“Bisakah…kita memulai dari awal lagi?” lanjut Rosie sembari berusaha untuk bangkit namun ia meringis ketika dirasakannya nyeri yang hebat di pergelangan tangan. Richard segera menahan bahu Rosie dan membantunya berbaring kembali.
“Aku tak akan meninggalkanmu, kau istriku.” Richard tersenyum lalu mencium kening istrinya, “Maafkan aku.”
Rosie tersenyum bahagia, ia tak peduli apakah Richard mengucapkannya dengan tulus atau sebaliknya. Baginya ini sudah lebih dari cukup, ia akan memanfaatkan waktu dengan membuktikan bahwa ia-lah istri terbaik untuk Richard.
Suara berdehem Sebastian menyadarkan Rosie bahwa ayahnya juga berada di situ.
“Ayah.”
“Bisakah kau tinggalkan aku dan putriku sebentar?” Sebastian memandang Richard, tetap sedingin es.
“Tentu saja,” Richard mencium punggung tangan Rosie,” Aku akan berada di luar, istirahatlah!”
Richard melepaskan genggamannya, mengangguk pada Sebastian sembari melangkah meninggalkan ruangan.
“Rosie, apa yang terjadi?” tanya Sebastian pada putrinya tanpa basa-basi.
“Ayah, aku…”
“Kau tahu apa yang kau lakukan ini dapat mencoreng nama keluarga White!” suara Sebastian begitu dingin dan penuh amarah,” Ayah tidak peduli apa masalah rumah tanggamu, tetapi satu yang Ayah minta…jangan lakukan hal memalukan seperti ini. Kalau tersebar di media massa, bisa mempengaruhi kelangsungan perusahaan kita, mengerti?!”
Rosie menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk, menahan tangis. Bukan khawatir akan keselamatannya, ayahnya justru lebih khawatir dengan nama baik yang akan tercoreng apabila berita bunuh dirinya tersebar di media massa.
“Jangan khawatir, hal ini tidak akan terjadi lagi.”
“Baguslah, Ayah juga sudah memastikan tidak ada satu jurnalis-pun yang akan mengulas peristiwa ini.”
“Ayah menjengukku hanya untuk mengatakan ini?” tanya Rosie namun tak segera ditanggapi oleh Sebastian yang sibuk dengan ponselnya,” Kalau sudah, aku ingin istirahat. Ayah bisa pulang sekarang.”
Sebastian menggeser pandangan ke arah Rosie anak semata wayangnya, namun gadis itu lebih memilih memandang langit-langit kamar yang memiliki warna senada dengan dinding dan lantainya.
“Dengar, Ayah tahu hidupmu cukup sulit saat ini. Tetapi Ayah yakin kau bisa bertahan karena kau anak gadisku yang kuat,” kata Sebastian mulai melunak sambil mengusap kepala Rosie,”Ayah yang akan menghadapi Richard dan memastikan dia tak akan pernah bisa meninggalkanmu.”
Rosie hanya mengangguk kecil, berharap Sebastian segera meninggalkannya sendiri. Ia tak mengerti mengapa Sebastian selalu bersikap dingin, ia bahkan jarang berkomunikasi dengan ayahnya yang kerap sibuk dengan bisnisnya itu . Sejak ibunya meninggal 17 tahun yang lalu, Rosie lebih sering ditinggalkan sendiri dengan pengasuh. Tak ada kasih sayang yang ia terima meskipun ia hidup dalam kemewahan.
Sebastian meninggalkan putrinya tanpa kecupan sayang di kening atau pipi, membiarkan Rosie kembali berteman sepi. Rosie memejamkan mata dalam keheningan dan membiarkan genangan cairan bening di pelupuk mata mengalir menelusuri pipi pucatnya.
