Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Pria itu berdiri di hadapan Rosie sebelum wanita berusia 27 tahun itu sempat berkedip, tubuh kekarnya menjulang tinggi di atasnya dan membelai pipinya dengan punggung tangan.Rosie tidak mampu bergerak, ia hanya berdiri membeku seperti lalat yang terperangkap dalam jaring laba-laba dengan mulut yang mengepak namun tidak ada kata-kata yang bisa keluar. Laki-laki yang tampaknya lebih muda beberapa tahun darinya itu tersenyum memamerkan deretan gigi putih menawan sedangkan mata hijau zamrudnya menatap Rosie sayu, tatapan sarat nafsu laki-laki yang membuat wanita muda itu bergidik ngeri.“Namamu Michael?” Rosie mencoba membuka percakapan meski sebenarnya ia sudah mengetahuinya dari Donna, mucikari yang diperkenalkan oleh Selena. Donna yang membawa laki-laki tampan itu kepadanya, dan kini tinggal mereka berdua sendirian di dalam kamar hotel yang lebih mirip kamar bulan madu itu.“Anda cantik sekali,” suara Michael terdengar lembut dan dalam. Rosie menelan ludah ketika wajah Michael begi
Setiba di mansion mewah kediamannya, Rosie bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia menggosok seluruh tubuh terutama di bagian-bagian yang telah dijamah pria asing itu kuat-kuat hingga kulit putih mulusnya memerah, tak lupa menggosok gigi dan berkumur puluhan kali. Ia merasa dirinya sangat kotor saat ini.Air matanya tumpah bersamaan dengan guyuran shower di atas kepalanya. Perlahan dipejamkannya mata dan ingatannya terbang kembali ke masa lima tahun yang lalu. “Mulai sekarang tinggalkan karirmu sebagai aktris, Ayah akan menikahkanmu dengan putra relasi ayah, Richard Eddison!” Rosie masih ingat betul kata-kata ayahnya, Sebastian White waktu itu. Ia masih berusia 22 tahun dan sedang berada di puncak karir sebagai aktris muda berbakat ditunjang dengan wajah cantik, mata biru, rambut emas, dan tinggi 172 cm bak model dunia.Rosie sudah menekuni dunia akting sejak usia 17 tahun, karena dengan berakting ia dapat mengekspresikan diri sekaligus mengusir kesepian setelah ibund
Tubuh Rosie mulai lemah dan terasa seringan kapas, pandangan mengabur dan gendang telinga seperti tertutup. Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, sayup-sayup ia mendengar teriakan panik Richard,” Bertahanlah Rosie, aku akan membawamu ke rumah sakit!”***Michael menyusuri gang sempit menuju apartemen kumuh yang ia huni bersama ibu dan adik laki-lakinya, Jonas. Sebenarnya ia enggan pulang karena belum menghasilkan uang sama sekali.Semuanya disebabkan oleh wanita cantik misterius yang ia temui hari itu. Bukan hanya diusir, ia juga berakhir dipecat dengan tidak hormat karena laporan pelayanan buruk dan tidak profesional.Michael Evans, nama lengkap pemuda itu. Orang-orang terdekat memanggilnya Michael, usianya 24 tahun. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja sebagai pria penghibur.Sebelumnya ia hanya bekerja sebagai pelayan rumah makan namun karena memiliki adik yang sakit-sakitan dan membutuhkan biaya tidak sedikit untuk berobat ke rumah sakit.Ia terpaksa mengikuti anjuran Nathan, sa
“Apakah kau yakin berobat di rumah sakitnya orang-orang kaya ini?” Nathan meneguk ludah sendiri saat menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk unit gawat darurat sebuah rumah sakit besar yang berada di jantung kota.“Aku tidak peduli, keselamatan adikku lebih penting!” kata Michael berkeras. Sebenarnya mereka berdua sudah berusaha mendatangi rumah sakit kecil namun bagian administrasi mengatakan unit gawat darurat.sedang penuh saat ini dan masih banyak yang belum tertangani. Ia menganjurkan mereka ke rumah sakit lain, dan anehnya beberapa rumah sakit serupa dalam kondisi yang sama. Akhirnya Nathan memutuskan menuju rumah sakit besar itu karena kondisi adiknya yang mengkhawatirkan.Belum lagi ia membuka pintu mobil, tiba-tiba terdengar bunyi klakson sangat keras di belakang mereka.“Wtf!” maki Nathan kesal, apalagi saat lampu depan mobil rolls royce di belakangnya berkedip-kedip menyilaukan mata. Nathan keluar dari mobil diikuti Michael dengan Jonas dalam gendongannya.“Hey, jan
“Bisakah…kita memulai dari awal lagi?” lanjut Rosie sembari berusaha untuk bangkit namun ia meringis ketika dirasakannya nyeri yang hebat di pergelangan tangan. Richard segera menahan bahu Rosie dan membantunya berbaring kembali. “Aku tak akan meninggalkanmu, kau istriku.” Richard tersenyum lalu mencium kening istrinya, “Maafkan aku.” Rosie tersenyum bahagia, ia tak peduli apakah Richard mengucapkannya dengan tulus atau sebaliknya. Baginya ini sudah lebih dari cukup, ia akan memanfaatkan waktu dengan membuktikan bahwa ia-lah istri terbaik untuk Richard. Suara berdehem Sebastian menyadarkan Rosie bahwa ayahnya juga berada di situ. “Ayah.” “Bisakah kau tinggalkan aku dan putriku sebentar?” Sebastian memandang Richard, tetap sedingin es.“Tentu saja,” Richard mencium punggung tangan Rosie,” Aku akan berada di luar, istirahatlah!”Richard melepaskan genggamannya, mengangguk pada Sebastian sembari melangkah meninggalkan ruangan. “Rosie, apa yang terjadi?” tanya Sebastian pada putriny
Michael memperhatikan Jonas yang masih terlelap di atas tempat tidur rumah sakit, adiknya itu baru saja dipindahkan dari ruang Gawat Darurat ke ruang Recovery. Ia ingin membawa Jonas pulang tetapi masih harus menunggu hasil tes darah yang masih dalam proses pemeriksaan. Nathan berdiri di sampingnya tanpa banyak bicara, ia menyadari beban yang dipikul sahabatnya sangat berat. Mereka bersahabat sejak masih kanak-kanak dan dibesarkan bersama-sama di lingkungan kumuh. Sejauh yang Nathan tahu, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah kandung Michael. Abigail sempat menikah dengan seorang pria berusia lebih tua ketika usia Michael 12 tahun dengan harapan Michael memperoleh ayah yang bisa mengasihinya. Namun pria itu hanya bisa bermabuk-mabukan dan main pukul. Michael sering dijadikan samsak hidup bila Abigail tidak ada di rumah. Untuk menghindari kecurigaan istrinya, ayah tiri Michael memukulnya di bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian. Setelah Abigail melahirkan Jonas, ayah t
Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak. “Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya. “Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya. “Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.” “Kau yakin?” Selena mencibir. “Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.” “Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan s