Share

JANGAN HINA AKU MANDUL
JANGAN HINA AKU MANDUL
Author: RENA ARIANA

Sabar Mas....

Author: RENA ARIANA
last update Last Updated: 2021-07-22 09:15:27

Sudah sepuluh menit aku di dalam kamar mandi menatap tespek dengan satu garis merah ini. Aku gundah sembari merintikkan air mata. Mas Tama mungkin saja menungguku dengan penuh harap di luar, bahwa kali ini aku akan memberi dia kabar baik. Namun, sepertinya belum juga. Tuhan belum mempercayakan seorang anak padaku di tahun pernikahan kami yang sudah hampir menginjak delapan tahun ini. 

Tok … tok ….!

"Rum!" Segera kuhapus air mata saat terdengar Mas Tama mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil namaku. Gegas aku pun beranjak membuka pintu dan menghampirinya.

"Mas maaf, aku belum bisa kabulkan keinginanmu," lirihku sambil memeluk dan membenamkan wajahku di dadanya. 

"Hah," lirih Mas Tama berdesah. Aku paham betul perasaannya, pasti Mas Tama sangat kecewa. Sebab, dia sudah sangat sabar menanti saat-saat paling membahagiakan itu.

"Tapi kenapa, Arum? Kita sudah lakukan semuanya," ucapnya terheran sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku menunduk sembari merintikkan air mata. 

"Maafkan aku, Mas. Kamu yang sabar ya?" ucapku lembut sambil mengelus pipinya. Mas Tama hanya diam lalu menepis pelan tanganku seakan mengelak dari sentuhanku.

"Mas, kita hanya perlu sabar. Tuhan pasti sudah rencanakan yang terbaik dibalik semua ini, percayalah, Mas," bujukku memegangi pergelangan tangannya. Mas Tama menjauh sambil mengusap wajahnya. Lalu, ia pun terduduk di atas kasur. Padahal dia harus sudah berangkat ke kantor karena hari sudah mulai siang. Namun, karena insiden menunggu dua garis merah membuat kami harus berdebat.

"Kamu tahu, aku sudah cukup sabar, Arum. Tapi bagaimana dengan, Ibu? Kali ini, pasti dia tidak akan tinggal diam. Sudah setahun ini Ibu selalu menekanku untuk segera memiliki anak! Sampai-sampai Ibu bilang kalau aku …." Mas Tama tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga mampu membuatku penasaran.

"Kalau kamu apa, Mas?" tanyaku sambil menautkan kedua alis.

"Ibu akan carikan istri lagi untukku," lontarnya tertunduk. Jantungku berdegup, tangan, bibir, dan kaki seakan gemetar.

"Dan bagaimana dengan kamu, Mas? Apa kamu tega menduakan aku? Aku tau dari dulu ibumu tidak suka denganku. Tapi bagaimana denganmu? Bukankah kamu mencintaiku? Apa kamu tidak pikirkan perasaanku, Mas?" tanyaku sedikit lantang dan gemetar. Mas Tama berdiri sambil menatapku hangat. Lalu, ia pun memegang kedua bahuku sambil berucap, "Arum... jujur. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu. Tapi ini memang cukup lama. Wajar kalau Ibu menginginkan cucu dariku. Aku anak lelaki satu-satunya," jelasnya. Sontak saja aku gemetar dan menangis histeris terhenyak di sofa. Kenapa dia sebut anak satu-satunya? Bukankah Ibu masih memiliki anak perempuan. Apa ini hanya sebuah alasan?

"Itu berarti kamu setuju dengan ide ibu-mu itu, Mas," lirihku sambil merintikkan air mata. Mas Tama tidak sanggup melihat air mataku segera ia beranjak dan mendekat duduk di sampingku. Lalu, ia pun merangkulku dengan erat. 

"Aku mencintaimu, Arum. tidak perlu aku jelaskan pun kamu sudah sangat tau kalau aku sangat mencintaimu," ucapnya meremas bahuku. Aku tidak peduli dengan ungkapannya, semua itu sama sekali tidak menghiburku, tetap saja dari makna ucapannya itu, ia tetap mendukung penuh ide Ibunya. 

"Mas! Yang aku tanya, apa kamu menyetujui ide Ibumu untuk menikah lagi?" tanyaku menegaskan. Namun Mas Tama memilih diam dan mengambil perlengkapan kantornya kemudian bergegas. Sementara aku kembali menangis histeris membayangkan betapa menyayatnya masalah yang akan aku hadapi sekarang. "Aku harus bagaimana?" batinku dalam hati. 

"Mas tunggu!" panggilku seraya berlari kecil menghampirinya yang belum menjauh. Mas Tama pun berhenti sambil menatapku. " Mas, aku mohon jangan turuti kemauan ibumu, lagipula kita tinggal menunggu hasil tes dari dokter keluar. Ini kan kali pertamanya kamu mau ikut tes dan tinggal menunggu hasil. Aku mohon, Mas, bersabarlah dulu sampai hasil tesnya keluar," pintaku penuh harap. Namun, sekali lagi Ma Tama hanya diam saja. Ia menyentuh pipiku lembut, kemudian berlalu.