***
Richard menyeduh kopi panas sembari duduk di bangku taman yang ada di halaman rumah sakit, pikirannya berkecamuk. Ia tak tahu apakah harus menyesali keputusannya untuk tidak meninggalkan Rosie, ia tak punya pilihan lain dalam keadaaan Rosie yang baru pulih dari trauma dan mertua berdiri dihadapannya dengan sorotan mata setajam golok algojo yang siap memenggal kepalanya bila ia salah bicara.
Ia tersadar dari lamunan saat dirasakan ponsel di saku celananya bergetar. Dirogohnya saku celana dan mengeluarkannya. Sedetik jantungnya berhenti berdetak membaca nama yang tampil di layar, Sasha.
“Sasha,” sapanya setengah berbisik. Kerinduan untuk bertemu kembali menyeruak meski belum sehari mereka berpisah.
“Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, Richard,” kata-kata di seberang serasa membekukan aliran darahnya .
“Apa maksudmu?”
“Aku akan kembali ke LA dan berfokus pada karirku, tidak akan ada waktu berkencan. Kau pun seorang CEO dan memiliki beberapa perusahaan, fokuslah pada pekerjaanmu…dan istrimu!” Sasha menekankan kata “istrimu “ pada akhir kalimatnya.
“Kau ingin memutuskan hubungan denganku?” tanya Richard dengan nafas memburu. Udara di sekitarnya tiba-tiba saja seperti menipis hingga sulit baginya untuk bernafas.
“Mengapa? Bukankah kita pasangan yang sempurna dan saling mencintai? Kau tak bisa hidup tanpaku dan aku tanpamu.”
“Bagaimana kita bisa menjadi pasangan sempurna bila kita harus selalu bertemu secara sembunyi-sembunyi?” teriak Sasha dengan suara serak, ”Bagaimana kita bisa disebut sebagai pasangan yang saling mencintai bila ada yang terluka dan menangis karena percintaan terlarang ini? Kita hanyalah pasangan sakit, Richard!”
Richard terhenyak, Pasangan Sakit? Ia tak pernah menganggap hubungannya dengan Sasha adalah hubungan terlarang karena ia adalah milik Sasha selamanya, Rosie hanyalah wanita yang dipaksakan oleh ayahnya untuk menjadi istrinya demi menyatukan dua perusahaan raksasa yang dimiliki keluarga Johnson dan keluarga White. Jadi yang sebenarnya pasangan sakit bukankah dia dan Rosie?
“Aku sudah menikah sejak pertemuan kita yang pertama dan kau mengetahuinya, Honey. Kau katakan akan menerimaku apa adanya, dan sekarang kau menyesal?” Richard meraup wajahnya dengan sebelah tangannya yang terbebas seperti kebiasaannya saat kesal.
“Tidakkah kau tahu, aku sangat mencintaimu? Dari dulu hingga sekarang, tak pernah berubah. Rosie adalah suatu kesalahan, tapi kau tidak. Bersamamu adalah hal terbaik dalam hidupku.”
Hening, hanya terdengar isak tangis di seberang. Richard menunggu dengan nafas tertahan.
Bahu Sasha terguncang berusaha menghentikan tangis yang sulit dibendung. Semua ini salahnya, lima tahun yang lalu seandainya ia tak meninggalkan Richard untuk mengejar impian menjadi model di Perancis tentu semua tidak akan berakhir seperti ini. Kini ia menjadi perampas kebahagiaan wanita lain, mengejar kebahagiaan semu. Rosie akan selamanya menjadi istri Richard dan ia selamanya adalah seorang pecundang.
“Tolong tinggalkan aku, aku butuh waktu sendiri!” ucap Sasha sebelum memutuskan hubungan telekomunikasinya.
“Sebaiknya kau lupakan saja Sasha!”
Richard tertegun dan menoleh ke arah pemilik suara. Jason, sahabatnya berdiri di sampingnya,” Kau menguping?”
