Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak.
“Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya.“Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya.“Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.”“Kau yakin?” Selena mencibir.“Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.”“Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan selalu berkhianat bila ada kesempatan.”“Baiklah kalau kau tidak percaya, akan kuhubungi Richard.”“Coba saja!” tantang Selena sembari melipat tangan ke depan dada.Rosie mencari kontak Richard dan menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau ke atas, di dalam hati ia berdoa Richard akan mengangkat teleponnya atau dia akan merasa sangat malu. Doanya terkabul.“Hai Rosie?” terdengar suara Richard lembut menyapa.“Richard, kau tentu ingat kalau hari ini aku sudah boleh keluar dari rumah sakit bukan?”“Omg!” terdengar teriakan Richard di seberang, raut wajah Rosie berubah mendung.“Kau bilang akan menjemputku, sudah tiga jam aku menunggu di sini.”“Maaf Rosie, aku benar-benar lupa.”Rosie menarik nafas berusaha mengusir kekecewaan, “ Tidak apa-apa, bisakah kau jemput kami sekarang?”“Maaf, aku tidak bisa karena sudah ada janji bertemu dengan klien. Akan kusuruh Anthony menjemputmu, ok?”“Tidak perlu, aku akan pulang bersama Selena!” jawab Rosie ketus.“Baguslah kalau begitu, sampai bertemu di rumah!”Begitu saja sambungan diputuskan seolah hal lupa menjemput istri bukan masalah yang besar bagi Richard. Rosie meletakkan ponsel di atas pangkuannya sembari berusaha bernafas secara teratur.“Kau tidak apa-apa?” tanya sepupunya cemas.“Tolong antarkan aku pulang!” gumam Rosie setengah berbisik. Selena membuang nafas kesal, ia merasa kasihan pada sepupunya yang dianggapnya bodoh itu. Tanpa banyak bicara ia memeluk bahu sepupunya dan mengajaknya berjalan bersama meninggalkan tempat itu.***Sambil membolak-balik halaman majalah TIME tanpa tahu apa yang menarik untuk dibaca, Michael terus melirik ke arah pintu kantor yang tertutup. Sudah setengah jam ia menunggu namun klien yang bernama Richard itu tidak juga memanggilnya.Sejujurnya ia sangat cemas ketika Donna menyebutkan nama klien berikut alamatnya.“R…RIchard?” Michael mengulang nama itu dengan terbata-bata. Bukankah itu nama laki-laki?“Ya, kenapa? Jangan bilang kau tidak berani ambil tantangan ini!” Donna yang memahami kecemasan pemuda itu sengaja mempermainkannya.“Aku sudah berjanji, aku tak akan mundur!” tegas Michael.“Bagus, pergilah sekarang juga ke alamat itu! Ia menunggumu.”Setiba di kantor milik Richard, Michael sempat muntah mengeluarkan semua isi perutnya di toilet karena merasa mual bercampur panik. Namun bayangan adiknya yang terbaring lemah membuatnya kuat kembali. Ia harus bisa melalui semua ini, janjinya dalam hati.Pintu kantor akhirnya terayun terbuka dan seorang pria mengenakan kemeja putih bersih dipadu dengan celana jeans denim muncul dari sana, tersenyum dan menyapanya.“Silahkan masuk, Richard sudah menunggu.”Michael bangkit dari kursinya dan berjalan masuk dengan dada bergemuruh hebat, sampai-sampai ia kuatir pria itu mendengar suaranya.Ia memasuki ruangan kantor yang ditata minimalis namun tetap elegan, seorang pria tampan mengenakan kemeja silk berwarna hitam duduk di balik meja direktur , pria yang pernah dikenalnya belum lama berselang.“Michael?”“Richard?”Richard berdiri dan mengulurkan tangannya, Michael ragu menyambutnya. Kecemasannya muncul kembali ketika diingatnya Richard adalah Richard yang sama dengan yang memesan jasa layanannya.Ia menelan ludah, tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan dan juga pelipisnya, belum pernah ia setakut ini.
