Setiba di mansion mewah kediamannya, Rosie bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia menggosok seluruh tubuh terutama di bagian-bagian yang telah dijamah pria asing itu kuat-kuat hingga kulit putih mulusnya memerah, tak lupa menggosok gigi dan berkumur puluhan kali. Ia merasa dirinya sangat kotor saat ini.
Air matanya tumpah bersamaan dengan guyuran shower di atas kepalanya. Perlahan dipejamkannya mata dan ingatannya terbang kembali ke masa lima tahun yang lalu.
“Mulai sekarang tinggalkan karirmu sebagai aktris, Ayah akan menikahkanmu dengan putra relasi ayah, Richard Eddison!”
Rosie masih ingat betul kata-kata ayahnya, Sebastian White waktu itu. Ia masih berusia 22 tahun dan sedang berada di puncak karir sebagai aktris muda berbakat ditunjang dengan wajah cantik, mata biru, rambut emas, dan tinggi 172 cm bak model dunia.
Rosie sudah menekuni dunia akting sejak usia 17 tahun, karena dengan berakting ia dapat mengekspresikan diri sekaligus mengusir kesepian setelah ibunda tercintanya meninggal dunia. Sementara ayahnya yang ambisius terlalu sibuk mengembangkan bisnisnya.
Namun saat ayahnya memaksa Rosie meninggalkan dunia akting, Rosie terpaksa menerima perjodohan itu.
Resepsi pernikahan dilangsungkan dengan megah karena mengundang pengusaha-pengusaha sukses di negara tersebut, juga beberapa pejabat tinggi.
Di hari itu juga Rosie berjanji akan melalui semua bersama-sama dengan Richard, dengan berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya. Ia percaya suatu saat kesabarannya akan membuahkan hasil. Bukankah batu karang yang keras sekalipun akan terkikis dihantam ombak setiap waktu? Apalagi sebuah hati.
Namun ternyata kenyataan tidak semudah pikiran naif istri malang itu.
Rosie keluar dari kamar mandi setelah merasa jauh lebih tenang dan segar kembali. Ia menuju ke pantry untuk menyiapkan makan malam. Ia akan memasak makanan kesukaan Richard, makaroni keju dan salmon alaska panggang.
Seperti kata pepatah yang pernah ia dengar, cinta berawal dari perut naik ke hati.
“Aaaww!” Rosie meringis menyadari jari telunjuknya teriris saat ia sedang memotong salmon. Ia segera membersihkannya dengan air yang mengalir dari kran bak cuci piring lalu meraih kotak P3K dan membalut jarinya dengan plester penutup luka.
Apakah ini? Perasaannya mendadak berubah tak tenang, seperti ada firasat buruk. Apakah ada hubungannya dengan Richard?
Sebuah notifikasi muncul di ponsel Rosie yang ia letakkan di atas kitchen island menarik perhatiannya. Ia meraih ponsel dan menggeser layar untuk membukanya. Ada pesan dari Selena
Rosie membuang nafas kesal, pasti gadis cerewet itu berniat mencercanya habis-habisan perihal pria panggilan yang ditolaknya itu.
Namun kemudian ia memutuskan untuk tetap menelponnya karena tahu konsekuensinya bila diabaikan, Selena akan menterornya dengan misscall bertubi tubi.
“Hai!” sapa Rosie.
“Rosie?”
“Selena, aku minta maaf karena…”
“Sst!” terdengar desisan di seberang menyuruhnya bungkam. Rosie mengernyitkan kening tak mengerti. “Kau ingin menangkap basah suamimu?”
Rosie terkesiap, darahnya terasa berhenti mengalir. Ia tak tahu harus menjawab apa, karena tak yakin siap menyaksikan pria yang dicintainya bersama kekasih gelapnya dengan mata kepala sendiri.
“Rosie?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya perlahan.
“Ku-kirim alamatnya sekarang, terserah kau mau datang atau tidak!” tukas Selena.