🌟🌟🌟🌟🌟

Hari sudah mulai sore, setelah melepas Mas Tama berangkat ke kantor pagi tadi, aku terus bermuram hati di dalam kamar. Bagaimana tidak, rencana ibu mertua dan suami mencari madu untukku terus menghantui pikiran dan perasaan. Cepat atau lambat, sepertinya itu akan terjadi. Delapan tahun Mas Tama begitu berharap bahwa rahimku akan mengandung anaknya, tapi semua harapan itu pupus sudah setelah sekian tahun. Aku memang tak sempurna sama sekali menjadi seorang istri. 

Namun, meski begitu demi keutuhan rumah tangga kami, aku telah mencoba untuk menjadi yang terbaik bagi Mas Tama. Mengorbankan karir-ku dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Melayaninya setiap hari di rumah, padahal karirku tengah gemilang dengan skillku yang lumayan. Tidak tanggung-tanggung, aku juga menjual semua tanah peninggalan almarhumah Ibu untuk modal membuka perusahaan. Bukan hanya itu, masih banyak yang kuberikan pada Mas Tama. Supaya apa? Supaya suamiku bisa berpikir dua kali jika untuk mendua. Tapi sepertinya Mas Tama telah melupakan semua itu. Yang dia tahu sekarang, aku istri yang tidak sempurna dan tidak berguna. 

Ting nong….!

Bunyi bel bergema, sedikit aku tersentak saat mendengar suara Ibu mertua kesal pada Inem. "Lama banget sih, Nem buka pintunya! Kamu itu ketularan leletnya Arum apa?! Kerja lamban begitu!" cerocos Ibu terdengar sampai kamarku. Aku pun segera merapikan diri dan setelah itu keluar kamar untuk menemuinya. Perlahan, aku pun melangkahkan kaki ke ruang tamu. Karena disana suara Ibu bersumber. Setiap tuan rumah pasti akan mengetahui siapa tamu yang datang jika sang tamu terus berteriak. Betul saja, saat aku sampai di ruang tamu Ibu sedang berdiri sambil melihat-lihat isi ruangan.

"Bu! Apa kabar?" sapaku sambil menjabat tangan dan mencium punggung tangannya. Wajah judes dan muka masam yang sudah sangat khas dengannya ia tampakkan padaku.

"Mana Tama? Ibuk perlu bicara dengannya!" tanyanya ketus sambil melihat ke setiap sudut rumah. Pasti Ibu sedang menilai cara perawatan dan penataan ruangan-ku yang semrawutan menurutnya. Aku bukan wanita yang lebai. Penataan ruangan yang simple lebih aku sukai daripada menumpuk banyak perabotan yang kekinian apalagi hanya ikut-ikutan. 

"Mas Tama belum pulang, Bu. Dia hari ini lembur, Bu. Mungkin pulang malam. Sebab tadi Mas Tama kirim pesan akan pulang telat," jawabku sesopan mungkin. 

Ibu melirik-ku sambil berucap ketus. 

"Ya sudah! Ibu tunggu! Bila perlu Ibu menginap disini!" sungutnya. Aku sedikit menarik ujung bibirku dan masih mencoba bersikap manis. Berharap Ibu bisa lupakan rencana untuk menikahkan lagi Mas Tama dengan wanita lain. Bagaimanapun, aku tidak sanggup jika itu terjadi. 

"Baiklah, Arum siapkan kamar tidur untuk Ibu dulu ya?" ujarku sambil menggenggam erat tangannya. Ibu mertuaku hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Aku pun segera berdiri dan membalik hendak ke kamar tamu. Namun, langkahku terhenti saat ponsel mertuaku berdering.

"Hallo, Luna, sayang? Kamu apa kabar? Apa? Tama? Ini ibu lagi ada di rumahnya. Kamu tenang saja ya? Nanti dia pasti akan memberimu kabar," ucap Ibu membuat tenggorokanku tercekat. Dengan mata berkaca-kaca aku coba membuka mulutku untuk bertanya. 

"Iii-tt--u tadi siapa, Bu?" tanyaku dengan bibir gemetar. Lama mertuaku itu memandang dengan senyum hambar. 

"Luna! Kamu ingat'kan? Dia wanita yang waktu itu saya jodohkan sama, Tama. Bodohnya Tama malah lebih memilih kamu, wanita mandul," cibir Ibu lalu terkekeh dengan tawa renyah sehingga membuat nafasku tersengal karena merasa sesak yang teramat di dalam dada.

"Bu-bukannya, Luna sudah menikah?" lirihku tak habis pikir. Ibu berdesih dan kembali berkomentar.

"Luna tidak mencintainya! Hati dan pikirannya hanya untuk, Tama! Lagipula mungkin ini memang sudah jalannya! Suami Luna meninggal! Dan Tama tak kunjung dikaruniai anak. Saya pikir lebih baik Tama menikah dengan, Luna daripada bertahan hidup dengan wanita mandul seperti kamu! gak guna!" umpatnya membuat bulir bening di sudut mataku menetes deras. 

"Ibu, lupa? Aku sudah mendukung, Mas Tama semua dari Nol! Bahkan untuk membuka perusahaan-nya itu, semua hasil jual tanah almarhumah ibuku, Bu!" pekikku sedikit membentak. Wanita paruh baya itu menaikan alisnya dan sedikit menggertakkan rahangnya.