Pria berkemeja putih yang berdiri di belakangnya menyentuh bahunya tiba-tiba hingga ia berjingkat kaget dan beringsut menjauh.“Kau tidak apa-apa?” pria itu menatapnya kuatir.“Maaf aku sedang sensitif hari ini,” kata Michael asal. Kedua pria itu menatapnya bingung.“Duduklah!” Richard menunjuk kursi di depannya seraya meletakkan pantatnya kembali ke tempat semula. Michael duduk dengan hati-hati sambil sesekali menoleh ke belakang dimana pria berkemeja putih yang tak lain adalah Jason berdiri.“Aku tidak menyangka kau bekerja pada Donna,’ Richard meraih mug berisi kopi di dekatnya.“Aku membutuhkan uang untuk biaya pengobatan adikku,” jawab Michael getir. Richard mengangguk-angguk paham.“Apakah Donna juga memberitahu-mu mengapa aku memintamu datang kemari? tanya Richard sambil menyeduh kopinya.Michael menelan ludah dan menjawab,” Donna mengatakan bahwa aku harus melayani Anda.”Kopi yang hampir tertelan menyembur keluar saat Richard tersedak. Matanya membelalak, sementara Jason tak mampu menahan tawanya.“Donna yang bilang begitu?”“Benar,” Michael menjawab bingung,” Apakah ada kata-kataku yang salah?”“Donna brengsek!” maki Richard, “Pantas saja kau ketakutan melihat kami.”“Jadi tidak benar aku harus melayanimu?” wajah Michael yang sedari tadi pucat dan tegang berubah lega.“Tidak salah tapi juga tidak sepenuhnya benar,” Richard tersenyum.“Tolong jangan beri aku teka-teki lagi!” kata Michael frustasi.“Aku ingin menyewamu untuk suatu tugas rahasia,” kata Richard sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi direktur yang empuk.“Tapi aku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi.”“Tenanglah, tugas rahasia ini tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Yang dibutuhkan hanyalah skill-mu dalam menaklukkan wanita,” Richard menyorongkan tubuhnya ke depan dan menumpukan kedua sikunya di atas meja, “Bisakah kau melakukannya?”Michael menghela nafas lega sambil tersenyum penuh percaya diri, “Tentu saja aku bisa.” Richard meletakkan beberapa foto wanita di atas meja lalu menyorongkannya ke arah Michael. Michael memeriksa lembar demi lembar foto wanita cantik yang diberikan dengan mulut mengepak dan mata membulat. “Bukankah i..ini istri anda?” Richard mengangguk, “Namanya Rosie, dialah targetmu.” Michael memperhatikan wajah Rosie lebih seksama, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Rambut keemasan, mata biru, bibir tipis…bibir itu mengingatkannya pada bibir yang pernah membuatnya lupa diri beberapa hari lalu. Perlahan ingatannya akan wajah itu terangkai penuh, ternyata istri Richard adalah wanita yang pernah bersamanya waktu itu. “Maaf, aku tidak mengerti. Kau menugaskan aku untuk tidur dengan istrimu?” tanya Michael tak percaya sambil mengangkat dagunya memindahkan pandangannya kepada Richard yang masih menunggu reaksinya. “Aku memintamu untuk membuat istriku jatuh cinta padamu dalam waktu
Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat. Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja. ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya. Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh. “Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir. “Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit. “Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di t
Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
“Kelihatannya kau tertarik pada karyawan baru itu?” goda Jason, meski sebenarnya ia sedang mengulur waktu mencari jawaban yang tepat untuk istri sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Siapa bilang?” mata biru Rosie membeliak namun pipinya tak urung merah merona. Pemandangan itu tak luput dari mata jeli Jason yang menanggapinya dengan senyum tertahan. “Justru aku tidak suka padanya, terlihat licik dan jahat!” kata Rosie sambil mendekatkan dirinya ke partisi kaca, melihat ke arah MIchael yang sedang melayani seorang pelanggan wanita. Wanita itu terlihat mengulum bibir dan memainkan ujung rambutnya yang terjuntai di pundak, bahkan matanya menatap Michael sayu seperti gadis dimabuk cinta. Michael melayaninya dengan senyuman dan membiarkan pinggangnya dicubit gemas oleh wanita itu. “Lihat itu tingkahnya, norak…kampungan!” kata Rosie sebal menunjuk ke arah Michael dengan dagunya. “Memang dia kenapa? Wajarlah dia tampan hingga disukai pelanggan wanita. Apa yang salah?” Jason melihat
