“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya.
‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu.
“Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima.
“-tapi apa job desk-ku?”
Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya.
“Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya.
“Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya.
“Kau bertanya tugasmu kan?” Jeodo membangunkan Lean dari lamunannya.
“I-iya.”
“Kau hanya perlu berdiri di dalam sana dan meminta izin pada pelatih setelah aku memberi isyarat,” terang Jeodo dengan mengkedipkan satu matanya di akhir kalimat.
“Hah? Maksudnya? Saat kau memberi isyarat bekerdip.” Lean cepat paham.
“Benar, aku tidak bisa berlatih terlalu lama karena tubuhku terlalu berharga bila terluka.”
Jeodo menarik lengan Lean untuk masuk ke dalam lapangan, Lean hanya patuh dan ikut saja.
“Asisten barumu?” tanya Balin, sang pelatih dengan tubuh kekar berototnya.
“Ah, iya, Pak.”
“Ya sudah sana baris, hari ini latihan tendangan.” Balin mengizinkan muridnya untuk mengikuti kelas latihan pagi.
Suara gedebuk dari kick punch terdengar hampir dari semua sisi. Membuat Lean canggung tak tahu posisi. Sedangkan Jeodo nampak diam melakukan pemanasan kecil.
“Berdiri saja di pinggir, bahaya jika ke tengah.” Guido memberikan arahan.
“Ah, i-iya. Terima kasih…,” jawab Lean dengan hatinya yang gemetar seketika.
‘Tunggu ada apa dengan jantungku?’ tanya Lean pada dirinya sendiri, saat ia menyentuh dadanya dan merasakan detak jantungnya yang lebih keras dibanding suara tendangan mereka yang mengenai target busa mereka.
Lean mematuhi ucapan Guido untuk berdiri mengamati dari samping, ia menyorot ke arah Guido yang mendapat gilirannya untuk menendang.
‘Wooow…,’ kagum Lean dalam benaknya, tendangan Guido akurat dan cepat. Bahkan si pemegang kick punch yang sedari tadi kokoh nampak goyah menanamkan kembali kakinya ke atas tanah.
“Luar biasa…hebat sekali,” gumam Lean tak bisa memendam pujian.
“Lihatlah, dia sangat menakutkan,” ujar salah satu murid latihan yang berkerumun menunggu antrian, mereka berdiri tak jauh dari Lean, menjadikan Lean mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.
“Dia berhati dingin dan gelap mata saat menghajar,” timpal yang lainnya sedikit pelan.
“Dia memang selalu menghajar orang,” tambah yang lainnya lagi membicaraka Guido dari belakang.
‘Apa benar Guido seperti itu?’ pikir Lean yang tak bisa langsung percaya dengan omongan orang.
Kini giliran Jeodo tiba, dia memulai kuda-kuda dengan tenang. Namun selepas ia melayangkan tendangan hanya ada suara ringan dan kecil menghantam pelan targetnya.
“Aah, kakiku masih sakit….” Jeodo menatap lurus ke arah Lean yang jauh di depannya. Ia mengedipkan satu matanya saat mereka saling bertukar pandang.
“Ah, Hmm Tuan,” ucap Lean tak tahu harus memanggil apa melangkah cepat menuju Jeodo.
“Ada apa dengan mu, Jeo?” tanya Ballin yang sedari tadi ikut mengamati.
“Sepertinya cidera keseleo kemarin masih belum sembuh total, Pak,” sahut Jeodo memegangi telapak kakinya.
“Ya sudah, kamu coba obati dia. Kalau parah segera ke tabib.” Ballin meminta Lean untuk menjalankan tugasnya sebagai asisten.
“Ah, i-iya, Pak,” jawab Lean tergagap dan segera membantu Jeodo untuk berdiri dan memapahnya ke tepi.
“Apa kau…maksudku hmm tuan baik-baik saja?” Lean menunjukan kecemasannya, mendudukan Jeodo ke salah satu bangku memanjang.
“Parah.”
“Haah? Sungguh?” Kening Lean mengerut membentuk lipatan.
Senyum kecil tergores pada wajah Jeodo, “Iya, makanya antar aku ke tabib.”
“Oh, i-iya.” Lean segera menemui pelatih yang tadi dan segera mendapat izin untuk membawa Jeodo keluar.
Dengan hati-hati Lean membantu Jeodo berjalan ke luar lapangan, setelah cukup jauh, Jeodo melepaskan genggaman Lean yang sedari tadi menempel di lengannya.
“Sudah cukup.” Jeodo meregangkan tubuhnya.
“Lho? Kenapa sudah cukup?”
“Aku hanya butuh keluar dari latihan dengan cara yang wajar,-” timpal Jeodo menjelaskan maksud tersembunyinya.
“-tadi hanya sandiwara.”
Ditunjukkannya kakinya yang baik-baik saja dengan lompatan energiknya beberapa kali.
“Heeeh…,” Lean mendatarkan mukanya dengan sebal, ia merasa terbodohi karena menganggapnya serius tadi.
“Ini upahmu, jika kau mau terus menjadi asistenku. Besok di jam yang sama datang lagi ya,” ucap Jeodo memberikan empat lembar uang merah pada Lean.
“Eh, tunggu-,” kata Lean terhenti saat Jeodo sudah menaiki kereta kuda yang menunggu kedatangannya.
‘Lah, uangnya kebanyakan,' batin Lean yang merasa upah tak sebanding dengan usaha.
“Oh, iya aku kembalikan saja pada kakaknya,-” ucap Lean segera membalikkan badan, namun dirinya lansung tersentak saat ada seseorang berdiri tepat di belakangnya.
“-Lho, Guido?”
Guido hanya terdiam menatap ke bawah tepat pada poros mata Lean.
“Hmm ini, uang adikmu berlebihan,” Lean menyodorkan tiga lembar yang lain.
“Ambil saja.”
“Eh, tapi terlalu berlebihan.” Lean bersikeras untuk mengembalikan uang di yang ia pegang di tangan kanannya.
Guido menyerahkan botol minum berwana hitam pada Lean, tanpa penjelasan ia pergi kembali ke arahnya datang tadi.
“Eh? Apa ini?”
“Air minum,” tutur Guido meletakkannya di atas telapak tangan Lean yang terbuka.
Sedari tadi ia mengamati keringat yang mulai berembun di kening lebar Lean, dia merasa bertanggung jawab pada seseorang yang sudah direpotkan oleh adiknya.
“Kenapa dia tahu kalau aku merasa haus ya?” tanya Lean memiringkan kepalanya.
Ia sudah berjalan jauh dari rumah kemudian ke pamannya dan berjalan memutar ke tempat ini, sehingga tentu ia hampir dehidrasi tanpa membawa bekal minuman.
‘Hmm bagaimana ini, sepertinya aku akan datang lagi besok,’
“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya. ‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka. Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan. “Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap. “Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka. Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya. “Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya. “Hmmm, kakak t
“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya. ‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai. Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya. “Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya. “Eh-eh, kenapa?-” Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata. Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah. “Sungguh?” tanya Guido sekali lagi
Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah. “Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil. Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi. Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya. “Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu. ‘Yaah, ketahuan,’
Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya. “Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean. “Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang. “Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri. “Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.” Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai
Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya. “Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur. ‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya. Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan. “Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya. &nb