George memberi kode ke arah Kevin dengan gerakan mata, pria bertubuh gempal itu mengangguk lalu meninggalkan majikannya untuk membuntuti Michael. “Ke mana anak buah Anda, Tuan George?” tanya Richard saat kembali menemuinya. “Aku memberinya tugas untuk diselesaikan,” jawab George, masih dengan senyum di bibirnya. Richard menanggapinya dengan mengangguk-anggukan kepala. “Oh ya, siapa nama pemuda tadi?” tanya George hati-hati ketika mereka berjalan ke ruang rapat. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan di hati koleganya. “Pemuda yang mana?” raut muka Richard terlihat bingung. “Pemuda yang tadi menyerahkan tabung ini padamu,” George menunjuk tabung di tangan Richard dengan dagunya. “Oh, Michael?” Jadi namanya Michael? George mengangguk. “Ia hanya pelayan di cafe milik rekanku,” kata Richard, “Mengapa Anda menanyakannya?” “Tidak apa-apa,” George terkekeh, “Aku juga menyukai semangatnya, sama sepertimu”
“Tolong!” jerit Sasha ketakutan. “Tak ada gunanya Anda berteriak-teriak, majikan kami sudah menutup lantai ini dari umum!” pria itu menatapnya dengan sorot mata dingin, membuatnya menggigil ketakutan. Setelah tahu tak ada gunanya berusaha lari, Sasha masuk kembali ke kamar hotelnya. Ia melangkah lunglai ke tempat tidur king size, berbaring, dan menumpahkan tangis di sana, hingga kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur. Entah berapa lama Sasha terlelap dan terbawa mimpi entah ke mana, ketika kemudian ia terbangun karena merasakan hembusan napas menggelitik pipinya. Sasha membuka mata perlahan, menemukan bahwa seseorang sedang menikmati wajahnya dengan mata laparnya. Ia tersentak kaget, tubuhnya dengan refleks beringsut ke belakang. “Sasha, ini aku!” Richard tersenyum. “Richard?” matanya membelalak. Melihat pria dihadapannya mengangguk, kemarahan-pun timbul seiring dengan ingatannya tentang penyekapan yang ia alami. “Apa yang kau lakukan, Richard?” teriak gadis itu, “Mengap
Richard menatap langit-langit kamar dengan nafas tersengal, ia baru saja menyelesaikan pertarungan nikmat dengan kekasihnya. Perlahan ia mengalihkan pandangan ke arah Sasha yang tergolek lemah karena kelelahan, ada senyum puas terukir di bibir tipisnya. “Kau memang hebat, Sayang!” pujian Richard membuat pipi Sasha merah jambu. Wanita muda itu beringsut mendekat, menempelkan tubuhnya pada tubuh Richard yang masih sama-sama telanjang. Diusap dan dikecupnya dada bidang kekasih masa kecilnya dengan penuh kemesraan. Sasha tersenyum, namun senyum itu perlahan memudar kala tangannya menyentuh sesuatu yang dingin melingkar di jari manis kekasihnya, cincin pernikahan. Ia menjatuhkan pandangan pada cincin emas putih berhiaskan dua berlian di tengahnya. Sasha paham arti dua berlian tersebut adalah melambangkan masa kini dan masa depan. Richard yang menyadari perubahan wajah Sasha mengikuti arah pandangan kekasihnya dan hanya bisa mengutuk diri dalam hati karena lalai menanggalkan cincin
“Abbie, kaukah ini?’ George menatap Abigail seolah tak percaya. Wanita di depannya tidak lagi memiliki mata cantik dan ceria seperti dulu, wajah ceria dengan senyuman manis-pun kini berubah menjadi muram dan layu. Abigail tak mampu berkata-kata, air mata mengalir deras di sepanjang pipi tirusnya. Ia ingin membanting pintu dan berlari sejauh-jauhnya dari monster di depannya tetapi seluruh otot-otot tangan dan kakinya seakan sulit digerakkan. “Setelah sekian lama akhirnya aku menemukanmu,” kata George penuh dengan kelembutan. Ia merasa seperti berhadapan dengan patung kaca yang sudah retak dan setiap saat dapat pecah menjadi serpihan-serpihan kristal bila ia tak hati-hati menjaganya. “Aku ingin meminta maaf atas kesalahanku,” George menunduk penuh penyesalan. Abigail mengerahkan seluruh kekuatannya saat mengucapkan kata, “Pppe…pergi!” Kaki-kakinya perlahan memiliki kekuatan untuk mundur beberapa langkah. Tangannya terangkat meraih daun pintu, tetapi George sepertinya mengetahui