"Belagu sekali kamu! Emang semua pengorbananmu itu bisa mengobati luka hati anakku yang tak kunjung dapat keturunan?! Apa kamu akan jerat dia selamanya dalam pernikahan yang hambar seperti ini? Ha?!" pekiknya tak kalah membentak membuatku tertunduk dan menangis. 

"Kamu ini! Ungkit-ungkit tentang harta segala! Berapa emang? Hitung semua! Biar nanti tak bilangin Tama suruh ganti semuanya! Kamu bisa pakai buat bekal Tua tanpa anak seorang diri!" tandasnya lagi. Aku tertunduk. Ibu melewatiku beranjak ke kamar tau yang belum jadi kusiapkan untuknya.

Brak!!!

Ibu membanting kuat pintu kamar hingga membuatku tersentak dan termangu dengan tangis membasahi pipi.

🌟🌟🌟🌟

Malam berkunjung, setelah selesai menyiapkan makan malam, aku coba kembali menemui mertuaku itu di kamar.

"Ibu!" panggilku. "Kita makan dulu! Nanti Mas Tama bisa marah sama, Arum kalau Ibu tidak mau makan!" pintaku dari luar. 

Tidak ada jawaban, dari Ibu. Meski aku terus memanggilnya, namun Ibu masih tidak mau menjawab. Aku pun kembali beranjak ke meja makan menata menu makan dan alat makan lainnya. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil Mas Tama memasuki garasi. Aku hendak beranjak untuk menyusulnya. Namun, dengan cepat kilat Ibu keluar dari kamar dan bergegas ke arah luar. Aku pun segera menyusul Ibu dari belakang. Aku yakin, pasti Ibu ingin menemui Mas Tama dan mengadu yang bukan-bukan.

"Ibu. Kok gak bilang sama Tama kalau mau berkunjung? Tama 'kan bisa jemput," ucap Mas Tama mencium dan merangkul tubuh ibunya itu. 

"Gak apa, ibu takut menganggu. Cuman ibu lemes, udah dari siang Ibu disini gak dikasih apa-apa sama, istrimu itu!" sungut Ibu mencibir padaku. 

"Tidak, Mas, tadi aku sudah minta Ibu keluar untuk makan. Tapi ibu malah mengurung diri di kamar," timpalku. Mas Tama langsung membawa Ibu mertuaku itu ke meja makan. 

"Sudah… sekarang Tama ada disini. Jadi kita makan sama-sama ya" ajaknya sambil menyunggingkan senyum hangat padaku. Sedikit lega sepertinya Mas Tama takkan berpihak pada Ibunya kali ini. Ibu pun langsung duduk di samping Mas Tama. Ia mulai mengambil piring kosong dan menyendok nasi beserta lauknya. Begitupun dengan Mas Tama. 

"Tama, Ibu datang kesini mau bilangin masalah, Luna. Kamu masih ingat dia 'kan? Dia masih berharap sama kamu lo. Lagipula, pernikahanmu sudah tidak bisa dipertahankan lagi," ucap Ibu sambil melirik sinis padaku. Aku mengepal sendok yang tengah kupegang erat. Gemetar rasanya tulangku menahan rasa sakit karena ucapan pedas mertua barusan.

Mendengar itu ucapan Ibunya, Mas Tama menoleh padaku sembari mengelus punggung tanganku lembut. 

"Gak, Bu. Aku dan Arum masih perlu berusaha. Aku yakin suatu saat nanti Arum akan mengandung," tolaknya sambil menyunggingkan senyum hangat. 

Mertuaku terlihat bingung sambil membulatkan mata melihat mendengar ucapan anaknya. Ditambah Mas Tama justru memperlakukan aku dengan mesra di depannya.

"Tapi, Tama … ini sudah sangat lama! Arum tidak akan bisa mengandung!" bentaknya. 

"Aku juga tidak bisa menduakan, Arum Ibu! Jadi tolong. Hargailah perasaan istri Tama!" balas Mas Tama tak kalah membentak. 

"Jadi kamu akan hidup bersama wanita mandul ini selamanya?" lirih Ibu nanar seraya menunjuk wajahku. Mas Tama menggaruk sedikit dahinya, "Ya begitulah, Tama lebih baik mati dari pada menyakiti hati, Arum." 

Prang!

Ibu membanting sendok makannya ke atas piring hingga membuat piring itu retak. Lalu, Ibu berdiri dengan raut wajah yang merah padam.

"Kamu dengar, Tama! Kali ini Ibu benar-benar sudah sangat kecewa padamu Tama! Kamu menikahi Wanita ini, Ibu terima dengan lapang dada walau Ibu tak menyukainya! Ibu menerimanya sepenuh hati. Hingga ia tak bisa mengandung bertahun-tahun ibu sabar! Tapi ini? Kamu masih ingin bertahan? Kamu sadar gak sih mempertahankan dia sama saja kamu menyia-nyiakan sisa hidupmu!" jelas Ibu panjang kali lebar dengan menggebu-gebu sehingga  membuatku merasa panik dibuatnya. Sedikit aku mencoba untuk meredam suasana. 

