Tatkala Haris telah melenggang pergi ternyata kini aku dikejutkan dengan kedatangan Rojali. Wajahku langsung saja gelisah, gimana kalau dia tau bahwa barusan aku tak sengaja bertemu dengan Haris."Ngapain Lo disitu?" tanya Jali heran sembari melirik sebelah kanan dan kiri."Bukan urusan Lo!" jawabku simple. Aku hendak pergi untuk masuk dalam toilet akan tetapi dengan cekatan tangan Jali memegangi tanganku, menahan agar aku tidak pergi."Tunggu! Jelas banget itu urusan gue dong! Soalnya Lo terlihat aneh begitu, berdiri sendiri disini sambil wajah gelisah… pasti Lo sedang merencanakan sesuatu 'kan?" tebaknya sembari mendongakkan wajah."Maksud Lo apa nuduh gue sembarangan kayak gini! Gue gak terima!" aku membantah semua tuduhan yang dilayangkan Jali.Dia cowok tapi bibirnya dower banget lebih persis dengan bibir ceu Odah, atau jangan-jangan dia anak kandung Ceu Odah lagi."Udah ah lepaskan tangan gue! Gue mau masuk dalam toilet!" sentakku sembari mencoba menepiskan tangan yang saat itu
"Hahahah."Tawaku begitu terbahak, aku tak hentinya menertawakan tingkah lelaki itu yang sangat amat ketakutan. akan tetapi setelah kuperhatikan tiba-tiba saja wajah Jali memerah dan sekujur tubuhnya bintik-bintik merah. Dan alangkah aku semakin terkejut tatkala melihat pria itu jatuh pingsan."Rojali," seruku sembari mata ini membulat, heran dan juga panik bercampur menjadi satu."Rojali!" seru bude Meri panik tatkala melihat keponakannya tak sadarkan diri. Bude Meri segera menghampiri Jali yang terbaring lemah di lantai sedangkan aku masih berdiri dengan merasakan kepanikan. "Jali, bangun Nak, ini bude. Sayang kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Bude Meri tatakala mengguncang-guncangkan tubuh keponakannya itu.Serempak hanya ada di dalam ruangan, Bude Meri kini menoleh ke arahku, "Apa yang kamu lakukan pada Jali, Diandra?!" cerca Bude Meri dengan tatapan yang begitu tajam."Aku tidak melakukan apapun, tadi aku hanya melemparkan cicak pada bajunya," ungkapku lirih."Apa cicak?!" Bude M
"Janita apa kamu masih mau mempertahankan pertunangan Rojali dengan wanita miskin itu?" tanya Bude Meri ketika sarapan pagi.Di meja makan tersebut terdapat Haris, Bu Janita dan juga Bude Meri. "Maksud Mbak apa?""Janita, Janita, coba kamu pikir, kemarin Diandra membuat kesalahan yang sangat Patal dengan menakuti Jali dengan seekor cicak. Yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kelakuan wanita itu seperti bocah kecil begitu… Apa yang mau kamu pertahankan coba? Sudah miskin, hanya anak pembantu juga… masih ada wanita-wanita muda yang lebih layak untuk dijadikan calon istri Jali, contohnya Alina. Dia lebih pintar dan juga dari keluarga terhormat. Bahkan Alina juga punya sopan santun tak seperti wanita pilihan kamu itu," papar Bude Meri. Bulir-bulir bening berjatuhan tanpa permisi tatkala aku berniat ingin melihat keadaan Jali, akan tetapi sejenak aku ingin mendengarkan percakapan keluar dari calon tunangan ku dengan bersembunyi di balik tembok. Sengaja kedatanganku kesini mengendap-ngen
Bu Janita beralih ke dapur, untuk berencana mengambil air, tatkala ia berada di ambang pintu dapur betapa ia di kejutkan dengan adegan luar biasa yang di lakukan Haris bersama Kakak perempuannya.Janita meneguk air liurnya dengan susah payah, sembari kedua bola mata membulat. Ia sangat syok tatkala melihat perlakuan mesra sang suami yang baru satu hari mengucapkan ijab qobul itu. "Janita," seru Mbak Meri terkaget.Haris mengurungkan kembali tangan yang mengulur menyuapi Meri -sang kakak ipar."Aku lupa mengambil air Mbak, makannya aku kesini," sahut Janita sembari mengucurkan air dari teko hingga kepenuhan, terlihat dari raut wajah wanita setengah baya itu nampak cemburu."Janita tunggu!" sergah Meri tatkala Janita akan mengantarkan ulang minuman untuk Jali."Ada apa Mbak?""Ini tidak yang seperti kamu lihat, tadi tanganku tiba-tiba sakit dan Haris mencoba membantuku menyuapi roti. Kamu jangan marah apalagi salah tanggap. Betul 'kan Haris?" tanya Meri beralih pada Haris pria berondon
