"Oh, iya Mas!"
Aida tidak keberatan dan dia merasa lega karena suaminya sudah mau memikirkan hal ini.
Kebersamaan mereka dengan anak-anak Richard dan Tasya membuat Reiko lebih terbuka lagi dan mulai mencintai anak kecil. Ada keinginan dalam hatinya ingin memiliki anak yang semakin besar.
"Kalau gitu aku nanti akan coba hubungi dokternya dan kita akan buat janji ya!"
Itulah yang diucapkan Reiko sambil dia merangkul istrinya masuk ke dalam apartemennya.
"Iya Mas. Siang ini kita mau makan apa, Mas?"
"Irsyad, Udah sabar. Inggrid nggak tau apa-apa kok lo malah nyolot ama dia sih?"Seseorang yang ada di samping Irsyad mencoba mengingatkannya karena saat ini Irsyad sudah kebawa emosinya.Beberapa saat lalu sepulang kuliah Inggrid yang mengikuti kegiatan english club di kampusnya, seperti biasa mendatangi tempat itu tanpa ada kepikiran macam-macam tapi ternyata setelah sampai di sana ada sesuatu yang mengagetkan untuk inggrid.Dia dihampiri oleh dua orang kakak tingkatnya dan memintanya untuk bicara sebentar.Biasanya tidak pernah seperti ini. Dan mereka meminta sesuatu yang membuat Inggrid juga agak kaget.
"Mas, lo apa-apaan sih?"Setelah mereka berada cukup jauh di dekat tempat parkir, Irsyad menghempaskan tangan Dimas dan wajahnya terlihat sangat kesal sekali."Lo tahu kan tadi dia tuh hampir cerita banyak kejadian di apartemennya. Dia hampir ngebuka semuanya, harusnya lo nggak ngalangin gue buat bicara sama dia!""Sabar Syad. Lo lupa kalau lagi marah gini harusnya lo istighfar. Astaghfirullahaladzim! Lo yang ngajarin gue kalau kita itu nggak boleh marah-marah kayak gini!"Irsyad menutup matanya sambil mengalihkan pandangannya dariDimas.Ya dia tahu kalau dia memang yang mengajarkan Dimas untuk terus beristighfar dan menahan rasa marahnya. Dalam teori ilmu Irsyad, soal marah dia bisa dibilang sudah khatam. Selama ini kalau ad
"Maaf ya Mas. Aku salah soalnya aku angkat telepon dari Inggrid. Aku cuman takut tadi ada apa-apa, jadi aku angkat dan aku minta maaf Mas. lain kali aku nggak akan ngangkat telepon itu lagi."Wajah Aida terlihat ketakutan ketika dia mengutarakan kalimat itu dan memang sudah tidak lagi memegang handphonenya kini dia sudah berada di hadapan suaminya."Ai, aku nggak marah kok sama kamu. Aku bertanya kayak tadi itu karena aku nungguin kamu kelamaan dan sedikit kesal. Tapi aku nggak ngelarang kamu buat nelepon Inggrid.""Huh?"Aida bingung. Bukankah suaminya saja sempat marah waktu adiknya Lingga menghubunginya?
"Ai, kamu nih gimana sih? Katanya mau punya anak?""Ehehhe, iya mau Mas! Yang lucu kaya Anna dan Tasya.""Ya udah, ayok!"Tangan suaminya menggandeng Aida yang tak lagi bisa menolaknya.Selangkah demi selangkah gerakan kaki mereka mulai mendekati ruangan tempat di mana dokter Elly praktek.Dan meskipun Aida sudah tidak mengatakan penolakan tetap saja hatinya merasa gundah.Mas Reiko sangat mencintaiku. Dulu dia tidak mau punya anak bahkan sampai meminta aku di kuret gara-ga
"Kau sudah terburu-buru sekali untuk punya anak bukan?"Malu-malu tapi Aida tersenyum simpul dan mengangguk pelan."Aku ingin sekali punya anak. Mungkin sangat menyenangkan kalau bisa punya anak!""Ai, tapi aku nggak mau kamu memaksakan diri. Kita harus tanya dulu sama dokter Elly bagaimana kondisimu. Karena percuma kalau sampai hamil terus kondisinya nggak kuat kan bayinya di dalam sana?""Iya Mas. Aku ngerti kok, udah nggak usah cemas ya."Reiko dan Aida memang sudah bolak-balik mengecek kondisinya selama setahun lebih.
"Ehm i-itu.""Bagaimana kabar Anti? Apa baik-baik saja di sana? Cukup makan? Cukup istirahat? Tidak ada yang sakit itu bu Anti?""Ma-mas Irsyad, aku--"Aida tak bisa berkata-kata tapi dia sangat bersyukur sekali saat ini suaminya sedang inspeksi ke salah satu gudang yang berada di kota yang mereka tinggali sekarang! Kalau tidak dia tidak tahu bagaimana harus menutupi kegalauannya sekarang bicara dengan seseorang dari masa lalunya yang membuat dirinya kebingungan harus merespon bagaimana karena biasanya Irsyad tidak seperti ini.Tapi saat ini pertanyaannya membingungkan untuk Aida.
"Eh, eng-enggak Mas."Aida gelagapan sendiri. Saat itu dia juga memaki dirinya sendiri karena terus-terusan memikirkan tentang seseorang yang tadi bicara di layar monitor laptopnya itu."Aku lagi mikirin tugas skripsiku Mas. Maksudku kan sekarang aku sudah mulai persiapan soalnya aku sudah habis mata kuliahku udah selesai semua di semester ini. Semester depan aku mulai persiapannya.""Oh… Tapi kan nggak ada penelitian. Kamu kan jurusannya manajemen ekonomi. Ada praktek kerja lapangnya kan?"Biasa sebelum lulus mereka memang harus mengikuti latihan dulu di luar. Ada yang ikut praktek lapang dan sebagainya. Tapi kalau Aida tidak pe
"Wa’alaikumussalam, ukhti. Kaifa haluki ukhti?""Ehm, baik-baik saja Mas. Alhamdulillah."Duh, maafkan aku Tuhan. Aku juga nggak nyata kalau aku bakalan ngumpet-umpetan kayak gini sama Mas Reiko. Tapi, aku pengen tahu semua kejadiannya. Dan lagi ya ampun aku harusnya tidak berfokus pada wajahnya dan menjauhi untuk tidak menatapnya seperti ini tapi aku benar-benar deg-degan.Aida masih sulit kalau bertemu dengan Irsyad. Entahlah dia juga tidak mengerti kenapa bisa begitu, padahal mereka sudah lama tak bertemu. Seharusnya getaran itu sudah tidak ada apalagi suaminya juga sudah baik dengannya. Tapi memang pria itu selalu saja membuat dirinya tidak bisa tenang.