Jason mengedikkan bahu,” Tidak banyak yang kudengar, hanya plot dimana kau katakan Rosie adalah suatu kesalahan.”
Richard menghela nafas berat saat Jason melanjutkan kata-katanya, “Kasihan Rosie, dia sangat mencintaimu.”
“Aku tidak bisa kehilangan Sasha, hidup tanpa cinta bagiku lebih menyakitkan daripada kehilangan perusahaan.”
“Ssst, jangan bicara sembarangan!” hardik Jason sambil matanya jelalatan ke sekeliling, kuatir ada yang mendengar.
“Aku memanggilmu kemari bukan untuk menjadi penasehat perkawinan-ku. Apakah kau ada cara lain agar aku dan Sasha dapat bersatu?” Richard memandang sahabatnya seolah tak peduli.
“Ada, tapi terlalu kejam buat Rosie,” jawab Jason dengan suara berat seolah tak tega mengatakannya.
“Katakan rencanamu!”
“Buat Rosie jatuh cinta pada laki-laki lain, dengan begitu ia tak akan menolak diceraikan. Ayahnya juga tak mungkin akan menghancurkan bisnismu karena kesalahannya terletak pada putrinya bukan menantu.”
“Oh wow, rencanamu luar biasa!” Richard ternganga mendengar rencana gila sahabatnya. “Aku bahkan tak pernah memikirkannya.”
“ Tetapi bagaimana kita membuat Rosie jatuh cinta dengan laki-laki lain kalau satu-satunya pria dalam hidupnya hanya aku saja?” Richard mengelus dagunya, berpikir keras.
Mereka masih berpikir saat ponsel Jason yang ada di dalam saku celananya berdering. Laki-laki seumuran Richard itu menatap layar untuk memeriksa nama penelpon. Saat ia membaca nama ‘DONNA’ terbersit ide dalam kepalanya.
“Aku tahu dimana kita akan menemukan laki-laki untuk istrimu!” Jason menyeringai sambil menunjukkan nama di layar ponselnya.
Michael memperhatikan Jonas yang masih terlelap di atas tempat tidur rumah sakit, adiknya itu baru saja dipindahkan dari ruang Gawat Darurat ke ruang Recovery. Ia ingin membawa Jonas pulang tetapi masih harus menunggu hasil tes darah yang masih dalam proses pemeriksaan. Nathan berdiri di sampingnya tanpa banyak bicara, ia menyadari beban yang dipikul sahabatnya sangat berat. Mereka bersahabat sejak masih kanak-kanak dan dibesarkan bersama-sama di lingkungan kumuh. Sejauh yang Nathan tahu, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah kandung Michael. Abigail sempat menikah dengan seorang pria berusia lebih tua ketika usia Michael 12 tahun dengan harapan Michael memperoleh ayah yang bisa mengasihinya. Namun pria itu hanya bisa bermabuk-mabukan dan main pukul. Michael sering dijadikan samsak hidup bila Abigail tidak ada di rumah. Untuk menghindari kecurigaan istrinya, ayah tiri Michael memukulnya di bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian. Setelah Abigail melahirkan Jonas, ayah t
Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak. “Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya. “Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya. “Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.” “Kau yakin?” Selena mencibir. “Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.” “Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan s
Michael menghela nafas lega sambil tersenyum penuh percaya diri, “Tentu saja aku bisa.” Richard meletakkan beberapa foto wanita di atas meja lalu menyorongkannya ke arah Michael. Michael memeriksa lembar demi lembar foto wanita cantik yang diberikan dengan mulut mengepak dan mata membulat. “Bukankah i..ini istri anda?” Richard mengangguk, “Namanya Rosie, dialah targetmu.” Michael memperhatikan wajah Rosie lebih seksama, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Rambut keemasan, mata biru, bibir tipis…bibir itu mengingatkannya pada bibir yang pernah membuatnya lupa diri beberapa hari lalu. Perlahan ingatannya akan wajah itu terangkai penuh, ternyata istri Richard adalah wanita yang pernah bersamanya waktu itu. “Maaf, aku tidak mengerti. Kau menugaskan aku untuk tidur dengan istrimu?” tanya Michael tak percaya sambil mengangkat dagunya memindahkan pandangannya kepada Richard yang masih menunggu reaksinya. “Aku memintamu untuk membuat istriku jatuh cinta padamu dalam waktu
Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat. Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja. ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya. Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh. “Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir. “Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit. “Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di t
Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
“Kelihatannya kau tertarik pada karyawan baru itu?” goda Jason, meski sebenarnya ia sedang mengulur waktu mencari jawaban yang tepat untuk istri sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Siapa bilang?” mata biru Rosie membeliak namun pipinya tak urung merah merona. Pemandangan itu tak luput dari mata jeli Jason yang menanggapinya dengan senyum tertahan. “Justru aku tidak suka padanya, terlihat licik dan jahat!” kata Rosie sambil mendekatkan dirinya ke partisi kaca, melihat ke arah MIchael yang sedang melayani seorang pelanggan wanita. Wanita itu terlihat mengulum bibir dan memainkan ujung rambutnya yang terjuntai di pundak, bahkan matanya menatap Michael sayu seperti gadis dimabuk cinta. Michael melayaninya dengan senyuman dan membiarkan pinggangnya dicubit gemas oleh wanita itu. “Lihat itu tingkahnya, norak…kampungan!” kata Rosie sebal menunjuk ke arah Michael dengan dagunya. “Memang dia kenapa? Wajarlah dia tampan hingga disukai pelanggan wanita. Apa yang salah?” Jason melihat
Pria itu membungkuk dengan kedua tangannya menggenggam sandaran tangan kursi, mengungkung Rosie di dalamnya. “Aku hanya ingin berterima kasih, jadi tolong jaga sikapmu!” Rosie memicingkan mata geram, berusaha mengabaikan kupu-kupu yang sedang berperang dalam perutnya. “Jangan salahkan aku, ikatan darah di antara kita sangat kuat!” “Makin lama omonganmu makin ngawur!” sentak Rosie kesal, “Jangan buat aku menyesal sudah bersikap baik padamu!’ “Satu kali makan malam maka kuanggap kita impas, bagaimana?” kata Michael bernegosiasi. Rosie berpikir sejenak sebelum mengangguk, “Hanya makan malam!” “Ya tentu saja, kecuali kau ingin…” “Sebaiknya kurangi bicara atau gajimu kupotong!” ancam Rosie. Michael mengatupkan bibir namun mata hijaunya seperti tertawa menggoda. “Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Akan kusiapkan makan malamnya!” Michael menjauh dari Rosie, melangkah meninggalkan ruangan menuju ke da
Michael mengunci pintu depan cafe, menyembunyikan kuncinya di bawah pot besar sesuai pesan rekan-rekan seniornya sebelum mereka pulang. Pemuda itu memeriksa jam tangan kulit yang membelit pergelangan tangan kirinya, sudah jam delapan malam. Ia mendongak ke langit berwarna biru pekat, bulan purnama terlihat penuh di atasnya. Masih ada waktu untuk mengunjungi Jonas di rumah sakit, pikirnya. Hari ini sebenarnya hari yang melelahkan, seluruh tubuhnya serasa luluh lantak. Tetapi Jonas pasti akan menanyakannya bila ia tak datang. “Michael.” Michael membalikkan tubuh, matanya menangkap sosok wanita berdiri di dekat pintu mobil beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sosok yang ia kenal. “Rosie?” Michael berjalan mendekat beberapa langkah untuk memastikan wanita di depannya adalah Rosie. Tak ada jawaban. Wajah Rosie bermandikan cahaya bulan, terlihat cantik. Michael melihat ke dalam mata birunya dan melihat tatapan lapar yang belum
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b