Matahari mulai tenggelam ketika Abigail membuka mata dan sadar sepenuhnya. Ia tak mengerti mengapa dirinya berada di dalam kamar rumah sakit dengan selang infus yang disambungkan ke punggung tangannya melalui sebuah jarum infus. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan begitu ingatannya terangkai penuh wajahnya pucat kembali. Ia berpikir mungkin pria itu yang membawanya ke rumah sakit, tapi mengapa? Bukankah ia harus menganggap mantan majikannya tak pernah ada? Lalu untuk apa orang itu datang lagi? Tak lama kemudian, seorang pria masuk ke dalam ruangan. “Syukurlah Anda sudah bangun, Nyonya Abbie!” sapa pria itu ramah. Abigail menatapnya curiga, “Siapa Anda? Dan mengapa aku ada disini?” “Anda dapat memanggil saya Kevin,” jawab pria berlesung pipit itu, “Anda pingsan seharian, Kami membawamu ke rumah sakit karena khawatir terjadi apa-apa pada Anda.” Kami? Sepertinya pria ini berpihak pada mantan majikannya
Michael membungkuk dan menyentuhkan bibirnya pada bibir Rosie. Ciuman itu dimulai dengan sangat lembut, seperti anak remaja yang polos, kemudian perlahan berubah menjadi panas, semua nafsu dan frustasi yang terpendam ditumpahkan di dalamnya. Bibir Michael menuntut segala yang ada pada diri Rosie sementara wanita cantik itu seperti tersihir oleh pesonanya. Sesaat kemudian, Michael melepaskan bibir Rosie dan mulai menyerang dagunya. Jejak ciuman itu sampai ke rahangnya dan berlanjut ke leher, meninggalkan tanda kemerahan di sana. Tangan pemuda bermata hijau zamrud itu merayap dari pinggang ke punggung Rosie, menekannya ke depan hingga tubuh mereka menempel makin erat. Tiba-tiba Rosie meraih ke belakang punggungnya dan mendorong tangan Michael menjauh, “Aku seharusnya tidak melakukan ini. Aku seharusnya…" Ia tak mampu meneruskan, "Aku harus pergi." Ia bergerak untuk menjauh, tetapi Michael mencengkeramnya dengan erat
Pria berambut abu-abu itu menatap Richard tajam, seperti ingin menembus ke dalam batok kepala menantunya.“Mengapa beberapa hari ini aku dengar kau tidak pulang ke rumah?”Richard terdiam sejenak, ia sedang memikirkan jawabannya.Apabila menghadapi Rosie, semua akan lebih mudah. Ia cukup mengatakan bahwa sedang lembur di kantor.Tetapi Sebastian mengenal hampir semua staff di perusahaan yang menantunya miliki, ia harus berpikir lebih cermat sebelum memberikan jawaban.“Mengapa kau terdiam?” mata Sebastian menyipit, ia mulai tak sabar.“Kami bertengkar, aku dan Rosie.”Hening.Sebastian menumpangkan kaki kanannya ke atas kaki kiri, bersandar pada sandaran sofa, sorot matanya masih meminta jawaban lebih detail.“Rosie belum bisa memaafkanku, entah bagaimana awalnya tiba-tiba ia marah dan mengusirku,” kata Richard tak berkedip.“Aku terpaksa menginap di hotel. Hari ini aku pulang dengan harapan ia sudah tenang kembali,” kebohongan demi kebohongan
Jonas murung seharian, tidak mau makan. Hal ini dikarenakan Michael dan ibunya seharian tak muncul menjenguknya. Setelah Samantha membujuknya kesekian kali, barulah ia bersedia makan meski dalam porsi sedikit. Samantha sendiri sudah berusaha menghubungi Michael namun tak tersambung. Pagi itu Samantha mengajak Jonas berjalan-jalan dengan menempatkan bocah itu di atas kursi roda, lalu membawanya ke taman. Namun Jonas tak merasa terhibur sama sekali. “Sam, kapan aku bisa pulang?” tanya Jonas pada Samantha dengan wajah menunjukkan ekspresi bosan. Ia pasti merindukan kembali berkumpul bersama ibu dan kakaknya. “Kau harus bersabar, Jo. Lagipula ada aku di sini menemanimu,” Samantha mengelus pundak kecil Jonas. “Tapi aku merindukan ibu dan kakakku,” bibir Jonas mengerucut kesal. “Jangan cemberut begitu, aku juga merasakan hal yang sama!” ujar Samantha berusaha menghiburnya. Jonas mendongak memandangnya, “Kau juga merind
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b