Lean menggeliat malas, merasakan kantong matanya yang sembab berat. Ia mengabaikan ibu dan pamannya semalam, meski mereka masih bercengkrama di ruang depan. Lean menangis dengan muka yang ia sembunyikan di dalam selimut, hingga terlelap lelah.
“Apa ibu berubah pikiran?” gumam Lean berharap tangisannya menuai hasil.
Ia pun mendongakan kepalanya keluar dari daun pintu, mengawasi diam-diam keadaan rumah yang berjalan seperti biasanya. Seolah semalam tak ada hal yang terjadi.
Maira terlihat sedang memakan jeli kacang di atas tikar anyam, bibirnya bergelepot hingga beberapa jeli terjatuh ke lututnya yang menekuk. Membuat Lean ingin segera datang ke arah adik mungilnya itu dan membersihkannya.
“Lean?” panggil Deena saat melihat rambut anaknya tergerai berantakan di depan pintu.
‘Yaah, ketahuan,’ batin Lean merasa lengah karena memperhatikan adiknya.
“Iya, Bu?”
Deena menyemburatkan senyum simple-nya, “Mandi sana, nanti siang calon suamimu datang kemari,” tutur Deena lembut.
“Haaah? Siapa?”
“Calon suamimu,” ulang Deena sekali lagi.
Lean mendengkus sebal, ‘Calon suami? Sembarangan saja kalau ibu bicara,’ ungkap Lean dalam benaknya.
Ia masih dongkol atas penolakkannya yang tidak digubris. Ia tak lagi menganggap ibunya sedang menjodohkan dia, melainkan memaksanya untuk menikah.
“Lean, kamu percaya sama pilihan ibu-” Deena tak menyerah untuk meyakinkan anaknya.
“-mana mungkin ibu memilihkanmu calon yang buruk.”
Pandangan Deena nampak percaya diri, ia merasa begitu puas akan bayangannya terhadap masa depan anaknya yang pasti akan cerah jika mengikuti perkataannya.
“Oh, jadi karena itu, ibu masak enak hari ini?” tanya Lean menoleh ke arah dapur setelah mencium aroma kaldu ayam yang menyeruak ke dalam ruangan yang sempit.
“Iya, makanya buruan mandi ya.”
Lean menghembuskan nafas dengan berat, “Huh, iya, Bu,” ucapnya pasrah tak mampu menolak.
Ia pun berbalik untuk mengambil handuknya dan berhenti sejenak untuk mengelap rempahan jeli di bibir adiknya dengan serbet yang tak jauh dari tempat Maira duduk.
“Kakak?” Maira mencoba mencari di mana letak Kakaknya berdiri di sampingnya.
“Iya…gelepotan ih, makan yang benar dong.”
“Hihihi, maaf, Kak,” senyum Maira dengan wajah manis berserinya.
Senyuman yang mengambang itu membuat Lean membalas dengan senyum tipisnya, meski adiknya tak akan menyadari bahwa Lean sedang tersenyum ke arahnya. Bahkan Maira tak pernah melihat paras Lean maupun ibu yang melahirkannya. Sanubari Lean tersayat bila mengingat fakta tersebut.
‘Demi Maira…Kakak akan mencoba bertemu laki-laki yang Ibu pilihkan,”
Setelah selesai mandi, Lean berkaca di depan cermin yang besar menggantung di dalam kamarnya. Dipandanginya gaun panjang hijau kiwinya yang nampak sedikit usang dan lusuh, tanpa hiasan yang menggerai, hanya pita kecil sebagai penggerat pinggang semampai Lean.
“Jika seperti ini, pasti dia segera menolak. Dia kan anak juragan kaya, pasti jijik melihat penampilan lusuh ini kan?” ucap Lean sedikit memutar tubuhnya.
Ia juga tak punya gaun lain yang nampak lebih layak dipakai, terakhir mampu berbelanja gaun baru sudah lewat tiga tahun. Jadi tak ragu bila gaun yang saat ini nampak kekecilan dengan tumit kakinya yang terlihat.
