Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya.
“Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur.
‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya.
Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan.
“Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya.
Lean terkekeh kecil, “Hehehe, iya, Bu. Habis ini langsung cuci muka kok.”
“Apa kamu habis mimpi buruk?” tutur Deena perhatian sembari meletakkan sayuran yang baru saja ia beli dari penjual sayur keliling.
‘Entahlah…apa itu disebut mimpi buruk saat kilasan wajah tampan ada di dalamnya?’ Batin Lean menggeleng perlahan.
“Sudahlah, habis ini buruan mandi dan antar masakan ke rumah pamanmu.” Deena melontarkan perintah.
“Iya, Bu.”
Istri paman, Tante Margareta sudah lama sakit parah. Sehingga Deena harus menyiapkan adiknya beserta keluarganya makanan di pagi dan malam. Hal itu Deena lakukan sebagai balas budi bantuan uang yang diberikan adiknya yang bekerja sebagai tukang kayu.
Lean sudah rapi dengan rambut yang ikat ikat menyisakan sebagian poninya yang terurai. Semerbak aroma masakan mulai menyeruak membangkitkan Maira dari tidurnya.
“Wah, Maira sudah bangun?-” Deena menghampiri dan mendampingin anak bungsunya itu ke kamar mandi.
“-Lean, itu tahu gorengnya dibalik kalau sudah kuning.”
“Iya, Bu.”
Lean menjaga panas api tungku agar tetap menyala dengan memasukkan bebera kayu bakar lagi, dia membalik dengan terampil tahu-tahu di dalam panci penggorengan. Memasak merupakan keahliannya, akan tetapi setiap sarapan pasti ibunya yang sudah menyiapkan semuanya. Giliran makan siang dan makan malam, Lean lah kokinya.
Mereka bertiga pun makan bersama dengan lauk seadanya, Deena memperhatikan dengan secara berturut-turut pada Maira yang sedikit gelepotan saat menyedok nasi ke dalam mulutnya.
“Ih, gelepot.” Lean mengelap nasi yang tersisa di ujung bibir adiknya.
“Kamu ajak adikmu ke rumah paman sana.”
“Yah, Bu. Kasihan Maira, kan jalan jauh,” timpal Lean mencoba menolak.
Bukan karena Lean tak suka pergi bersama adiknya, namun kelima sepupu mereka sangat usil dan nakal. Tak jarang mereka mengolok-olok Maira karena kekurangannya.
“Maira ga mau ikut,” celetus Maira yang tak ingin diejek oleh anak-anak paman.
“Ya sudah kalau begitu, Lean kamu hati-hati di jalan.”
“Iya, Bu.”
Seusai sarapan, Lean langsung bergegas menuju rumah pamannya yang harus menempuh ladang perkebunan. Meski sudah pagi, area perkebunan sudah dipenuhi oleh para petaninya. Membuat jalan kecil yang Lean tempuh tak menakutkan karena tak seorang diri.
‘Oh iya, kalau nanti aku ambil jalan yang memutar sewaktu pulang. Maka aku bisa pergi ke tempat latihan itu. Yah hanya sekedar lewat saja kan?’ Batin Lean di tengah-tengah perjalanan, ia masih terngiang akan mimpinya semalam.
Ia pun tiba di rumah bercat putih dengan banyak jendela yang menghiasi depan rumah itu. Pamannya terlihat sedang menggergaji kayu dengan cepat, menjadikan serpihannya berhamburan ke tanah.
“Eh, Lean? Sudah datang?” Antonio, Paman Lean menyapa dengan bungah.
“Iya, Paman. Kok sepi?” ucap Lean celingukan mencari kelima sepupunya yang nakal.
“Lagi pergi memancing.”
“Oh, Hmm...Paman ini sarapannya Lean taruh meja dalam ya.-” Lean memasuki rumah berinterior kayu tersebut.
Di dalam rumah itu juga tak kalah sepi, karena tantenya yang sakit pasti masih tiduran di kamarnya yang ada di lantai dua.
“-Sudah ya, Paman. Lean pergi dulu ya?”
“Lho? Kenapa buru-buru? Main dulu lah.” Antonio menaikan alis lebatnya.
“Hmm, Lean mau main ke tempat lain hehe.”
“Oh, begitu. Ya sudah sana. Hati-hati di jalan,” ujar Antonio memberi izin. Ia tak ingin memaksa keponakannya untuk berlama-lama, terlebih dia juga harus fokus pada pekerjaannya.
Lean melambaikan tangannya, ia pun berlalu menjauh, “Siap, Paman. Lean pergi dulu.”
Diambilnya jalan memutar seperti yang ia rencanakan, menelusuri jalan setapak kecil hingga tiba di samping tempat latihan. Dilihatnya mereka sudah berkumpul di sana meski masih sekitar pukul sembilan.
Lean mengambil potongan dahan teh siam yang kemarin Isberga tinggalkan di sebelah dinding, ia menyembunyikan wajahnya dan mencari wajah yang ingin ia temui.
‘Kenapa tidak ada sih?’ tanya Lean sedikit kecewa, namun ia tak menyerah untuk memantau mencari rupa yang ia kenali.
“Aaah...!” seru Lean saat pundaknya ditepuk oleh seseorang, ia segera menoleh ke belakang.
“Hei, bukan kah mengintip itu tindakan yang tidak sopan?” tegur pemilik tangan yang menepuk pundak Lean.
“Kok kamu mirip dengannya?” Lean balas bertanya sambil mengamati paras rupawan laki-laki di depannya, akan tetapi tatapan sayu yang dimiliki oleh lelaki itu memberikan perbedaan yang signifikan.
“Oh, kamu mencari Kakakku?” tanya laki-laki itu ingin tahu.
‘Kakak? Jadi ini adiknya? Wah mirip sekali,’ pikir Lean termenung menelaah penampilan laki-laki di depannya yang tidak menggunakan seragam latihan, hanya kaos berompi.
“Jeo?” panggil suara dingin yang begitu diingat oleh Lean.
“Oh, Kakak.” Laki-laki di depan Lean, Jeodo, menoleh ke arah kakaknya yang melangkah mendekat.
“Ka-kalian kembar?” Lean sontak membelalakan matanya kagum.
Ada dua orang dengan wajah layaknya pangeran di depannya, mereka hanya berbeda pada garis mata. Jeodo memiliki mata sayu dengan kelopak gandanya, sedangkan kakaknya mempunyai tatapan tajam dengan manik mata yang lebih gelap.
“Oh, iya. Aku Jeodo dan dia Kakakku, Guido.” Jeodo memperkenalkan diri, tangannya menjulur dan berhenti meminta dijabat.
“Ah, i-iya. Hmm aku Lean, Leandra Abila,” timpal Lean yang segera menjabat tangan berjari lentik milik Jeodo.
Jeodo menyimpulkan senyuman tipisnya, “Apa kau mau jadi asistenku?” tawar Jeodo tanpa melepas jabat tangan mereka.
“Hmm?-” Lean melirik sekilas ke arah Guido.
“-Bo-boleh.”
“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya. ‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu. “Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima. “-tapi apa job desk-ku?” Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya. “Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya. “Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya. “Kau be
“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya. ‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka. Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan. “Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap. “Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka. Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya. “Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya. “Hmmm, kakak t
“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya. ‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai. Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya. “Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya. “Eh-eh, kenapa?-” Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata. Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah. “Sungguh?” tanya Guido sekali lagi
Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah. “Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil. Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi. Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya. “Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu. ‘Yaah, ketahuan,’
Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya. “Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean. “Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang. “Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri. “Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.” Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai