Inilah pangkal masalahnya, sehingga tempat ini dikatakan ortu Rika sudah tak kondusif lagi, sering terjadi teror terhadap warga yang bertahan dan tak mau serahkan segel atau sertifikat rumahnya pada gerombolan preman tersebut.“Bapak dan ibu tenang saja, saya mulai hari ini menjadi Kapolsek di sini, akan saya pelajari masalah ini, kelak setelah saya sampai kantor,” janji Masri.Masri pun permisi ke Rika dan ortunya, dia langsung cari hotel yang tak jauh dari Mapolsek.Masri ternyata tidak betah berdiam diri lama-lama di hotel, pagi usai sarapan, dia langsung menuju ke Mapolsek-nya. Kedatangannya yang berbaju preman tentu saja di cueki 3 polisi yang berjaga di sana.Apalagi wajah Masri yang bak artis drakor, dengan mobil SUV mewahnya, sama sekali tak menunjukan dia seorang aparat berpangkat Inspektur Dua.“Cari siapa dek, mau laporan atau mau jalan-jalan doang ke sini?” tanya seorang polisi bertubuh tambun.Masri sempat mendelik melihat polisi berpangkat Briptu ini, jarang gerak hingga
“Kamu ini anggap nyawa manusia segitu murahnya, anak buah kamu itu sudah menusuk seorang warga hingga luka berat. Briptu Bambang, tangkap manusia ini, kurung dengan anak buahnya di sel."Kesalahannya mencoba nyogok polisi dan menyuruh anak buahnya aniaya warga, sita uang itu sebagai barbuk!” tegas dan tanpa ampun perintah Masri.“Ehh apaan ini, kamu berani dengan saya, awas kamu, heii Luncar, cepat telpon pengacara kita, bilang aku ditangkap polisi,” si bos preman panik dan minta anak buahnya telpon pengacaranya.Dia juga berontak, karena kaget saat Briptu Bambang dan Bripka Samuel meringkus tangannya dan mendorongnya masuk ke sel, dia pun berteriak-teriak marah dan mencaci maki Masri dan kedua polisi ini.Plakkk…sebuah tamparan keras melayang ke wajah bos preman ini yang dilayangkan Masri. Pandang matanya langsung berkunang-kunang akibat kerasnya tamparan itu.“Berani kamu berkata kotor lagi, ku patahkan semua gigi kamu itu!” lalu terdengar bunyi ngekkk…sebuah jurus Masri lesakan ke
Hanya 10 hari di hotel, Masri kini tinggal di rumah peninggalan ortunya, rehab rumah sudah selesai. Sebab hanya ganti cat dan ganti yang lapuk-lapuk, juga mengganti beberapa furniture yang di rasa Masri sudah jadul, juga ganti AC yang rusak karena lama tak di gunakan.Setelah bertelponan dengn Gibran lalu Syifa adiknya, tak ketinggalan Dyan kemenakannya serta kakek neneknya, mengabarkan sudah tinggal di rumah ortu mereka, Masri duduk seorang diri di ruang tamu rumahnya.Masri tak menggubris chat-chat dari Samantha yang kangen dengannya dan tak tahu kalau Masri sudah pindah tugas ke Bandung.Tak lama ada ketukan, Masri pun tersenyum saat membuka pintu, yang datang Bripda Rika, sambil bawa rantang makanan.“Bawa apa ke sini?”“Ini masakan yang masih panas, aku bikin sendiri, aku yakin komandan pasti belum makan?” dengan cepat Bripka Rika ke dapur dan memindahkan makanan ini di piring.Kini mereka bersiap makan berdua di meja makan. Rika bilang diapun belum makan malam.Melihat Rika begi
Cuaca yang sejuk berubah makin dingin, Rika yang hanya kenakan kaos dan jeans tentu saja merasakan dingin yang mulai menusuk tulang.Mereka pun masuk ke cottage itu,Masri menawarkan wine dengan kadar alkohol tak terlalu tinggi, dan mayan bisa menghangatkan tubuh.Tanpa ragu Rika menerima dan mulai merasakan hangat di tubuhnya. Wine mahal memang enak, bikin pingin lagi.“Jangan terlalu banyak minumnya, ntar mabuk!” tegur Masri, saat Rika tanpa ragu menuangkan lagi ke gelasnya wine tersebut.“Enak Bang, badanku hangat!” ceplos Rika dan kembali minum perlahan, sehingga tubuhnya makin nyaman.Masri menatap lewat jendela hujan yang makin deras. Dia kaget saat punggung menyentuh tubuh hangat Rika, yang ternyata sudah bersandar di punggungnya.Saat dia menoleh kesamping, hampir saja bibir mereka bentrok. Tapi bukannya menghindar, Rika lah yang justru melumat bibirnya.Masri berpaling, tapi lumatan di bibir