"Ibuk, Arum paham Ibu sangat ingin sekali anak dari, Mas Tama. Arum mohon Ibu sabar untuk kali ini. Arum mohon, Bu. Setidaknya sampai hasil tes-ku dan Mas Tama keluar," pintaku dengan memelas. Sebab, tes ini untuk kali pertamanya Mas Tama mau melakukannya.

"Diam kamu! Apa kamu bilang? Untuk kali ini? Emang selama ini aku gak sabar apa!" hardiknya, aku tertunduk gemetar. Ibu menggerutu seraya beranjak keluar meninggalkan kami. 

"Mas, kamu susul, Ibu gih. Kasian dia ini sudah malam," pintaku pada Mas Tama. Suamiku itu hanya diam tak bergeming.

"Mas...!" rengekku.

"Sudah biarkan saja... biar Ibu paham, aku tidak suka jika ibu selalu bahas-bahas masalah ini lagi."  Hatiku terenyuh dan kembali duduk. Aku haru melihat sikap Mas Tama hari ini. 

"Makasih ya, Mas," bisikku dengan tatapan mata berkaca-kaca. 

"Iya sayang, tolong maafkan, Ibu ya?"

"Iya,  Mas."

🌟🌟🌟

"Mas, tadinya aku pikir, kamu bakal menerima, Luna dan menikahinya," rengekku dalam pelukan suamiku di malam-malam indah kami. Selesai makan malam tadi, kami langsung mandi dan beristirahat di kamar.

"Gak sayang. Bagaimanapun, kamu masih terlalu berharga dari apapun, kamu sangat yakin bahwa suatu hari nanti kita akan punya anak. Aku percaya padamu," jelasnya mengelus-ngelus rambutku. Aku tersenyum sambil mengecup dadanya dan memeluknya lebih erat. 

"Aku mencintaimu, Mas. Terima kasih untuk cinta yang luar biasa ini," lirihku membenamkan wajah di dadanya. 

"Aku mencintaimu juga."

🌟🌟🌟🌟

Pagi berkunjung, aku pun bangun lebih pagi menyiapkan baju kantor Mas Tama dan menyiapkan sarapannya. 

Cup!

Kecupan lembut mendarat di pipiku, sontak aku menoleh melihat wajah tampan suamiku pagi ini.

"Sayang, sarapan dulu." Aku menarik bangku untuk Mas Tama duduk. Mas Tama duduk sambil menyunggingkan senyum hangat."Aku suka melihat rambut panjangmu basah begini,"lirihnya. Aku tertunduk tersipu malu sembari tersenyum simpul.

"Ah kamu ini, Mas, kayak pertama kali aja liat rambutku basah di pagi hari," ujarku. Mas Tama terkekeh dan kembali mengecup pipiku yang sedang meletakan roti bakar di piringnya. Kemudian, ia membawa wajahku pada tatapannya. 

"Dengar, Arum sayang …  kamu selamanya akan tetap cantik dimataku. Setiap hari, setiap detik, hingga akhir waktu. Aku sangat mencintaimu," tegasnya sembari mencubit pipiku.  

"Kamu bahagia?" tanyaku dengan senyum.

"Tentu aku bahagia!"

"Walau nanti … kita menua hanya berdua saja?" Lama Mas Tama terdiam. 

"Tuhan … tidak akan biarkan aku sendiri menerima ke-bawelanmu selamanya, Sayang,"candanya. Aku terkekeh. 

"Semoga saja, Mas, segera Tuhan akan beri kita anak."

"Amin, Sayang," ucapnya kembali mengecup  pipiku bertubi-tubi.

🌟🌟🌟

Setelah melepas Mas Tama ke kantor. Aku menyiapkan  beberapa rantang berisikan makanan untuk kubawa pada ibu mertuaku. Bagaimanapun, aku merasa bersalah akan kejadian semalam. Sebagai ucapan maaf aku akan bawakan Ibu makanan kesukaannya dan coba bicara dengan hati ke hati padanya. Kali saja mertuaku itu bisa luluh. Dari hati yang terdalam, aku tidak bisa membenci Ibu dari Mas Tama pria yang aku cintai sepenuh hati. Hidupku sekarang bergantung penuh padanya. Aku akan menghabiskan sisa hidup dengannya. Tak sampai hati jika aku harus memusuhi ibunya. Setelah semua makanan rapi, aku pun segera gegas ke rumah Ibu.

🌟🌟🌟🌟

Sesampainya di gerbang rumah Ibu, mataku sedikit terbuka melihat mobil Mas Tama tampak parkir di halamannya. Aku mencoba tenang dan berpikir dengan pikiran positif. Mungkin Mas Tama Juga ingin minta maaf setelah kejadian semalam. 

Gegas aku pun melangkah ke pintu. Namun langkahku terhenti saat melihat wanita cantik yang tak lain mantan tunangan Mas Tama tengah duduk dan berbincang hangat dengan suami, mertua dan adik iparku. Reflek aku pun bersembunyi di balik pintu hendak menguping pembicaraan mereka.