Tok…tok…tok…
“Lean?” Deena membuka pintu dan memasuki kamar anak sulungnya.
“Iya, Bu?-”
Lean memperhatikan raut ibunya yang berubah sedih, “-Ibu kenapa?” tanyanya cemas.
“Maaf, karena ibumu tidak bisa membelikan gaun baru untukmu, Nak.” Deena bersimpuh di pinggir kasur, ia prihatin atas keuangan yang tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan.
“Ah, tidak apa-apa, Bu.”
“Itu gaunnya lepas dulu, kamu sarapan…. Ibu mau pergi sebentar, jaga Maira ya.” Deena tiba-tiba saja tergesa bangkit setelah secercah ide tertangkap pada pikirannya.
“Oh iya, Bu,” sahut Lean mengarah pada punggung ibunya yang buru-buru pergi ke luar rumah.
‘Mau kemana sih, Ibu?’ tanya Lean pada dirinya sendiri.
Ia pun melepas gaun yang terlalu ketat karena kekecilan itu dari badannya dan mengganti dengan kaos seadaanya. Segera ia hampiri Maira yang melahap sarapannya seorang diri.
“Mau Kakak suapin?” tawar Lean yang mulai menciduk nasi ke atas piringnya yang masih kosong.
Maira menggeleng dengan segera, ia memang keterbatasan tetapi dirinya berusaha mandiri. Meski masih kecil, Maira cukup peka dan pengertian terhadap sekitarnya.
‘Kakak kan sedang sedih karena dipaksa menikah,’ ucap Maira dalam hatinya.
“Ya sudah kalau gitu, Kakak makan juga ya…selamat makan,” timpal Lean segera menyantap daging ayam yang jarang-jarang ia dapatkan.
Hampir lebih dari dua jam lamanya, Deena baru kembali ke rumah dengan membawa sekotak karton berbingkai motif mawar.
“Lho? Ibu dari mana saja?” sambut Lean yang khawatir apabila tamu mereka datang sebelum ibunya pulang.
“Hehe, iya…nih coba kamu pakai.” Deena menjulurkan kotak yang ia bawa, memaksa anak sulungnya untuk segera menerima.
“Apa ini, Bu?” Lean mengintip dengan membuka penutup kotak itu.
Di dalamnya berisi gaun pastel yang terlihat bergitu anggun meski masih terlipat.
“Buruan pakai, tadi ibu hampir sudah melihat Pamanmu menggiring tamu ke mari,” ujar Deena menyuruh Lean untuk segera berganti pakaian.
“Iya, Bu.” Meski merasa tidak enak karena gaun yang nampak mahal, Lean menuruti kemauan ibunya tanpa banyak bertanya.
‘Apa Ibu menghabiskan tabungannya untuk membelikan aku gaun?’ batin Lean terharu sekaligus sayang akan uang yang menghilang hanya untuk membelikannya barang.
“Jika seperti ini…bagaimana aku bisa menolak kelak?” Lean bergumam seraya melangkah menuju kamar kosongnya.
Seperti ucapan Deena, tak butuh waktu setengah jam, tamu yang ia tunggu sudah datang ke rumahnya. Deena dan Lean menyapa dengan penuh hormat di depan gerbang rumah mereka.
“Selamat datang.” Deena sedikit membungkuk.
“Jadi Anda Lean? Cantik sekali,” tutur pria yang nampak sangat rapi dengan setelan jas putihnya.
