"Pak Kaisar?” ulangnya, kali ini dengan nada penuh keheranan. Permadi menatap Kaisar dengan mata terbelalak, bingung dengan apa yang baru saja ia saksikan. “Kenapa Bapak di sini?” Kaisar, yang sudah menyadari situasi, tetap tenang meski dalam hatinya merasa sedikit panik. Namun, ia mencoba mengendalikan dirinya dengan tersenyum tipis. “Saya sudah lama di sini, Kang,” jawab Kaisar, suaranya tenang dan terukur. “Kanaya sudah terlalu kelelahan dengan pekerjaannya, jadi saya ingin memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik.” Permadi masih tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tidak pernah menduga bahwa selama ini Kaisar dan Kanaya sudah sangat dekat. Tatapannya beralih ke Kanaya yang juga tampak kebingungan. "Mamang dan Pak Kaisar saling kenal?"Kanaya menatap keduanya bergantian, keningnya berkerut. “Naya, kenapa Pak Kaisar tahu kamu sakit?” tanya Permadi tanpa menjawab dulu pertanyaan Kanaya. Pria paruh baya itu justru mencoba mencari penjelasan dari keponakannya. Kanay
Beberapa minggu setelah Kaisar mengakui perasaannya, hubungan antara Kanaya dan atasannya itu menjadi semakin rumit. Kanaya tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Kaisar. Setiap kali ia menatap pria itu, hatinya berdebar lebih kencang. Namun, ada sesuatu yang masih menghalanginya untuk menerima perasaan itu. Kanaya merasa bersalah, terikat oleh pernikahan yang tidak pernah ia jalani, dan bingung dengan arah perasaannya sendiri. Di sisi lain, Kaisar semakin merasa terjepit oleh rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka semakin nyata, tetapi kebenaran tentang pernikahan mereka yang masih dirahasiakan semakin membebani pikirannya. Bagaimana bisa ia mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu bahwa mereka sudah menikah? Pagi itu di kantor, saat Kanaya sedang fokus pada pekerjaannya, telepon di meja kerjanya berdering. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar cepat. Itu adalah Permadi, pamannya. Kanaya segera mengangkat tele
Pagi itu, Kanaya tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang menggantung di benaknya. Telepon dari pamannya, Permadi, terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ada sesuatu tentang pernikahannya yang tidak ia ketahui? Tapi apa? Kenapa hal itu begitu penting sehingga pamannya bersikeras membicarakannya secara langsung? Sambil duduk di meja kerjanya, Kanaya mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan tentang pernikahannya yang misterius dengan pria yang tidak pernah ia temui membuatnya merasa terjebak. Di sisi lain, perasaan yang semakin dalam terhadap Kaisar juga membingungkannya. Bagaimana bisa ia terus merasakan cinta yang tumbuh untuk pria lain sementara ia terikat dengan pernikahan yang tidak pernah ia jalani? Ketika jam makan siang tiba, Kanaya memutuskan untuk duduk di kantin bersama beberapa rekan kerjanya. Mereka bercanda dan berbincang tentang hal-hal ringan, tetapi Kanaya hanya tersenyum tipis dan lebih banyak diam. Pikirannya masih tertuju pada t
Permadi masuk ke dalam dan duduk di sofa sederhana di ruang tamu kecil itu. Kanaya merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Suasana di dalam ruangan itu tiba-tiba terasa begitu berat, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan terjadi. “Naya, maaf kalau Mamang membuat kamu bingung selama ini,” ucap Permadi, memulai pembicaraan. “Mamang tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan tentang pernikahan kamu, dan Mamang merasa ini saatnya kamu tahu kebenarannya.” Kanaya menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Iya, Mang. Aku … aku bingung. Selama ini aku nggak pernah tahu siapa suamiku. Bahkan, aku nggak pernah bertemu dengannya. Tapi kenapa sekarang semua orang bilang ada sesuatu yang harus aku ketahui?” Permadi menghela napas panjang, lalu menatap Kanaya dengan pandangan yang penuh simpati. “Naya, ada alasan kenapa pernikahanmu dilakukan dengan begitu mendadak waktu itu. Kamu masih kuliah di Jakarta, dan ayahmu … dia tahu waktu itu sudah tidak lama lagi. Itulah kenapa dia minta kamu dinik