"Ya, tapi, gak usah berterus terang gitu, Bu. Tama belum siap melihat Arum tersekiti begitu. Bagaimanapun, dia istri Tama. Aku tahu betul dia sangat tersakiti," tutur Mas Tama. Wanita itu tampak duduk santai di samping suamiku. Anggota keluarga itu tampak membuat musyawarah penting di belakangku. 

"Teruuus, Mas bakalan nikahin, Luna diam-diam gitu?" timpal Resti adik bungsunya Mas tama. 

"Ya begitulah, Res. Hingga nanti Mas cari cara supaya bisa bicara dengannya," tunduk Mas Tama dengan mengusap wajahnya. Aku meremas erat gagang rantang sambil merintikkan air mata.

"Mas... emang kenapa kalo dia kecewa? Kan gak apa juga dia pergi karna gak tahan serumah denganku? Emang, Mas bakal duain aku? Sampai kapan, Mas?" rengek Luna membuatku semakin gemetar. 

"Aku perlu menimbang perasaan, Arum. Aku mencintainya, aku belum siap melihat dia menangis," ucap mas Tama gundah. Aku semakin merintikkan air mata deras. 

"Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak akan membohongiku, Mas

 Aku rasa semua sudah berakhir. Aku sudah kehilangan cintamu, Mas! Aku memang wanita yang tidak sempurna. Tapi aku bukan wanita lemah lagi bodoh!" lirihku bergegas dan menjauh dari kediaman ibu mertuaku.

Related chapters

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Ke rumah Ibu lihat catatan

    Malam ini aku masih memasak seperti biasanya, menunggu Mas Tama pulang, aku tidak mau menampakkan raut kesedihanku di depannya, toh rasanya percuma jika aku pun menangis sekarang padanya. Yang ada tindakan itu hanyalah kekonyolan belaka, habis ini dia akan menertawakan aku di belakang dengan keluarga dan wanita murahan itu. Aku harus sabar hingga beberapa waktu lagi. Jika aku inginkan dia, atau sakit ini terbalaskan hingga impas aku akan mencoba tenang.Sedikit dilema karena Mas Tama bisa jadi hanya dipengaruhi oleh keluarganya. Dorongan akan kekecewaan karena dia tidak mempunyai anak dariku hingga akhirnya dia menyetujui persyaratan mertua macan tak lain ibunya itu. Aku sebenarnya bingung. Sekarang aku sebatang kara. Setelah melepas Yosi waktu itu menikah, dia dibawa pergi jauh oleh suaminya, ke Malang. Terlebih lagi dia juga sangat marah padaku karena menjual semua warisan almarhumah Ibu. Bodohnya saat itu aku lebih mementingk

    Last Updated : 2021-07-22
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bukan aku tapi kamu!

    Ini sudah dua hari Mas Tama tidak pulang, dia pergi keluar kota untuk urusan kantor yang mendadak, walau aku tahu itu hanya alasan. Mungkin saja sekarang dia sibuk menyiapkan hari pernikahannya bersama wanita pilihan ibunya itu. Aku yang kembali teringat omongan Dokter pun segera menghubunginya. Tak lama, setelah panggilan terhubung Mas Tama mengangkat panggilanku. Tidak memakai salam seperti biasa, aku langsung saja pada inti dan tujuanku menelepon."Halo, Arum," ucap Mas Tama. Entah kenapa darah ini tiba-tiba berdesir."Mas, aku rasa kali ini kamu mau ikut denganku untuk cek up program itu. Kamu kemarin tidak mau melakukannya dengan alasan buang-buang waktu! Tapi kamu ingin punya momongan! Sedangkan aku harus berusaha sendiri! Kamu bagaimana sih, Mas!""Dokter menyarankan, kamu juga diperiksa!" Kalau bisa, kamu hari ini juga cepetan p

    Last Updated : 2021-07-22
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 4

    POV TAMAAkhirnya aku kembali kerumah Ini sebagai Tamu terhina seperti ini, rencana ibuk semula gagal yang ingin mengelabui Arum menjual rumah dan sebidang tanah itu. Aku tidak menyangka dia benar-benar bergerak cepat. Aku lupa aku jatuh cinta kepadanya dulu karna kesigapan dan ketangguhannya, wanita pendaki pertama yang begitu anggun dimataku. Aku mencintai jiwa pemberaninya. Walau naluri seorang istrinya terpancar saat kami sudah menjalani rumah tangga. Ternyata dia tetaplah Arum yang tegas. Penakluk bukit dan gunung itu. Jujur aku menyesal, tapi semua telah terlanjur. Aku mencintai Luna juga begitu Arum. Keturunan adalah hal yang terpenting sekarang. Mengingat aku sulung dan putra ibuk satu-satunya."Coba bik, bagusan yang mana coba?" tanya Arum pada bik Iyem dengan sesekali menatap layar ponsel."Ini non, bagus!" tunjuknya. Arum menoleh pada Bik iyem meyakinkan."Bibik suka?""Bagus, sih warnanya."

