Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat.
Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja.ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya.Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh.“Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis.Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir.“Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit.“Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di tempat Jason?”“Lebih dari siap,” Rosie kembali menghadap cermin dan menyapukan brush pemerah pipi ke sepanjang tulang pipinya.“Anthony bisa mengantarkanmu kalau kau mau.”“Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri.”“Terserahlah kalau begitu, akan ku-kirimkan alamatnya kepadamu!” Richard meloloskan diri dari selimut tebal yang mengungkungnya,meninggalkan peraduan menuju kamar mandi.Rosie mengangguk, meski dalam hati ingin menjerit. Mengapa selalu Anthony yang disebut oleh Richard untuk mengantarkan atau menjemputnya?Selama lima tahun menikah tak sekalipun Richard menawarkan diri atau berinisiatif untuk melakukannya seolah ia pria tersibuk di dunia.Rosie mendengus kesal, dimasukkannya semua peralatan makeup ke dalam tas kecil dengan sedikit kasar. Ah, masalah kecil seperti ini tidak boleh mempengaruhi mood-nya bekerja.Bukankah mereka sedang memulai kembali semua dari awal, dan ia juga berjanji akan menunggu sampai Richard mencintainya?Semangat, Rosie! Ia mengayunkan tinju ke atas menyemangati diri.***Sebuah tepukan lembut di bahu membangunkan Michael dari tidur. Ia menggosok-gosok mata dan mencoba melihat sosok di sampingnya secara lebih seksama.Dr Samantha tersenyum padanya, “Kau tidur semalaman menjaga Jonas, pasti lelah sekali.”Michael meluruskan punggungnya seraya membalas senyuman dokter cantik itu, “Aku sebenarnya menunggu Anda, Dokter.”“Panggil saja aku Samantha, usia kita kurasa tak jauh berbeda!” ujar Samantha sambil mengatur laju infus pada selang menggantung yang menghubungkan botol infus dengan jarum yang menancap di punggung tangan Jonas.“Samantha, nama yang bagus. Kau bisa memanggilku…”“Michael,” Samantha menoleh, menampakkan gigi-giginya yang tertata rapi saat tersenyum.“kau sudah tahu namaku?” Michael mengangkat alis tebalnya dengan heran.“Jonas selalu bercerita tentangmu,” Samantha melirik ke arah Jonas yang masih lelap tidur di atas ranjang rumah sakit, “Dia sangat bangga memiliki kakak sepertimu, Mich.”“Aku juga bangga memiliki adik seperti dia,” Michael menatap Jonas penuh kasih.“Kalian sama-sama beruntung karena saling memiliki,” gumam Samantha dengan wajah berubah murung, seperti mengenang sesuatu atau tepatnya seseorang.“Kau memiliki saudara juga?” Michael menatapnya.Samantha menggeleng, mengalihkan pandangan pada Michael,” Oh ya, kau menungguku untuk apa?”“Aku ingin minta tolong padamu, kalau kau tidak keberatan.”“Katakan saja, siapa tahu aku bisa bantu.”“Aku diterima bekerja di sebuah cafe, karena ini adalah hari-hari pertama aku bekerja pasti akan sibuk sekali.”“Itu bagus.”“Ya, bisakah kutitipkan Jonas bila aku dan ibuku tidak berada di sini menjaganya?”“Tentu saja, dia adalah pasienku.”Michael begitu terharu, seperti ada air sejuk mengalir membasahi hatinya yang kering. Ia terbiasa bertemu dengan orang-orang yang egois, namun Samantha adalah pribadi yang manis sejak pertama mereka bertemu.Secara refleks diraihnya tangan Samantha dan digenggam erat, “Terimakasih.”Michael tak menyadari perubahan paras Samantha yang merona jambu karena ponsel di saku jeansnya keburu bergetar. Ia melepaskan tangan gadis itu untuk menjawab panggilan tak dikenal.“Hello?”“Michael, sudah jam berapa ini?” terdengar suara Jason di seberang, “Jangan bilang kau lupa ini hari kerja pertama-mu di cafe-ku!’“Hari ini?” mata Michael membelalak kaget.“Aku kirim pesan padamu semalam.”Michael menjauhkan ponsel dari telinga untuk memeriksa chat, ternyata benar Jason telah mengirimkan pesan semalam dan ia belum membukanya sama sekali.“Maaf, aku akan segera kesana!” kata Michael cepat.“Kuberi waktu setengah jam untuk sampai kemari!”Michael segera bangkit dari duduk, mendekati Jonas dan membungkuk untuk mengecup keningnya.“Pergilah,” ucap Samantha lembutMichael mengangguk lalu berbalik dan setengah berlari meninggalkan rumah sakit.Ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya yang berjarak tidak terlalu jauh dari alamat cafe milik Jason lebih dahulu.Namun belum lagi menaiki tangga, ia sudah dihadang oleh Marco.“Aku sudah seharusnya mengusirmu beberapa hari lalu,” kata Marco sambil memicingkan mata. Tubuh besarnya berdiri menutupi koridor yang hanya selebar dua meter sambil berkacak pinggang.“Marco, aku memang berniat menemuimu untuk membayar tunggakan uang sewa-ku!” Michael menepuk bahu Marco sambil meraih dompet yang tersimpan di kantong celana bagian belakangnya.Wajah Marco berubah begitu melihat dompet pemuda itu terlihat tebal tak seperti biasa. MIchael mengeluarkan gepokan uang tersebut dan menghitungnya.“Ini uangnya,” Michael menyerahkan beberapa lembar uang pada Marco.“Nah begitu dong!” di bibir tebal Marco tersungging senyum senang. Ia berbalik pergi tanpa ucapan terima kasih.Michael hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari melanjutkan langkah yang tertunda. Ia benar-benar tak punya banyak waktu, karena Jason pasti sudah menunggunya.Sejujurnya ia tak mengerti mengapa harus bekerja di cafe milik Jason, yang ia tahu itu adalah bagian dari rencana. Itu saja, selebihnya blank alias kosong.Setelah mandi dan merasa segar kembali, Michael mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam lalu turun ke lantai bawah.Ia mengeluarkan sepeda lipatnya dari gudang kecil yang terletak di samping pintu masuk gedung.Sepeda itu terlihat tua dengan debu di sana sini karena jarang digunakan, untunglah ban rodanya tidak kempes, rantainya-pun masih terpasang sempurna.Ia mengayuh sepeda kuat-kuat membelah jalanan yang padat, dengan lincah pula ia menyalip kendaraan-kendaraan yang terpaksa melambat atau berhenti karena macet.Ia dapat merasakan ponsel di saku celananya bergetar beberapa kali, Jason pasti berusaha menghubungi terus-menerus karena ia sudah melewati waktu yang ditentukan.Setiba di tempat, ia memarkirkan sepedanya di samping cafe.Sejenak ia mengagumi bangunan sederhana di depannya, sebuah bangunan bata putih dua lantai dengan kanopi berwarna merah di sepanjang sisinya, meja dan kursi dari bahan kayu bercat putih diletakkan di bawah kanopi tersebut dan terlihat beberapa pasangan duduk disana menikmati makan pagi dan kopi mereka sambil mengobrol.Ada kaca besar sebagai pembatas bagian dalam dan luar cafe tersebut. Terlihat dari tempatnya berdiri beberapa orang berdiri di dalamnya sambil mengobrol, salah satunya ia kenali adalah Jason.Ia bergegas membuka pintu kaca dan masuk seraya menyapa,” Hai, maaf aku terlambat!”Pandangan Michael tertuju kepada Jason yang melotot padanya, “Michael, ini hari pertamamu bekerja tapi kau sudah membuat…”PRANG!!Terdengar suara gelas jatuh ke lantai begitu keras hingga ia menoleh ke arah sumber suara.Seseorang berdiri tak jauh dari Jason, menatapnya dengan mata biru membulat besar seperti burung hantu dan bibir pink mengepak.Bibir yang sampai saat ini masih terasa kelembutannya di bibirnya.“Rosie.”Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
