Sepanjang perjalanan Gibran termenung ingat Desy, dia tak pernah bertemu Desy lagi setelah malam yang bikin dia patah hati di gampar Handoyo.Gibran bahkan tak melihat Desy saat pembagian ijazah di sekolah, yang menandakan hari terakhir dia sebagai siswa di SMP ini.Namun bibirnya tersungging senyum, kalau ingat Tante Renita.“Makasih tanteku sayang, aku tak pernah lupakan tante selamanya,” gumam Gibran sambil memandang hutan-hutan yang di lalui bus travel yang angkut 35 penumpang ini.Lihat hutan yang lebat, senyum Gibran makin lebar, ingat hutan Renita yang lebat dan bikin dia kecanduan menciumi hutan rimbun dan berlendir milik wanita cantik itu.Walapun hanya kenakan jeans murahan dipadu kaos dan jaket biasa, penampilan jangkung Gibran tak ubahnya remaja kuliahan.Tinggi Gibran di usianya yang hampir 15 tahunan sudah hampir 175 centimeteran. Dia pun hanya bawa ransel yang berisi 4 stel pakaian terbaiknya, dengan sepatu kets yang agak lusuh, tak lupa ijazahnya.Gibran sengaja numpan
Hebohlah rumah mewah ini, seluruh ART ngumpul, tak lama datanglah Purnomo dan Tante Reni. Awalnya kedua orang tua ini sampai pangling lihat ada anak remaja jangkung di rumah ini. Begitu tahu ini Gibran, Tante Reni sampai histeris saking bahagianya, melihat cucu kesayangannya muncul tiba-tiba setelah ngilang hampir 9 tahunan. Apalagi melihat tubuh jangkung dan kurus Gibran. Tak ubahnya mendiang Dyan, cucu kesayangannya yang tak berumur panjang. “Kamu kemana saja selama ini, masya Allah Gibran, kamu telah siksa seluruh keluarga, ngilang nggak bilang-bilang. Papa apalagi mama kamu sampai syok dan trauma, dulu kehilangan kakak mu si Dyan, lalu kamu, untung umur kamu masih panjang!” cerocos Tante Reni dengan mata berkaca-kaca. Di hadapan kakek neneknya, juga Bu Sumi, nenek dari ibunya juga ketiga adiknya, termasuk seluruh ART dan dua satpamnya, Gibran pun secara singkat mengisahkan pengalamannya. Syifa seakan prangko, dia tak mau jauh-jauh dari Abang kandungnya. Selama Gibran bercerita
Gibran tak manja seperti adik-adiknya, dia menolak di antar jemput di sekolah. Motor sport milik Tommy yang baru sekali di pakai sejak di beli, rencananya akan di pakai Gibran buat ke sekolah.“Kamu jangan ikut-ikutan jadi geng motor, apalagi balapam liar. Ingat Abang mu yang tewas saat ikut geng motor dan suka balapan liar.” Rachel mengingatkan.Dia selalu saja jadikan mendiang Dyan Harnady sebagai cermin bagi Gibran, juga buat Masri yang kini sudah berseragam putih biru.“Iya ma, Gibran akan selalu ingat!”“Papa sih nggak khawatir, wong si Gibran jagoan mi, masa mami nggak lihat, tubuhya kokoh, setelah rajin nge-gym dan kini ikut berlatih di sebuah sasana!” Tommy menyela sambil senyum kecil.“Awas kalau kamu tawuran!” cetus Rachel hingga Gibran senyum masam.Dia bingung juga, mama-nya makin lama makin bawel, beda 180 derajat dengan papanya yang justru makin cool.Tapi dia juga memahami, ibunya masih belum sembuh dari trauma. Setelah dirinya pernah di culik dan penculiknya minta tebu
“B-boleh…silahkan.” Tergagap juga Gibran, dia masih terpesona dengan gadis remaja ini, wajahnya itulah, benar-benar mirip Desy Handoyo.Gibran lalu melirik dada sebelah kiri gadis ini, tertulis nama Tamara Bantano, tak pernah seujung kukupun Gibran tahu, kalau nama belakang Tamara ini sangat mirip dengan nama musuh besar papa dan mama-nya.“Kamu kelas berapa..?” Tamara langsung menyapa ramah sambil duduk di depan Gibran.“Aku kelas 10-B, kamu sendiri?” sambil menjawab begitu, hidung Gibran langsung seger, bau parfum Tamara penyebabnya.“10-A..?” sahut Tamara singkat, hati Gibran masih dag dig dug, melihat wajah Tamara yang bak pinang di belah kampak dengan Desy Handoyo.“Aku juga 10-A ganteng, kenalin namaku Oni Rahimin!” tiba-tiba saja rekan Tamara nyerobot dan sodorkan tangannya. Tapi tangan ini langsung di sambut Hilman.Oni kaget dan langsung rentakan tangannya. “Ihh siapa ini rambut kriting, badan dekil, sorry yee, you bukan level!” cibir Oni, tapi Hilman cuek saja.“Ih, sok cant
“Gibran hari ini aku ikut kamu yaa..?” Tamara mendekati Gibran saat jam istirahat pertama.“Tak apa nih naik motor, panas loh?” sahut Gibran kaget.“Tak apa kaleee cyinn. Ah si Gib-gib ini?” celetuk Ramon. Si gemulai ini punya panggilan ‘sayang’ yakni Gib-gib buat Gibran.“Motor si Gib-gib mah mehong, kok mau sih beli motor mehong-mhong coii, kenapa gak beli mobil ajah. Kan kami bisa nebeng!” kali ini si Black Hilman ikutan nimbrung.Gibran hanya tertawa kecil, kalau dia mau, mobil jenis apa saja ada di garasi papa-nya, yang bak show room saking besar saja.Uniknya sampai hampir 6 bulanan, baik Hilman ataupun Ramon, apalagi Tamara, tak tahu di mana rumah Gibran. Termasuk siapa sebenarnya orang tua remaja ini.Gibran sengaja tak mau sebutkan siapa dia sesungguhnya. Dia ingin sahabat-sahabatnya ini, tahunya hanya Gibran yang apa adanya.Tommy dan Rachel masih melarang anak sulu
Semenjak di sikat satu gebrakan, Riwan cs tak berani lagi ganggu Gibran. Bahkan saat melihat remaja ini berjalan di sekolah, mereka pura-pura tak melihat.Gibran pun tak berusaha menegur, dia pun diam saja, walaupun remaja ini ingin tertawa sendiri. Ke tiga anak buah Riwan terlihat berjalan agak pincang. Riwan bahkan terlihat memakai penahan di tangannya.Tangkisan sekaligus pukulan telak Gibran membuat tangan Riwan terkilir. Dia tak ahli beladiri, hanya punya nyali besar sekaligus keroyokan. Padahal aslinya pengecut.Malam minggu, Rachel menatap anak sulungnya yang terlihat mau jalan.“Mau kemana sih malam minggu..?” Rachel menatap Gibran dari kaki hingga ke wajah anaknya yang makin hari makin mirip mendiang Abangnya, Dyan Harnady.“A-anu mah…mau jalan?”“Ihh mama kok bawel cihh…Abang ngapelin cewekkkk!” si bungsu Syifa nongol dan langsung nyerocos, sambil rebahan di paha Rachel.“Hmm…benaran begitu Gib..! Siapa sih ceweknya?” Rachel tak menyahut ucapan si manja, dia masih menatap an
Namun, niat itu langsung dipadamkan sendiri olehnya, Gibran bertekad sampai kapanpun tak akan mau menampilkan kekayaan orang tuanya. "Kalau kelak ketahuan, apa boleh buat?" batin Gibran. Diapun memilih akan tetap seperti saat ini, seorang siswa SMU yang hanya naik motor. Walaupun banyak yang tahu motornya bukan kaleng-kaleng. Besoknya usai berolahraga seperti biasa di sasananya, tiba-tiba ponselnya bunyi, saat Gibran perhatikan, ternyata yang menelpon sahabatnya di Sumatera, Bopak. ‘Duehh mentang-mentang jadi anak Jakarta, lupa sama sahabat di kampung, udah hampir 7 bulan ngga ada kabar!!???” sindir Bopak. Gibran langsung tertawa, dia tak tersinggung, justru Gibran lah yang salah, padahal dulu dia janji akan kabari Bopak sesampainya di Jakarta.. “Bopakkk…waduh maaf bosqoe, aku benar-benar lupa ngasih tahu, soalnya aku terlalu aseek dengan keluargaku, kan tahu sendiri lah hampir 9 tahun tak bertemu!” Gibran bikin alasan yang masuk akal, hingga Bopak pun langsung maklum. “Hmm…al
Semakin malam makin rame, Bopak pun jadi enggan pulang, padahal Gibran sudah ajak pulang dari tadi. Jarum jam di lengannyaa sudah tunjukan pukul 00.15.“Bentar lagi broe, ini sih aseek pakai bingit,” mata Bopak tak lepas dari atraksi di depannya. Remaja ini benar-benar tak menyangka melihat pemandangan yang bikin jakunnya naik tak beraturan.Sebagai orang desa yang baru pertama kalinya ke kota, Bopak benar-benar tak menyangka menemukan tontonan yang sangat mengasekan ini, hingga dia enggan buru-buru pulang.Gibran pun terpaksa mengalah dan dia kini duduk di kursi dan membiarkan Bopak terus berada di bibir panggung.Untuk menatap lekat-lekat para penari striptease berlenggang-lenggok tanpa busana di atas panggung ini dan kadang turun ke penonton, Bopak tentu saja tak melewatkan kesempatan ini.Tapi dia kaget saat di mintai uang oleh penari striptease itu. Bopak tak kehilangan akal, dia buru-buru menemui Gibran dan minta duit.“Udah achh!! Buat apa buang-buang duit hanya untuk pegang me