    Last Updated : 2021-07-30
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 5

    POV ArumDengan Kesibukanku dikantor sedikit aku bisa melupakan masalah yang ada dirumah, sekarang aku harus fokus memajukan lagi perusaha'an yang sudah di jalankan Tama ini, banyak sekali yang harus aku perbaiki dan aku rombak. Dari agenda kerja pendata'an dan yang lainnya. Mas Tama benar-benar tidak bisa berbuat banyak untuk perusaha'an ini. Untungnya Risa sahabatku mau di ajak bekerja sama membantuku membangun lagi perusaha'anku."Kamu beneran gak apa serumah dengan Luna tiga bulan lagi?" tanya Risa. Sejenak aku terdiam menghentikan tanganku mengotak atik laptop."Aku ingin balas mereka, tak apa tiga bulan saja, tak sabar rasanya melihat reaksi mereka betapa tidak bergunanya Tama itu," geramku menggertakkan rahang."Tapi gue cemaskan Lo Rum!" singkatnya, sontak aku menoleh."Kenapa?""Kematian suaminya Luna itu sangat ganjal. Orang-orang mencurigai Lunalah yang telah membunuhnya" jelas Risa, mataku membulat s

    Last Updated : 2021-07-30
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 6

    POV LUNA"Mbak, gantian atuh, nanti kalo mbak Arum kembali bisa habis kita," ujar Resti menghampiriku dengan memegangi Ember dan kain pel."Ah, kamu ini. Denger ya, justru aku ongkang-ongkang kaki begini juga bantu kalian, kamu gak tau sih kesepakatannya, Arum nantangin aku harus hamil dalam waktu tiga bulan ini. Jika aku hamil semuanya akan kembali sama mas Tama. Tapi jika tidak, bersiaplah kalian jadi gembel," gerutuku, Resti manyun tak habis pikir dengan persyaratan itu."Sudah sana ah... aku gak mau keguguran dengan kerja'an berat itu!" bentakku. Resti makin mengerutkan kening dan kembali me-ngpel lantai.Haah, lega rasanya, wanita bodoh itu beri persyaratan nyeleneh. Aku benar-benar tak menyangka aku bisa memanfa'atkan keada'an ini. Tadinya, aku mau memanfaatkan mas Tama akan kehamilanku bersama Dion. Pria tampan teman satu clubku, aku tidak mau meminta pertanggung jawaban dia karena dia pria yang miskin dan tak pu

    Last Updated : 2021-07-30
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 7

    POV IBUHari ini aku sudah di bolehkan pulang. selama dirumah sakit Luna tidak pernah mengunjungiku. Mungkin dia sibuk dengan Geby yang masih balita. Aku berharap Luna bisa hamil secepatnya. Tak sabar rasanya melihat wanita itu sadar betapa tak berharganya dia."Ibuk istirahat lah, Tama akan siapkan teh hangat," ucap anakku. Aku tersenyum bangga memandangi anakku itu, Tama dia anak yang penurut lagi penyayang. Sedikitpun dia tak pernah membantah. Dia sangat menyayangi aku dan Resti. Hanya saja keterbatasanku yang tak bisa membahagiakannya, segala hartaku sudah habis kujual untuk biaya kuliahnya waktu itu. Hingga kami hanya punya rumah satu-satunya dan akhirnya itu juga ikut terjual karna wanita sampah seperti Arum."Tama...!" panggilku saat Tama sudah di pintu hendak keluar kamar."Kamu panggil Luna ya? Ibuk kangen sama dia," ujarku, Tama tersenyum sembari mengangguk.Selang lima menit Lun

    Last Updated : 2021-07-30
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 8

    Pov Luna.Sialan adiknya Arum itu berani menghajarku di depan semua orang. Apa dia fikir aku ini takut? Sama sekali aku tidak takut padanya. Awas saja aku akan ngadu sama mas Tama masalah kejadian ini. Mereka berdua akan segera aku singkirkan, dia tidak tau saja tengah mempermainkan siapa.Dari halaman rumah terdengar bunyi motor berhenti didepan rumah, mungkin ojol yang ngantar mas Tama pulang. Gegasku ku hampiri ke teras rumah."Mas," rengekku, masih terlihat raut wajah lelah mas Tama seharian jadi budak Arum di kantor."Kamu kenapa Lun," desisnya, aku membuntuti dia masuk ke rumah. Arum yang masih tampak bersedih karna Yosi begitu marah padanya itu tampak sesegukan menangis. Reflek mas Tama bertanya."Ada apa?" tanyanya, Arum melirik mas Tama dengan mata yang berkaca-kaca."Yosi, dia tadi kesini. Kamu tau betapa kecewanya dia melihat kamu menikah lagi? Kalian bisa tinggal enak disini j

    Last Updated : 2021-07-30
  • JANGAN HINA AKU MANDUL   PART 9

    POV LUNADua hari berlalu, Hari ini ibuk sudah diperbolehkan pulang. Tatapan mata dan sikapnya membuatku gundah, akhirnya aku memilih menjauh-jauh saja darinya daripada nanti mas Tama mencurigai sesuatu."Buk, Kita sudah bisa pulang, tapi maaf. Tama gak bisa bawa ibuk dalam keada'an sehat. Tama janji Tama akan berusaha untuk menyembuhkan ibuk. Jadi ibuk sabar ya?'' jelas mas Tama pada ibunya yang tengah duduk di atas kursi Roda. Kesalnya... Arum masih tampak mendampingi mas Tama."Iya buk, Arum akan bawa dokter spesialis nanti untuk menangani penyakit ibu," jelasnya, reflek aku mencibir.*******Hari terus berlalu, siang ini aku sengaja menemui ibuk di kamarnya. Wanita renta itu masih memandangiku dengan melotot. Sontak aku pun lirik ke kiri dan kanan, melihat keada'an. Karena aku masih ingin memastikan ibuk benar mendengar percakapan aku dengan mas Dion atau tidak."Buk!" sapaku meremas Punggu

