Suatu hari…!
Dokter Laksono, dokter pribadi keluarga mereka meminta Gibran segera menemuinya di rumah sakit. Gibran pun bergegas datang.
Kalau sudah si dokter ini memintanya datang, Gibran mulai tak enak hati, dia sampai menduga-duga apa yang terjadi. Apalagi ini berkaitan dengan Dyan.
Sedangkan kakek dan neneknya walaupun sudah sepuh, tapi masih sehat sampai kini, kakeknya bahkan masih kuat jogging dan naik sepeda seputaran kompleks rumahnya.
Setelah duduk di depan dokter senior ini, Gibran pun hanya bisa menahan debaran jantungnya.
“Dyan…memiliki penyakit bawaan yang tak bisa kami atasi dengan pengobatan modern. Dia punya penyakit jantung bawaan dan juga paru-paru yang bermasalah. Usianya…moga saja panjang..?” cetus dokter Laksono.
Sesaat Gibran hanya bisa terdiam, wajahnya berubah memucat, tak menyangka Dyan memiliki penyakit begitu.
“Dok…tolong rawat Dyan, aku tak ingin dia…?&rd
Satu bulan kemudian…Setelah main golf, hobby baru yang disukai Gibran, ia yang bermaksud pulang setelah beri tips buat para caddy-caddy cantik yang menemaninya. Dirinya kaget melihat sosok yang jadi bahan pikirannya selama satu bulan belakangan ini.Dialah Celica…!Wanita cantik itu terlihat bersama seorang pria yang dilihatnya dulu ketika jalan di mal, wajah Gibran langsung mengeras.“Kurang ajar si Celica ini, di saat Dyan sakit, dia malah makin mesra dengan pria itu,” gumam Gibran dengan mata berapi. Gibran pun tak jadi naik ke mobilnya, dia kini langsung mulai mengikuti kemana Celica pergi dengan pria itu.Ternyata mereka masuk ke sebuah restoran merangkap kafe, yang jaraknya tak jauh dan berselebahan dengan lapangan golf ini.Gibran merendahkan topi golfnya, sehingga wajahnya tak dikenal orang, diapun mulai melihat-lihat, di mana Celica berada dengan pria tadi.Akhirnya dia melihat keduany
“Hmm…pentingkah itu buat Abang?” Celica malah balik bertanya, lagi-lagi ucapan ini bak sindiran bagi Gibran, yang dianggap Celica suka ikut campur urusan pribadinya. Gibran bukanlah pria yang punya otak kosong, dia pun merasa tersindir juga, sifatnya yang angkuh pun keluar. Gibran lalu berdiri dan bermaksud pergi dari apartemen Celica. “Baiklah, aku pergi dulu Celica, sorry kalau aku agak mendesak kamu hari ini. Asal kamu tahu, bagiku Dyan segalanya, termasuk keluargaku yang lain. Ku harap kamu mengerti!” Celica hanya diam tapi ikut berdiri dan mengantar Gibran ke depan pintu apartemennya. Sebelum Celica menutup pintu, keduanya saling tatap. Entah siapa yang memulai, keduanya malah saling mendekat dan…saling mengecup bibir. Sesaat keduanya saling melumat dan seolah melepaskan sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing. Celica tersadar, saat tangan Gibran memeluknya dan ciuman berpindah ke lehernya, wanita jelita ini bak tersengat l
Sepanjang perjalanan hingga berjam-jam dari Soetta, Gibran diam-diam malah berterima kasih, Celica benar-benar telaten merawat Dyan.Gibran tentu saja membiarkan saja keduanya, yang seakan tak terpisahkan. Baik Gibran dan Celica tak pernah banyak bicara sepanjang perjalanan.Gibran malah lebih akrab bicara dengan pramugari dan kadang dengan pilot dan co pilot. Tanpa Gibran sadari, Celica kadang menatapnya tajam, ketika melihat pemuda ini tertawa-tawa dengan pramugari cantik ini.Begitu sampai di Amsterdam, mereka langsung singgah di apartemen mewah yang di sewa Gibran selama mereka di Belanda.Mereka memutuskan beristirahat sejenak, apalagi terlihat Dyan kecapekan, sehingga pemuda malang ini lebih banyak memejamkan matanya.Kadang Gibran menggendong keponakannya, kalau mau mandi atau beraktivitas lainnya, kondisi Dyan kalau sudah capek langsung nge-drop.Tubuh Dyan pun kurus, kini dia tak berselera makan, sehingga Gibran trenyuh sekali saat
