Sampai di Tangerang, Rachel minta sopirnya berhenti, dia menunggu instruksi dari para penculik. Hatinya gelisah bukan main. Rachel tak masalah hilang uang, asalkan anaknya tak kenapa-kenapa. Kalau dalam kondisi begini, dia seperti kehilangan akal sehat, terlalu mengkhawatirkan anaknya ini.Tak sampai 15 menitan, ponselnya berbunyi dan Rachel di minta jalan terus menuju ke daerah Gunung Sindur.Mobilnya pun kini jalan lagi, tapi Rachel sudah rada curiga, saat melihat ada sebuah motor yang kini mengikuti mobilnya.Namun Rachel tetap bersikap tenang dan dia tak begitu khawatir, karena Tommy dan Kombes Sutomo sudah janji, akan terus kawal mobilnya dari jarak yang tak begitu kentara.Ponselnya kini bunyi lagi dan Rachel di minta menuju ke sebuah jalan perkampungan yang sepi dan di minta berhenti di depan sebuah pematang sawah yang ada gubuknya.Begitu mobil Rachel berhenti dari gubuk itu keluar dua orang laki-laki, dan mereka memerintahkan Rachel dan sopirnya segera keluar dari mobil ini.
Baju anak kecil ini sobek di bagian bahunya, tanpa rasa takut dia terus berjalan menyusuri jalan kampung bibir pantai yang lumayan ramai. Hebatnya, walaupun usianya belum genap 6 tahun, tak ada rasa ketakutan di wajah tampannya. Anak ini terus jalan dan walaupun kelaparan, tapi dia tak mau mengemis. Saat ini dia tak sadar masuk ke sebuah pelabuhan, dia berpikir simpel saja, kalau mau cari makan, maka harus cari tempat ramai. Dia adalah Gibran Harnady yang nyasar hingga ke sini. Gibran lolos dari penculikan setelah anak ini secara cerdik keluar dari kamar penyekapan. Ketika di kurung di sebuah kamar pengap oleh para penculiknya. Gibran yang cerdik mencari-cari jalan untuk kabur. Anak ini punya keberanian turunan dari ayah dan ibunya, dia tak cengeng dan penakut. Saat itulah dia melihat ada sebuah lubang kecil yang bisa dia masuki dengan sedikit memaksa. Itulah yang membuat pakaiannya sobek. “Aku harus kabur, mumpung penjahat-penjahat pada mabuk,” pikirnya. Gibran yang sama seka
Melihat Gibran rajin begitu, diam-diam si bibi warung ini ingin pertahankan Gibran tinggal saja dengannya sekalian. Warung ini lumayan ramai dengan pengunjung, apalagi si Bibi muda seorang janda muda dan supel, hingga pelangganya lumayan banyak. Terutama kaum pria, yang jadi pelanggan tetapnya. Dia di bantu seorang pelayan wanita yang usianya baru 12 tahunan. Adanya Gibran, si pelayan muda ini ikut terbantu, Gibran sangat rajin dan tak pernah mengeluh. Tak sampai pukul 5 sore dagangannya ludes, padahal buka-nya mulai pukul 12 siang. “Gibran, kamu ikut aku ke rumah yaa, mulai hari kamu ikut sama aku saja daripada kamu luntang-lantung nggak karuan. Panggil aku Tante Renita, pembantu tante itu namanya Ira,” si tante ini kenalkan dirinya. Gibran tak membantah, dia pikir tak apa tinggal di sini sementara. Sesampainya di rumah Tante Renita yang berjarak hanya 100 meteran dari warungnya. Gibran baru tahu si tante muda bertubuh denok ini punya anak semata wayang. Namanya Dewi, usianya b
Gibran sampai memerah mukanya, apalagi tubuhnya putih bak bulay, Renita saja kadang memuji kulit Gibran yang dikatakannya blasteran.“Jangan-jangan remaja tampan ini punya orang tua bule. Mana jangkung lagi, anehnya kenapa dia tak pernah mau sebutkan siapa orang tuanya yaa..?” Batin Renita.Malamnya, Renita pun bertanya pelan-pelan dan Gibran pun mengaku, tadi pagi ‘kencing’. Renita tertawa dan bilang, itu tandanya Gibran sudah remaja.“Hati-hati yaa, jangan sembarangan lagi gaul dengan anak gadis, ntar kalau bablas, anak orang bisa hamil!” canda Renita.“Hamil…kok bisa tante..?” tanya Gibran lugu.“Iya donk, kamu itu bukan kencing Gibran, tapi sedang mengeluarkah pejuh, tau kan pejuh itu apa?”“Nggak tahu tante!” kembali dengan lugu Gibran menyahut, sambil memilin baju kaosnya, salting. Renita sampai gemes melihat kelakuan si remaja tanggung ini."Kayak ingus itu di sebut pejuh ya tante?" sambung Gibran lagi, dengan wajah masih memerah.Renita lalu terbahak mendengar ucapan polos Gib
