat kalau dia di perkawinan Nastiti.”“Dia keponakan bu Ratna tempat Ayu kerja.” kata Gayatri memandang Rendra yang tak lepas memandangn
“Tri, kamu yakin ikut?” tanya bu Ratna yang telah membawa seragam untuk Gayatri. Habis subuh Gayatri memang sudah ke tempat bu Ratna, dia telah bisa walau dengan pelan, mengendarai Beat ayng diberikan Rendra untuk dipakai belajar duluh. Untungnya rumah Gayatri masih sekomplek walau agak jauh, bisa lewat perumahan, bukan jalan raya yang banyak kendaraan.“Jangan takut, Bu. Gayatri bisa menjaga diri.” kata Gayatri mantap. Lalu mengganti bajunya di ruang yang kini dikhususkan oleh bu Ratna untuk dirinya.Seluruh pakain yang mau dipakai sudah disiapkan Gayatri dari kemarin di mobil yang biasa untuk menganggkut mereka. Tinggal menunggu yang lainnya datang dan juga menunggu pak Supri yang menyupiri.“Jangan lupa mengambil melatinya di kulkas, Tri.” kata bu Ratna begitu semua telah siap berangkat.Lagi-lagi, Rendra seperti tak jemuh mengamati Gayatri dari atas balkomnya. Ketegaran waita itu makin membuatnya terpikat. Entah kenapa juga Gayatri tak pernah tak melihat ke sana, seperti saat data
“Bukan begitu, Yah.” kata Gayatri yang tiba-tiba saja risih dengan perlakuan suaminya.Prayogi makin mendekati Gayatri yang duduk di tepi ranjang. Bagaimanapun juga dia merindukan kehangatan Gayatri. Baginya Gayatri dan Sasmita adalah sosok yang berbeda, terlebih urusan ranjang. Setelah beberapa hari dia mengenal permainan panas Sasmita, dia masih merindukan sikap malu-malu Gayatri.“Aku sudah berusaha minta maaf, Tri. Kalau kamu masih belum siap menerimaku, ya, tidak apa-apa.” kata Prayogi dengan menghentikan aksinya."Bukan begitu, Yah. Katamu kamu sudah membuang wanita itu dalam hidupmu, Lalu aku harus bagaiman lagi kalau tidak menerimamu?' kata Gayatri dengan membiarkan Prayogi melanjutkan aksinya. Namun lagi-lagi dia merasakan hambarnya sentuhan Prayogi, bahkan sampai Prayogi menikmati tubuhnya pun, dia tak merasakan apapun, selain kepedihan. Jauh dari kenikmatan yang duluh selalu dia rasakan. Bukan kepedihan karena merasa dihianati lagi seperti yang duluh dia rasakan, tapi
“Kenapa kalau sudah lama? Ayah malu ketahuan belang Ayah?” kata Galuh. Sebenarnya tadi dia enggan untuk pamitan dengan ayahnya. Namun karena menghormati pesan bundanya, dia melakukannya. Mungkin inilah hikmahnya, dia mengetahui siapa ayahnya yang kini sudah berubah. “Dari ayah pulang kemarin, Ayah kembali baik, Galuh kira ayah sudah berubah, ternyata,… " ucap Galuh dengan menatap Prayogi.“Tau ghak apa pendapat Galuh untuk Ayah?” Cibir Galuh. “Jijik! Galuh jijik, Yah.” kata Galuh lalu meninggalkan Prayogi yang terbengong. “Kamu tidak mengerti Galuh. Ayah berusaha melakukannya. Tolong hargai usaha Ayah. Bunda aja memaafkan Ayah.” Galuh membalikkan badannya yang sudah melangkah keluar. Begitu ayahnya meraih lengannya.“Beri ayah kesempatan menjelaskannya, Galuh. Ayah harus merayu wanita itu agar tidak mengganggu kita."“Jahui Bundaku. Ceraikan saja dia. Masih banyak lelaki yang lebih berharga untuk Bundaku di banding dengan Ayah yang terus mengelabuhinya.” katanya lalu beranjak per
"Pertanyaan apa ini Galuh? Kamu sadar enggak, kamu tidak ingat ayahmu yang masih hidup."“Bagi Galuh dia sudah mati sejak menghianati Bunda.” kata Galuh dengan membuang pandangannya jauh. Matanya sedikiti memburam mengingat nasib Bundanya yang seperti naif, begitu saja gampang dikelabuhi.“Apakah terjadi masalah?” tnya Rendra mencoba menerka. Terlebih dengan sikap Gayatri yang tadi dilihatnya.“Bunda itu naif sekali, bisa-bisanya dia menerima kalau dia dibohongi.”“Mungkin bukan seperti itu pertimbangannya, Luh.”“Aku wanita, Kak. Aku ghak akan biarkan sesama wanita dipermainkan.”“Tapi dia ayahmu, tidakkah kamu ingin kalian masih utuh sebagai keluarga?”“Aku sudah tidak bisa menghargainya lagi, Kak. Aku sendiri bahkan muak dengan apa yang dilakukan Ayah.” kata Galuh dengan sedih, seolah dialah yang kini mengalami sendiri. “Aku dapat melihat, Bunda amat menderita. Belum lagi jika dia mengetahui kalau dia hanya dipermainkan.”“Galuh, aku mencarimu. Ayo pulang.” tiba-tiba Raksa datang.
“Jadi kalian ke Surabaya diantar lelaki ini?” tanya Prayogi menunjukkan foto kedua anak dan istrinya yang tampak serasi difoto Galing bersama Rendra.“Iya, Yah.”“Beraninya Bundamu.” katanya geram.Galing mendadak tersekat. Dia tak paham kalau ayahnya akan marah melihat foto kebersamaan mereka saat di mobil dan saat ke parkir mall yang kebetulan Bundanya berdekatan dengan Rendra. Mereka hanya berjalan bersama, tak lebih dari itu.“Yah, yang Bunda lakukan hanya mengunjungi Om Geihsa, tak lebih dari itu. Kita juga pergi dan pulangnya selalu bersama, ramai-ramai, kenapa Ayah jadi marah? Saya memang masih kecil, tapi saya bisa melihat tak ada apa-apa diantara Bunda dan kak Rendra, sedangkan apa yang telah dilakukan Ayah? ”Prayogi giginya gemertak. Senyum Gayatri yang tampak bahagia itu saat mereka jalan bersama, terus bergayut di matanya.“Ayah sungguh tak adil kepada Bunda. Sementara Ayah bersenang-senang dengan wanita lain, Ayah marah hanya karena Bunda berjalan dengan orang yang buk
“Aku mencintaimu. Tinggakan dia, menikahlah denganku.”“Tapi bagaimana dengan anakku?” “Anakmu juga anakku, Mbak,.. memangnya kenapa dengan mereka. Bukankah selama bersama mereka, aku selalu menyayanginya. Apa kamu ragu aku tak bisa menerima mereka?”Gayatri menyandarkan pundaknya yang lelah di bahu Rendra. Dengan lembut Rendra mencium keningnya. Tangannya yang kokoh memeluk pinggangnya.“Mas,.. Mas,…!” "Tri, bangun, Tri. “Mas,… Mas,…!”"Tri, bangun, Tri.Gayatri terkesiap. Dikerjapkannya matanya berkali-kali. Saat dia sudah mendapatkan kesadarannya, dilihatnya tangan kokoh melingkar di pinggangnya. Namun tangan itu keras, tak selembut di mimpinya. Dia membalikkan badan, berusaha melihat pemilik tangan itu, ternyata bukan Rendra. Gayatri memandang Prayogi yang tengah menatapnya dengan tanda tanya besar.“Kamu mimpi apa, Tri sampai memanggil mas, mas berkali-kali?”“E, anu,.. mas, Yah,.. Aku mimpi saat kita masih bersama duluh.” katanya lalu memalingkna wajahnya kembali ke posissi s
Prayogi mendorong Sasmita, bahkan wanita itu hampir terjungkal di lantai saat Prayogi mendorongnya.“Kamu makin melonjat, menuntut yang bukan -bukan.” kata Prayogi lalu mengancingkan bajunya kembali. Hasrat yang tadi menggebu kini hilang seketika mendengar permintaan Sasmita.“Berarti kamu hanya membuatku seperti boneka permainan. Manikmati tubuhku dan semua yang kupunya, tanpa memikirkan masa depan denganku?” Prayogi terlenguh. Dia menjatuhkan dirinya di lantai.“Aku bukan barang permainan Mas yang bisa kamu perlakukan seenakmu. Aku bisa membuat keluargamu sengsara jika kamu hanya mempermainkanku.”“Kamu sejak awal sudah tau aku pria yang sudah beristri. Kamu tau aku memiliki anak-anak yang harus kujaga."“Jadi semua ini karena anakmu semata?” Sasmita mendekati Prayogi yang terduduk di karpet ruangan pribadinya. “Bukan karena kamu masih mencintai wanita itu kan?” tanyanya menyelidik. Sebisa mungkin Prayogi ingin menutupi perasaannya yang masih kuat untuk Gayatri. Dia kini baru sada