Kaisar berdiri di depan pintu kamar kost Kanaya, memandangi pintu yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, gadis yang ia cintai menangis, terluka oleh rahasia yang selama ini ia simpan. Tangannya gemetar, perasaannya berkecamuk antara rasa bersalah dan ketidakmampuan untuk memperbaiki situasi. Permadi masih duduk di ruang tamu kost, wajahnya terlihat tegang dan penuh rasa bersalah. Ia hanya bisa menyaksikan dari jauh, tidak ingin ikut campur lebih jauh ke dalam konflik yang sudah terlalu rumit ini. Meski demikian, ada rasa tanggung jawab yang membebani dirinya sebagai paman Kanaya. Ia merasa, dirinya sebagai saksi dari pernikahan yang tergesa-gesa itu, adalah kesalahannya juga. Kaisar tahu ini semua salahnya. Kesalahannya karena tidak jujur sejak awal, karena tidak mengungkapkan kebenaran kepada Kanaya saat ia seharusnya melakukannya. Namun, ia juga tahu bahwa niatnya selalu untuk melindungi Kanaya. Bagaimana pun, sekarang semua itu tampak tidak berarti lagi. Kebohongan yang terungk
Pagi itu, setelah percakapan panjang yang penuh emosi, suasana kamar kost Kanaya terasa lebih tenang. Permadi memutuskan bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke Bogor. Sebelum pergi, ia memastikan bahwa Kanaya dan Kaisar sudah saling berbicara, meski ia tahu masalah mereka belum sepenuhnya terselesaikan. Tapi sebagai paman yang peduli, ia percaya bahwa Kaisar akan berusaha keras untuk memperbaiki semuanya. "Naya, Mamang pamit pulang dulu ke Bogor," ujar Permadi sambil menatap keponakannya dengan penuh kasih. "Mamang sudah mempercayakan kamu sama suami kamu. Ingat, Naya, apa pun yang terjadi, Mamang selalu ada buat kamu." Kanaya hanya mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya pulih dari emosi yang meluap-luap setelah mengetahui kebenaran tentang pernikahannya. "Terima kasih, Mang," jawabnya singkat, suaranya terdengar lelah tapi penuh ketulusan. Permadi menepuk pundak Kanaya dengan lembut sebelum melangkah keluar dari kost. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik Kaisar yang
Kanaya menggeliat, matanya mengerjap beberapa kali. Ia nyaris memekik melihat seorang pria terbaring di sampingnya. Untung saja ia langsung mengingat kejadian semalam. Ya, semalam Kaisar memang tidur satu ranjang dengannya. Mereka saling berhadapan dan saling memandang satu sama lain. Obrolan ringan dan saling menggoda satu sama lain. Hingga entah pukul berapa ia tertidur. Kanaya sempat merasakan usapan-usapan lembut di kepalanya. Nyaman dan mendebarkan. Kanaya bangkit, lalu duduk di tepi tempat tidur, memandangi pemandangan luar yang masih belum terang dari balik jendela kecil kamar kostnya. Pikirannya melayang pada semua yang terjadi tentang kebohongan yang selama ini ia yakini, pernikahan yang selama ini tidak ia sadari, dan sekarang, kehadiran Kaisar di sampingnya yang terus memberi perhatian tulus. "Kamu sudah bangun, Naya?" suara lembut Kaisar mengejutkannya dari lamunan. Ia duduk dan menatap Kanaya yang tampak termenung. Kanaya menoleh cepat dan mengangguk pelan. "Iya, Mas,"
Kaisar masih duduk di tepi tempat tidur, mendekatkan tubuhnya pada Kanaya, Mata mereka bertemu dalam tatapan yang mendalam, ada sesuatu yang berbeda di sana, perasaan yang tak terungkapkan. Kaisar mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kanaya dengan lembut, dan jantung Kanaya berdebar semakin cepat. “Naya …” suara Kaisar serak tapi pelan, nyaris berbisik. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bisa menjalani pernikahan ini dengan ... sepenuhnya.” Kanaya mengerjap, perasaannya campur aduk antara bingung dan hati yang menghangat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Kaisar terlalu lama. “Mas … aku … aku belum siap,” ucapnya dengan suara pelan, nyaris tersendat. Kaisar mengangguk pelan, mencoba memahami. “Aku mengerti, Naya. Aku nggak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, kapan pun kamu siap.” Kanaya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Kaisar dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Mas … aku tahu kita sudah sah sebagai suami istri, tapi … aku masih m