“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya.
‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai.
Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya.
“Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya.
“Eh-eh, kenapa?-”
Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata.
Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah.
“Sungguh?” tanya Guido sekali lagi untuk memastikan.
“I-iya….”
“Baguslah, aku minta maaf atas sikap Jeo,” Guido meluruskan kakinya.
Lean tak lagi mempermasalhkan perbuatan Jeo yang sembarang melihat lukisannya, “A-aku juga minta maaf karena sudah marah berlebihan,-”
Lean masih salah tingkah dengan keringat dingin yang hampir bercucuran, “-Ka-kalau begitu aku permisi pulang dulu, sampai jumpa minggu depan,” pamitnya yang segera berlari pergi.
‘Sungguh gadis yang bersemangat,’ tutur Guido dalam hati.
….
“Lean kamu kenapa?” Deena memperhatikan wajah anaknya yang diletakkan di atas meja makan.
Lean hanya menggeleng, ia sudah meneguk habis dua gelas air. Akan tetapi pikirannya belum kembali jernih.
‘Aku mencintainya...sepertinya aku memang mencintainya,’ pikir Lean meraba-raba dada tengahnya yang selalu mempercepat degupnya saat mengingat Guido.
“Nanti malam, Pamanmu akan kemari. Jadi kau siapkan makan malam yang banyak ya,” tutur Deena memberikan perintah.
“Apa anak-anaknya juga?”
“Tidak, hanya Pamanmu saja,” balas Deena sebelum kembali pada warung kecil yang ia tinggal sebentar.
“Baik, Bu.”
Menjelang malam hari, Lean mempersiapkan hidangan yang telah ia kuasi. Ayam goreng, sayur lodeh, dan juga bakwan toge kesukaannya. Ia menata hidangan itu dengan sempurna di atas meja makan, tak lupa meletakkan sendok dan garpu di sebelah piring kosong.
“Ayo, masuk saja,” tutur Deena mengajak adiknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Ah, iya, Kak.” Antonio menurut dan mengelus kepala Maira yang duduk di tikar bulu bermain dengan boneka kelincinya.
“Wah, Paman sudah datang. Silahkan duduk, Paman,” ujar Lean mempersilahkan pamannya untuk menyinggahi kursi kayu yang ia tarik sedikit berjarak dengan meja makan.
“Iya, sudah matangan saja. Rajin sekali ya.”
“Makasih, Paman,” Lean menebar senyuman manisnya.
Mereka berempat pun duduk dan menikmati masakan Lean yang berasa pas untuk selera mereka, tak terlalu asin, tak juga terlalu pedas.
“Paman kenapa tidak mengajak anak-anak Paman sih?” tanya Lean penasaran, karena biasanya Antonio datang berkunjung beramai-ramai membawa minimal kedua anak terakhirnya.
“Tidak, karena ada hal penting yang harus kita bahas,” jawab Antonio lugas.
Lean menoleh ke arah ibunya yang duduk bersebelahan dengannya, ia menduga-duga apakah mereka akan membahas perihal hutang mendiang ayah Lean yang menumpuk. Namun mimik ibunya tak nampak gundah atau pun gelisah, memberikan bocoran pembicaraan yang tak menuju ke arah tumpukan hutang.
“Lean, kamu kan sudah mencapai umur untuk menikah.” Deena membuka topik yang akan ia bahas.
“Terus?” kata Lean memiringkan kepalanya, ia tak jadi menambah gigitan bakwan ke dalam mulutnya.
“Paman akan menikahkan kamu dengan anak juragan Paman,” ucap Antonio jelas tanpa menunjukan keraguan.
“Haaah? Kenapa Paman memutuskan seenaknya?”
“Lean, ini demi kebaikanmu dan kita semua.” Deena mendukung perkataan adiknya, mereka berdua sudah bersepakat untuk menjodohkan anaknya.
Karena perekonomian mereka yang rendah, menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan harian yang semakin melonjak tiap bulanannya. Ditambah Maria yang harus segera sekolah dengan kebutuhan khusus dan kelima anak-anak Antonio yang berumur di bawah Lean. Terlebih istri Antonio yang harus segera mendapat pengobatan, tentunya harga pengobatan sangatlah mahal bagi Antonio.
“Tunggu? Kenapa aku harus menikah?-” elak Lean keberatan.
“-Ya, memang aku akan menikah kelak. Tapi pasti dengan orang yang aku cintai, Bu….”
Pandangan Lean hampir membuyar karena air mata yang terbendung di pelupuknya. Sekilas melintas bayangan wajah Guido yang membuat hatinya semakin sakit mendengar perjodohan yang dipaksakan padanya.
Karena Lean juga sadar, bahwa ia anak yang paling besar dan harus turut bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan adik-adiknya.
“Lean, ini adalah kesempatan berharga bagi kita. Karena tak mungkin lagi kita mendapatkan kesempatan menikahkanmu dengan anak orang kaya.” Antonio menegaskan Lean, membujuknya supaya paham akan keadaan mereka.
“Benar, Lean. Kita beruntung karena ada yang menerima tawaran Pamanmu untuk melakukan perjodohan denganmu,” tambah Deena memperkuat penegasan adiknya.
Lean membisu sejenak, pikiran dan perasaannya tidak sinkron dan saling bertabrakan, “Tapi Lean, Lean mencintai orang lain, Bu,” sanggah Lean mengutamakan perasaannya.
“Siapa dia?” Deena memberi kesempatan Lean untuk memberi tahunya.
“Hmmm…Guido dari keluarga Oswald, Bu.”
Jawaban tersebut sontak membuat Deena dan adiknya saling pandang setelah membelalak singkat ke arah Lean.
“Tidak. Lebih baik kamu siapkan diri untuk pernikahan.-” tutur Antonio garang tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.
“-Kami sudah mengatur pertemuanmu dengan calon suamimu.”
“Hikksss…. Kenapa? Kenapa kalian tidak memperdulikan perasaanku?!” bentak Lean terisak dan berlalu cepat menuju biliknya.
“Kamu yang tidak memperdulikan perasaan kami! Lagi pula siapa yang kau cintai itu? Tak mampu bagi rakyat seperti kita bersamping dengannya!” seru Antonio tak kalah keras.
Lean menutup pintu kamarnya dan tersimpuh bersandar di belakangnya, memeluk kedua lututnya yang menekuk.
“Aku paham…tapi apa artinya mereka menjualku?” tanya Lean pelan, buliran bening terus berjatuhan membasahi pipi tirusnya.
Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah. “Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil. Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi. Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya. “Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu. ‘Yaah, ketahuan,’
Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya. “Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean. “Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang. “Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri. “Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.” Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai
Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya. “Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur. ‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya. Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan. “Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya. &nb
“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya. ‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu. “Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima. “-tapi apa job desk-ku?” Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya. “Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya. “Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya. “Kau be
“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya. ‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka. Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan. “Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap. “Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka. Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya. “Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya. “Hmmm, kakak t