    Last Updated : 2021-07-30

Latest chapter

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 66

    .... POV HADI"Mama maafin papa ya?" ujar putriku mendekat dan menggenggam pergelengan tangan Arum erat. Arum masih bungkam hingga dia tampak dilema, istriku berdesih dan coba menarik tangannya yang aku genggam erat, matanya tampak merintikan air mata deras."Tolong berikan aku kesempatan lagi mah."lirihku. Sedikit Arum menyibak belahan rambutnya dan menghela nafas sesak. Caca yang juga menunggu jawaban dari Arum itu juga ikut bersimpuh di sampingku."Mama, caca maunya Mama Arum yang tinggal bersama Caca. Maafkan Caca mah, Caca gak akan manja lagi. Caca akan berusaha mandiri supaya tidak merepotkan mama lagi" ujarnya. Arum bergerak memegangi bahu Caca dan membawanya berdiri."Sayang...., kamu jangan begini. Sama sekali mama tidak pernah di repotkan oleh Caca." ujarnya. Arum menoleh padaku dan berkata."Pergil

  • JANGAN HINA AKU MANDUL    BAB 65

    POV RESTITing nong.Bunyi bel bergema Asih tampak meninggalkan Arabela yang tengah tertidur dan segera beranjak ke pintu."Nona Cassandra Resnya ada?" tanyanya, darahku berdesir saat mendengar suara mas Aldi. Bergegas aku bersiap dan berdiri sembari menghela nafas untuk menghilangkan nervousku."Ada Tuan, silahkan." ujar Inem. Mas Aldi masuk aku menyambutnya dengan gaun hitam di tambah dengan aksen bling-bling yang menempel di lengan, leher dan telingaku sengaja aku pake perhiasan brilian putih senada agar penampilanku terlihat berkesan dan elegan. Sedikit mas Aldi terpana melihat aku berdiri di hadapannya."Aku fikir, kamu tidak akan datang Tuan" ujarku menggunakan bahasa inggris. Sedikit mas Aldi senyum tipis dan berkata."Aku sudah janji. Kita sudah sangat dekat belakangan, aku tida

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 64

    Pov Resti."Aku tidak akan salah lagi, kamu Resti." lirih mba Arum meremas bahuku. Reflek aku memeluk dan menagis di pelukannya."Mba..." lirihku, mba Arum mendekap dan mengelus rambutku lembut."Aku hampir saja tidak mengenali mu Res? Kamu hebat sekali bisa sesukses ini." lirih mba Arum mengecup pucuk kepalaku. Mba Arum mendorongku pelan dan berkata sembari mengelus wajahku."Apa yang terjadi Res? Kenapa kamu menghilang? Kamu bilang kamu sudah punya anak? Kamu sudah menikah? Dengan siapa? Lantas hubunganmu bersama Aldi bagaimana? Sungguh mba sangat ingin tau semuanya Resti." ucapnya mencecarku dengan pertanya'an."Ceritanya panjang mba? , anakkku dia seumuran sama Andra. Aku pergi ke london saat hamil Arabela, aku menemui temanku disana, hingga ia tawari aku pekerja'an dan menjadi Casandra Res." jelasku. Mba Arum masih

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 63

    "Aku tidak mengerti dengan takdir. Setelah perceraianku dengan Tania, aku bahkan tak bisa menjalani hidup lagi dengan normal. Lucu bukan? Tania yang berbuat salah tapi seolah aku yang dapat karmanya."ucapnya terkekeh. Kembali ia berucap dengan lirih sembari mengingat seseorang." Tuhan pernah bawa seseorang memberi sedikit warna dihidupku. Namun dia hanya sekedar hadir sebentar lalu pergi."ucapnya. Mba Arum tampak memperhatikan wajahnya mas Aldi dengan seksama."Sepertinya kamu begitu mencintainya?" tanya mba Arum. Sedikit mas Aldi mengangguk dan berkata."Ya, sangat. Hanya saja sekarang aku coba menyerah dan ikhlaskan dia." tuturnya sejenak hatiku rasanya teranyuh. Sungguh aku tidak ingin mas Aldi melupakanku. Aku harus kembali tapi aku bingung bagaimana mengahadirkan Resti yang dulu lagi dalam hidupnya suami. Atau aku langsung jujur saja? Entahlah aku menemuinya lain waktu saja. Aku sedi