“Kelihatannya kau tertarik pada karyawan baru itu?” goda Jason, meski sebenarnya ia sedang mengulur waktu mencari jawaban yang tepat untuk istri sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Siapa bilang?” mata biru Rosie membeliak namun pipinya tak urung merah merona. Pemandangan itu tak luput dari mata jeli Jason yang menanggapinya dengan senyum tertahan. “Justru aku tidak suka padanya, terlihat licik dan jahat!” kata Rosie sambil mendekatkan dirinya ke partisi kaca, melihat ke arah MIchael yang sedang melayani seorang pelanggan wanita. Wanita itu terlihat mengulum bibir dan memainkan ujung rambutnya yang terjuntai di pundak, bahkan matanya menatap Michael sayu seperti gadis dimabuk cinta. Michael melayaninya dengan senyuman dan membiarkan pinggangnya dicubit gemas oleh wanita itu. “Lihat itu tingkahnya, norak…kampungan!” kata Rosie sebal menunjuk ke arah Michael dengan dagunya. “Memang dia kenapa? Wajarlah dia tampan hingga disukai pelanggan wanita. Apa yang salah?” Jason melihat
Pria itu membungkuk dengan kedua tangannya menggenggam sandaran tangan kursi, mengungkung Rosie di dalamnya. “Aku hanya ingin berterima kasih, jadi tolong jaga sikapmu!” Rosie memicingkan mata geram, berusaha mengabaikan kupu-kupu yang sedang berperang dalam perutnya. “Jangan salahkan aku, ikatan darah di antara kita sangat kuat!” “Makin lama omonganmu makin ngawur!” sentak Rosie kesal, “Jangan buat aku menyesal sudah bersikap baik padamu!’ “Satu kali makan malam maka kuanggap kita impas, bagaimana?” kata Michael bernegosiasi. Rosie berpikir sejenak sebelum mengangguk, “Hanya makan malam!” “Ya tentu saja, kecuali kau ingin…” “Sebaiknya kurangi bicara atau gajimu kupotong!” ancam Rosie. Michael mengatupkan bibir namun mata hijaunya seperti tertawa menggoda. “Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Akan kusiapkan makan malamnya!” Michael menjauh dari Rosie, melangkah meninggalkan ruangan menuju ke da
Michael mengunci pintu depan cafe, menyembunyikan kuncinya di bawah pot besar sesuai pesan rekan-rekan seniornya sebelum mereka pulang. Pemuda itu memeriksa jam tangan kulit yang membelit pergelangan tangan kirinya, sudah jam delapan malam. Ia mendongak ke langit berwarna biru pekat, bulan purnama terlihat penuh di atasnya. Masih ada waktu untuk mengunjungi Jonas di rumah sakit, pikirnya. Hari ini sebenarnya hari yang melelahkan, seluruh tubuhnya serasa luluh lantak. Tetapi Jonas pasti akan menanyakannya bila ia tak datang. “Michael.” Michael membalikkan tubuh, matanya menangkap sosok wanita berdiri di dekat pintu mobil beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sosok yang ia kenal. “Rosie?” Michael berjalan mendekat beberapa langkah untuk memastikan wanita di depannya adalah Rosie. Tak ada jawaban. Wajah Rosie bermandikan cahaya bulan, terlihat cantik. Michael melihat ke dalam mata birunya dan melihat tatapan lapar yang belum