Semenit kemudian muncul notifikasi lagi dari Selena yang berisi info sebuah alamat rumah yang ia tahu ada di kawasan real estate mewah.
Setelah menimbang, Rosie memutuskan untuk pergi ke alamat yang ada dalam pesan sepupunya dan ia akan memaksa suaminya meninggalkan perempuan itu, bagaimanapun caranya.
Rosie tiba di rumah yang dimaksud setelah hampir satu jam perjalanan. Sebuah rumah yang cantik dengan gaya mediterania, entah berapa ratus ribu dollar yang dikeluarkan suaminya untuk membelinya. Gadis itu pasti sangat istimewa bagi Richard, batin Rosie cemburu.
Ia menghentikan mobilnya di samping rolls-royce hitam yang ia tahu adalah mobil kesayangan suaminya. Ia keluar dari mobil dengan anggun dan langsung disambut oleh sopir suaminya, Anthony.
“Nyonya?” wajah Anthony tampak kaget tak percaya bercampur panik.
“Aku ingin bertemu suamiku,” Rosie menatap Anthony dingin.
“Aah..ehmm.. saya rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu Tuan Richard,” Anthony berusaha menghalangi langkah majikan perempuannya.
“Oh ya, mengapa?” Rosie meletakkan kedua tangannya pada pinggang rampingnya lalu meneruskan, ”Karena suamiku sedang bekerja keras memuaskan nafsunya, begitu?”
Mata Anthony membeliak, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Rosie mendorong tubuh Anthony ke samping dengan tak sabar lalu meneruskan masuk ke dalam rumah. Anthony berusaha mengejar namun terlambat, ia tak berani lancang ikut masuk. Ia memutuskan menghubungi nomor ponsel Richard namun tak terjawab.
Rosie memperhatikan kemeja yang ia hafal betul milik suaminya tercecer di lantai lobby Ia melangkah dengan dada bergemuruh bagai gelombang badai saat air laut pasang, mengikuti lembaran demi lembaran kain penutup tubuh yang berceceran bak penunjuk jalan hingga kaki Rosie terhenti di area dapur.
Pemandangan di depannya terlalu menyakitkan. Seorang wanita berambut hitam sebahu tanpa sehelai benang-pun di tubuhnya setengah membungkuk dengan kedua tangan memegang erat meja counter.
Sementara bibirnya meneriakkan nama Richard berulang kali seperti mengucapkan mantra karena setiap nama itu disebut, gerakan pria yang menempel di belakang tubuhnya makin liar dan menggila.
Air mata Rosie luruh kembali, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin mati saja rasanya.
Dan seolah mengetahui adanya kehadiran sosok lain, dua manusia yang dipenuhi nafsu terlarang itu menoleh dan wajah Richard yang awalnya merah dilanda hasrat menggebu berubah menjadi pucat pasi. Ia buru-buru melepaskan diri dari kekasihnya, Sasha. Mereka menyembunyikan bagian vital tubuh mereka di belakang meja counter.
“Mengapa kau lakukan ini padaku, Richard?”
“Rosie, aku…”
“Sudahlah,” Rosie menatap laki-laki yang dicintainya lekat-lekat, ”Aku sudah memaafkanmu, pulanglah bersamaku, kita akan memulai kembali dari awal.”
Richard tertegun dengan kata-kata Rosie, bagaimana mungkin wanita bisa setegar itu? Sebesar itukah cinta Rosie padanya? Tapi mengapa ia tak pernah bisa membalas cinta itu?
“Aku ingin kita bercerai,” begitu saja kata-kata itu keluar dari bibir Richard, ”Aku tak bisa terus berpura-pura mencintaimu sementara di hatiku hanya ada orang lain. Perceraian ini adalah yang terbaik,untukmu dan untukku.”
Rosie menggeleng kuat, ”Kau hanya mengerti yang terbaik untukmu, Richard. Hal terbaik-ku adalah kita tetap bersama.”