Pria itu membungkuk dengan kedua tangannya menggenggam sandaran tangan kursi, mengungkung Rosie di dalamnya. “Aku hanya ingin berterima kasih, jadi tolong jaga sikapmu!” Rosie memicingkan mata geram, berusaha mengabaikan kupu-kupu yang sedang berperang dalam perutnya. “Jangan salahkan aku, ikatan darah di antara kita sangat kuat!” “Makin lama omonganmu makin ngawur!” sentak Rosie kesal, “Jangan buat aku menyesal sudah bersikap baik padamu!’ “Satu kali makan malam maka kuanggap kita impas, bagaimana?” kata Michael bernegosiasi. Rosie berpikir sejenak sebelum mengangguk, “Hanya makan malam!” “Ya tentu saja, kecuali kau ingin…” “Sebaiknya kurangi bicara atau gajimu kupotong!” ancam Rosie. Michael mengatupkan bibir namun mata hijaunya seperti tertawa menggoda. “Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Akan kusiapkan makan malamnya!” Michael menjauh dari Rosie, melangkah meninggalkan ruangan menuju ke da
Michael mengunci pintu depan cafe, menyembunyikan kuncinya di bawah pot besar sesuai pesan rekan-rekan seniornya sebelum mereka pulang. Pemuda itu memeriksa jam tangan kulit yang membelit pergelangan tangan kirinya, sudah jam delapan malam. Ia mendongak ke langit berwarna biru pekat, bulan purnama terlihat penuh di atasnya. Masih ada waktu untuk mengunjungi Jonas di rumah sakit, pikirnya. Hari ini sebenarnya hari yang melelahkan, seluruh tubuhnya serasa luluh lantak. Tetapi Jonas pasti akan menanyakannya bila ia tak datang. “Michael.” Michael membalikkan tubuh, matanya menangkap sosok wanita berdiri di dekat pintu mobil beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sosok yang ia kenal. “Rosie?” Michael berjalan mendekat beberapa langkah untuk memastikan wanita di depannya adalah Rosie. Tak ada jawaban. Wajah Rosie bermandikan cahaya bulan, terlihat cantik. Michael melihat ke dalam mata birunya dan melihat tatapan lapar yang belum
Seorang pria berusia sekitar 60 tahun-an berjalan keluar dari bandara, mengenakan jaket kulit di luar kaos putih dipadu celana jeans biru. Penampilannya sederhana namun tetap terlihat rapi dan elegan.Di samping kiri-kanannya berjalan pula dua orang pria yang berusia lebih muda mengenakan pakaian serba hitam. Mereka menggunakan jasa taksi bandara untuk mengantarkan ke sebuah hotel bintang lima yang terletak di jantung kota.Nama pria itu adalah George Bridgewood, seorang pengusaha sukses dari Inggris. Namun demikian penampilannya selalu bersahaja.Meski sudah kepala enam, dengan tubuh tinggi tegap, dada bidang dan sedikit keriput di wajah, ia lebih mirip pria berusia 40 tahun. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel. mata hijau zamrudnya memandang ke luar jendela taksi. Kenangan masa lalu tiba-tiba mengusiknya, membawa ia dalam perasaan bersalah yang menyiksa. 25 tahun yang lalu George pernah tinggal di kota itu selama beberapa waktu dalam rangka membina hubungan kerjasama dengan salah
Pagi itu, suasana cafe mulai ramai pengunjung. Michael dan rekan-rekannya sibuk melayani customer yang terus saja datang. Beruntungnya kondisi sakit di kakinya berangsur membaik hingga ia tetap mampu bekerja maksimal. Bukan hanya menerima pelanggan yang memesan makanan dan minuman, Michael juga harus menghadapi beberapa pelanggan genit yang meminta nomor teleponnya. Sungguh memusingkan, ditambah pandangan cemburu rekan-rekan pria yang lain padanya karena ia lebih sering mendapat tips dari pengunjung wanita. Michael sudah banyak belajar tentang karakter orang dan bagaimana membuat mereka puas dengan hasil kerjanya, hal ini dikarenakan ia sudah harus bekerja mencari nafkah sejak usia 15 tahun. Kondisi perekonomian yang sulit mengajarkan banyak hal padanya termasuk bertahan hidup. Setelah berhasil meloloskan diri dari rayuan seorang gadis cantik yang berani mengajaknya kencan setelah memesan secangkir kopi latte, ia memilih menghabiskan waktu m
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b