“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya.
‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka.
Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan.
“Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap.
“Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka.
Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya.
“Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya.
“Hmmm, kakak tidak apa-apa?” tanya Maira mencoba menerka di mana wajah kakaknya berada.
“Kakak, engga apa-apa.-”
“-Oh iya, mau Kakak beliin jajan yang enak? Yuk,” ajak Lean mengandeng jemari Maira.
Mereka berjalan melewati ibunya yang berdagang es kelapa muda di depan rumah, gang yang cukup strategis sebagai lalu lalang pedagang dan pembeli di pasar yang ada di depan belokan.
“Mau kemana, Lean?” Deena menoleh ke arah anaknya yang belum lama masuk rumah dan sekarang sudah keluar lagi.
“Mau beliin Maira jajan, Bu.”
“Oh, ya sudah. Hati-hati di jalan,” tutur Deena mempercayakan anak bungsunya pada penjagaan Lean.
“Iya, Bu.”
Esok harinya, Lean benar-benar datang kembali ke tempat latihan pada jam yang sama dengan kemarin. Dia menunggu Jeodo yang mempekerjakan dirinya, sekalian berniat untuk mengembalikan upah yang berlebihan.
“Kau datang lagi,” sapa Jeodo dengan rambutnya yang acak-acakkan.
Guido melangkah di depan Jeodo, segera masuk ke tempat latihan. Mengabaikan keberadaan Lean di hadapannya.
‘Benar-benar cowok dingin,’ komentar Lean dalam hati dengan sebuah getaran yang mengusik perasaannya.
“Wajahmu merah,” ungkap Jeodo memperhatikan rona di paras polos Lean.
“Ah-hmm mungkin, karena pa-panas bukan?-” Lean terbata mengibas-kibaskan tangannya pada cekuk leher.
“-Oh, hmm, tu-tuan. Upah Anda yang kemarin berlebihan bagi saya.”
Jeodo menyunggingkan senyum kecilnya, “Panggil Jeo saja.-”
“-Upah itu menurutku terlalu kecil dan kurang. Jadi terima saja, meski tak seberapa,” lanjut Jeo mengangkat kedua pundaknya.
‘Begitu ya? Karena keluarga Oswald sangat kaya, jadi standar kami sangat berbeda,’ pikir Lean menunduk berkecil hati.
“Kamu kenapa malah diam?” Jeo menatap dekat wajah Lean yang tak lagi memerah.
Jeo merasa bersalah setelah mengingat kembali ucapannya yang mungkin menyinggung perasaan gadis di depannya.
“Maaf kalau menyinggung kondisi ekonomimu, tapi jika kau bekerja denganku…aku akan membantumu mendapatkan uang. Toh bukan karena rasa iba atau simpati juga, tetapi murni upah dan bayaranmu.” Jeo menegaskan pada Lean.
Dirinya tak pernah memandang kasta, maupun melihat orang lain dari ketebalan dombet mereka. Kemudian Jeo juga membutuhkan Lean supaya ia bebas membolos kelas latihannya.
“Begitukah, hmm…baiklah.” Lean menimpali beriringan dengan rekahan senyumnya.
Lean menyepakati dan menyetujui kontrak tak tertulisnya untuk menjadi asisten Jeo. Dia datang sesuai jadwal latihan yang diadakan dua kali seminggu, membuat dirinya semakin dekat dengan Jeo, sembari memperhatikan kembarannya diam-diam.
Hari ini sudah sebulan lebih Lean datang sebagai asisten Jeo, mengamati dari tepi lapangan.
“Beda sekali ya, antara adik dan kakaknya. Hahhaha,” ucap Ehren, salah satu murid yang juga ikut berlatih, menertawakan perbedaan saudara kembar Oswald yang nampak begitu jelas pada kepribadian mereka yang hampir semua bertolak belakang.