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 62

    POV RESTIDi depan kaca riasku di sebuah studio pemotretan terbaik di kota london ini aku menatap nanar pantulanku sembari pikiranku melayang jauh hingga ke indonesia. Bagaimana bisa aku kembali secepat mungkin ke indonesia sedangkan aku masih punya kontrak kerja dua bulan lagi. Dan Irfan akan segera berrtunangan dua minggu lagi. Aku masih sangat sibuk disini, mbak Arum? Dari sekian banyaknya wanita di dunia ini kenapa harus mbak Arum. Tapi saat aku melihat mata mas Aldi waktu itu. Dia tidak mungkin melupakanku semudah itu. Aku harus ingatkan dia lagi tentang Resti. Tanpa pikir panjang aku coba menghubungi mas Aldi.Tuuuut Tuuut....!Terdengar panggilan itu tersambung."Halo?"ucapnya"Halo Tuan indonesia?"sapaku dengan bahasa inggris terdengar mas Aldi terkekeh."Hay nona apa kabar?"tanyanya

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 61

    POV HADI.Lelucon macam apa ini, apa yang dikatakan Arum sangat menyayat hatiku. Bagaimana bisa aku hadiri sidang perceraian. Siang ini aku tak bisa berbuat banyak selain menyendiri lagi di kamar, aku rapuh sekali, aku tidak mau bercerai dengan Arum rasanya hatiku sangat lelah sekali. Aku ingin berkeluh kesah pada Arum tentang hatiku entah bagaimana caranya membuat dia yakin bahwa aku belum membagi perasaanku ataupun cintaku. Cumbuan itu hanya naluriah yang tak bisa aku artikan. Aku resah sekali saat ini aku menyesal. Sekarang semua sudah terlanjur kacau begini. Aku benar-benar lelah. Dalam lamunanku itu terdengar bunyi mobil memasuki garasi sontak aku tersadar dan melihat siapa yang datang bersama mobilku itu. Aku beranjak ke balkon melihat keadaan dibawah bisa aku lihat putriku turun dari mobil dengan wajah lemes. Segera aku hampiri dia ke pintu."Caca... Kamu dari mana aja nak bareng kang supir?" tanyaku.

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 60

    POV ARUM.Setelah melepas mas Tama pergi Aldi mengantarku kerumah. Aku terdiam sejenak melihat rumah itu, rumah ini masih terlihat bagus dan rapi. Karna memang aku selalu sewa jasa pekerja untuk membersihkannya tiap hari. Sedikit aku menghela nafas dan coba membuka kunci pintu itu."Kamu yakin bakal disini sendirian?" tanya Aldi yang Ikut juga masuk sembari menggendong Andra. Sebelumnya Andra sempat rewel bersamaku hingga Aldi mengmbilnya dan anak itu anteng lagi."Nanti aku akan hubungi Inem Al, dia pembantuku sebelumnya. Semoga saja dia masih bisa bekerja denganku." ujarku. Aldi mengangguk."Maaf aku belum sempat belanja, belum ada apa-apa di dapur. Kamu duduklah Al. Sini Andranya." ucapku mengambil anakku di gendongannya."Tak apa Rum, dia anteng sama aku." ujarnya. Aku mendegup dan coba kembali berkata gugup.&n

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 59

    POV HADIDengan langkah gontai aku coba melangkah ke mobil. Dadaku terasa sakit aku bingung mau menyusul Arum yang pergi bersama Aldi sekarang atau kembali pulang, bahkan aku tidak tau bagaimana bicara pada Caca nanti yang ada di rumah, sungguh Aku masih belum percaya kalau Arum mengetahui ini, bisa-bisanya rumah tanggaku hancur dalam sekejap. Padahal aku tidak pernah ingin berniat mengkhianatinya, aku masih menjaga batasanku hingga sejauh ini. Aku tidak bisa jika Arum pergi dan beranggapan bahwa aku telah berkhianat."Oh Tuhan tolong aku "lirihku dengan mata berkaca-kaca dengan berat hati aku menyalakan mesin mobil dan melaju pulang.Sesampai di rumah. Tanpa kata sepatah katapun aku berlalu kekamar, aku kesal membanting semua yang ada. Berkali-kali aku coba mengusap wajahku agar tidak terlihat lemah. Namun aku tidak bisa. Aku terhenyak di kasur dengan air mata merintik.&

  • JANGAN HINA AKU MANDUL   Bab 58

    POV ARUMTuhan tolong beri aku kekuatan, semalam aku dapati mas Hadi pergi keluar dan kembali sebelum shubuh. Selama umur pernikahan kami, baru kali ini ia lakukan itu padaku. Aku sudah yakin mas Hadi telah membagi cintanya, entah bagaimana caranya aku kuat semalaman. Aku sudah muak. Aku tidak sanggup lagi menderita. Aku harus beberkan ke media. Publik terlanjur menuduh aku yang buruk. Padahal aku hanya korban dari segala pelik ini. Mas Hadi entah bagaimana rasanya hatiku sekarang. Kamu membagi cinta untuk mantan istrimu. Segala dongeng indah tentang kita di masa lalu itu hanyalah sebuah hiburan belaka untuk bisa aku kenang. Aku nanar menunggu wartawan datang ke ruang utama."Permisi selamat pagi Mbak Arum?" tanya salah seorang wartawan, aku sedikit tersintak dari lamunanku, tadinya aku fikir aku akan beberkan skandal mas Hadi. Tapi tak adil rasanya jika aku permalukan suamiku dihadapan publik. Lagi pula ini baru pertama ka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status