Seorang pria berusia sekitar 60 tahun-an berjalan keluar dari bandara, mengenakan jaket kulit di luar kaos putih dipadu celana jeans biru. Penampilannya sederhana namun tetap terlihat rapi dan elegan.Di samping kiri-kanannya berjalan pula dua orang pria yang berusia lebih muda mengenakan pakaian serba hitam. Mereka menggunakan jasa taksi bandara untuk mengantarkan ke sebuah hotel bintang lima yang terletak di jantung kota.Nama pria itu adalah George Bridgewood, seorang pengusaha sukses dari Inggris. Namun demikian penampilannya selalu bersahaja.Meski sudah kepala enam, dengan tubuh tinggi tegap, dada bidang dan sedikit keriput di wajah, ia lebih mirip pria berusia 40 tahun. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel. mata hijau zamrudnya memandang ke luar jendela taksi. Kenangan masa lalu tiba-tiba mengusiknya, membawa ia dalam perasaan bersalah yang menyiksa. 25 tahun yang lalu George pernah tinggal di kota itu selama beberapa waktu dalam rangka membina hubungan kerjasama dengan salah
Pagi itu, suasana cafe mulai ramai pengunjung. Michael dan rekan-rekannya sibuk melayani customer yang terus saja datang. Beruntungnya kondisi sakit di kakinya berangsur membaik hingga ia tetap mampu bekerja maksimal. Bukan hanya menerima pelanggan yang memesan makanan dan minuman, Michael juga harus menghadapi beberapa pelanggan genit yang meminta nomor teleponnya. Sungguh memusingkan, ditambah pandangan cemburu rekan-rekan pria yang lain padanya karena ia lebih sering mendapat tips dari pengunjung wanita. Michael sudah banyak belajar tentang karakter orang dan bagaimana membuat mereka puas dengan hasil kerjanya, hal ini dikarenakan ia sudah harus bekerja mencari nafkah sejak usia 15 tahun. Kondisi perekonomian yang sulit mengajarkan banyak hal padanya termasuk bertahan hidup. Setelah berhasil meloloskan diri dari rayuan seorang gadis cantik yang berani mengajaknya kencan setelah memesan secangkir kopi latte, ia memilih menghabiskan waktu m
David tak pernah menyangka akan mendapat durian runtuh, manager barunya yang cantik tiba-tiba saja mengajaknya makan malam. Mimpi-pun ia tak berani, hanya mampu mengagumi dari jauh. Kini sang bidadari dengan suka rela datang ke pelukannya tanpa diminta, tak mungkin akan ia sia-siakan. “Bos, benarkah kita akan makan malam?” ia bertanya untuk memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi. Rosie menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum akhirnya mengangguk perlahan. “Ya, tentu saja.” “Terima kasih, Bos!” David tak dapat menyembunyikan kegembiraannya, “Kalau begitu sebaiknya aku melanjutkan pekerjaanku dulu.” Rosie mengangguk kecil, nyaris tak terlihat olehnya. Dengan langkah kaki penuh percaya diri, ia meninggalkan ruangan. Setiba di pantry dimana Michael dan Ruby sedang menyiapkan pesanan pelanggan, David menari kegirangan. Michael yang melihatnya hanya bisa melengos kesal, berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaannya. “Tampaknya sudah jelas akulah pemenang taruhan
Rosie sudah melampaui beberapa tikungan ketika berpikir untuk kembali. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Michael yang saat ini basah kuyup karena ulah David. Bagaimana kalau pemuda itu tidak segera mendapatkan tumpangan? Bagaimana kalau ia kedinginan sementara kakinya masih cedera? Rosie memutuskan untuk memutar mobilnya kembali ke tempat Michael berada. Karena kondisi hujan, ia tidak bisa mempercepat laju kendaraan ditambah kondisi jalan macet. Rosie mengetuk kemudi dengan jari-jari lentiknya, mencoba bersabar saat harus menunggu di bawah lampu merah. Setelah bermenit-menit yang membosankan akhirnya ia sampai di seberang halte. Michael masih berdiri di sana, menggigil dalam sepi. Rosie menggigit bibir, tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Butuh keberanian luar biasa untuk keluar dari mobil dan menemui pemuda itu, karena menemui Michael sama dengan mengakui bahwa ia menyukai pemuda bermata hijau itu. Setelah lelah berperang dengan dirinya sendiri, Rosie m
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b