Richard iba melihat pipi Rosie bersimbah air mata, tapi ia sudah membulatkan hati untuk meninggalkan wanita yang sudah menemaninya lima tahun itu.
“Maafkan aku tapi cinta tidak bisa dipaksakan, kita hanya akan saling menyakiti.”
“Aku akan menunggu sampai kau mencintaiku lagi…tolong jangan tinggalkan aku!”
“Aku akan tetap menceraikanmu, itu sudah keputusanku!”
Richard tak bergeming dengan wajah istrinya yang memelas. Bukannya Richard pria yang tak memiliki hati, tapi ia harus mengakhiri drama rumah tangganya. Ia tak mau mendustai Rosie terus-menerus, juga tak mau kehilangan cinta sejatinya.
Richard menuju ruang tamu dan mengenakan lagi kembali pakaiannya diikuti Sasha, ketika ia menangkap siluet Rosie berdiri di ambang pintu sambil menggenggam pisau di tangan kirinya. Entah dari mana Rosie mendapatkan pisau dapur itu, pandangan kosong Rosie membuatnya mulai kuatir.
“Bercerai sama dengan membunuhku, mungkin lebih baik bagimu melihatku mati sekarang!”
Kejadian berikutnya terjadi begitu cepat, sebelum mata Richard sempat mengerjap, wanita malang itu sudah menggores nadi pergelangan tangannya.
Darah mengucur deras dari lubang yang menganga, lantai marmer di sekitar segera penuh dengan genangan darah.
“Rosie, omg!” teriak Richard panik.
Ia segera mengambil handuk dan dibalutkan pada pergelangan istrinya, sebentar saja handuk itu sudah berubah warna menjadi merah. Richard memeluk tubuh istrinya yang mulai lemas.
“S-sekarang...k-kau... bisa m-menikahinya...,” Rosie tersenyum getir.
Tubuh Rosie mulai lemah dan terasa seringan kapas, pandangan mengabur dan gendang telinga seperti tertutup. Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, sayup-sayup ia mendengar teriakan panik Richard,” Bertahanlah Rosie, aku akan membawamu ke rumah sakit!”***Michael menyusuri gang sempit menuju apartemen kumuh yang ia huni bersama ibu dan adik laki-lakinya, Jonas. Sebenarnya ia enggan pulang karena belum menghasilkan uang sama sekali.Semuanya disebabkan oleh wanita cantik misterius yang ia temui hari itu. Bukan hanya diusir, ia juga berakhir dipecat dengan tidak hormat karena laporan pelayanan buruk dan tidak profesional.Michael Evans, nama lengkap pemuda itu. Orang-orang terdekat memanggilnya Michael, usianya 24 tahun. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja sebagai pria penghibur.Sebelumnya ia hanya bekerja sebagai pelayan rumah makan namun karena memiliki adik yang sakit-sakitan dan membutuhkan biaya tidak sedikit untuk berobat ke rumah sakit.Ia terpaksa mengikuti anjuran Nathan, sa
“Apakah kau yakin berobat di rumah sakitnya orang-orang kaya ini?” Nathan meneguk ludah sendiri saat menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk unit gawat darurat sebuah rumah sakit besar yang berada di jantung kota.“Aku tidak peduli, keselamatan adikku lebih penting!” kata Michael berkeras. Sebenarnya mereka berdua sudah berusaha mendatangi rumah sakit kecil namun bagian administrasi mengatakan unit gawat darurat.sedang penuh saat ini dan masih banyak yang belum tertangani. Ia menganjurkan mereka ke rumah sakit lain, dan anehnya beberapa rumah sakit serupa dalam kondisi yang sama. Akhirnya Nathan memutuskan menuju rumah sakit besar itu karena kondisi adiknya yang mengkhawatirkan.Belum lagi ia membuka pintu mobil, tiba-tiba terdengar bunyi klakson sangat keras di belakang mereka.“Wtf!” maki Nathan kesal, apalagi saat lampu depan mobil rolls royce di belakangnya berkedip-kedip menyilaukan mata. Nathan keluar dari mobil diikuti Michael dengan Jonas dalam gendongannya.“Hey, jan
“Bisakah…kita memulai dari awal lagi?” lanjut Rosie sembari berusaha untuk bangkit namun ia meringis ketika dirasakannya nyeri yang hebat di pergelangan tangan. Richard segera menahan bahu Rosie dan membantunya berbaring kembali. “Aku tak akan meninggalkanmu, kau istriku.” Richard tersenyum lalu mencium kening istrinya, “Maafkan aku.” Rosie tersenyum bahagia, ia tak peduli apakah Richard mengucapkannya dengan tulus atau sebaliknya. Baginya ini sudah lebih dari cukup, ia akan memanfaatkan waktu dengan membuktikan bahwa ia-lah istri terbaik untuk Richard. Suara berdehem Sebastian menyadarkan Rosie bahwa ayahnya juga berada di situ. “Ayah.” “Bisakah kau tinggalkan aku dan putriku sebentar?” Sebastian memandang Richard, tetap sedingin es.“Tentu saja,” Richard mencium punggung tangan Rosie,” Aku akan berada di luar, istirahatlah!”Richard melepaskan genggamannya, mengangguk pada Sebastian sembari melangkah meninggalkan ruangan. “Rosie, apa yang terjadi?” tanya Sebastian pada putriny
Michael memperhatikan Jonas yang masih terlelap di atas tempat tidur rumah sakit, adiknya itu baru saja dipindahkan dari ruang Gawat Darurat ke ruang Recovery. Ia ingin membawa Jonas pulang tetapi masih harus menunggu hasil tes darah yang masih dalam proses pemeriksaan. Nathan berdiri di sampingnya tanpa banyak bicara, ia menyadari beban yang dipikul sahabatnya sangat berat. Mereka bersahabat sejak masih kanak-kanak dan dibesarkan bersama-sama di lingkungan kumuh. Sejauh yang Nathan tahu, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah kandung Michael. Abigail sempat menikah dengan seorang pria berusia lebih tua ketika usia Michael 12 tahun dengan harapan Michael memperoleh ayah yang bisa mengasihinya. Namun pria itu hanya bisa bermabuk-mabukan dan main pukul. Michael sering dijadikan samsak hidup bila Abigail tidak ada di rumah. Untuk menghindari kecurigaan istrinya, ayah tiri Michael memukulnya di bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian. Setelah Abigail melahirkan Jonas, ayah t
Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak. “Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya. “Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya. “Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.” “Kau yakin?” Selena mencibir. “Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.” “Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan s
Michael menghela nafas lega sambil tersenyum penuh percaya diri, “Tentu saja aku bisa.” Richard meletakkan beberapa foto wanita di atas meja lalu menyorongkannya ke arah Michael. Michael memeriksa lembar demi lembar foto wanita cantik yang diberikan dengan mulut mengepak dan mata membulat. “Bukankah i..ini istri anda?” Richard mengangguk, “Namanya Rosie, dialah targetmu.” Michael memperhatikan wajah Rosie lebih seksama, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Rambut keemasan, mata biru, bibir tipis…bibir itu mengingatkannya pada bibir yang pernah membuatnya lupa diri beberapa hari lalu. Perlahan ingatannya akan wajah itu terangkai penuh, ternyata istri Richard adalah wanita yang pernah bersamanya waktu itu. “Maaf, aku tidak mengerti. Kau menugaskan aku untuk tidur dengan istrimu?” tanya Michael tak percaya sambil mengangkat dagunya memindahkan pandangannya kepada Richard yang masih menunggu reaksinya. “Aku memintamu untuk membuat istriku jatuh cinta padamu dalam waktu
Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat. Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja. ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya. Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh. “Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir. “Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit. “Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di t
Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b