Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya.
“Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean.
“Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang.
“Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri.
“Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.”
Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai bela diri karena dianggap lemah.
Pada tembok batu yang tak terlalu tinggi, Isberga sudah menyiapkan beberapa dahan teh siam rimbun yang ia potong untuk tempat persembunyian mereka.
“Pakai ini,” titah Isberga menyerahkan satu dahan teh itu pada Lean.
“Ih, aku tidak ikutan.”
Isberga tak menggubris, ia menengok dari atas tembok, menatap para laki-laki yang sedang berlajar meninju dan menangkis dengan kuda-kuda mereka yang nampak begitu kokoh terjaga.
‘Hmm, aku jadi penasaran kan?’ Batin Lean yang ikut menongolkan kepala di atas dinding yang tinggi selehernya.
Namun ia lupa untuk menutupi diri dengan dahan teh seperti apa yang dilakukan oleh Isberga, sehingga rambut pirang mencoloknya sontak membuat pandangan sebagian barisan laki-laki yang ada di tengah lapangan memandangi Lean dengan heran.
“Hei! Kamu perempuan! Kenapa mengintip latihan?” ujar salah satu dari mereka.
“Dasar bodoh kamu,” bisik Isberga mencibir Lean, melarikan diri secepat kilat.
Lean yang ditinggal hanya melongo melihat punggung temannya sudah jauh menghilang dari pandang. Kemudian ia berjongkok dan beringsut pergi perlahan, meninggalkan pertanyaan yang ia dengar tanpa jawaban.
Duukk…!
Kepalanya yang menunduk membentur suatu yang keras di hadapannya, Lean pun menengadah dan segera terperengah. Tatapan manik mata kelabu memandangnya tajam.
“A-aah, ma-maaf.” Lean terbata setelah hening sesaat.
Diamatinya sosok lelaki tinggi dengan rambut sehitam langit malam, kulitnya putih halus bagaikan salju. Dia mengenakan seragam hitam latihan yang sama dengan para laki-laki yang baru saja ia intip.
“Menyingkir,” ucap laki-laki itu dingin tanpa berkedip.
Lean pun segera sadar bahwa dirinya memang menghalangi langkah laki-laki itu di jalan setapak yang mereka injak.
“Aaah….” Lean bangkit berdiri dari posisi jongkoknya dan menepi dari jalan, mempersilahkan laki-laki itu melewatinya.
Tanpa berucap sepatah kata pun, laki-laki itu berjalan memunggungi masuk ke tempat latihan.
“Ya ampun, ada-ada saja. Memalukan…. Bagaimana jika ada yang mengenaliku di sana?” gumam Lean berjalan pulang.
“Sst…sssstt.” Isberga melambaikan tangannya, menunjukan dirinya yang bersembunyi di balik pohon.
Lean memutar bola matanya, ia pikir dirinya sudah ditinggal sendirian. Ternyata teman menyebalkannya masih ada di jalan pulangnya.
“Apa?” tanya Lean malas meladeni.
“Kamu gila? Kamu tidak tahu siapa yang tadi berjalan ke arahmu?”
Lean merespon dengan gelengan kepala kecil, sebenarnya ia juga sedikit penasaran mengenai identitas laki-laki rupawan yang berbicara dengannya.
“Siapa memangnya?”
“Dia berasal dari keluarga Oswald, aku mengenalnya dengan sangat baik karena pernah bertemu di pesta pamanku,” tutur Isberga melebih-lebihkan.
“Kalau kamu mengenalnya dengan sangat baik, lantas kenapa tadi tidak kamu sapa?” tanya Lean menemukan celah.
Isberga mendengkus sebal, sedangkan Lean melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, “Sudahlah, aku pulang dulu.”
Jalan ke rumahnya cukup jauh, ruas jalan yang cukup ramai dengan pedagang pasar harus ia lalui untuk mendapati rumah klasiknya yang berada di ujung gang.
“Ibu, Lean pulang,” ujar Lean setelah menderitkan daun pintu.
“Kalau main ajak adik kamu dong,” tutur sang ibu mengomentari.
‘Bagaimana aku bisa membawa Maira jika pergi ke tempat itu,’ timpal Lean di dalam benaknya.
Tujuannya pergi untuk melihat latihan, sedangkan adiknya, Maira, tidak bisa melihat alias tuna netra. Dengan alasan itu, tentu saja Lean tak bisa mengajak serta adiknya.
“Maira marah?” tanya Lean pada Maira yang sedang memeluk boneka kelinci.
Maira selisih lima belas tahun dengan Lean, jarak yang sangat jauh itu membuat Lean harus bergantian menjaga adiknya saat ibunya bekerja. Mereka hidup tanpa seorang ayah, sehingga pamannya membantu kekurangan perekonomian mereka.
Maira menggeleng, “Tidak, Kak.”
“Maaf ya, lain kali Kakak ajak kamu main deh.” Lean mengelus rambut hitam Maira yang menurun dari ibunya.
“Iya, Kak.”
Setelah merasa lega, Lean masuk ke kamarnya, menghempaskan diri di atas kasur empuknya. Saat ia hampir terpajam, sorot mata laki-laki dingin tadi melintas dalam pikirannya.
‘Kok aku jadi kepikiran begini?-’ tanya Lean pada dirinya sendiri.
‘-Keluarga Oswald? Aku jadi penasaran,’ sambung Lean dalam pikirannya, ia kembali ke luar menghampiri ibunya yang sedang mencuci piring.
“Bu, ibu tahu keluarga Oswald?”
Sang ibu, Deena terdiam menghentikan gerak tangannya, “Keluarga kaya yang tinggal di kota sebelah.”
“Ooh…,”
“Kenapa tiba-tiba tanya itu?” Deena menyipitkan matanya.
Keluarga Oswald dikenal akan kekayaan dan kekuasaan mereka yang tinggi membuat rakyat kecil segan dan takut mendekatinya. Banyak rumor miring dan gelap tentang keluarga tersebut.
“Hmm engga, tadi ada temen Lean yang nyebut nama keluarga Oswald, Bu.”
“Oh begitu,” ujar Deena lega.
Dia khawatir jika anak ragilnya itu terlibat pada nama keluarga yang baru disebutnya.
….
Seminggu kemudian, Lean kembali ke tempat latihan itu. Ia mengintip sendiri tanpa Isberga yang mengajaknya. Disorotnya setiap laki-laki yang ada di lapangan. Namun ia tak kunjung mendapatkan rupa yang ia cari.
‘Oswald…Oswald, dimana kamu…?' batin Lean menelusur pandang hingga ke ujung lapangan.
“Aaah…!” seru Lean yang segera menutup mulutnya sendiri, saat ada tangan yang mengenggam pundaknya.
“Hei, bukankah mengintip itu tindakan yang tidak sopan?”
Lean segera menoleh ke belakang, ditatapnya mata sayu bermanik kelabu. Sangat mirip dengan laki-laki yang sedang ia cari.
“Kok kamu mirip dengannya?”
Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya. “Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur. ‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya. Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan. “Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya. &nb
“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya. ‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu. “Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima. “-tapi apa job desk-ku?” Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya. “Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya. “Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya. “Kau be
“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya. ‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka. Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan. “Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap. “Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka. Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya. “Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya. “Hmmm, kakak t
“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya. ‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai. Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya. “Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya. “Eh-eh, kenapa?-” Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata. Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah. “Sungguh?” tanya Guido sekali lagi
Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah. “Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil. Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi. Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya. “Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu. ‘Yaah, ketahuan,’