Kali ini tak ada penolakan sama sekali, Celica pasrah saat tubuhnya di gendong Gibran menuju ke kamar dan direbahkan pelan-pelan di kasur empuk dan dingin.Selama ada Dyan, Celica selalu menemani di kamar satunya, tapi malam ini Gibran membawanya ke kamarnya.Celica bahkan memejamkan mata saat pelan tapi pasti pakaiannya mulai di lepas Gibran satu persatu.Matanya makin terpejam, saat Gibran melepas sendiri pakaiannya dan kini mereka sama-sama polos, tanpa sehelai benang pun.Dinginnya cuaca tak keduanya hiraukan, justru tubuh keduanya perlahan mulai terbakar oleh aura mesum yang timbul dari tubuh masing-masing.Lenguhan lembut Celica bak api yang menyulut nafsu Gibran, kini perlahan-lahan dia mulai menelusuri tubuh mulus Celica dan setelah bermain di area bukit yang membusung.Perlahan tapi pasti Gibran bibir mulai turun ke bawah dan akhirnya bertahan di sebuah hutan rapi dan harum milik Celica.Celica melayang ke angkasa, saat dengan lembut Gibran mulai menyapu hutan rapi ini dengan
Gibran duduk berjam-jam di depan pusara Dyan, pemakaman sudah selesai sejak tadi, tubuh Dyan sudah dikebumikan di pemakaman umum ini.Berkali-kali pemuda ini menghapus airmatanya yang selau menetes membasahi pipinya. Gibran menangis tanpa bersuara. Hanya mata sembabnya tanda dia sangat terpukul.“Bang, ayo pulang, ini sudah sore, cuaca mendung, agaknya mau turun hujan!” Masri memegang bahu Abang-nya.Seluruh keluarga sudah pulang, tapi Masri sengaja bertahan, untuk menemani Gibran yang sangat terpukul dengan kematian Dyan.Sekali lagi menatap pusara Dyan, Gibran berdiri di bantu Masri dan kedua pemuda tampan ini berjalan beriringan menuju ke mobil yang terparkir di halaman pemakaman ini.“Masri…apakah kamu melihat Celica?” sambil berjalan Gibran bertanya, tapi matanya menatap lurus ke depan.“Justru aku mau tanya, kenapa gadis cantik pendiam itu sejak pulang dari Amsterdam tak terlihat lagi sampai Dyan dimakamkan?” sahut Masri balik bertanya sekaligus heran.“Ohh…!” Gibran kaget dalam
Gibran bergegas keluar dan mengambil surat dari tangan ART itu, kembali dia membaca surat dari Celica.Buat Abang GibranBang, ini mobil Dyan aku kembalikan, teriring surat ini, tolong mulai kini Abang jangan cari kemana aku pergi. Aku sudah berdosa besar mengkhianati Dyan.Mulai kini. Anggap saja Celica tak pernah ada di hati Abang, walaupun hatiku juga hancur…karena aku sangat mencintai Abang. Tapi rasa berdosa kepada Dyan membuat aku trauma.Sekali lagi, jangan cari Celica, anggap Celica sudah mati dan…kurasa Abang sudah tahu siapa jatidiri aku ini, pasti Dyan sudah membuka pada Abang…Maafkan aku Bang…cintaku buat Abang murni dari hati, biarlah ini jadi kenangan selamanya bagiku…CelicaMakin terpukullah Gibran kini. Hampir saja dia terjatuh, kalau tak cepat-cepat memegang sandel pintu dan berkali-kali menghela nafas panjang. Pukulan batin yan
Gibran menatap wajah Irina yang hari ini sengaja datang menemuinya, mantan sekretaris pribadi sekaligus mantan gundiknya ini memohon ke Gibran.Agar Arman suaminya kembali jabat manajer dan berjanji akan kembalikan semua uang yang di gelapkan suaminya.Gibran dua minggu yang lalu sudah memecat Arman. Usai perusahaan tambang di Kaltim di audit tim independen.Ditemukan penyelewengan dana perusahaan yang tak sedikit dan Arman terlibat di dalamnya. Inilah yang membuat Gibran murka bukan kepalang.Penampilan Irina kini sudah berubah, tak lagi terlihat bak sosialita, Irina seperti mirip saat dia awal kerja di perusahaan ini.Irina dan suamnya Arman sudah bangkrut!“Tak bisa Irina, masih untung suamimu tak aku kirim ke penjara dan mendekam lama di sana. Tapi ingat, bila tak bisa kembalikan kekurangan uang yang dia gelapkan? Apa boleh buat suamimu akan aku penjarakan!” sahut Gibran dengan nada menekan, saking menahan kemarahan di hati.
Iptu Masri setelah berkenalan mulai camat hingga Kades-kades di wilayahnya, terus ia memasang mata dan telinga, untuk lacak 3 perampok pembunuh Kakek Telo dan Norah.Namun, bukan Masri namanya kalau tak ringan tangan tembak para penjahat, selama 2 bulanan ini, sudah 15 orang begal, perampok dan pemerkosa merasakan timah panas di kakinya.Bahkan bila ada pelajar tawuran dan tertangkap, di jamin keluar dari sel, kalau tak tangan keseleo, pasti kaki. Masri hajar para pelajar itu hingga berkaok-kaok minta ampun.“Sengaja, biar merek mikir setelah dibebaskan, untuk tak ngulang kelakuannya lagi,” itulah ucapan Masri pada anak buahnya.Anak buahnya saja sampai ngeri melihat sepak terjang sang Kapolsek tampan dan nekat serta ‘kejam’ pada pelaku kriminal ini.Sudah jadi kebiasaan Masri, tak ada tembakan peringatan. “Buat penjahat, sayang peluru di buang-buang,” cetus Masri, saat di tegur Kapolresnya yang hanya bisa geleng