"Hai Papa baru apa kabar? Pasti kabarnya baik banget dong. Jangan lupa baca doa sebelum keluar rumah, nanti kalau kenapa-kenapa bahaya loh. Siapa juga yang bahagia pasti gue tentunya," sapa Jali sembari menyindir sang Papa tiri.Haris yang hendak pergi keluar rumah untuk mengantarkan istri yang baru saja dinikahinya kemarin itu meminta agar Haris mengantarkan hari ini untuk ke kantor. "Maksud Lo apa ngomong kayak gini Rojali Abdul Manaf?!" jawab Haris sembari mengangkat sebelah alis. Heran sekali tatkala anak tiri yang seumuran dengannya tiba-tiba berkata seperti itu."Gue cuma mau ngasih Lo selamat atas keberhasilan Lo sebab telah menikahi Mama gue. Sekarang cita-cita Lo berarti sudah terjawab sudah kalau Lo ingin menguasai harta kekayaan Mama gue bukan?!... Sudah bisa ditebak kok memang pria murahan seperti Lo itu hanya menginginkan harta saja 'kan?!... Lucu banget sih Lo. Kalau mau uang itu kerja bukan morotin wanita," sindir keras mulut Jali.Tatkala telinga Haris mendengar itu
"Mak apa ada Diandra?" Terdengar sahutan suara pria menanyakan namaku. Dari suaranya sudah tak asing lagi. Dia adalah Rojali.Aku yang sedang santai dengan ponsel di tangan, menoleh ia arah suara tersebut terlihat Jali berdiri di samping Emak. Sedangkan aku melihatnya di balik kaca."Ada sedang di dalam masuk aja," papar Mak Jamilah kembali melakukan aktivitasnya menyapu halaman rumah yang banyak dedaunan gugur sebab sedang musim angin dan hujan."Emak kenapa gak kerja? Padahal Mama sudah menunggu emak dari tadi?" tanya Jali kembali."Emak sedang sakit pinggul jal, sepertinya Emak sudah terlalu tau hingga tenaga Emak sudah tidak kuat sekarang. Ditambah badan Emak sedang tidak sehat sama sekali Jadi Emak sementara ini akan beristirahat dulu Jali," tutur Mak Jamilah."Kalau begitu semoga cepet sembuh ya Mak, pokoknya doaku selalu menyertaimu," ungkap Jali sembari melenggang ke arah rumah untuk mencariku.Aku menghela nafas dengan kasar, sebelum dia masuk alangkah baiknya aku sudah siap
"Nih tisu," sahut Jali dengan tangan menyodorkan selembar tisu.Awalnya aku menoleh pada wajahnya setelah itu aku melirik tisu yang berada di tangan Jali.Tanganku mengulur untuk mengambil tisu yang Jali sodorkan, "Terimakasih.""Lo gak usah sedih gitu dong, gue jadi tak kuasa melihatnya. Gue suka gak enakan kalau lihat cewek menangis. Percuma juga Lo nangisin laki-laki kayak Haris itu. Seharusnya Lo bersyukur tidak dijodohkan dengannya," papar Jali sambari menghembuskan bokongnya di kursi bersamaku."Iya omongan Lo ada benarnya juga sih, tapi seenggaknya gue perlu waktu untuk melupakan seseorang. Apalagi Haris seenggaknya telah membuat hari-hari yang kulalui berwarna.""Iya sih gue paham itu. Malah sekarang gue yang bingung, gimana caranya agar Haris menceraikan Mama gue. Dan agar Mama tau kalau Haris bukan laki-laki yang mencintainya apa adanya," ungkap Jali mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang dipendamnya selama ini.Aku ikut heran tatkala mendengar itu."Maksud Lo?" tanyaku."Lo ma
Ku ambil beberapa bahan di dapur untuk membuatkan Emak bubur, kalau hanya mengandalkan beli jam segini kayaknya bubur sudah habis. Saat tanganku mengulur untuk mengambil beras ternyata beras tersebut nampak tinggal sedikit lagi, ku pandangi wajah tersebut secara gamang. Emak lupa beli beras apa kenapa ya? Kok wajahnya kosong begini, akan tetapi masih ada sedikit lagi, kayaknya cukup kalau hanya membuat bubur saja.Ku perhatikan juga isi kulkas nampak kosong. Maklum beberapa hari ini aku jarang sekali masak, makannya baru baru mengetahuinya sekarang.Apa mungkin Emak sudah tidak punya lagi uang untuk membeli bahan dan juga beras. Tapi kenapa Emak gak bilang sama aku, seenggaknya aku punya beberapa uang untuk membeli bahan itu. Melihat keadaan ini semua tiba-tiba saja dadaku sesak ikut nyeri. Aku terlalu sibuk memikirkan dunia kegalauan karena cinta hingga aku lupa kalau ada Emak yang membutuhkan uang. Astaghfirullah mendadak kepala ini terasa pening, tiada cara lagi yang bisa ku laku