Rosie sudah melampaui beberapa tikungan ketika berpikir untuk kembali. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Michael yang saat ini basah kuyup karena ulah David. Bagaimana kalau pemuda itu tidak segera mendapatkan tumpangan? Bagaimana kalau ia kedinginan sementara kakinya masih cedera? Rosie memutuskan untuk memutar mobilnya kembali ke tempat Michael berada. Karena kondisi hujan, ia tidak bisa mempercepat laju kendaraan ditambah kondisi jalan macet. Rosie mengetuk kemudi dengan jari-jari lentiknya, mencoba bersabar saat harus menunggu di bawah lampu merah. Setelah bermenit-menit yang membosankan akhirnya ia sampai di seberang halte. Michael masih berdiri di sana, menggigil dalam sepi. Rosie menggigit bibir, tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Butuh keberanian luar biasa untuk keluar dari mobil dan menemui pemuda itu, karena menemui Michael sama dengan mengakui bahwa ia menyukai pemuda bermata hijau itu. Setelah lelah berperang dengan dirinya sendiri, Rosie m
“Tidak!” pekik Rosie memilukan, “Jangan tinggalkan aku, Richard!” Tangannya yang berlumuran darah berusaha menggapai Richard, tanpa mempedulikan duri-duri menancap di tubuhnya. Richard memalingkan wajah ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata iba. Air mata Rosie jatuh di atas kelopak bunga mawar yang menempel di pipinya. Ia tidak ingin belas kasihan. Ia hanya ingin memiliki cinta Richard.”Tolong aku, Richard!” ia memohon. Namun pria itu hanya tersenyum dan berlalu bersama kekasihnya, meninggalkan Rosie terbelenggu dalam jeratan mawar berduri. TIDAK!! Rosie tersentak bangun, ia masih berada di atas ranjang di dalam kamarnya dengan pakaian kerja yang ia kenakan kemarin. Kepalanya berdenyut-denyut karena terbangun mendadak dalam keadaan shock. Ia lega semua hanya mimpi, mimpi buruk seperti biasanya. Hanya kali ini mimpi buruknya lebih mengerikan dari biasanya. Rasa sakit seperti ditusuk ribuan duri mawar masih ia rasakan pedihnya, mimpi itu meninggalkan luka tak berdarah dalam
George memberi kode ke arah Kevin dengan gerakan mata, pria bertubuh gempal itu mengangguk lalu meninggalkan majikannya untuk membuntuti Michael. “Ke mana anak buah Anda, Tuan George?” tanya Richard saat kembali menemuinya. “Aku memberinya tugas untuk diselesaikan,” jawab George, masih dengan senyum di bibirnya. Richard menanggapinya dengan mengangguk-anggukan kepala. “Oh ya, siapa nama pemuda tadi?” tanya George hati-hati ketika mereka berjalan ke ruang rapat. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan di hati koleganya. “Pemuda yang mana?” raut muka Richard terlihat bingung. “Pemuda yang tadi menyerahkan tabung ini padamu,” George menunjuk tabung di tangan Richard dengan dagunya. “Oh, Michael?” Jadi namanya Michael? George mengangguk. “Ia hanya pelayan di cafe milik rekanku,” kata Richard, “Mengapa Anda menanyakannya?” “Tidak apa-apa,” George terkekeh, “Aku juga menyukai semangatnya, sama sepertimu”
“Tolong!” jerit Sasha ketakutan. “Tak ada gunanya Anda berteriak-teriak, majikan kami sudah menutup lantai ini dari umum!” pria itu menatapnya dengan sorot mata dingin, membuatnya menggigil ketakutan. Setelah tahu tak ada gunanya berusaha lari, Sasha masuk kembali ke kamar hotelnya. Ia melangkah lunglai ke tempat tidur king size, berbaring, dan menumpahkan tangis di sana, hingga kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur. Entah berapa lama Sasha terlelap dan terbawa mimpi entah ke mana, ketika kemudian ia terbangun karena merasakan hembusan napas menggelitik pipinya. Sasha membuka mata perlahan, menemukan bahwa seseorang sedang menikmati wajahnya dengan mata laparnya. Ia tersentak kaget, tubuhnya dengan refleks beringsut ke belakang. “Sasha, ini aku!” Richard tersenyum. “Richard?” matanya membelalak. Melihat pria dihadapannya mengangguk, kemarahan-pun timbul seiring dengan ingatannya tentang penyekapan yang ia alami. “Apa yang kau lakukan, Richard?” teriak gadis itu, “Mengap
Richard menatap langit-langit kamar dengan nafas tersengal, ia baru saja menyelesaikan pertarungan nikmat dengan kekasihnya. Perlahan ia mengalihkan pandangan ke arah Sasha yang tergolek lemah karena kelelahan, ada senyum puas terukir di bibir tipisnya. “Kau memang hebat, Sayang!” pujian Richard membuat pipi Sasha merah jambu. Wanita muda itu beringsut mendekat, menempelkan tubuhnya pada tubuh Richard yang masih sama-sama telanjang. Diusap dan dikecupnya dada bidang kekasih masa kecilnya dengan penuh kemesraan. Sasha tersenyum, namun senyum itu perlahan memudar kala tangannya menyentuh sesuatu yang dingin melingkar di jari manis kekasihnya, cincin pernikahan. Ia menjatuhkan pandangan pada cincin emas putih berhiaskan dua berlian di tengahnya. Sasha paham arti dua berlian tersebut adalah melambangkan masa kini dan masa depan. Richard yang menyadari perubahan wajah Sasha mengikuti arah pandangan kekasihnya dan hanya bisa mengutuk diri dalam hati karena lalai menanggalkan cincin
“Abbie, kaukah ini?’ George menatap Abigail seolah tak percaya. Wanita di depannya tidak lagi memiliki mata cantik dan ceria seperti dulu, wajah ceria dengan senyuman manis-pun kini berubah menjadi muram dan layu. Abigail tak mampu berkata-kata, air mata mengalir deras di sepanjang pipi tirusnya. Ia ingin membanting pintu dan berlari sejauh-jauhnya dari monster di depannya tetapi seluruh otot-otot tangan dan kakinya seakan sulit digerakkan. “Setelah sekian lama akhirnya aku menemukanmu,” kata George penuh dengan kelembutan. Ia merasa seperti berhadapan dengan patung kaca yang sudah retak dan setiap saat dapat pecah menjadi serpihan-serpihan kristal bila ia tak hati-hati menjaganya. “Aku ingin meminta maaf atas kesalahanku,” George menunduk penuh penyesalan. Abigail mengerahkan seluruh kekuatannya saat mengucapkan kata, “Pppe…pergi!” Kaki-kakinya perlahan memiliki kekuatan untuk mundur beberapa langkah. Tangannya terangkat meraih daun pintu, tetapi George sepertinya mengetahui
Matahari mulai tenggelam ketika Abigail membuka mata dan sadar sepenuhnya. Ia tak mengerti mengapa dirinya berada di dalam kamar rumah sakit dengan selang infus yang disambungkan ke punggung tangannya melalui sebuah jarum infus. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan begitu ingatannya terangkai penuh wajahnya pucat kembali. Ia berpikir mungkin pria itu yang membawanya ke rumah sakit, tapi mengapa? Bukankah ia harus menganggap mantan majikannya tak pernah ada? Lalu untuk apa orang itu datang lagi? Tak lama kemudian, seorang pria masuk ke dalam ruangan. “Syukurlah Anda sudah bangun, Nyonya Abbie!” sapa pria itu ramah. Abigail menatapnya curiga, “Siapa Anda? Dan mengapa aku ada disini?” “Anda dapat memanggil saya Kevin,” jawab pria berlesung pipit itu, “Anda pingsan seharian, Kami membawamu ke rumah sakit karena khawatir terjadi apa-apa pada Anda.” Kami? Sepertinya pria ini berpihak pada mantan majikannya
Michael membungkuk dan menyentuhkan bibirnya pada bibir Rosie. Ciuman itu dimulai dengan sangat lembut, seperti anak remaja yang polos, kemudian perlahan berubah menjadi panas, semua nafsu dan frustasi yang terpendam ditumpahkan di dalamnya. Bibir Michael menuntut segala yang ada pada diri Rosie sementara wanita cantik itu seperti tersihir oleh pesonanya. Sesaat kemudian, Michael melepaskan bibir Rosie dan mulai menyerang dagunya. Jejak ciuman itu sampai ke rahangnya dan berlanjut ke leher, meninggalkan tanda kemerahan di sana. Tangan pemuda bermata hijau zamrud itu merayap dari pinggang ke punggung Rosie, menekannya ke depan hingga tubuh mereka menempel makin erat. Tiba-tiba Rosie meraih ke belakang punggungnya dan mendorong tangan Michael menjauh, “Aku seharusnya tidak melakukan ini. Aku seharusnya…" Ia tak mampu meneruskan, "Aku harus pergi." Ia bergerak untuk menjauh, tetapi Michael mencengkeramnya dengan erat