‘Lagi-lagi dibanding-bandingkan. Memang kenapa jika berbeda? Kembar kan tak harus sama,’ timpal Lean dalam hatinya, ia tak ingin ikut campur dalam pembicaraan tak bermutu itu.
Lean juga tengah menyibukkan dirinya untuk melukis sketsa pada buku gambar kecil yang selalu ia bawa supaya tak jenuh, supaya dirinya dapat menangkap gambar Guido melalui goresan hitam pensil kesayangannya.
“Kau tahu kenapa Jeo membawa asisten?” tanya teman Ehren yang berdiri berdekatan dengannya.
“Oh, itu karena Jeo saja yang sangat manja.” Ehren berucap congak.
Di dalam perguruan, mereka mengabaikan status sosial dan menyamaratakan kedudukan. Perbedaan mereka hanya ada pada nilai yang dicapai, nilai yang ditunjukan oleh peringkat bulanan mereka.
“Baiklah, semuanya. Latihan selesai hari ini, kalian boleh kembali.” Ballin membubarkan sesi latihan pagi dan hengkang meninggalkan terlebih dahulu.
“Hei, Lean. Lama ya?” tanya Jeo yang tak membolos seperti biasanya.
“Hmm…justru bagus, karena akan lebih bagus jika kau mengikuti latihan hingga akhir,” sahut Lean menutup buku sektsa bersampul cokelat miliknya.
Jeo dengan cepat mengambil buku itu dari pangkuan Lean, membuat Lean tergugup tak karuan.
“Eh? Jangan! Itu punyaku.” Lean mencoba mengambilnya kembali, tapi Jeo dengan jahil mengangkatnya tinggi hingga Lean harus berjinjit saat mencoba merebut.
“Cuma mau lihat, sedari tadi kau serius sekali sih,” ungkap Jeo yang ikut menjinjitkan kakinya, menambah selisih ketinggian mereka.
“Jaangaan…! Aku mohon….” Lean semakin gusar dan panik saat melihat Guido yang menghampiri keributan yang ia buat.
“Ada apa?” tanya Guido memperhatikan Jeo yang mulai membuka buku Lean dan langsung terdiam saat melihat isi di dalam lembarannya.
“Waaah…,” timpal Jeo menunjukan sketsa wajah Guido pada si empunya.
Guido berdecak sesaat, ia menyipitkan pandangannya menatap potret dirinya yang terlukis begitu apik.
“Iiiih, jahat!” Lean segera menyambar cepat buku tersebut dan berlari kencang ke luar lapangan, bersembunyi di antara pohon yang baris menjulang.
‘Aku malu sekali…dasar Jeo menyebalkan!’ teriak Lean dalam benaknya, kacau dan malu ia rasakan sekaligus.
“Jeo…,” tutur Guido tak enak hati pada Lean yang hampir menunjukan air matanya.
Sedangkan Jeo hanya mengangkat kedua pundaknya acuh, ia duduk di bangku bekas asistennya dan mengambil handuk kecil juga minuman yang selalu Lean siapkan untuknya.
“Dasar...,” gumam Guido.
Guido memutuskan untuk mencari Lean, menebus kesalahan yang dilakukan adik kembarnya. Tak perlu waktu lama, ia dapat melihat rambut pirang cerah Lean yang bersembunyi di balik semak.
“Leaan...,” Guido berjalan mendekat.
‘Eh, suara itu?’ batin Lean mengintip dari sela-sela daun yang menyembunyikannya.
“Lukisanmu bagus, aku suka.”
“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya. ‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai. Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya. “Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya. “Eh-eh, kenapa?-” Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata. Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah. “Sungguh?” tanya Guido sekali lagi
Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah. “Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil. Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi. Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya. “Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu. ‘Yaah, ketahuan,’
Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya. “Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean. “Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang. “Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri. “Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.” Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai
Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya. “Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur. ‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya. Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan. “Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya. &nb
“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya. ‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu. “Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima. “-tapi apa job desk-ku?” Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya. “Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya. “Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya. “Kau be