Leandra Abila, akrab dipanggil Lean, seorang gadis berambut pirang dengan darah Belanda yang mengalir dalam dirinya, menambah paras jelita pada wajah ideal miliknya. “Lean?” panggil gadis semampai menjulang lebih tinggi beberapa centi dari Lean. “Hei, Isberga.” Lean sontak menyahut gembira berlari kecil menuju teman yang sudah menantinya datang. “Lama sekali sih, bikin orang menunggu,” gerutu Isberga menuntun jalan ke arah lapangan luas yang biasa dijadikan tempat latihan bela diri. “Kamu kan bisa mulai mengintip dulu tanpa aku.” Lean tak terima disalahkan, karena ia datang karena paksaan temannya. Isberga juga terpaksa mengintip orang latihan karena dirinya tidak diizinkan mendaftar oleh orang tuanya, dampak dari stereotip yang menyatakan bahwa wanita tidak akan bisa menguasai
Semburat mentari pagi membasuh belahan bumi yang mulai berseri, memperlihatkan pantulan bening embun di permukaan hijaunya daun. Lean menggeliat kecil saat sapuan cahaya menerobos masuk dari tirai yang tak tertutup sempurna mengenai wajahnya. “Hooaam....” Lean menguap lebar beranjak ke dapur. ‘Kenapa semalam jadi ngimpiin cowok Oswald itu ya? Padahalkan sudah satu minggu berlalu,’ tanya Lean dalam hatinya. Ia mencoba menjernihkan pikiran dengan membuat secangkir teh melati dan menyeruputnya seraya duduk di atas kursi makan. “Kamu belum cuci muka sudah ngeteh aja.” Deene menegur kebiasaan buruk anaknya. &nb
“Apa kau mau jadi asistenku? Bayarannya tinggi per hari,” tawar Jeodo dengan senyum kecil yang terangkat pada ujung bibir tipisnya. ‘Bayaran? Ibu memang membutuhkan uang, jadi ini tawaran yang menguntungkan dan jika aku jadi asistennya, berarti aku bisa sering bertemu Guido?’ pikir Lean dalam benaknya mempertimbangkan dan menatap sekilas ke arah laki-laki yang menarik perhatiannya itu. “Hmm, boleh,-” jawab Lean menerima. “-tapi apa job desk-ku?” Guido menengahi mereka, “Cari asisten yang benar,” ucapnya pada adik kembarnya. “Ini juga benar kok, Kak,” sahut Jeodo menyangkal perkataan kakaknya. “Terserah,” Guido masuk ke lapangan, mengabaikan dua orang yang memandangi punggungnya. “Kau be
“Waaaa…!” seru Lean melompat ke atas kasurnya. ‘Luar biasa, aku mendapatkan uang dan bertemu dengan Oswald itu lagi,’ batin Lean girang penuh suka. Baginya yang bekerja sebagai pelukis lepas, sangat sulit untuk menghasilkan pundi-pundi dana. Bahkan lukisannya belum pernah ada yang terjual setara upah yang barusan ia dapatkan. “Hanya dengan duduk di tepi lapangan tak ada satu jam saja…,” gumam Lean mengenang pemandangan yang ia tangkap. “Kaak…?” panggil Maira yang sudah berada di ambang pintu kamar Lean yang terbuka. Adiknya buru-buru mencari kakaknya yang setelah mendengar teriakkannya. “Eh, maaf tadi kekencangan ya teriaknya?” Lean menepuk-nepuk kedua pundak mungil adiknya. “Hmmm, kakak t
“Lukisanmu bagus, aku suka,” ujar Guido berdiri di samping semak, menatap Lean yang berjongkok dibaliknya. ‘Eh? A-apa?’ tanya Lean heran atas pujian yang tak pernah ia kira akan didengar dari laki-laki yang ia sukai. Hatinya berbunga dan melayang seketika, membuat Lean senyum-senyum sendiri tanpa tahu bahwa Guido memperhatikan wajahnya. “Kamu kenapa?” Guido ikut berjongkok melewati semak yang menghalangi keduanya. “Eh-eh, kenapa?-” Wajah Lean terbakar merah sempurna saat tak sengaja mereka bertukar tatap, “-A-aku baik-baik saja,” lanjutnya yang masih terbata. Lean takut tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya, hingga ia beranjak berdiri dan membuang muka ke sembarang arah. “Sungguh?” tanya Guido sekali lagi