Setelah hampir 30 menitan, Dyan terlihat berbincang akrab dengan model tersebut dan dia kaget saat menoleh, pamannya ini sudah ada sejak tadi.“Om, sejak kapan di sini,” di bantu si model tadi, Dyan mendekati Gibran dengan kursi rodanya, Gibran yang kini melonggarkan dasinya tanpa jas, menatap kemenakannya sambil senyum di kulum.“Sejak tadi, aku nggak enak ganggu kalian, makanya aku duduk di sini!” sahut Gibran sambil melirik si model lembut ini, yang memiliki tubuh proporsional dan tingginya Gibran taksir pasti hampir 177 centimeteran.Sejenak Gibran teringat mendiang mami-nya, wajah lembut wanita ini mengingatkanya pada Rachel, ibundanya yang sudah meninggal 5 tahunan yang lalu.“Oh ya Om, ini kenalkan Celica, dia model aku dan…juga pacarku!” cetus Dyan lagi dengan mata berbinar-binar.Saking kagetnya, Gibran sampai melongo sesaat, pacar…sejak kapan Dyan memiliki seorang pacar yang sangat cantik
Suatu hari…!Dokter Laksono, dokter pribadi keluarga mereka meminta Gibran segera menemuinya di rumah sakit. Gibran pun bergegas datang.Kalau sudah si dokter ini memintanya datang, Gibran mulai tak enak hati, dia sampai menduga-duga apa yang terjadi. Apalagi ini berkaitan dengan Dyan.Sedangkan kakek dan neneknya walaupun sudah sepuh, tapi masih sehat sampai kini, kakeknya bahkan masih kuat jogging dan naik sepeda seputaran kompleks rumahnya.Setelah duduk di depan dokter senior ini, Gibran pun hanya bisa menahan debaran jantungnya.“Dyan…memiliki penyakit bawaan yang tak bisa kami atasi dengan pengobatan modern. Dia punya penyakit jantung bawaan dan juga paru-paru yang bermasalah. Usianya…moga saja panjang..?” cetus dokter Laksono.Sesaat Gibran hanya bisa terdiam, wajahnya berubah memucat, tak menyangka Dyan memiliki penyakit begitu.“Dok…tolong rawat Dyan, aku tak ingin dia…?&rd
Satu bulan kemudian…Setelah main golf, hobby baru yang disukai Gibran, ia yang bermaksud pulang setelah beri tips buat para caddy-caddy cantik yang menemaninya. Dirinya kaget melihat sosok yang jadi bahan pikirannya selama satu bulan belakangan ini.Dialah Celica…!Wanita cantik itu terlihat bersama seorang pria yang dilihatnya dulu ketika jalan di mal, wajah Gibran langsung mengeras.“Kurang ajar si Celica ini, di saat Dyan sakit, dia malah makin mesra dengan pria itu,” gumam Gibran dengan mata berapi. Gibran pun tak jadi naik ke mobilnya, dia kini langsung mulai mengikuti kemana Celica pergi dengan pria itu.Ternyata mereka masuk ke sebuah restoran merangkap kafe, yang jaraknya tak jauh dan berselebahan dengan lapangan golf ini.Gibran merendahkan topi golfnya, sehingga wajahnya tak dikenal orang, diapun mulai melihat-lihat, di mana Celica berada dengan pria tadi.Akhirnya dia melihat keduany
“Hmm…pentingkah itu buat Abang?” Celica malah balik bertanya, lagi-lagi ucapan ini bak sindiran bagi Gibran, yang dianggap Celica suka ikut campur urusan pribadinya. Gibran bukanlah pria yang punya otak kosong, dia pun merasa tersindir juga, sifatnya yang angkuh pun keluar. Gibran lalu berdiri dan bermaksud pergi dari apartemen Celica. “Baiklah, aku pergi dulu Celica, sorry kalau aku agak mendesak kamu hari ini. Asal kamu tahu, bagiku Dyan segalanya, termasuk keluargaku yang lain. Ku harap kamu mengerti!” Celica hanya diam tapi ikut berdiri dan mengantar Gibran ke depan pintu apartemennya. Sebelum Celica menutup pintu, keduanya saling tatap. Entah siapa yang memulai, keduanya malah saling mendekat dan…saling mengecup bibir. Sesaat keduanya saling melumat dan seolah melepaskan sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing. Celica tersadar, saat tangan Gibran memeluknya dan ciuman berpindah ke lehernya, wanita jelita ini bak tersengat l