Gibran kaget bukan kepalang, apesnya dia pakai celana pendek dari bahan sintetis yang longgar dan Gibran juga baru sadar, dia tak pakai celana dalam.Tadi niatnya habis belajar bermaksud mau langsung tidur, sebelum Renita masuk ke kamarnya dan ngajak ngobrol.“Ma-maaf tante…!” Gibran tergagap, malu bukan main, untung saja lampu emergency tak begitu terang, karena dayanya yang mau habis, sementara listrik belum juga nyala.Jadinya wajahnya yang merah padam tak terlihat Renita.Bukannya menarik tangannya, Renita yang penasaran malah memegang benda keras ini, dan tanpa ragu dia memasukan tangan lentiknya ke dalam celana Gibran.Akibatnya Gibran blingsatan, kaget tak kepalang, tak menyangka Renita memegang langsung benda miliknya, yang justru makin keras maksimal.“Hehe…tak apa normal namanya, kok keras banget, mana gede lagi, kamu pernah masukin ini ke rahim perempuan gak?” pancing Renita penasaran, karena tak menyangka milik Gibran sudah sama dengan orang dewasa.“Be-belum pernah tante,
Tiga hari kemudian...!“Jemputan kamu belum datang Des?” Gibran memberanikan diri mendekati Desy yang berdiri di depan gerbang sekolah, setelah jam pelajaran usai.“Iya Gib, ngga tahu kok telat, nggak biasanya.” Wajah Desy mendadak ceria, tumben si cool ini berani negur aku, pikirnya kaget dan heran sendiri.“Mau ikut motor aku nggak, tapi maaf…motornya jadul..!” tanpa basa-basi, Gibran nekat menawarkan tumpangan.“Ahhh aku mandang itu, ayoo jalan sekarang, lihat hari mendung!” tanpa di duga Gibran, Desy langsung nangkring di motornya, motor ini sengaja di belikan Tante Renita secara kredit, walaupun second.Bopak yang melihat sohibnya boncengan dengan Desy langsung angkat jempol, walaupun hari ini dia terpaksa harus jalan kaki.“Tak apa ngalah asal jangan tiap hari, gempor kakiku,” batin Bopak, dia senang sahabatnya ini mulai berani mendekati Desy.Dua remaja tanggung yang masih berseragam biru putih ini jalan dan banyak yang memandang iri. Termasuk ada seorang remaja yang diam-diam
Banyak lelaki yang mabuk kepayang dengannnya. Termasuk Handoyo, ayah Desy, yang sangat penasaran dengan penolakan halus Renita.Tapi tak ada yang menduga, hanya Gibran lah yang beruntung bisa menikmati keindahan ini.Setelah kini tanpa sehelai benang pun, mulailah Renita beri Gibran pelajaran baru lagi setelah 3 malam yang lalu.Kini bikin Gibran luar biasa antusiasnya, inilah yang dinamakan fairplay, permainan bercinta sebelum menuju ke puncak.Pelan-pelan Renita arahkan Gibran mulai dari bibir, lalu turun ke dada dan akhirnya turun ke bawah.Hebatnya Gibran sama sekali tak jijai, saat Renita minta Gibran telusuri dengan mulutnya hutannya yang lumayan lebat dan berwarna pink ini.Gibran…muridnya yang cerdas, di usia belianya, remaja tanggung ini cepat paham.Tinggal 2 bulanan lagi usianya 14 tahun, di usianya yang harusnya hanya belajar, Gibran sudah jadi remaja yang terlalu cepat dewasa.Renita ternyata juga cerdik, dia pun terpaksa pasang pengaman, karena sejak malam ini, hubungan
Gibran tersenyum senang, dia dinyatakan lulus sebagai yang terbaik di SMP ini, runner up nya ternyata Desy Handoyo dan terbaik ketiga Bopak. Dia juga jago matematika, tapi kalah di pelajaran Bahasa Inggris dari Gibran dan Desy.Malam perpisahan menjadi malam yang tak pernah Gibran lupakan. Semua siswa menebus seragam batik sebagai baju perpisahan.Acara seremonial selesai, semua siswa yang lulus aseek berfoto-foto dengan sesama temannya, sebagai kenang-kenangan sebelum berpisah sebagai alumni SMP ini.Tapi ada dua orang yang sengaja memisahkan diri, dialah Gibran dan Desy. Keduanya saat menerima penghargaan, janjian bertemu di samping gedung sekolah ini.Tanpa Gibran dan Desy sadari, ada seseorang yang melihat keduanya, orang ini lalu lapor pada seorang siswa lainnya yang juga lulus. Remaja tanggung ini langsung terbakar cemburu dan menelpon seseorang.“Jadi setelah lulus ini kamu akan ke Jakarta ya?” Desy bertanya sambil duduk berdampingin di kursi samping sekolah ini.“Iya Des, aku